Senin, 14 Desember 2009

Kupas Tuntas Perdarahan Haid dan Kelainannya, Tinjauan Syar'iat dan Medis

ASPEK-ASPEK YANG BERHUBUNGAN DENGAN
PERDARAHAN HAIDH DAN KELAINANNYA PADA TUBUH WANITA


 Darah, Kandungannya dan Metabolisme yang Dihasilkannya.
Darah terdiri dari sel-sel darah yang terlarut dalam plasma. Jumlah normal volume darah + 8% dari berat badan total. Sembilan puluh persen sel-sel darah pada manusia adalah sel eritrosit . Eritrosit mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu mengangkut O2 ke seluruh sel atau jaringan tubuh manusia. Sembilan puluh delapan setengah persen O2 dalam darah diangkut melalui sel eritrosit dengan cara berikatan dengan haemoglobine (Hb.) . Sel-sel darah yang lainnya secara umum juga mempunyai fungsi-fungsi penting yaitu dalam proses hemostasis (diperankan oleh sel trombosit ) dan mekanisme pertahanan tubuh (diperankan oleh sel lekosit ).

Plasma Darah.
Sembilan puluh persen bagian plasma darah terdiri dari air yang berfungsi sebagai media dari beberapa material yang akan dibawa di dalam darah. Plasma darah manusia juga mengandung zat-zat organik dan anorganik, yang terlarut di dalamnya (seperti: protein [6-8%], dan zat anorganik lainnya [+1%]). Ion-ion elektrolit yang terbanyak (terkandung di dalam plasma) adalah ion-ion Na+(natrium) dan Cl-(klorida). Ion-ion elektrolit lainnya adalah ion bikarbonat (HCO3-), K+(kalium), Ca2+(kalsium), dan lain-lain. Plasma darah juga mengandung zat-zat nutrisi (seperti: glukosa [C6H12O6], asam amino-asam amino [seperti: protein-protein plasma], lemak, dan vitamin), produk-produk sisa metabolisme sel-sel tubuh (seperti: creatinine , billirubine , urea), gas-gas (seperti: O2, CO2 , dan N2 ), dan hormon tubuh.
Protein-protein plasma darah adalah komponen protein-protein normal yang selalu ada dalam plasma darah dan tidak dapat keluar melalui pori-pori kapiler pembuluh darah tubuh. Ada 3 macam protein plasma darah yaitu albumin, globulin, dan fibrinogen. Fungsi dari protein plasma darah tersebut adalah:
1. Membuat perbedaan tekanan osmotik antara darah dan cairan interstisiel (+ 30mmHg), yang akan menyebabkan keluarnya plasma dari kapiler ke jaringan interstisiel.
2. Turut berperan dalam sistem buffer tubuh.
3. Turut mempengaruhi viskositas darah.
4. Memenuhi kebutuhan cadangan energi sel-sel tubuh (terutama pada keadaan kelaparan).

Sel Eritrosit.
Jumlah sel eritrosit ialah + 5 juta/mm3. Salah satu fungsi sel eritrosit adalah mengangkut gas oksigen (O2) ke dalam semua sel dan jaringan tubuh untuk memampukan aktivitas metabolisme di dalamnya. Kemampuan sel eritrosit mengangkut O2 dimungkinkan terutama oleh adanya Haemoglobine (Hb.), karena pada faktanya O2 sangat sukar berada di dalam plasma darah. Pada orang dewasa, sel eritrosit dibuat di sumsum tulang belakang dan semua tulang panjang tubuhnya, kecuali bagian atas dari tulang lengan atas dan paha, karena telah menjadi tidak aktif lagi akibat telah terinfiltrasi oleh lemak.
Proses sintesis sel eritrosit (eritropoesis) mempunyai kontrol umpan balik berupa penghambatan oleh peningkatan sel eritrosit di dalam sirkulasi (aliran darah) dan hormon eritropoetin yang dihasilkan oleh ginjal, serta dirangsang oleh adanya keadaan anemia dan hipoksia pada sel atau jaringan tubuh. Faktor-faktor yang juga dapat menimbulkan penurunan oksigenisasi pada sel atau jaringan tubuh adalah penurunan volume dan aliran darah tubuh dan adanya penyakit paru-paru yang kronis pada tubuh.

Sel Lekosit.
Sel-sel lekosit adalah unit mobile dari sistem pertahanan tubuh. Mereka menahan masuknya benda asing atau bibit penyakit yang masuk ke dalam tubuh manusia (yang terjadi saat infeksi atau serangan virus atau bakteri) melalui 2 jalan yaitu, fagositosis dan mengaktifkan respons imun tubuh (seperti: membuat beberapa jenis antibodi atau imunoglobuline tubuh). Sel lekosit garda kedua (seperti: sel makrofage atau monosit dan limfosit) juga berfungsi untuk menyerang mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh, namun demikian pada umumnya yang diserang adalah mikroorganisme atau benda asing yang telah dikenal atau bersifat spesifik (seperti: virus HIV, sel-sel kanker, kuman TBC, dan lain-lain), dan memusnahkan serta menyapu bersih debris (kotoran-kotoran) yang berasal dari sel-sel tubuh yang rusak atau sudah mati.
Adanya sel lekosit dalam sirkulasi darah karena dilepaskan dari sumsum tulang belakang dan jaringan limfoid tubuh ke daerah (bagian tubuh) yang membutuhkannya. Produksi sel lekosit di sumsum tulang belakang tubuh manusia dirangsang oleh hormon coloni stimulating factors. Jumlah sel lekosit pada orang dewasa normal berkisar antara 5000 sampai dengan 10000 sel/l dengan jumlah rata-ratanya +7000 sel/l. Sel lekosit yang terdapat dalam sirkulasi ada 6 jenis yaitu sel-sel netrofil, eosinofil, basofil, limfosit, monosit/makrofage, dan plasmosit. Untuk menjalankan fungsinya sebagai sel fagosit maka sel lekosit mempunyai beberapa sifat penting yaitu, diapedesis , gerak amuboid , dan khemotaksis .

Tabel 2. Sel-Sel Darah dan Nilai Normalnya dalam Tubuh
Jenis Sel Darah Nilai Normal
Eritrosit (Sel Darah Merah) 5000000 (2500000-5500000) sel/l.
Lekosit (Sel Darah Putih), terdiri dari: 7000 (5000-10000) sel/l
Neutrofil (hitung diferensial-HD) 60-70%
Eosinofil (-HD) 1-4%
Basofil (Sel Mast) (-HD) 0,25-0,5%
Limfosit (-HD) 25-33%
Monosit (Makrofage) (-HD) 2-6%
Trombosit (keping Sel Darah) 300000 (150000-350000) sel/l.


Sel Trombosit.
Jumlah sel trombosit adalah + 300.000/l. Bentuk sel trombosit bergranula , dengan diameter selnya berukuran 2,4 mm, dengan waktu paruhnya 4 hari. Enam puluh sampai 75% sel trombosit yang dihasilkan oleh sumsum tulang belakang akan berada di dalam sirkulasi dan sisanya terutama berada di limpa. Sel trombosit mengandung asam-asam amino (seperti: aktine dan miosin), glikogen, lisosom, serotonin, ADP (adenin diphosphate) dan PDGF . Sel trombosit mempunyai fungsi penting dalam proses hemostasis. Pengaktivan kinerja sel trombosit dapat dirangsang oleh serat kolagen tubuh, ADP, trombin dan PAF .
Proses yang terjadi apabila pembuluh darah atau jaringan tubuh terluka adalah terjadinya proses hemostasis melalui 3 tahapan, yaitu terjadinya kontraksi pembuluh darah untuk mengurangi aliran darah ke tempat luka, penyumbatan pembuluh darah (dengan adanya agregasi sel trombosit) untuk menutup pembuluh darah, dan pengaktivan reaksi pembekuan darah.
Kontraksi pembuluh darah disebabkan oleh adanya rangsang dari persyarafan simpatik secara langsung ke pembuluh darah yang mengalami luka tersebut dan zat-zat kimia yang keluar dari sel trombosit (seperti: serotonin, tromboksan [Tx], dan lain-lain). Kemudian terjadi proses pembekuan darah melalui terjadinya proses penyumbatan daerah-daerah yang terluka oleh pengumpulan dari sel-sel trombosit (terbentuk bekuan-bekuan darah berwarna hitam) yang akan menghentikan proses perdarahannya. Setelah bekuan darah terbentuk, penyumbatan yang terjadi pada daerah-daerah luka akibat pengaruh dari sel-sel trombosit tersebut akan menegang, menarik tepi dari pembuluh darah (atau jaringan) yang terluka tersebut untuk saling berdekatan dan kemudian terjadi retraksi dari bekuan darah disertai pengeluaran cairan serum dari bekuan darah tersebut. Bekuan darah ini tidak akan menetap selamanya dalam pembuluh darah. Sel-sel trombosit yang telah terkumpul dalam daerah bekuan darah tersebut akan mensekresikan suatu zat yang merangsang masuknya sel-sel fibroblas dari daerah sekitar tempat luka, yang selanjutnya akan dihancurkan keberadaannya secara alami.

Pembuluh getah bening (Limfe).
Pembuluh getah bening adalah salah satu alternatif dari pembuluh-pembuluh darah yang dapat digunakan tubuh untuk membantu membawa zat-zat yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkan tubuh lagi. Pembuluh utama getah bening bermuara pada arteri subclavia (di bagian ketiaknya). Pada tempat-tempat tertentu (yaitu pada lipatan paha dan ketiak, di bawah dagu, di sisi bagian luar tulang-tulang rawan pernapasan, di daerah leher) membentuk kelenjar-kelenjar limfe yang berfungsi membentuk sel-sel lekosit garda kedua (seperti: limfosit dan makrofage atau monosit).
Fungsi-fungsi secara umum dari pembuluh getah bening (limfe) adalah:
1. Membawa plasma darah, sel lekosit dan zat-zat yang diperlukan oleh tubuh, serta sisa-sisa metabolisme sel tubuh ke dalam sistem peredaran darah.
2. Berperan dalam penyaringan benda-benda asing di dalam tubuh.
3. Mengangkut asam-asam lemak dan gliserol dari usus ke dalam sistem peredaran darah tubuh.















Tabel 3. Faktor-Faktor yang Memodulasi Proliferasi dan Migrasi Sel Otot Polos Pembuluh darah .
Growth Factors and Cytokine Growth Factor and Cytokine Inhibitor
Growth Factors Growth Factors
Acidic and basic fibroblast growth factors Heparin Sulfat
Platelet-derived growth factor-PDGF AA,AB,BB Fibronectine
Transforming growth factor-TGF (B1 and B2) Transforming growth factor-TGF (B1)
Heparin-binding epidermal growth factor Gamma-interferon (INF)
Epidermal growth factor-EGF
Insulin-like growth factor-IGF (I)
Cytokines Cytokines
Interleukin (IL-) 1 Nitric oxide (NO)
Interleukin (IL-) 6 Prostaglandin-PGH2 (produk COX)
Trombin Atrial natriuretic peptides-ANP
Serotonin Type C-Natriuretic peptides (C-NP)
Angiotensin (A) II
Endothelin
Norepinefrin
Vasopresin/ADH
Leukotrien (produk LOX)
Tromboxan-TxA2 (produk COX)
Substansi P dan K
The other The other
Stretch and wall tension Shear stress


 Sistem Alat-Alat Genitalia Tubuh Wanita.
A. Embriologi alat-alat genitalia tubuh wanita.
Sistem genitalia dan sistem urinarius mulai tumbuh pada mudigah mulai minggu ke-4 dari proses pembentukannya, di daerah dorsal kanan dan kiri, sisi lateral dari garis tengah tubuh, berupa urogenital ridge . Tidak lama kemudian sel-sel germinativum primordial nya bermigrasi dari dinding yolk sac (dekat divertikulum allantois – lihat lampiran 1) dan tiba di urogenital ridge, dan bersama-sama sel-sel mesenkim yang berasal dari lapisan mesoderm tubuh janin wanita membentuk gonad primitif.
Jenis kelamin suatu mudigah ditentukan pada waktu fertilisasi , tergantung pada tipe pro-nukleus lelaki yang membuahi pro-nukleus wanita (kedua orang tuanya). Pada nukleus tubuh manusia tersebut terdapat 46 kromosom , yakni 44 kromosom otosom dan 2 kromosom kelamin (yang pada seorang lelaki terdiri atas kromosom X dan Y [XY], sementara pada seorang wanita terdiri atas 2 kromosom X [XX]). Pada seorang janin wanita, zigote yang terbentuk sebagai hasil dari fertilisasi tersebut memiliki 44 kromosom otosom serta 2 kromosom X [XX]. Pada awalnya mudigah tidak menunjukkan jenis kelamin janin lelaki atau wanita bila dilihat gonadnya, meskipun sel-sel kelaminnya berjenis lelaki atau wanita. Diferensiasi selanjutnya ke arah kelenjar kelamin janin wanita dari gonad tersebut ditentukan oleh kromosom X-nya. Pada mudigah dengan kromosom XX, organ ovariumnya akan berkembang dari bagian korteks gonad-nya sementara jaringan gonad-nya tidak terbentuk sama sekali sehingga ada kecenderungan terjadinya regresi pembentukan sistem duktus Wolfii dan induksi pembentukan dan pengembangan sistem duktus Mulleri . Pembentukan dan perkembangan sistem duktus Mulleri ini sangat dipengaruhi oleh hormon-hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar kelaminnya dan atas reaksi atau respons terhadap alat-alat genitalia-nya tersebut, serta kemungkinan besar juga dapat dipengaruhi oleh hal-hal lainnya seperti kekurangan gizi (malnutrisi) si ibu, adanya penyakit yang diderita si ibu, obat-obatan yang dikonsumsi saat sakit oleh si ibu, pemaparan radiasi pada tubuh si ibu, dan lain-lain yang belum diketahui, yang khususnya sangat rawan terjadi dalam usia kehamilan 8 minggu pertama.
Alat-alat genitalia janin wanita terutama berasal dari perkembangan sistem duktus Mulleri. Organ pertama yang terbentuk dari perkembangan sistem duktus Mulleri ini adalah ovarium . Pada ovarium, sel-sel germinativum primordial berada di lapisan korteksnya, dekat pada sel-sel epitel selom yang menutupi genital ridge (tonjolan genital). Kemudian rangkaian sel-sel mesenkim-nya saling membentuk di bagian ovarium yang sedang berkembang, membentuk suatu jaringan yang disebut sebagai rete ovarii. Perkembangan folikel primordial berlangsung terus semasa pertumbuhan janin wanita. Dalam masa pertumbuhan pada usia kehamilan minggu ke-8 sampai minggu ke-12, sel-sel germinativum primordial berulang kali mengadakan proses mitosis untuk persediaan oogonium di masa hidup selanjutnya. Dalam pertumbuhan selanjutnya ovarium lambat laun menonjol ke ruang selom dan ke arah dorsolateral (lihat lampiran 2). Ovarium kemudian tumbuh di bagian tengah dari urogenital riege. Pada akhir bulan ke-3 masa kehamilan, ovarium turun ke dalam rongga panggul tubuh dan menempati posisinya untuk seterusnya (lihat lampiran 2).
Di sisi lain, pada minggu ke-6 masa kehamilan duktus Mulleri yang berasal dari sel-sel epitel selom, ditemukan membentuk pipa solid . Pipa solid ini tumbuh dari arah kranial ke arah kaudal , sementara bagian kranial-nya menunjukkan terjadinya suatu kanalisasi yang terbuka di ruang selom. Lubang ini kelak menjadi ostium tubae abdominale dengan fimbrium-fimbrium -nya. Ke kaudal kedua duktus Mulleri kanan dan kiri, pada tempat yang kelak menjadi pintu atas panggul, membelok ke arah medial . Duktus Mulleri kanan dan kiri terus tumbuh ke arah distal dan menonjol ke sinus urogenitalis (menjadi tuberkulum Mulleri) pada minggu ke-8 masa kehamilan. Kemudian terjadi fusi antara kedua duktus Mulleri di bagian bawahnya, dan berlangsung terus fusinya ke bagian atasnya, sehingga terbentuklah uterus dan sebagian dari vagina. Bagian atas duktus Mulleri kanan dan kiri yang tidak mengalami fusi kemudian menjadi tuba Fallopii dengan fimbrium-fimbrium-nya pada ostium tubae abdominale. Sisa bagian atas duktus Mulleri kadang-kadang tidak ikut membentuk infundubulum tuba, akan tetapi tampak sebagai hidatida Morgagni. Jaringan mesenkim yang berada di sekitar duktus Mulleri membentuk jaringan ikat dan otot tuba Fallopii, uterus, dan vagina pada bulan ke-5 masa kehamilan. Selanjutnya pembentukan vagina sebagai salah satu alat genitalia wanita. Pembentukkan vagina berasal dari lapisan entoderm (merupakan bagian yang dibentuk oleh sinus urogenitalis) dan mesoderm (merupakan bagian yang dibentuk oleh duktus Mulleri). Apabila ujung bawah duktus Mulleri menyentuh sinus urogenitalis, maka dinding ini akan ber-proliferasi dan membentuk lempeng vagina (vaginal plate). Vaginal plate memanjang dan mendorong sinus urogenitalis ke arah bawah, menjadi lebih dangkal dan lebar, lalu membentuk vestibulum. Di dalam vagina plate tersebut terdapat lumen yang berhubungan dengan lumen duktus Mulleri. Dengan demikian sel-sel epitel pada sinus urogenitalis dapat menyentuh epitel duktus Mulleri, yaitu kemungkinan besar pada bagian 2/3 atas vagina. Pada janin wanita berumur 5 bulan, seluruh vagina sudah terbentuk. Bagian bawahnya masih tetap tertutup oleh suatu membran (dinamakan selaput himen ), yang terbentuk oleh lapisan tipis dari sinus urogenitalis.
Selanjutnya, pada masa gastrula, sebagian dari lapisan mesoderm janin mengalami pertumbuhan antara lapisan ektoderm dan entoderm janin di sekitar kloaka . Hal tersebut menimbulkan penonjolan di garis tengah daerah kemaluan bagian bawah luar vagina (dinamakan genital tubercle ) yang kemudian berkembang menjadi klitoris (pada janin lelaki berkembang menjadi penis). Bagian bawah kanan dan kiri genital tubercle terdapat lipatan, yang menutup dibelakang dan melingkari vestibulum. Lipatan ini berkembang menjadi labium minus. Pada bagian tepi luar labium minus kanan dan kiri terdapat penonjolan yang kemudian berkembang menjadi labium mayus. Pada labium mayus terdapat kelenjar glandula Bartholini yang bermuara ke sisi medial. Pada sisi kanan dan kiri orifisium urethra eksternal terdapat juga kelenjar-kelenjar kecil glandula paraurethralis. Pada vestibulum tersebut akhirnya juga bermuara urethra dan vagina. Gambar-gambar mengenai proses-proses embriologi alat-alat genitalia pada janin wanita dapat dilihat pada lampiran 3.

B. Anatomi alat-alat genitalia tubuh wanita dan sistem sirkulasi darahnya.
Untuk dapat mengetahui proses-proses reproduksi (terutama siklus haidh) pada tubuh wanita dan perubahan-perubahannya (yang sering terjadi akibat adanya kelainan-kelainan atau disfungsi pada alat-alat genitalia dan daerah sekitarnya), perlu diketahui anatomi alat-alat genitalianya. terlebih dahulu. Anatomi alat-alat genitalia tubuh wanita tersebut terdiri dari:

B.1. Vulva.
Vulva adalah salah satu alat genitalia wanita paling luar sebagai tempat bermuaranya sistem urogenitalis. Pada bagian dalam kulitnya terdapat jaringan lemak. Bagian luar vulva dilingkari oleh labium mayus dan pada bagian belakangnya mengalami penyatuan dan membentuk kommissura posterior dan perineum . Pada bagian tengah dari labium mayus ditemukan labium minus yang pada bagian perineumnya menyatu membentuk frenulum labiorum pudendi. Pada bagian depan frenulum ini terletak fossa navikulare yang sisi dekat bagian kanan dan kirinya bermuara 2 saluran glandulae Bartholini. Bagian depan labium minus mengalami penyatuan dan membentuk praeputsium klitoridis (tepat di atas dan menutupi alat klitoris) dan frenulum klitoridis. Kira-kira 1,5 cm di bawah klitoris terdapat orifisium urethrae eksternal, yang bagian kanan dan kirinya terdapat 2 lubang kecil tempat bermuara dari 2 saluran kelenjar buntu yaitu duktus paraurethralis dan duktus Scene. Glans klitoris berisi jaringan yang dapat ber-ereksi , yang bersifat sangat sensitif karena banyak memiliki serabut saraf dan pembuluh darah kapiler. Pada daerah simfisis terdapat daerah yang menggunung yang disebut mons veneris, yang bila tubuh wanita telah mencapai usia dewasa akan ditumbuhi pubes) (lihat Lampiran 4).

B.2. Vagina.
Vagina merupakan salah satu organ atau daerah kemaluan yang menghubungkan alat genitalia luar dan dalam tubuh wanita. Ukuran vagina pada bagian depannya (bagian luarnya) adalah 6,5 cm dan bagian belakangnya (bagian dalanmnya) adalah 9,5 cm, sumbunya berjalan kira-kira sejajar dengan arah pinggir bawah simfisis ke promontorium . Introitus vagina tertutup oleh selaput himen. Pada seorang perawan selaput daranya masih utuh, dan hiatus himenalis pada umumnya hanya dapat dilalui oleh jari kelingking. Pada saat koitus pertama kali, selaput dara mengalami perobekan di beberapa tempat dan membentuk selaput sisa-sisa yang disebut karunkulae murtiformis. Besarnya lubang himen tidak menentukan apakah wanita tersebut masih perawan atau tidak.
Sel-sel yang membentuk dinding vagina terdiri dari sel-sel epitel berlapis gepeng (pada 1/3 bagian luar vagina) dan sel-sel epitel silindrik bersilia/berambut (pada 2/3 bagian dalam vagina). Pada sel-sel epitel berlapis gepeng (berbentuk skuamosa) ini, vagina tidak mengandung kelenjar-kelenjar namun di antara sel-sel epitelnya tersebut terdapar beberapa sel Goblet yang dapat mengeluarkan sekret, terutama apabila terangsang oleh adanya gesekan atau benturan, baik dengan benda-benda keras, tumpul dan tajam maupun dengan adanya infeksi-infeksi dari bakteri-bakteri (seperti gonococcus), parasit (seperti jamur kandida), virus (seperti virus herpes), proses keganasan (seperti tumor atau kanker) dan lain-lain. Lapisan mukosa (lapisan paling dalam yang langsung berhubungan dengan saluran) vagina berlipat-lipat secara horizontal (disebut rugae), terutama pada 1/3 bagian luar dinding vagina (dan masih tampak jelas pada seorang perawan). Pada bagian tengahnya terdapat bagian yang lebih keras yang disebut kolumna rugarum. Di bagian bawah dari sel-sel epitel vagina terdapat jaringan-jaringan ikat yang mengandung banyak pembuluh darah dan di bagian lebih bawahnya lagi terdapat otot-otot (daging) vagina yang susunannya serupa dengan susunan otot-otot pada saluran pencernaan (usus). Pada bagian depan dari dinding vagina bagian bawah terdapat urethra sepanjang 2,5 sampai 4 cm. Bagian atas vagina sampai ke forniks vagina anterior berbatasan dengan kandung kemih. Pada bagian luar dari otot-otot vagina ini terdapat fasia yang elastisitas -nya akan berkurang pada wanita yang telah lanjut usianya. Suplai (pengaliran) darah vagina diperoleh dari arteri uterina, arteri vesikalis inferior, arteri haemoroidalis mediana, dan arteri pudenda inferior.
Terdapat 3 jenis sel pada dinding vagina yaitu, (1) sel parabasal , (2) sel intermediate , dan (3) sel superfisial . Sel superfisial dan beberapa sel intermediate mengandung glikogen . Seluruh sel epitel vagina menunjukkan perubahan siklik selama siklus menstruasi dan pada kehamilan. Diferensiasi sel-selnya dikontrol oleh hormon-hormon estrogen, progesteron dan androgen (hormon-hormon seks steroid) pada sirkulasi tubuh. Sel-sel vagina ini tidak mengeluarkan mukus , tetapi hasil mukus-nya merembes di antara sel-sel untuk membasahi (melumasi) vagina, dan sel-sel superfisial terus-menerus mengalami eksfoliasi . Sel-sel yang mengelupas, melepaskan glikogen yang terkandung di dalamnya, yang diolah oleh bacillus Doderleine (sejenis kuman atau bakteri komensalisme a-patogen yang berdiam di vagina) untuk menghasilkan asam laktat. Keadaan ini menyebabkan keasaman lingkungan vagina menjadi optimal untuk memungkinkan dan menjelaskan adanya resistensi (penolakan) vagina secara relatif terhadap terjadinya infeksi di lingkungannya. Sel-sel vagina juga dapat menyerap obat-obatan, terutama obat-obatan dari preparat hormonal, seperti preparat estrogen (yang terdapat pada pil atau suntikan KB.) (lihat Lampiran 4,5,7).
Fungsi penting dari vagina adalah sebagai: (a) saluran keluar untuk mengalirkan perdarahan haidh dan sekret atau lendir lainnya dari rahim, (b) alat untuk bersenggama (bersetubuh), (c) jalan lahir pada saat bersalin (melahirkan).

B.3. Uterus.
Uterus pada seorang wanita dewasa berbentuk seperti buah alpukat (atau buah peer) yang sedikit gepeng. Ukuran panjang uterus adalah 7 sampai 7,5 cm, lebar di tempat yang paling lebar adalah 5,25 cm, dan tebal dindingnya adalah 2,5 cm. Uterus terdiri atas korpus uteri (pada 2/3 bagian atasnya) dan serviks uteri (pada 1/3 bagian bawahnya).
Pada bagian dalam korpus uteri terdapat kavum uteri yang membuka keluar melalui kanalis servikalis yang terletak di serviks uteri. Bagian bawah serviks uteri yang terletak di vagina dinamakan porsio uteri (pars vaginalis servisis uteri), sedangkan yang berada di atas vagina disebut pars supravaginalis servisis uteri. Antara korpus dan serviks uteri terdapat bagian yang disebut isthmus uteri.
Bagian atas uterus disebut fundus uteri, tempat tuba Fallopii kanan dan kiri masuk ke uterus. Dinding uterus terdiri atas miometrium yang keseluruhannya dapat ber-kontraksi dan berelaksasi (melemas). Bagian paling luar uterus (yang merupakan lapisan di luar dari miometrium dan bagian yang langsung ketemu dengan kavum uteri) dilapisi oleh selaput jaringan ikat yang kaya dengan sel-sel epitel kuboid , kelenjar-kelenjar penghasil lendir dan pembuluh-pembuluh darah yang berkelok-kelok, yang disebut sebagai lapisan endometrium. Lapisan endometrium uteri yang terdapat pada korpus uteri sangat licin, akan tetapi di bagian serviks uteri menjadi berkelok-kelok. Bagian uterus yang paling dalam (yang langsung berhubungan dengan rongga abdomen ) adalah lapisan perimetrium uteri.
Pertumbuhan dan fungsi lapisan endometrium uteri sangat dipengaruhi oleh hormon hormon seks steroid (seperti: estrogen dan progesteron) pada ovarium. Uterus mendapat pendarahan dari arteri uterina, cabang dari arteri iliaka interna (hipogastrika), dan dari arteri ovarika (lihat Lampiran 5,6,7).
Fungsi utama uterus adalah: (a) sangat berperan dalam terjadinya aktivitas siklus haidh setiap bulan, (b) tempat implantasi atau nidasi , tumbuh dan berkembangnya janin (setelah terjadi proses fertilisasi antara sel ovum dan sperma di ampula-infundibulum tuba Fallopii), (c) sebagai pendorong (melalui aktivitas kontraksinya) untuk mengeluarkan lapisan endometrium uteri yang rontok (saat siklus haidh berlangsung), janin (saat dalam proses persalinan), dan plasenta (saat setelah bersalin), dan (d) sebagai petunjuk adanya gangguan fungsional dari aktivitas hormon-hormon seks steroid.

B.4. Tuba Fallopii.
Tuba Fallopii ialah saluran telur yang berasal (seperti juga uterus) dari duktus Mulleri. Rata-rata panjangnya tuba ini adalah 11 sampai 14 cm. Bagian yang berada di dinding fundus uteri dinamakan pars interstisialis, bagian tengahnya (3 sampai 6 cm) dinamakan pars istmika yang masih sempit (diameternya sekitar 2-3 mm), bagian paling tepi luar dinamakan pars ampularis yang lebih lebar (diameternya 4-10 mm) yang mempunyai ujung terbuka menyerupai anemon yang disebut infundibulum. Di bagian ujung (pada sisi paling luar yang terbuka ke rongga perut) dari infundibulum terdapat fimbriae yang berguna untuk menangkap sel ovum matang yang telah dilepas ovarium ke dalam tuba Fallopii (untuk memungkinkan terjadinya proses fertilisasi atau konsepsi antara sperma dan ovum di daerah ampula-infundibulum).
Lapisan mukosa tuba Fallopii terdiri atas epitel sampai silindrik , yang memiliki bagian-bagian dengan serabut-serabut dan bagian yang ber-sekresi . Bagian yang ber-sekresi akan mengeluarkan getah atau lendir, sedang bagian yang berserabut (dengan getaran serabutnya) menimbulkan suatu arus aliran yang dapat membawa benda-benda yang ada pada tuba (yang sebelumnya telah terkena getah atau lendir dari bagian yang ber-sekresi) ini ke arah kavum uteri. Suplai darah tuba Fallopii didapat dari arteri ovarika melalui ligamentum infundibulopelvikum (lihat Lampiran 7,11).
Fungsi tuba Fallopii adalah sebagai: (a) saluran genitalia yang dapat menangkap dan menyalurkan sel ovum yang telah dilepas oleh ovarium ke dalam uterus, dan (b) tempat terjadinya proses pembuahan (fertilisasi atau konsepsi).

B.5. Ovarium.
Ovarium pada seorang wanita dewasa sebesar ibu jari tangan, terletak di kiri dan kanan, berada dekat pada dinding pelvis di fossa ovarika. Ovarium berhubungan dengan uterus melalui suatu jaringan ikat yang bernama ligamentum ovariui proprium. Pembuluh-pembuluh darah yang memperdarahi ovarium melalui suatu jaringan ikat yang bernama ligamentum suspensorium ovarii (ligamentum infundibulopelvikum).
Ovarium terletak pada lapisan belakang suatu jaringan ikat yang bernama ligamentum latum. Sebagian besar ovarium berada pada sisi intraperitoneal tubuh dan tidak dilapisi oleh (otot-otot) peritoneum. Bagian ovarium kecil berada di dalam ligamentum latum. Dari sinilah, masuklah pembuluh-pembuluh darah dan jaringan saraf ke ovarium. Suplai darah ovarium didapat dari arteri ovarika yang telah ber-anastomis menjadi ramus ascendens arteri uterina, melalui ligamentum infundibulopelvikum.
Menurut bentuk dan strukturnya ovarium terdiri dari 2 bagian yaitu bagian korteks, yang terdiri dari tunika albuguinea, jaringan ikat, folikel-folikel primordial dan folikel de Graaf (yang berisi sel ovum, stratum granulosum, sel-sel teka interna dan eksterna, diskus proligerus, dan liquor folikel), dan bagian medula , yang terdiri dari pembuluh-pembuluh darah, serabut saraf, dan beberapa jaringan otot polos (lihat Lampiran 7,8,11).
Bagian ovarium yang berada di dalam kavum peritoneum dilapisi oleh sel-sel epitel kuboid dan silindrik, yang dinamakan epithelium germinativum. Pada bagian bawah sel-sel epitel ini terdapat suatu jaringan ikat yang bernama tunika albuginea dan di bagian bawahnya lagi terdapat lapisan tempat folikel-folikel primordial. Pada tubuh wanita diperkirakan terdapat banyak sekali folikel yang dapat dihasilkannya. Setiap bulan satu folikel, terkadang 2 folikel, kemudian berkembang menjadi folikel de Graaf. Folikel-folikel ini merupakan bagian ovarium yang terpenting, dan dapat ditemukan di korteks ovarii dalam letak yang beraneka ragam, dan juga dalam tingkat-tingkat perkembangan dari satu sel ovum yang dikelilingi oleh satu lapisan sel-sel saja sampai folikel de Graaf yang matang. Folikel yang matang ini terisi dengan liquor folikuli yang mengandung hormon estrogen dan siap untuk melakukan ovulasi .
Pada waktu dilahirkan, seorang bayi wanita memiliki minimal 750 ribu oogonium. Jumlah ini berkurang akibat pertumbuhan dan degenerasi folikel-folikel. Pada umur 6-15 tahun ditemukan 439 ribu, pada umur 16-25 tahun terdapat 159 ribu, antara umur 26-35 tahun menurun sampai dengan 59 ribu, dan antara umur 34-45 tahun, hanya tertinggal 34 ribu lagi. Pada masa menopause semua sel folikel sudah hilang semua.
Fungsi ovarium adalah sebagai: (a) menghasilkan sel ovum (yang kemudian dapat berkembang menjadi folikel-folikel primer dan folokel de Graaf, lalu menimbulkan proses ovulasi, dan akhirnya terjadi perubahan bentuk dari folikel de Graaf yang telah berovulasi menjadi korpus luteum ovarium) selama masa reproduksi (masa subur), (b) menghasilkan hormon-hormon seks steroid (estrogen, progesteron dan androgen), (c) salah satu organ genitalia yang berperan langsung terhadap terjadinya siklus perdarahan haidh.

C. Mekanisme anti infeksi dan flora normal pada alat-alat genitalia tubuh wanita.
Pada wanita terdapat hubungan dari lingkungan luar dengan lingkungan dalam rongga perut melalui vulva, vagina, uterus dan tuba Fallopii. Untuk mencegah terjadinya infeksi dari lingkungan luar tubuh dan menjaga jangan sampai infeksi yang sudah masuk meluas di dalam tubuh, setiap alat genitalia tubuh wanita memiliki mekanisme pertahanannya masing-masing.
Vulva umumnya lebih resisten terhadap infeksi, sehingga luka-luka ringan yang terjadi lebih mudah sembuh, kecuali jika kemasukan kuman-kuman atau bakteri yang benar-benar kuat (patogen ). Penutupan vulva oleh labium mayus dan labium minus sedikit banyak memberikan perlindungan terhadap terjadinya infeksi di vulva.
Pada dinding vagina seorang wanita dewasa, adanya sel-sel epitel yang cukup tebal dan glikogen serta bacillus Doderleine yang memungkinkan terjadinya pembuatan asam laktat, sehingga terdapat reaksi asam dalam saluran vagina yang akan memperkuat daya tahan vagina terhadap terjadinya infeksi. Namun demikian, di dalam vagina juga terdapat beberapa mikroorganisme yang bersifat patogen potensial . Beberapa mikroorganisme patogen potensial tersebut adalah Trikomonas (golongan mikroorganisme parasit), Kandida, sp. (golongan mikroorganisme jamur), dan Gardnerella (golongan mikroorganisme parasit). Bermacam-macam kuman atau bakteri juga mudah masuk ke dalam vagina, baik kuman atau bakteri eksogen , endogen (yaitu kuman atau bakteri sebagai flora normal vagina yang telah berubah sifatnya), dan autogen. Di dalam saluran vagina terdapat banyak kuman atau bakteri lainnya yang bersifat a-patogen, di antaranya adalah bakteri Streptococcus anaerob, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, kuman/bakteri gram negatif, Streptococcus haemoliticus (aerobik) grup , Streptococcus haemoliticus aerobik non-grup , dan Clostridium welchii (jarang). Beberapa jenis bakteri dan parasit tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4. Flora normal vagina.
Flora Normal Vagina
Laktobasilus [Doderlein] 80-80 %
Stafilokokkus, mikrokokkus 50-70 %
Urea plasma 40-50%
Bakteri anaerob 20-50%
Streptokokkus 20-30%
Gardnerella 10-30%
E. Coli 5-15%
Candida sp. 5-15%
Bakteriodes 5-10%
Trikomonas 3-7%


Pada serviks uteri, kelenjar-kelenjar mengeluarkan lendir yang bersifat basa (alkalis) serta mudah mengental di bagian bawah salurannya, dan hal ini akan menyulitkan masuknya kuman atau bakteri ke dalam kavum uteri di atasnya. Jika terdapat infeksi di lapisan endometrium uteri, maka lapisan ini secara otomatis akan rontok, terlepas dari lapisan miometrium uteri, lalu sebagian besar lapisan endometrium uteri yang terinfeksi ini dikeluarkan melalui perdarahan haidh, sehingga akan mencegah dan membatasi meluasnya terjadinya infeksi dan peradangan di daerah uterus.
Getaran rambut getar pada dinding (mukosa) tuba Fallopii menyebabkan benda-benda asing (termasuk adanya kuman atau bakteri) dibawa atau dialirkan melalui arus getaran rambut getarnya ke arah uterus, yang selanjutnya dikeluarkan melalui serviks uteri dan vagina. Gerakan ini diperkuat dengan adanya gerakan peristaltik tuba Fallopii yang merupakan suatu sinergisme utama aktivitasnya untuk menghalangi dan mengeluarkan infeksi agar tidak meluas terus ke rongga perut.
Kuman-kuman atau bakteri dapat memasuki saluran alat-alat genitalia tubuh wanita dengan berbagai jalan. (1) Bersenggama (koitus), dapat menyebabkan sexual transmitted diseases (STD) , seperti beberapa penyakit kelamin karena bakteri (gonorrhea , sifilis, ulkus molle, granuloma inguinale dan limphogranuloma venereum), penyakit kelamin karena virus (acquired immune deficiency syndrome [AIDS], herpes genitalis), dan parasit atau jamur (trikomoniasis dan kandidiasis). (2) Terjadinya trauma atau benturan atau gesekan pada daerah vulva dan vagina, sebagai akibat dari terjadinya perlukaan, luka bakar, dan lain-lain, dapat juga memudahkan masuknya kuman-kuman atau bakteri (dapat berperan sebagi port d’entree ) dari lingkungan luar tubuh. (3) Melakukan pemeriksaan dan tindakan invasif terhadap alat-alat atau saluran genitalia tubuh wanita (terutama pada saat melakukan tindakan pertolongan persalinan atau kuretase dengan peralatan yang tidak suci hama (non-sterile) juga dapat menimbulkan infeksi alat-alat genitalia tubuh wanita.
Kemungkinan peningkatan terjadinya dan meluasnya infeksi pada saluran atau alat-alat genitalia tubuh wanita juga dapat disebabkan oleh: (1) terjadinya penurunan daya tahan tubuh secara umum, (2) adanya perlukaan yang luas di uterus (seperti: bekas tempat plasenta setelah melahirkan atau terjadinya proses abortus) atau perlukaan yang kecil pada serviks uteri, vagina dan vulva, (3) terbukanya hubungan yang sangat lebar antara kavum uteri dengan lingkungan luar tubuh, dan (4) penumpukan banyaknya bekuan-bekuan darah dari hasil perdarahan haidh atau pasca persalinan (nifas), dan sisa-sisa jaringan dari lapisan endometrium uteri atau plasenta yang telah terlepas dari dinding uterus, sehingga menjadikan sebagai suatu sarana yang paling baik untuk terjadinya pembiakan kuman-kuman atau bakteri di dalam saluran alat-alat genitalia tubuh wanita tersebut. Keseluruhan hal tersebut dapat menjadikan dan mengubah sifat kuman-kuman atau bakteri yang pada awalnya berperan sebagai flora normal (bersifat a-patogen) di dalam saluran vagina menjadi bakteri yang sangat berbahaya dan dapat menimbulkan infeksi pada saluran alat-alat genitalia lainnya (bersifat patogen potensial).
Kuman-kuman juga dapat menjalar dari alat-alat tubuh (non-genitalia) di lingkungan dalam tubuh sekitarnya yang sedang mengalami peradangan (di antaranya organ-organ dalam perut seperti usus buntu) dan dari infeksi lingkungan dalam tubuh yang agak jauh (seperti infeksi TBC pada paru-paru).

D. Sirkulasi pembuluh limfe pada alat-alat genitalia tubuh wanita.
Sirkulasi saluran limfe (saluran getah bening) berperan penting dalam hubungannya dengan penyaluran dan pembatasan penyebaran kuman atau bakteri (pencetus infeksi), tumor dan kanker (tumor ganas) ke kelenjar-kelenjar limfe (kelenjar getah bening) di daerah yang bersangkutan, untuk kemudian dapat dilemahkan, dinetralisir dan dihancurkan di tempat tersebut.






E. Persarafan pada alat-alat genitalia tubuh wanita.
Sistem persarafan alat-alat genitalia tubuh wanita pada umumnya adalah sistem persarafan otonom . Di samping itu masih ada sistem persarafan serebrospinal yang memberi inervasi (perangsangan aliran listrik) pada otot-otot dasar panggul.
Inervasi uterus sendiri terdiri terutama atas sistem persarafan simpatis, tetapi untuk sebagian juga atas sistem persarafan parasimpatis dan sistem persarafan serebrospinal. Bagian dari sistem persarafan parasimpatis berada di dalam panggul, di sebelah kiri dan kanan di depan tulang ekor (os. sacrum), yang berasal dari cabang persarafan sakral 2, 3, 4 (pada tulang ekor) dan kemudian memasuki pleksus Frankenhauser. Bagian jaras saraf dari sistem persarafan simpatis, masuk ke rongga panggul sebagai pleksus pra-sakralis (Cotte), melewati bagian depannya bifurkasio aortae dan promontorium, membagi 2 menjadi bagian kanan dan kiri, dan menuju ke bawah (ke pleksus Frankenhauser). Serabut-serabut saraf dari kedua sistem persarafan tersebut memberikan inervasi pada lapisan miometrium uteri dan endometrium uteri. Kedua-duanya mengandung unsur persarafan motorik dan sensorik, dan bekerja dengan sifat antagonistik . Serabut persarafan simpatis menimbulkan efek kontraksi dan vasokonstriksi , sedangkan serabut persarafan parasimpatis mencegah kontraksi atau menimbulkan relaksasi dan menimbulkan vasodilatasi. Jaras persarafan yang berasal dari jaras-jaras saraf torakal (Th-11 dan -12) mengandung sistem persarafan sensorik dari uterus dan dapat meneruskan perasaan sakit dari uterus ke pusat saraf (otak). Aliran listrik persarafan sensorik dari serviks uteri dan bagian atas vagina melalui jaras-jaras saraf sakral (S-2, 3, dan 4), sedangkan dari bagian bawah vagina melalui jaras-jaras saraf pudendus dan ileoinguinalis.

F. Endokrinologi alat-alat genitalia tubuh wanita.
Hormon endokrin alat-alat genitalia tubuh wanita.
Pencapaian keadaan normal pada aktivitas dan fungsi dari alat-alat genitalia tubuh wanita sangat dipengaruhi oleh adanya keseimbangan kerja dalam aktivitas endokrinologi pada tubuh wanita tersebut. Dalam hal ini, pada tubuh wanita telah dikenal adanya poros hormon endokrin reproduksi tubuh wanita yang mencakup susunan persarafan pusat (yang terdiri dari hipotalamus, hipofisis, dan pineal), sistem perifer dan organ atau alat-alat genitalia sebagi tempat sasaran dari hormon-hormon endokrin tubuhnya (yang terdiri dari ovarium dan lapisan endometrium uteri). Dalam aktivitas reproduksi pada tubuh wanita, selain poros hormon endokrin tubuh yang berkaitan erat dengan kelenjar gonad dan alat-alat genitalia, juga dikenal organ-organ hormon endokrin ekstragonad (yang terdiri dari timus, tiroid, kelenjar adrenal dan pankreas) yang sering kali dapat berpengaruh timbal balik (lihat lampiran 9).
Hormon adalah suatu penghantar (transmitter) kimiawi yang dilepaskan dari sel-sel khusus ke dalam aliran darah atau cairan tubuh lainnya dan selanjutnya dibawa ke sel-sel sasaran (responsive cells) tempat terjadinya khasiat dari hormon tersebut. Keadaan tersebut sesungguhnya begitu rumit dan banyak sel (temasuk organisme uniseluler) dapat menghasilkan beraneka ragam hormon. Pada umumnya, hormon-hormon endokrin terdiri dari senyawa-senyawa polipeptida (protein sederhana) dan glikoprotein. Hormon-hormon tersebut bekerja dengan cara berikatan pada reseptor spesifik dalam membran sel (pada permukaan sel-sel sasarannya). Hormon-hormon tidak memasuki sel-sel melainkan merangsang aktivitas intrasel dengan beraneka ragam mekanisme. Hormon-hormon polipeptida dan glikoprotein pada umumnya merangsang sistem adenil siklase, menyebabkan perubahan senyawa adenosin-5’ trifosfat menjadi utusan kedua (second messenger) yaitu senyawa adenosin 3’5’-monofosfat, yang kemudian mengaktifkan produksi hormon-hormon yang sesuai.

 Hormon endokrin susunan saraf pusat.
1. Hormon-hormon pada hipotalamus dan hipofisis.
1.A. Hipotalamus.
Hipotalamus merupakan suatu daerah (regio) kecil yang terletak di dasar otak besar, berada tepat di atas belakang kiasma optikum) dan berdampingan dengan bagian depan dari ventrikel ketiga. Hipotalamus terdiri dari bagian tengah dan tepi. Pada bagian tengah hipotalamus terbagi lagi menjadi beberapa daerah yang lebih kecil, yaitu (1) kelompok daerah bagian depan hipotalamus meliputi inti-inti pra-optik, paraventrikuler, supra-optik dan hipotalamus bagian depan, (2) kelompok daerah tuberum hipotalamus meliputi inti-inti sel hipotalamus bagian depan tengah (ventromedial), belakang tengah (dorsomedial), tuberum sisi luar (lateral) dan arkuatus, dan (3) kelompok daerah bagian belakang hipotalamus meliputi inti-inti sel hipotalamus belakang, mamilaris, supra-mamilaris dan tuberomamilaris. Kebanyakan neuron-neuron yang menghasilkan hormon-hormon hipotalamus terletak di daerah tuberum hipotalamus. Daerah hipotalamus bagian lateral mengandung neuron-neuron yang menghubungkan bagian otak besar lainnya dengan inti-inti sel hipotalamus bagian tengah (lihat lampiran 9 dan 10).
Neuron merupakan kesatuan suatu sel saraf yang ter-differensiasi dan terdiri dari badan sel saraf yang berinti, akson dan sejumlah dendrit . Komunikasi pada suatu sinaps terjadi karena lepasnya penghantar kimiawi (neurotransmitter) yang ditimbun di dalam kantung-kantung (vesikel) pada akson-akson pra-sinaps. Beberapa neurotransmitter (seperti: katekolamine, asetilkoline, serotonine dan asam amino butirat gamma [GABA]) dihasilkan di ujung-ujung sel saraf, sedangkan neurotransmitter lainnya dihasilkan di dalam badan sel saraf.
Beberapa hormon dihasilkan dan disekresi dari kelenjar gonadotorin hipotalamus langsung dari ujung akson yang terdapat dalam daerah eminensia mediana hipotalamus ke dalam pembuluh-pembuluh darah kapiler hipotalamus, kemudian dialirkan ke dalam pembuluh-pembuluh darah portal yang selanjutnya hormon-hormon gonadotropin tersebut masuk ke badan depan (lobus anterior) hipofisis. Dua pusat utama yang terdapat pada hipotalamus, yaitu pusat tonik dan pusat siklik, sangat berperan dalam pembentukan dan pengeluaran hormon dari kelenjar gonadotropin hipotalamus tersebut. Pusat tonik hipotalamus yang terletak di bagian bawah hipotalamus (terutama di daerah nukleus arkuatus hipotalamus dan nukleus ventromedial) bertanggung jawab dalam pengeluaran hormon LHRH (luteinizing hormone releasing hormone) selama fase folikuler dan fase luteal pada siklus perdarahan haidh. Pusat siklik hipotalamus yang terletak di bagian pra-optik dan supra-kiasma hipotalamus bertanggung jawab dalam mengatur irama dan kekuatan impuls hormon LHRH selama ovarium ber-ovulasi (lihat lampiran 9,10).

Hormon-hormon Hipotalamus.
Hormon LHRH (luteinizing hormone releasing hormone).
Hormon LHRH merupakan dekapeptida (senyawa protein sederhana) dan hormon yang dihasilkan dari hipotalamus yang bersifat hipofisiotrop. Hormon ini dihasilkan di daerah perikaryon dari neuron-neuron hipotalamus, terutama di daerah nukleus arkuatus hipotalamus. Khasiat biologi dari hormon LHRH ini adalah dapat memicu pembentukkan maupun pengeluaran kedua jenis hormon turunan dari kelenjar gonadotropin hipotalamus di badan depan hipofisis (adenohipofisis), yaitu hormon LH (luteinizing hormone) dan FSH (folickle stimulating hormone).
Kegiatan pengeluaran dan pembuangan hormon LHRH diatur oleh neurotransmitter, khususnya dopamin, serotonine, melatonine, nor-adrenaline dan adrenaline, melalui perubahan elektrik (listrik saraf tubuh) pada membran potensial dari sel-sel saraf yang mengandung hormon LHRH. Dari semua neurotransmitter tersebut tampaknya nor-adrenaline paling berperan dalam pengeluaran hormon LHRH ini, karena zat ini merangsang neuron hormon LHRH yang berada baik di pusat tonik maupun pusat siklik hipotalamus. Sebaliknya, dopamin, serotonine dan melatonine dapat menghambat pengeluaran hormon LHRH tersebut.
Hormon LHRH ini terikat pada reseptor-reseptor spesifik pada gonadotrof di badan depan hipofisis dan merangsang produksi dan pengeluaran hormon-hormon LH dan FSH. Waktu paruh hormon LHRH hanya beberapa menit. Pemberian hormon LHRH pada awalnya akan menyebabkan perangsangan kelenjar gonadotropin hipotalamus dan kemudian akan menyebabkan pengurangan pengeluaran hormon dari kelenjar gonadotropin tersebut dikarenakan terjadinya mekanisme pengaturan-turun (negative feed back mechanism). Temuan ini telah diterapkan secara klinis-medis untuk membantu memicu terjadinya ovulasi pada wanita yang anovulatorik dengan pemberian hormon LHRH melalui sistem pompa, dan juga dapat digunakan untuk membantu menekan fungsi ovariumnya.

Hormon TRH (thyrotropin releasing hormone).
Hormon TRH merupakan tripeptida (senyawa protein sederhana) yang dihasilkan di hipotalamus dan di bagian-bagian lain di otak, dan juga dikeluarkan ke dalam pembuluh-pembuluh darah portal . Hormon TRH ini bekerja pada sel-sel badan depan hipofisis untuk merangsang produksi hormon-hormon tiroid (thyroid stimulating hormone [TSH]) dan prolaktine (PRL). Hormon TRH telah dipakai dalam bidang klinis medis untuk menyelidiki fungsi hipofisis dan fungsi tiroid.

Hormon CRH (corticotropin releasing hormone).
Hormon CRH memiliki badan-badan sel dari neuron-neuron yang terletak di daerah inti paraventrikuler hipotalamus dan akson-aksonnya berakhir pada daerah eminensia mediana hipotalamus. Hormon CRH berfungsi sebagai perangsang produksi dan pengeluaran hormon ACTH (adeno cortico-trophic hormone) dan zat endorfin oleh badan depan hipofisis, dan dapat menghambat pengeluaran dari hormon LHRH.

Hormon GHIH/GHRH (growth hormone inhibiting hormone / growth hormone releasing hormone).
Produksi hormon pertumbuhan (growth hormone [GH]) secara tonis ditekan oleh hormon somatostatin (hormon dari badan tengah [lobus media] hipofisis) dan pengeluarannya (secara episodik) dirangsang oleh hormon GHRH. Hormon-hormon somatostatin dan GHRH dihasilkan di daerah nukleus arkuatus dan juga di bagian-bagian tubuh lainnya.

1.B. Hipofisis.
Ukuran hipofisis bergaris tengah sekitar 1 cm, beratnya sekitar 500 mg. Kelenjar hipofisis ini terletak di fossa hipofisis (sela tursica) tulang sfenoid kepala, dan dihubungkan dengan hipotalamus oleh tangkai hipofisis. Adenohipofisis (badan depan hipofisis) dan neurohipofisis (badan belakang hipofisis) secara embriologis dibentuk dari jaringan yang berbeda.

Hormon-hormon adenohipofisis .
Aktivitas hormon-hormon adenohipofisis dikendalikan oleh zat-zat yang dilepaskan dari hipotalamus ke dalam pembuluh-pembuluh darah portal, yang membentuk pasok darah utama bagi badan depan hipofisis. Sejauh ini telah dikenal 5 hormon peptida hipotalamus, yang mempengaruhi fungsi badan depan hipofisis, yaitu hormon-hormon LHRH, TRH, CRH, somatostatine dan GHRH.
Menurut susunannya terdapat 3 kelompok hormon-hormon pada hipofisis, yang meliputi kelompok: (1) hormon glikoprotein, yang meliputi hormon-hormon FSH, LH, dan TSH, (2) hormon-hormon GH dan PRL, dan (3) hormon-hormon yang berasal dari sebagian badan tengah (lobus media) hipofisis, yang meliputi hormon-hormon ACTH, -endorfin, dan -MSH . Konsentrasi tertinggi dimiliki oleh hormon GH.
Hormon gonadotropin hipofisis merupakan protein yang besar, terdiri dari rantai-rantai  dan , dan larut sangat baik dalam air. Hormon-hormon glikoprotein (yaitu: FSH, LH dan TSH) terdiri dari 2 subunit polipeptida (yang disebut subunit  dan ). Subunit  nya sangat mirip pada setiap hormon glikoprotein tersebut dan subunit dari gonadotropin khorionik manusia (hCG ). Dari keempat hormon ini hanya LH dan hCG yang secara struktural dan imunologis paling mirip, dan hormon hCG dapat dipakai untuk memicu terjadinya ovulasi (mengganti peran dari hormon LH).
Gonadotrop hipofisis adalah sel-sel yang menghasilkan kedua hormon glikoprotein LH dan FSH. Sel-sel gonadotrop hipofisis ini ditemukan di daerah pars distalis badan adenohipofisis bersama sel-sel lain. Selama siklus perdarahan haidh, frekuensi pengeluaran hormon LH bioaktif dan imunoaktif (ke dalam darah dan tubuh) dari denyutan hormon LHRH hipotalamus cukup beragam, dari sekitar 0,44 denyutan/jam pada fase folikuler dini siklusnya dapat meningkat menjadi 1,22 denyutan/jam selama fase pra-ovulasi siklusnya dan kemudian merosot menjadi 0,25 denyutan/jam pada fase luteal lanjut siklus haidh-nya. Perubahan amplitudo dan frekuensi denyutan selama siklus haidh ini berhubungan dengan perubahan kadar atau konsentrasi hormon-hormon estrogen dan progesteron di ovarium. Tampaknya hormon-hormon estrogen dan progesteron memiliki khasiat untuk melawan frekuensi denyutan hormon LH tersebut tetapi berkhasiat juga untuk mendukung terjadinya kepekaan pada hipofisisnya. Umpan balik positif hormon estrogen pada fase folikuler lanjut siklus haidh juga diperkuat oleh hormon progesteron. Kedua hormon ini juga berperan sebagai kontrol banding dan kerja inhibisi (negative feed back mechanism) dari aktivitas hormon-hormon LH dan FSH.

Hormon glikoprotein perangsang folikel (FSH ).
Hormon FSH merupakan suatu glikoprotein yang terhadap organ ovarium bertanggung jawab hanya dalam pematangan folikel-folikel ovarium sampai pada tahap folikel tersier saja. Di samping itu, hormon FSH juga ikut memicu pembentukan hormon-hormon seks steroid di ovarium (di antaranya: hormon-hormon estrogen dan progesteron).
Khasiat hormon-hormon FSH dan LH tidak dapat dilihat secara terpisah, melainkan secara menyeluruh. Hormon LH tidak dapat bekerja di ovarium apabila hormon FSH tidak mempersiapkan terlebih dulu reseptor-reseptor untuk terjadinya aktivitas dari hormon LH. Hal ini menunjukkan bahwa hormon-hormon FSH dan LH berkhasiat dalam: (1) pematangan folikel ovarium, (2) terjadinya proses ovulasi di ovarium, (3) pembentukan korpus luteum, dan (4) pembentukan hormon-hormon seks steroid tubuh wanita.

Hormon glikoprotein luteinisasi (LH ).
Hormon LH juga merupakan glikoprotein yang berfungsi untuk menbentuk hormon seks steroid di ovarium (hormon-hormon progesteron, estrogen, dan androgen). Pembentukkan hormon-hormon seks steroid pada tubuh wanita dimulai dengan pembentukkan hormon androstendion (yang paling banyak dipakai sebagai cikal bakal pembentukan hormon estrogen) di sel-sel teka interna yang ada di dalam ovarium. Di bawah pengaruh hormon LH, hormon androstendion dimetabolisasi di dalam sel-sel teka interna tersebut, sedangkan hormon androgen lainnya masuk ke sel-sel granulosa ovariumnya. Di sisi lain, hormon FSH merangsang terjadinya aromatisasi dalam metabolisme ini, sehingga zalir (cairan) yang berada di dalam folikel-folikel ovariumnya cukup mengandung hormon estradiol . Pada di sisi lain, estradiol ini terlihat merangsang sintesis reseptor hormon FSH di dalam sel-sel granulosa ovarium, tetapi di sisi yang lain estradiol dan FSH tersebut bekerja sinergistik dalam mempengaruhi proliferasi dan biosintesis (pembentukan secara biologis) dari sel-sel granulosa ovariumnya sendiri.
Pembentukan reseptor-reseptor hormon LH di lapisan sel-sel granulosa ovarium baru akan dimulai apabila terjadi peningkatan konsentrasi hormon gonadotropin pra-ovulasi sehingga meski belum terjadi proses ovulasi di ovarium, hormon LH dapat ditemukan dalam kadar yang besar di dalam sel-sel granulosa dan cairan folikel-folikel ovariumnya. Dengan demikian pada fase ini meletakkan dasar awal bagi kinerja korpus luteum ovarium nantinya selama terjadinya fase luteal siklus haidh, dan juga berperan sebagai perencana kelangsungan hidup dan kinerja korpus luteum ovarium yang sudah dimulai pada fase ini.
Sebelum terjadinya proses ovulasi, di dalam sel-sel granulosa ovarium terjadi perubahan sintesis hormon-hormon seks steroid dari hormon estrogen menjadi hormon progesteron. Diduga hormon progesteron ikut berperan dalam proses pecahnya folikel-folikel sampai terjadinya ovulasi di ovarium. Kemudian berkat meningkatnya vaskularisasi pada lapisan granulosa ovarium maka kadar hormon progesteronpun meningkat di dalam serum .
Puncak kadar hormon LH yang terbentuk di dalam serum menyebabkan konsentrasi hormon LH yang terkandung di dalam folikel-folikel ovarium mencapai puncaknya pula sehingga terjadinya proliferasi dari sel-sel granulosa ovarium. Hal ini menyebabkan berkurangnya sinstesis hormon estrogen di ovarium, sementara pembentukan hormon androgen dan progesteron ovarium mengalami peningkatan. Kejadian ini kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya reseptor-reseptor hormon FSH dan bertambahnya reseptor-reseptor hormon LH di ovarium.
Pada fase masa pra-ovulasi (akhir fase folikuler) siklus haidh, hormon FSH sangat berperan terhadap pembentukan reseptor-reseptor hormon LH. Setelah terjadinya proses ovulasi di ovarium, sel-sel granulosa ovarium akan berubah menjadi sel-sel luteal ovarium dan sisa-sisa dari folikel de Graff akan berubah menjadi korpus luteum. Proses perubahan ini sangat tergantung pada jumlah reseptor hormon LH-nya, di mana reseptor-reseptornya akan mencapai jumlah maksimum pada hari ke-22 hingga ke-23 siklus haidh (pada fase luteal). Selain itu kemampuan korpus luteum ovarium dalam mengeluarkan hormon progesteron selama fase luteal siklus haidh bergantung pada kadar hormon LH-nya. Kemudian setelah terjadinya perdarahan haidh, reseptor hormon LH akan lenyap seluruhnya dari korpus luteum ovarium.

Hormon glikoprotein perangsang tiroid (thyroid stimulating hormone [TSH]).
Hormon TSH merupakan juga hormon glikoprotein dengan subunit -nya yang sangat mirip dengan yang ada pada hormon-hormon LH, FSH dan hCG. Sekresi (pengeluaran)-nya dirangsang oleh hormon TRH di hipotalamus. Hormon TSH merangsang pembentukkan hormon-hormon tiroid (yaitu hormon Tri-iodotironin [T3], Tiroksin [T4]).

Hormon pertumbuhan (GH).
Hormon GH menurut susunannya berkaitan dengan hormon PRL dan (terutama dengan) hormon plasenta manusia (human placental lactogen [hPL]). Pembentukkan hormon GH dikendalikan oleh hormon-hormon somatostatin dan GHRH di hipotalamus.

Hormon ACTH [adeno cortico-trophic hormone], -endorfin, dan -MSH (melanocyte stimulating hormone).
Hormon-hormon ini berasal dari pro-hormon Pro-Opiomelanokortin, yang kadar/konsentrasi tertingginya berada di dalam kelenjar hipofisis (terutama badan tengah hipofisis), tetapi juga ditemukan di hipotalamus dan bagian-bagian lain dari otak (serebrum) dan tubuh.

Hormon prolaktin (PRL).
Hormon PRL dihasilkan oleh sel laktotrof, yang mencakup 20% dari populasi sel-sel kelenjar hipofisis dan tersebar di sisi lateral-nya. Hormon PRL ini dijumpai dalam plasma tubuh wanita, seperti pada amnion , air susu, sel lekosit, getah serviks uteri, dan cairan serebrospinal. Pengeluaran hormon PRL diperlukan juga faktor pelepas (yang dinamakan prolacting releasing factor [PRF]) dan faktor penghambatnya (yang dinamakan prolacting inhibiting factor [PIF]). Terjadinya peningkatan kadar hormon (kortiko)-steroid tubuh pada masa kehamilan akan menekan pengeluaran PIF dari hipotalamus sehingga secara otomatis pengeluaran hormon PRL akan mengalami peningkatan.
Hormon PRL merupakan hormon yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia sehingga memungkinkannya dapat menyusui anaknya. Bersama dengan hormon-hormon lainnya, selain hormon PRL (di antaranya hormon-hormon estrogen, oksitosin, gestagen dan hormon-hormon anabolik lainnya), hormon PRL akan membantu memicu pertumbuhan sel-sel kelenjar susu payudara. Hormon PRL ini juga berguna untuk merangsang terjadinya proses galaktopoeisis (proses pembentukan dan pengeluaran air susu). Rangsangan alami (secara fisiologis) yang menghasilkan hormon PRL pada tubuh wanita adalah rangsangan isap bayi ketika menyusui dan rangsangan taktil pada puting susu payudara (melalui timbulnya refleks pengeluaran hormon-hormon neuroendokrin tubuh yang dapat menyebabkan pengeluaran hormon PRL).
Kadar hormon PRL yang sangat tinggi dalam tubuh wanita, akan mengakibatkan reaksi umpan balik negatif (negatif feed back mechanism) terhadap hipotalamus, sehingga terbentuklah dopamin dalam kadar yang sangat besar kemudian dopamin ini akan menghambat pelepasan hormon-hormon GHRH dan PRL, yang secara otomatis akan menurunkan kadar LH dan FSH dalam serum (darah) dan selanjutnya juga akan menurunkan kadar hormon-hormon estrogen dan progesteron di ovarium.

Hormon-hormon neurohipofisis.
Hormon-hormon neurohipofisis (yaitu hormon-hormon oksitosin dan vasopresin [ADH]) dibentuk dari pro-hormon, berupa senyawa non-peptide, yang berbeda hanya pada 2 dari residu sembilan asam aminonya. Hormon-hormon itu disekresikan turun di sepanjang akson-akson dari neuron-neuronnya, yang badan sel sarafnya terletak di daerah nukleus supra-optik dan paraventrikularis. Dalam perjalanannya, hormon-hormon tersebut terikat pada protein pembawa (Neurofisin I dan II). Hormon-hormon oksitosin dan ADH disekresikan lebih langsung ke dalam pembuluh-pembuluh darah portal daripada ke dalam pembuluh-pembuluh darah perifer tubuh. Hormon-hormon oksitosin dan ADH juga ditemukan dalam konsentrasi tinggi di dalam ovarium.
Dalam persalinan, hormon oksitosin merangsang kontraksi lapisan miometrium uteri. Hormon ini juga menghasilkan pengeluaran air susu melalui pengadaan kontraksi sel-sel mioepitel di kelenjar payudara sebagai respons terhadap pengisapan puting susu yang dilakukan si bayi, yang kemudian terjadilah refleks neurogenik (aliran listrik saraf) yang dihantarkan ke hipotalamus melalui serabut-serabut saraf di medula spinalis (daerah tulang belakang).
Fungsi utama hormon ADH adalah mengendalikan konsentrasi (osmolaritas) dan volume plasma (darah) melalui aktivitasnya sebagai hormon antidiuretik. Hormon ADH juga merupakan suatu zat vasokonstriktor yang kuat dan membantu memelihara tekanan darah selama terjadi proses perdarahan.

2. Hormon pada kelenjar pineal.
Kelenjar pineal merupakan suatu kelenjar kecil yang terletak di bagian belakang hipotalamus. Peran kelenjar pineal pada manusia terlihat dari peran siklus keadaan terang-gelap (foto-periodik) pada kehidupan alami manusia. Hormon dan zat-zat endokrin yang dihasilkan oleh kelenjar pineal adalah hormon Melatonin (aMT), 5-metoksi-triptofol dan asam-5-metoksi-indol-asetat.

Hormon Melatonin (aMT).
Pembentukan hormon.
Hormon aMT adalah hormon peptida dan merupakan produk utama dari hormon kelenjar pineal yang paling aktif. Kemampuan biosintesis kelenjar pineal dalam membuat hormon aMT mengikuti irama sirkadian, yang dapat diaktifkan oleh keadaan gelap dan dapt dihambat oleh adanya cahaya. Siklus terang-gelap akan menyebabkan fluktuasi aktivitas beberapa enzim di dalam kelenjar pineal yang turut berperan dalam sintesis hormon aMT.

Fungsi.
Hormon aMT dan kelenjar pineal ikut berperan dalam penyesuaian fungsi reproduksi (beranak). Hormon aMT bersifat hipnotik dan dapat mengubah aktivitas gerak tubuh, jika diberikan secara menahun (kronis) dengan dosis rendah pada sore hari. Pada saat ini, hormon aMT dianggap sebagai suatu molekul utusan (messenger) yang penting, walau mekanisme kerjanya yang pasti belum seluruhnya diketahui. Hormon aMT diduga dapat mengatur siklus reproduksi tahunan sehingga gambaran kadar hormon aMT dalam plasma (darah) selama 24 jam selalu berubah nyata mengikuti perubahan musimnya.

Khasiat pro-gonad dan anti-gonad.
Hormon aMT dapat menimbulkan khasiat ganda terhadap poros hipotalamus-hipofisis-kelenjar gonad pada keadaan foto-periodik yang berlawanan (disebut sebagai anti-gonadotropik [menghambat aksi hormon gonadotropin hipofisis]), yang artinya pada keadaan normal (fisiologis) tubuh selama kurun waktu tertentu dalam setahun hormon aMT berfungsi merangsang, sementara pada waktu lain berfungsi menghambat aktivitas alat genitalia, terutama pada ovarium. Hormon aMT bersifat anti hormon LH karena mempengaruhi pengeluaran hormon LH dari poros hipotalamus-hipofisis-kelenjar gonad melalui penghambatan pusat tonik di hipotalamus serta proses sintesis dan/ sekresinya di hipofisis.

Hubungan hormon Melatonin (aMT) dengan hormon seks steroid (estrogen atau progesteron).
Dari suatu studi menunjukkan bahwa estradiol (estrogen) berperan dalam pengurangan sebagian efek penghambatan dari adanya cahaya terhadap hormon aMT. Pemberian hormon estrogen juga akan membuat peka (sensitif) sistem alat-alat genitalia terhadap hormon aMT, yang di antaranya dapat bermanifestasi berupa terjadinya kegagalan ovulasi, ovarium tidak memiliki korpus luteum tetapi memiliki banyak folikel vesikuler yang besar dan kornifikasi vagina yang persisten (menetap). Dalam hal ini pemberian hormon aMT harian juga dapat memicu terjadinya proses ovulasi. Namun demikian pemberian harian hormon aMT juga dapat menghasilkan perubahan sistem reproduksi (berupa penghambatan aktivitas kelenjar gonad pada sistem genitalia interna) secara ringan.

 Hormon endokrin sistem perifer dan alat-alat genitalia tubuh wanita.
Pembentukkan hormon di ovarium.
Ovarium membentuk hormon-hormon seks steroid yaitu estrogen, progesteron dan sedikit androgen. Pembentukkan hormon seks steroid ovarium terjadi melalui beberapa tahab pembakalnya (sesuai dengan organ yang ada di dalam ovariumnya). Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5. Gambaran skematis pembentukkan hormon seks steroid di dalam ovarium.

Folikel ovarium
Korpus luteum ovarium Stroma ovarium

Hormon Hormon Hormon
Hormon estrogen: Hormon estrogen: Hormon androgen:
Estradiol. Estradiol Testosteron
Estron Estron
Estriol.
Hormon Progesteron: Hormon progesteron:
17--OH-Progesteron 17--OH-Progesteron
20--OH-Progesteron 22--OH-Progesteron
Hormon androgen:
Dehidroepiandrosteron

Secara enzimatik sebenarnya tidak ada perbedaan antara ovarium dengan organ lain dalam hal pembentukan hormon steroid. Perbedaannya hanyalah bahwa proses yang terjadi pada ovarium berada di bawah kendali dari sistem hipotalamus-hipofisis.

1. Hormon-hormon yang dihasilkan di ovarium.
Hormon Estrogen.
Hormon estrogen alami yang terpenting adalah estradiol (E2), estron (E1) dan estriol (E3). Secara biologis hormon estradiol (E2) adalah yang paling aktif dari ketiga jenis hormon estrogen tersebut. Selain di ovarium, hormon estrogen juga disintesis di ginjal, plasenta, testis, jaringan lemak (adiposa) dan susunan saraf pusat (otak). Pada organ-organ sasaran tubuh seperti uterus, vagina, serviks uteri, payudara, hipotalamus dan hipofisis, hormon estrogen diikat oleh reseptor selnya dan kemudian diangkut ke dalam inti selnya. Khasiat biologis utama hormon estrogen adalah sebagai perangsang pembentukkan DNA melalui RNA, dan pembentuk utusan RNA (RNA-messenger), sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan pembentukkan protein di dalam sel-sel sasaran tubuh dari hormon estrogennya.
Estradiol berfungsi sebagai pemicu proliferasi lapisan endometrium uteri dan memperkuat kontraksi lapisan miometrium uteri-nya. Produksi estradiol yang meningkat pada fase folikuler siklus haidh akan meningkatkan pengeluaran getah serviks uteri dan mengubah konsentrasi getah serviks uteri tersebut pada saat terjadinya ovulasi di ovarium menjadi lebih encer dan bening, sehingga memudahkan penyesuaian, memperlancar (jalan) masuknya sel sperma dan meningkatkan kelangsungan hidup sel spermanya.
Peran lain estradiol di ovarium adalah memicu sintesis hormon-hormon seks pada reseptor-reseptornya, selain reseptor penghasil hormon FSH (di dalam sel-sel granulosa ovariumnya) dan memicu sintesis hormon LH pada reseptornya (di sel-sel teka ovariumnya). Selain itu estradiol juga mengatur kecepatan pengeluaran ovum (sel telur) dan mempersiapkan sel sperma dalam alat genitalia tubuh wanita agar dapat menembus selubung sel ovumnya.
Estradiol juga menyebabkan perubahan selaput vagina, meningkatkan produksi getah vagina dan meningkatkan kadar atau konsentrasi glikogen dalam vagina, sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan produksi asam laktat oleh bakteri-bakteri flora normal vagina (basil Doderlein, dan lain-lain), menurunkan nilai pH (meningkatkan derajat keasaman di dalam vagina), dan kemudian akan memperkecil terjadinya infeksi di dalam vagina.

Hormon Progesteron.
Hormon progesteron merupakan hormon seks steroid yang dibentuk terutama di dalam folikel-folikel ovarium dan plasenta. Hormon progesteron alami yang terpenting adalah pregnandiol. Hormon progesteron juga dihasilkan di ginjal. Selama fase folikuler siklus haidh, kadar hormon progesteron yang terkandung dalam plasma (darah) adalah sekitar 1 ng/ml, sedangkan pada fase luteal siklus haidh-nya adalah sekitar 10-20 ng/ml.
Khasiat biologis umum hormon progesteron adalah sebagai pendukung utama terjadinya konsepsi dan implantasi atau nidasi (apabila terjadi kehamilan), yang dapat terjadi karena sebelumnya telah dipengaruhi oleh adanya aktivitas estradiol (karena estradiol mensintesis reseptor untuk pengeluaran hormon progesteron).
Selain itu hormon progesteron dapat menyebabkan perubahan sekretorik (proses pengeluaran getah) pada lapisan endometrium uteri. Perubahan ini secara normal mencapai puncaknya pada hari ke-22 siklus haidh-nya. Peningkatan pengaruh hormon progesteron yang lebih lama akan menyebabkan penyusutan (degenerasi) dari lapisan endometrium uteri, sehingga tidak memungkinkan terjadinya proses implantasi (nidasi) dari hasil konsepsi di dinding uterusnya.
Pengaruh hormon progesteron selama fase luteal siklus haidh adalah dapat menurunkan kadar getah serviks uteri dan membentuk jala-jala tebal di uterus, sehingga akan menjadikan penghambat (jalan) masuknya sel sperma ke dalam uterus. Bersamaan dengan hal ini juga, hormon progesteron akan mempersempit daerah porsio dan serviks uteri, mengentalkan getah serviks uteri, dan menghilangkan daya membenang yang dihasilkan oleh estradiol sebelumnya.
Hormon progesteron juga dapat menurunkan tonus (daya menegang otot/jaringan) lapisan miometrium uteri, sehingga akan memperlambat aktivitas kontraksi dari uterusnya. Efek lainnya dari hormon progesteron adalah dapat mempengaruhi pusat pengaturan panas tubuh (body thermostat) di hipotalamus sehingga segera setelah terjadinya ovulasi suhu basal tubuh akan mengalami peningkatan (dinamakan efek termogenik progesteron).

2. Hormon-hormon yang dihasilkan di lapisan endometrium uteri.
Pada usia reproduksi dan dalam keadaan tidak hamil pada tubuh wanita, lapisan endometrium uteri mengalami berbagai perubahan siklik yang berkaitan dengan aktivitas ovarium. Lapisan endometrium terdiri dari 2 lapisan, yaitu lapisan basal dan lapisan fungsional. Hormon estrogen akan mempengaruhi lapisan fungsional endometrium uteri untuk berproliferasi, sementara hormon-hormon estrogen dan progesteron akan mempengaruhi lapisan endometrium uteri untuk bersekresi. Pada saat terjadi proses-proses konsepsi atau fertilisasi dan implantasi atau nidasi, maka dari lapisan endometrium uteri ini akan dibentuk lapisan desidua uteri-plasenta, dan bila tidak terjadi proses-proses tersebut, maka akan timbul perdarahan haidh kembali.

 Pengaruh hormon-hormon seks steroid terhadap sistem hipotalamus-hipofisis.
Pada saat terjadinya perubahan selama fase folikuler dan fase luteal siklus haidh, hormon-hormon estrogen dan progesteron masing-masing mencapai kadar 20-70 ng/ml di dalam plasma (darah) dan pengeluaran hormon LHRH dari hipotalamus mulai terhambat. Selain itu, hormon-hormon estrogen dan progesteron sendiri secara langsung akan melakukan penghambatan terhadap badan depan hipofisis yang hambatannya tergantung dari konsentrasi dan lamanya pengaruh kedua hormon tersebut terhadap badan depan hipofisisnya. Kemudian melalui mekanisme ini secara otomatis kedua hormon seks steroid (estrogen dan progesteron) akan menurunkan pengeluaran hormon-hormon LH dan FSH, sehingga sintesis dan sekresinya akan berkurang pula. Peristiwa ini disebut sebagai peristiwa umpan balik negatif (negative feed back mechanism) dari hormon-hormon estrogen dan progesteron.
Di samping itu, terjadi juga proses penghambatan terhadap hormon LHRH di hipotalamus oleh hormon-hormon gonadotropin yang disekresi di badan depan hipofisis. Meskipun dikendalikan oleh hormon pelepas yang sama, tetapi selama satu siklus, pengeluaran hormon-hormon LH dan FSH ternyata tidak selalu konstan. Hal ini dapat terjadi karena adanya pengaruh zat inhibin yang terbentuk selama masa pematangan folikel-folikel di ovarium. Zat inhibin inilah yang secara selektif dapat menghambat pengeluaran hormon FSH dari badan depan hipofisis. Jadi pengeluaran hormon gonadotrof hipofisis diatur oleh 2 jenis mekanisme yang berlainan. Pengeluaran hormon-hormon LH dan FSH pada fase folikuler siklus haidh yang relatif konstan berada di bawah pengaruh atau kontrol dari hormon-hormon estrogen dan progesteron. Tetapi apabila folikel-folikel yang telah matang mendekati masa terjadinya proses ovulasi (akhir fase folikuler) di dalam ovarium, maka akan terjadi perubahan penting yaitu terjadinya peningkatan secara perlahan-lahan konsentrasi hormon estrogen, yang kemudian tiba-tiba dapat melonjak konsentrasinya pada hari ke-14 siklus haidh-nya (biasanya terjadi sekitar 16-20 jam sebelum pecahnya folikel), dan mengakibatkan pengeluaran hormon LH di badan depan hipofisis serta perangsangan peningkatan kadar hormon progesteron. Pengeluaran hormon LH secara mendadak ini juga akan menimbulkan berbagai proses lain yang mengikutinya di dalam ovarium.




Bab III.
PERDARAHAN HAIDH, NIFAS, dan ISTIADHOH
DITINJAU SECARA SYAR’IAT ISLAM dan MEDIS


Redaksi Bahasa Arab: - A’udzubillaahiminasy syaithoonir rojiimi ... , (Huruf Arab).
- ... (QS. Al-Baqoroh: 222), (Huruf Arab).
“Mereka bertanya kepadamu mengenai haidh. Katakanlah, haidh itu adalah suatu kotoran, oleh karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci, Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Alloh kepadamu, sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bertaubat lagi mensucikan diri” (QS. Al-Baqoroh: 222).

Penjelasan ayat (dari hadits shohih yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ):

1 (Asbabun Nuzul; 65).

Asbabun nuzul ayat ini secara ringkas adalah diawali dengan adanya beberapa pertanyaan dari sahabat Nabi Muhammad  seputar haidh sehubungan dengan adanya fakta bahwa di kalangan kaum (orang-orang) yahudi, apabila ada seorang wanita dari kaumnya yang sedang mengalami haidh, maka mereka (para orang lelaki dari kaum yahudi tersebut) tidak mau dan melarang makan (atau berkumpul) bersama dengannya, sehingga Alloh  menurunkan firman-Nya (QS. Al-Baqoroh: 222) ini, dan kemudian Rosululloh  bersabda: “Lakukanlah segala sesuatu (dengan istrimu yang sedang “haidh”), kecuali nikah (bersetubuh)”. Ketika (apa yang disabdakan Rosululloh  tersebut) sampai beritanya kepada kaum yahudi, maka mereka mengatakan, “Apa yang dikehendaki oleh lelaki ini (Nabi Muhammad ) ?, tidak sekali-kali dia membiarkan suatu hal dari urusan kami, melainkan dia pasti membedakannya dengan urusan kami”. Kemudian datanglah (menemui Rosululloh ) sahabat Usaid bin Hudair . dan Abbad bin Bisyr  dan berkata, “Wahai Rosululloh, sesungguhnya orang-orang yahudi mengatakan begini dan begitu.... (keduanya menceritakan apa yang didengarnya), bagaimana kalau kita setubuhi saja wanita yang sedang haidh itu ?”. Mendengar hal (pertanyaan) itu, berubahlah wajah Rosululloh  (dan beliau  tidak menjawabnya secara langsung) sehingga kami (para sahabat yang turut menyimak hal tersebut) menduga bahwa beliau  sangat marah kepada mereka (kedua sahabatnya tersebut), dan keduanya kemudian pulang. Ketika dalam perjalanan pulang, keduanya mengurungkan niatnya karena Rosululloh  (mengutus utusannya untuk) memanggil kembali keduanya (untuk menghadapnya) di samping pada saat yang bersamaan (keduanya) terhalang oleh (para sahabat  tersebut) yang akan menghadiahkan air susu kepada Rosululloh . (Ketika keduanya sampai dihadapan Rosululloh ) Maka beliau  menyuguhkannya minuman air susu (hadiah) tersebut, sehingga keduanya mengerti bahwa Rosululloh  tidak marah kepadanya .
Dari asbabun nuzul di atas, makna firman Alloh  tersebut adalah, “Mereka bertanya kepadamu”, artinya para sahabat  bertanya kepada Nabi Muhammad , “mengenai haidh”, artinya mengenai pengertian dan sifat haidh serta sikap yang harus dilakukan terhadap seorang istri (wanita) pada saat sedang mengalami haidh, yaitu, (“Katakanlah”, artinya Alloh  memerintahkan kepada Nabi Muhammad  untuk menjelaskan mengenai pengertian dan sifat dari haidh tersebut) “Haidh itu adalah suatu kotoran” artinya pengertian dan sifat haidh sama dengan kotoran (yang berpotensi menimbulkan penyakit pada tubuh), baik haidh-nya sendiri maupun (jalan) tempat keluarnya (darah) haidh, - “Lakukanlah ..., kecuali nikah [bersetubuh]”, artinya secara tersirat menunjukkan bahwa pada saat seorang wanita mengalami haidh, dilarang menyetubuhinya, karena sifat jalan atau tempat keluarnya darah haidh tersebut (yaitu daerah kemaluannya), yang akan digunakan untuk bersetubuhnya juga menjadi kotor). Kemudian sikap yang harus dilakukan terhadap seorang istri (wanita) yang sedang haidh adalah “Lakukanlah segala sesuatunya, kecuali nikah (bersetubuh)”, dan “hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita yang sedang haidh”, dilanjutkan langsung dengan kata “dan janganlah mendekati mereka sebelum mereka bersuci”, artinya apabila hendak melakukan persetubuhan dengan istri yang sedang mengalami haidh, maka dilarang dan diharamkan bersetubuh pada tempat keluar darah haidh-nya yang sedang kotor, namun demikian diperbolehkan bersetubuh bukan pada tempat atau daerah kemaluannya, berdasarkan beberapa sabda Nabi , “..., kecuali nikah (bersetubuh)” dan

2 (Halal haram; 219-220).

Artinya:
“... jangan pada duburnya atau dalam keadaan haidh [pada farjinya]” ,

atau tidak menyentuh secara langsung pada daerah kemaluannya (misalnya: dengan tertutupi oleh pakaian atau kain), sebelum darah haidh yang keluar dari jalannya tersebut benar-benar berhenti (keadaannya telah suci).
Ketentuan Alloh  selanjutnya adalah tidak menjadikan (batas) akhir pelarangan (untuk menyetubuhi wanita yang haidh) itu pada waktu-waktu tertentu (misalnya dalam 3 hari atau seminggu, dan lain-lain) melainkan Dia menjadikan (batas) akhir pelarangannya adalah dengan mengatakan “Ath-Thuhru ” (“... sebelum mereka bersuci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu ...”) dan keadaan daerah kemaluannya yang telah dibersihkan (disucikan), dengan cara membasuhnya dengan air (lebih utama dicampur dengan daun bidara ), berwudhu, dan mandi . Kemudian “Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu”, artinya diperbolehkannya kembali menyetubuhi istri yang telah berhenti haidh-nya setelah membersihkan tubuhnya (terutama daerah kemaluannya) terlebih dahulu, seperti saat keadaannya sebelum haidh, yaitu “di tempat yang diperintahkan Alloh kepadamu” artinya hanya di daerah kemaluannya (atau daerah peranakannya – berdasarkan dari firman Alloh : “Istri-istrimu adalah [seperti] “harts” kalian, ... [QS. Al-Baqoroh: 223]”; dan beberapa sabda Nabi  :

3 (AS; III/12).

Artinya:
“Boleh ..., jika yang didatanginya adalah farji -nya ,

dan

4 (Asbabun Nuzul; 68).

Artinya:
“Datangilah istri-istri kalian ..., asalkan pada farjinya” ,

tidak boleh dan diharamkan untuk melampauinya (melakukannya pada anggota tubuh yang lainnya, di antaranya daerah dubur), selain di daerah kemaluannya (berdasarkan beberapa sabda Nabi , dari Khuzaimah bin Tsabit , Rosululloh  bersabda, “...pada kubul [daerah kemaluannya] maka boleh, atau ... pada duburnya maka dilarang. Alloh tidak malu-malu dalam menerangkan kebenaran. Janganlah kamu mendatangi istri-istrimu pada dubur mereka” ; “... jangan pada duburnya atau dalam keadaan haidh” ; dan “Alloh tidak akan melihat seorang laki-laki yang mendatangi istrinya pada duburnya” ), dan pada akhir ayat ini disebutkan “Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bertaubat lagi mensucikan diri” artinya Alloh  menyukai umatnya yang selalu bertaubat dari perbuatan dosa-dosanya yang sering dikerjakannya, baik secara sengaja maupun tidak, khususnya yang berhubungan dengan ketidakpahaman dalam masalah haidh ini sebelumnya, dan Alloh  menyukainya juga dari umatnya tersebut, yang selalu membersihkan tubuhnya dari kotoron-kotoran, khususnya pada masa-masa haidh yang selalu dialami oleh para wanita, yang kemungkinan besar tidak hanya dapat berpotensi menimbulkan kerusakan dan penyakit pada tubuh individunya sendiri dan orang lain bila mereka tidak memahami permasalahan haidh-nya secara benar sesuai dengan ketentuan Alloh  dan Rosul-Nya , tetapi juga terhalangnya dalam melakukan tugas utamanya dalam beribadah kepada Alloh  (“Dan tidak Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah [kepada-Ku]” [QS. Adz-Dzaariyat: 56]).
Sehingga tidak ada jalan lain bagi umat Islam, khususnya para muslimah, kecuali wajib hukumnya memahami dan melaksanakan petunjuk mengenai penatalaksanaan perdarahan haidh dengan baik dan benar sesuai dengan Alloh  dan Rosul-Nya , serta pengetahuan dari bidang medis.

I. Perdarahan Haidh
A. Definisi perdarahan haidh.
Ditinjau secara syar’iat Islam.
Kata haidh secara bahasa adalah bentuk mashdar dari kata haadho yang artinya as-saylaan dan bersifat ‘urf , sehingga secara keseluruhan haidh diartikan mengalirnya darah pada perempuan dari tempat yang khusus (pada tubuhnya) dalam waktu-waktu yang diketahui . Sementara bentuk tunggalnya (singular form) dari haidh adalah haydhoh dan bentuk jamaknya (plural form) adalah haidh atau haydhooh, sedangkan kata hiyadh artinya adalah darah haidh . Kata haidh secara istilah adalah darah alami yang mengalir keluar dari (daerah kemaluan) tubuh seorang wanita sehat, tanpa adanya sebab melahirkan. Darah haidh ini berasal dari dasar rahim yang biasa (rutin) dialami oleh seorang perempuan jika dia telah baligh (dewasa) pada waktu-waktu tertentu . Menurut pendapat Syaikh Utsaimin , haidh dalam pengertian syara’ adalah darah yang Alloh  tetapkan karena rahmat dan hikmah-Nya, yang keluar tanpa sebab dari (dalam rahim) tubuh seorang wanita sesuai dengan tabi’at (pembawaan)-nya, dalam waktu-waktu yang diketahui . Terjadinya haidh pada seorang wanita memiliki dan terkena beberapa ketentuan hukum dari syar’iat Islam yang telah ditetapkan Alloh  kepadanya. Adapun menurut pendapat sebagian ulama, istilah haidh secara syar’i adalah darah yang keluar secara rutin setiap bulan dari (dalam) rahim seorang wanita, dan lamanya pada umumnya sudah diketahui pada waktu-waktu tertentu oleh dirinya sendiri .

Ditinjau secara medis.
kata haidh berarti perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus seorang wanita, disertai deskuamasi dari lapisan endometrium uterinya.



B. Kandungan dan sifat perdarahan haidh.
Kandungan darah haidh.
Ditinjau secara syar’iat Islam.
Alloh  menerangkan dalam firman-Nya (QS. Al-Baqoroh: 222) bahwa keberadaan (darah) haidh mengandung suatu “..Adzaan..” yaitu kotoran yang berpotensi untuk menimbulkan suatu penyakit pada tubuh dan juga sesuatu yang tidak disukai Alloh  dan RosulNya  (makruh) namun tidak berlebihan.

Ditinjau secara medis.
Darah haidh yang dikeluarkan melalui vagina merupakan darah campuran yang terdiri dari darah (50-80 %), dan hasil campuran dari peluruhan lapisan endometrium uteri, bekuan darah (yang telah mengalami proses hemolisis dan aglutinasi , sel-sel epitel dan stroma dari dinding uterus dan vagina yang mengalami disintegrasi dan otolisis , cairan dan lendir (terutama yang dikeluarkan dari dinding uterus, vagina dan vulva), dan beberapa bakteri dan mikroorganisme yang senantiasa hidup di beberapa daerah kemaluan wanita (flora normal), seperti basil Doderleine, streptokokus, stafilokokus, difteroid, echerichia dan lain-lain.

Sifat darah haidh.
Ditinjau secara syar’iat Islam.
Alloh  menciptakan darah haidh, dan menjadikan seorang wanita menghasilkan darah haidh (dan pada umumnya dikeluarkan dari dalam rahimnya) sebenarnya adalah sebagai fasilitas persediaan makanan janin dalam kandungannya (bila terjadi proses kehamilan). Janin yang terbentuk (diciptakan Alloh  dari air mani seorang lelaki dan sel telur seorang wanita) dan berada dalam kandungan seorang wanita mendapatkan makanan dari rahim berupa darah haidh melalui tali pusar. Oleh karena itu, orang yang hamil tidak mengalami haidh, dan bila janin yang dikandungnya tersebut dilahirkan, maka keluarlah darah dari rahimnya dalam bentuk darah yang mengandung sisa-sisa makanan dari janin ketika berada di dalam kandungannya (darah nifas). Kemudian dengan rahmat dan kemurahanNya, Alloh  juga merubah darah (haidh) tersebut menjadi air susu yang akan digunakan untuk kebutuhan makanan bayi (ketika sudah berada di luar kandungan) dan dikeluarkanNya melalui puting susu ibunya, sehingga menyebabkan seorang wanita yang sedang menyusui biasanya tidak mengalami haidh. Namun demikian, setelah seorang wanita melahirkan dan selesai menyusui bayinya tersebut, darah haidh-nya kembali bersifat seperti semula, yaitu kembali seperti keadaannya sebelum mengalami kehamilan dan menyusui .
Ath-Thaibi mengatakan bahwa, “kata “..Adzaan.. ” (QS. Al-Baqoroh: 222) yang mensifati haidh adalah sama dengan kotoran karena baunya yang busuk, kotor lagi najis”. Menurut Al-Khaththabi, kata “Adzaan” (QS. Al-Baqoroh: 222) yang mensifati haidh adalah sama dengan sesuatu yang tidak disukai Alloh  dan RosulNya  (makruh) namun tidak berlebihan, sesuai dengan kata “Adzaan” yang terdapat pada firman Alloh : “Sekali-kali tidak akan membahayakan kamu melainkan “Adzaan” [gangguan celaan saja], ...” (QS. Ali-Imron: 111), sehingga makna dan sifatnya haidh adalah suatu kotoran yang berpotensi menimbulkan penyakit, yang harus dijauhi (termasuk pada tempat kemaluannya) pada tubuh wanita, namun tidak mencakup bagian tubuh lainnya .
Imam Al-Qurthubi menambahkan dalam tafsirnya , “Darah haidh itu adalah darah yang kental berwarna kehitaman. Jika hal ini terjadi maka seorang wanita hendaknya meninggalkan shalat dan puasa. Tidak ada perbedaan pendapat di antara hal ini. Para ulama berbeda pendapat mengenai lamanya masa haidh. Para fuqoha’ Madinah berkata, “sesungguhnya masa haidh itu tidak lebih dari 15 hari, dan seterusnya...”, dan “Namun bisa saja terjadi lebih dari 15 hari, maka hal ini tidak lagi disebut haidh, namun ia adalah istihadhah”. Ini adalah madzhab Maliki dan sahabat-sahabatnya”. Perdarahan haidh terkadang bersambung dan terkadang terputus. Juga diriwayatkan dari Malik, “bahwa tidak ada batas minimal dan maksimal bagi seorang wanita yang haidh, kecuali sesuai dengan kebiasaannya yang ada pada wanita” .
Muhammad bin Maslamah berkata, “Batas minimal (keadaan) suci adalah 15 hari”. Pandangan ini adalah pandangan sebagian besar ulama Baghdad (Irak) dari kalangan penganut mazhab Maliki, dan juga merupakan pendapat Imam Syafi’i, Abu Hanifah (Imam Hanafi) dan sahabat-sahabat mereka berdua serta (Sufyan) Ats-Tsauri. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa, “Tidak ada batas minimal atau maksimal, tetapi yang biasa ditemui oleh wanita terus-menerus itulah darah haidh” , dan “Adapun orang-orang yang berkata, “Haidh yang paling banyak adalah 15 hari”, sebagaimana dikatakan oleh Imam Syafi’i dan Ahmad, serta mereka yang berkata bahwa, “(hari) haidh yang paling sedikit adalah satu hari”, sebagaimana dikatakan Imam Syafi’i dan Ahmad, atau “haidh tidak mempunyai batasan (hari tertentu)”, sebagaimana dikatakan Imam Malik, maka mereka (semua) mengatakan, “tidak tsabit (ada) satu haditspun dari Nabi  dan para sahabatnya dalam hal ini”. Tempat kembali dalam hal itu adalah kebiasaan (haidh) wanita yang bersangkutan, sebagaimana yang kami katakan, Wallohu A’lam” ; dan “... Asal pada setiap darah yang keluar dari rahim wanita adalah haidh, sampai tegak suatu bukti bahwa itu adalah darah istihadhoh” ”. Makna serupa juga dikatakan oleh Ibnu Hazm dan Ibnu Qudamah . Pendapat terakhir inilah yang mendekati kebenaran . Hal ini didasarkan pada dalil dari firman Alloh (QS. Al-Baqoroh: 222), yaitu Alloh  menjadikan akhir pelarangan (menyetubuhi wanita yang haidh) adalah “Ath-Thuhru” dan tidak menjadikan akhir pelarangan itu hanya sehari semalam atau 3 hari atau 15 hari, dan perkataan Nabi kepada ‘Aisyah , saat dia sedang mengalami haidh dalam keadaan ihrom untuk umroh (“Lakukanlah apa-apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali janganlah engkau tawaf di Ka’bah sampai engkau suci” ), yang juga menjadikan akhir pelarangannya adalah suci, dan tidak menjadikan akhir pelarangannya adalah waktu-waktu tertentu . Begitu juga mengenai batasan umur seorang wanita yang dapat dikatakan sudah atau belum mengalami haidh, hal ini tidak harus ditentukan pada umur-umur berapa seorang wanita telah mengalami haidh. Ad-Darimi mengatakan bahwa, “... karena tempat kembali suatu hal itu adalah keberadaan (haidh)-nya itu sendiri, ketetapan apapun yang didapati (berupa keluarnya darah dari rahim wanita) pada keadaan apapun dan usia berapapun, maka wajib menjadikannya sebagai darah haidh” .
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin juga mengatakan bahwa, “Kapan saja seorang wanita mengeluarkan darah haidh maka dia adalah seorang wanita yang haidh, walaupun dia berusia di bawah 9 tahun atau di atas 50 tahun. Hal itu karena hukum-hukum haidh dikaitkan dengan firman Alloh  dan RosulNya  dengan keberadaan haidh itu. Alloh  dan RosulNya  tidak memberikan batasan umur tertentu untuk hal itu. Maka dalam hal ini wajib kembali pada keberadaan haidh itu sendiri yang hukum-hukum haidh-nya dikaitkan dengannya, dan pembatasannya pada usia tertentu membutuhkan dalil dari Al-Qur’an atau As-Sunnah, sedangkan tidak ada dalil dalam hal itu (dari Al-Qur’an dan As-Sunnah)” . Apabila telah jelas kuatnya pendapat bahwa tidak ada batasan minimal dan maksimal bagi (seorang wanita yang) haidh, maka setiap yang dilihat oleh seorang wanita berupa darah tabi’at (pembawaan) yang (keluarnya) tanpa sebab berupa luka atau semisalnya, itu adalah darah haidh. Tanpa penentuan waktu lama dan waktu (usia)-nya, kecuali apabila darah tersebut mengalir terus-menerus pada seorang wanita tanpa berhenti selamanya atau berhenti sebentar seperti 1 atau 2 hari dalam 1 bulan, maka itu adalah darah istihadhoh (darah penyakit)) .
Warna-warna darah haidh, terdiri dari 4 macam, yaitu :
• Hitam
Adanya darah haidh yang berwarna hitam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Fatimah binti Abu Hubaisy , dia berkata:

5 (BM; 59+32: TN; 153).

Artinya:
“bahwa Rosululloh  berkata kepadaku, “Darah haidh itu warnanya hitam. Apabila darah seperti itu yang keluar, maka kamu harus berhenti sholat. Dan apabila darah yang keluar tidak seperti itu, maka berwudhulah (ketika kamu hendak sholat), karena itu adalah darah yang keluar dari urat (istiadhoh)” .



• Merah
Darah haidh terkadang berwarna merah, dan warna merah ini merupakan warna asal dari darah .

• Kuning
Warna kuning yang terdapat pada darah haidh adalah warna air yang kekuning-kuningan, seperti nanah .

• Campuran hitam dan putih
Warna ini berada di tengah-tengah antara warna hitam dan putih. Jadi seperti air keruh, tetapi lebih dominan warna hitamnya.

Darah berwarna kuning atau warna hitam bercampur putih merupakan darah haidh bila keluarnya pada hari-hari haidh. Adapun bila darah tersebut keluarnya di luar hari-hari haidh, maka itu bukan darah haidh, walaupun keluar terus-menerus. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ummu Athiyah , dia berkata:

6 (TN; 154).

Artinya:
“Kami tidak menganggap darah yang berwarna hitam campur putih dan kuning adalah darah haidh (bila keluarnya di luar masa haidh)” .

Tanda datangnya haidh itu dapat diketahui dengan adanya pancaran darah yang keluar (dari daerah kemaluan) mengalir, berwarna hitam dan berbau busuk, pada waktu-waktu di mana memang pada umumnya haidh biasa terjadi pada seorang wanita. Adapun tanda berakhirnya haidh itu diketahui dari terhentinya pancaran aliran darah yang keluar tersebut disertai dengan keluarnya cairan yang berwarna kuning (agak keruh) yang semakin lama cairan yang keluar ini menjadi memutih (bening) dan mudah mengering. Hal (keadaan telah suci) tersebut dapat dipastikan dengan salah satu dari 2 perkara berikut ini :
1. Kering, maksudnya keluarnya isi (cairan) dari dalam rahim sudah dalam keadaan kering. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya bukti keringnya sesuatu bahan kain (misalnya: kain atau kassa/kapas, dan sejenisnya) yang dikeluarkan dari dalam daerah kemaluannya setelah sebelumnya dimasukkan ke dalamnya.
2. Keluarnya Qoshshoh Al-Baida’ , maksudnya adalah adanya bukti keluarnya cairan berwarna putih dari daerah kemaluan setelah terhentinya keluarnya darah dari tempat tersebut .
Warna kuning dan keruh dari cairan yang terlihat keluar dari daerah kemaluan pada masa haidh (sebelum keadaan suci) maka menandakan masih (mengalami) haidh, dan ditetapkan baginya hukum-hukum haidh. Imam Bukhori meriwayatkan dalam kitab shohih-nya, dari Ummu Athiyyah dia berkata:

7 (AS; IV/6: BM; 61).

Artinya:
“Kami tidak menganggap (sedikitpun) warna darah yang kuning atau keruh sebagai haidh (setelah suci)” .

Begitu juga yang dikatakan oleh Syaikh Al-Albani bahwa, “Batas minimalnya (dianggap masih haidh) adalah setetes (darah haidh). Jika seorang wanita melihat darah hitam masih keluar dari kemaluannya hendaklah dia tidak melakukan sholat dan puasa, dan jika dia melihat bekas darah merah maka itu tandanya dia telah suci . Adapun darah yang berwarna kuning atau merah yang muncul setelah masa suci tidaklah dianggap sebagai darah haidh. Pendapat inilah yang juga diungkapkan oleh Abu Hanifah (Imam Hanafi), Sufyan Ats-Tsauri, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan lain-lain . Bila tidak diketahui (berapa lama) masa haidh-nya dan tidak dapat membedakan (antara) darah haidh (dengan darah yang bukan haidh), termasuk karena terlalu banyak dan terjadi terus-menerus, maka wajib baginya kembali kepada kebiasaan mayoritas wanita” . Dalam suatu atsar dikatakan bahwa para wanita mengirimkan kain yang ada kapasnya, dalam kain tersebut terdapat warna kuning karena darah haidh. Para wanita tersebut bertanya pada ‘Aisyah tentang sholat, maka ‘Aisyah berkata:

8 (FB; 547 n 563+).

Artinya:
“Janganlah kalian terburu-buru sampai kalian melihat lendir putih” .

Ad-Darimi berkata, “dari ‘Aisyah , dia berkata:

9 (FB; 548).

Artinya:
“Apabila seorang wanita melihat darah (haidh) maka hendaklah dia meninggalkan sholat sampai dia melihat (tanda telah) suci yaitu warna putih (seperti perak), kemudian (bila telah suci) dia mandi dan sholat”.” .

Abu Bakr bin Abi Syaibah , berkata, “dari Makhul, dia berkata:
Artinya:
“Tidaklah dia (wanita) mandi (dari haidh) sampai dia melihat (tanda) suci, yaitu warna putih seperi perak”.” .




Ditinjau secara medis.
Ditinjau dari segi medis, darah haidh yang banyak mengandung hasil campuran dari hasil penumpukan sisa-sisa deskuamasi lapisan endometrium uteri, bekuan darah, cairan dan lendir, dan beberapa bakteri dan mikroorganisme (yang kemungkinan telah berubah sifatnya menjadi patogen potensial), akan tampak berwarna merah kehitaman atau hitam. Lamanya perdarahan haidh biasanya antara 3-5 hari, tetapi ada juga seorang perempuan yang mengalami perdarahan haidh selama 1-2 hari yang diikuti dengan terjadinya perdarahan kembali sedikit demi sedikit, dan ada juga yang sampai 7-8 hari mengalami perdarahan haidh-nya, namun demikian biasanya pada setiap perempuan lama terjadinya perdarahan haidh itu menetap.
Terjadinya perdarahan haidh biasanya didahului dengan terjadinya leukorrhea , yang ditunjukkan dengan adanya pengeluaran cairan (lendir) dari vagina, yang sifatnya agak encer, berwarna putih kekuningan , bening atau jernih, dan tidak berbau. Cairan yang keluar tersebut dapat berubah sifatnya apabila terjadi infeksi di daerah vagina atau uterusnya, yaitu menjadi berwarna kuning atau hijau , lebih kental dan keruh, serta berbau. Pada saat penyelesaian proses haidh, keluarnya darah haidh berangsur-angsur mulai menghilang dan berhenti, diikuti oleh keluarnya cairan yang sifatnya sama dengan keluarnya cairan pada saat menjelang terjadinya haidh. Darah haidh yang keluar tidak membeku sepenuhnya, bahkan seringnya mengalir. Hal ini mungkin disebabkan adanya proses fibrinolisin yang aktif mengikuti terjadinya proses aglutinasi yang terjadi sebelumnya. Jumlah atau banyaknya darah haidh yang keluar rata-rata 33,2 + 16 ml. Pada wanita yang usianya lebih tua biasanya jumlah darah haidh yang keluar akan lebih banyak.
Panjang siklus haidh dalam sebulan yang normal atau panjang siklus secara klasik adalah 28 hari, tetapi variasinya cukup luas, bukan hanya terjadi antara beberapa wanita tetapi juga pada wanita yang sama. Panjang siklus haidh tersebut terutama dipengaruhi oleh usia seorang wanita. Rata-rata panjang siklus haidh pada seorang gadis yang berusia 12 tahun ialah 25,1 hari, pada wanita yang berusia 43 tahun ialah 27,1 hari, dan pada wanita yang berusia 55 tahun ialah 51,9 hari. Dari data statistik juga menunjukkan bahwa panjang siklus haidh yang biasanya terjadi pada seorang wanita dalam masa-masa reproduksi ialah 25-32 hari, dan kira-kira 97% dari wanita yang mengalami proses ovulasi, panjang siklus haidh-nya berkisar antara 18-42 hari. Jika panjang siklus haidh-nya kurang dari 18 hari atau lebih dari 42 hari dan tidak teratur, biasanya terjadilah siklus haidh yang tidak mengalami proses ovulasi .
Selama masa perdarahan haidh pada umumnya seorang wanita tidak merasakan gejala-gejala yang dapat ditimbulkan dengan terjadinya perdarahan haidh, seperti nyeri perut bawah, demam, ketidakstabilan emosi, dan lain-lain, namun demikian sebagian kecil dari mereka merasakan gejala berupa adanya perasaan berat di panggul atau merasa nyeri . Menarche pada seorang wanita sangat bervariasi, yaitu antara 10-16 tahun, namun rata-ratanya terjadi pada usia 12,5 tahun. Usia menarche ini secara statistik dipengaruhi oleh faktor keturunan, keadaan gizi, kesehatan umum yang membaik dan berkurangnya penyakit menahun pada seorang wanita. Menarche terjadi biasanya di tengah-tengah masa pubertas pada seorang wanita. Kemudian masa menarche ini dilanjutkan dengan masa reproduksi selama kira-kira 30-40 tahun kemudian, dan selanjutnya diakhiri dengan masa menopause yang didahului sebelumnya dengan masa klimakterium .

C. Mekanisme terjadinya perdarahan haidh.
Manifestasi proses perdarahan haidh pada tubuh wanita secara sederhana ditinjau dari segi medis adalah terjadinya pengeluaran darah kotor dari vagina, yang mengandung hasil campuran dari terjadinya proses deskuamasi lapisan endometrium uteri, bekuan darah, cairan dan lendir, dan beberapa bakteri dan mikroorganisme (yang senantiasa hidup di vagina dan kemungkinan telah berubah sifatnya menjadi patogen potensial), selama beberapa hari (+ 1 minggu), diakibatkan oleh adanya pengaruh aktivitas hormonal tubuh , dan dapat disertai dengan timbulnya beberapa keluhan yang menyertainya, yaitu keputihan, perasaan nyeri atau panas (terutama di sekitar perut bagian tengah-bawah dan kemaluan), ketidakstabilan emosi, lemas, tidak bergairah, penambahan atau penurunan nafsu makan, dan lain-lain.
Mekanisme terjadinya perdarahan haidh secara medis belum diketahui seluruhnya, namun demikian telah dikenal beberapa faktor yang memainkan peranan penting dalam terjadinya proses perdarahan haidh tersebut, yaitu faktor-faktor enzim, pembuluh darah, hormon prostaglandin dan hormon-hormon seks steroid (di antaranya adalah hormon estrogen dan progesteron).
Mekanisme terjadinya perdarahan haidh secara singkat dapat dijelaskan melalui proses-proses yang terjadi dalam satu siklus haidh yang terdiri dari 4 fase, yaitu: (1) fase proliferasi , (2) fase luteal , (3) fase menstruasi , dan (4) fase regenerasi . Fase proliferasi siklus haidh sangat dipengaruhi oleh hormon estrogen sementara fase luteal sangat dipengaruhi oleh hormon progesteron. Fungsi ovarium dan siklus haidh dipengaruhi dan diatur oleh lingkaran pengaturan sistem saraf otonom yang relatif tertutup .

• Fase proliferasi.
Pada siklus haidh klasik, fase proliferasi berlangsung setelah perdarahan haidh berakhir, dimulai pada hari ke-5 sampai 14 (yaitu terjadinya proses ovulasi). Fase proliferasi ini berguna untuk menumbuhkan lapisan endometrium uteri agar siap menerima sel ovum yang telah dibuahi oleh sel sperma , sebagai persiapan terhadap terjadinya proses kehamilan. Pada fase ini terjadi pematangan folikel-folikel di dalam ovarium akibat adanya pengaruh dari aktivitas hormon FSH yang merangsang folikel-folikel tersebut untuk men-sintesis hormon estrogen dalam jumlah yang banyak. Peningkatan pembentukan dan pengaruh dari aktivitas hormon FSH pada fase ini juga mengakibatkan terbentuknya banyak reseptor hormon LH di lapisan sel-sel granulosa dan cairan folikel-folikel dalam ovarium. Pembentukkan hormon estrogen yang terus meningkat tersebut, sampai kira-kira pada hari ke-13 siklus haidh (menjelang terjadinya proses ovulasi), akan mengakibatkan terjadinya pengeluaran hormon LH yang banyak sebagai manifestasi umpan balik positif dari hormon estrogen terhadap adenohipofisis.
Pada saat mendekati masa terjadinya proses ovulasi, terjadi peningkatan kadar hormon LH di dalam serum dan cairan folikel-folikel ovarium yang akan memacu ovarium untuk mematangkan folikel-folikel yang dihasilkan di dalamnya, sehingga sebagian besar folikel di ovarium diharapkan mengalami pematangan . . Di samping itu akan terjadi juga perubahan penting lainnya, yaitu terjadinya peningkatan konsentrasi hormon estrogen secara perlahan-lahan kemudian melonjak tinggi secara tiba-tiba pada hari ke-14 siklus haidh klasik (pada akhir fase proliferasi) , diikuti dengan peningkatan dan pengeluaran hormon LH dari adenohipofisis, perangsangan peningkatan kadar hormon progesteron,.dan peningkatan suhu basal badan sekitar 0,5oC . Adanya peningkatan pengeluaran kadar hormon LH (yang mencapai puncaknya ), estrogen dan progesteron menjelang terjadinya proses ovulasi, akan memacu terjadinya proses tersebut di ovarium pada hari ke-14 siklus haidh.
Di sisi lain, aktivitas hormon estrogen yang terbentuk pada fase proliferasi tersebut dapat mempengaruhi tersimpannya enzim-enzim dalam lapisan endometrium uteri, dan merangsang pembentukan glikogen dan asam-asam mukopolisakarida pada lapisan tersebut. Zat-zat ini akan turut serta dalam pembentukkan dan pembangunan lapisan endometrium uteri, khususnya pembentukan stroma di bagian yang lebih dalam dari lapisan endometrium uteri. Pada saat yang bersamaan juga terjadi pembentukkan sistem vaskularisasi ke dalam lapisan fungsional endometrium uteri.
Selama fase proliferasi dan terjadinya proses ovulasi, di bawah pengaruh hormon estrogen, terjadi pengeluaran getah atau lendir dari dinding serviks uteri dan vagina yang lebih encer dan bening. Pada saat ovulasi getah tersebut mengalami penurunan konsentrasi protein (terutama albumin – lihat tabel 1), sedangkan air dan musin (pelumas) bertambah berangsur-angsur, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan viskositas dari getah yang dikeluarkan dari serviks uteri dan vaginanya tersebut. Adanya hal ini, diikuti dengan terjadinya proses-proses lainnya di dalam vagina, seperti perangsangan peningkatan produksi asam laktat dan menurunkan nilai pH , yang akan memperkecil resiko terjadinya infeksi di dalam vagina. Banyaknya getah yang dikeluarkan dari daerah serviks uteri dan vagina tersebut juga dapat menyebabkan terjadinya kelainan yang disebut keputihan mengingat pada flora normal di dalam vagina juga terdapat mikroorganisme yang bersifat patogen potensial. Sebaliknya sesudah terjadinya proses ovulasi (pada awal fase luteal), di bawah pengaruh hormon progesteron getah atau lendir yang dikeluarkan dari serviks uteri dan vagina menjadi lebih kental dan keruh. Setelah terjadinya proses ovulasi getah tersebut mengalami perubahan kembali, yaitu mengalami peningkatan konsentrasi protein, sedangkan air dan musinnya berkurang berangsur-angsur sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan viskositas dan pengentalan dari getah yang dikeluarkan dari serviks uteri dan vaginanya.

• Fase luteal.
Pada hari ke-14 (setelah terjadinya proses ovulasi) sampai hari ke-28, berlangsung fase luteal, di mana pada fase ini mempunyai ciri khas tertentu, yaitu terbentuknya korpus luteum ovarium dan terjadinya perubahan bentuk dan fungsi dari kelenjar-kelenjar di lapisan endometrium uteri akibat pengaruh dari peningkatan hormon LH yang diikuti oleh pengeluaran hormon progesteron. Adanya pengaruh dari aktivitas hormon progesteron dapat menyebabkan terjadinya perubahan sekretorik , terutama pada lapisan endometrium uteri. Pengaruh aktivitas hormon progesteron selama fase luteal adalah dapat meningkatkan konsentrasi getah serviks uteri menjadi lebih kental dan membentuk jala-jala tebal di uterus, sehingga akan menghambat masuknya sel sperma ke dalam uterus. Bersamaan dengan hal ini juga, hormon progesteron akan mempersempit daerah porsio dan serviks uteri, sehingga adanya pengaruh aktivitas hormon progesteron yang lebih lama akan menyebabkan degenerasi dari lapisan endometrium uteri, sehingga tidak memungkinkan terjadinya kembali proses nidasi dari hasil konsepsi ke dinding uterusnya .
Peningkatan produksi hormon progesteron yang telah dimulai sejak akhir fase folikuler akan terus berlanjut sampai akhir fase luteal. Hal ini disebabkan oleh peningkatan aktivitas hormon estrogen dalam men-sintesis reseptor-reseptor-nya di ovarium, dan terjadinya perubahan sintesis hormon-hormon seks steroid di dalam sel-sel granulosa ovarium . Perubahan ini secara normal mencapai puncaknya pada hari ke-22 siklus haidh klasik di mana pada masa ini pengaruh hormon progesteron terhadap lapisan endometrium uteri paling jelas terlihat. Bila proses nidasi tersebut tidak terjadi, maka hormon estrogen dan progesteron akan menghambat sintesis dan aktivitas hormon FSH dan LH di adenohipofisis , sehingga membuat korpus luteum menjadi tidak dapat tumbuh dan berkembang kembali , dan selanjutnya menghilang. Di sisi lain , pada masa menjelang terjadinya perdarahan haidh, pengaruh aktivitas hormon progesteron tersebut juga akan menyebabkan terjadinya penyempitan pembuluh-pembuluh darah yang diikuti dengan terjadinya iskhemia dan nekrosis pada sel-sel dan jaringan endometrium uterinya, sehingga memungkinkan terjadinya proses deskuamasi lapisan endometrium uteri yang disertai dengan terjadinya perdarahan dari daerah tersebut yang dikeluarkan melalui vagina, dan pada akhirnya bermanifestasi sebagai perdarahan haidh.
Pada saat setelah terjadinya proses ovulasi di ovarium, sel-sel granulosa ovarium akan berubah menjadi sel-sel luteal ovarium, yang berperan dalam peningkatan pengeluaran hormon progesteron selama fase luteal siklus haidh. Faktanya menunjukkan bahwa salah satu peran dari hormon progesteron adalah sebagai pendukung utama terjadinya proses fertilisasi dan nidasi dari hasil konsepsi (zigote) bila telah terjadi proses kehamilan. Apabila proses kehamilan tersebut tidak terjadi, maka peningkatan hormon progesteron yang terjadi tersebut akan mengikuti terjadinya penurunan hormon LH , dan secara langsung hormon progesteron akan melakukan penghambatan terhadap pengeluaran hormon FSH, LH, dan LHRH, yang derajat hambatannya tergantung dari konsentrasi dan lamanya pengaruh hormon progesteron tersebut. Kemudian melalui mekanisme ini secara otomatis hormon-hormon progesteron dan estrogen juga akan menurunkan pengeluaran hormon LH, FSH, dan LHRH tersebut, sehingga proses sintesis dan sekresi-nya dari ketiga hormon hipofisis tersebut, yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan folikel-folikel dan proses ovulasi di ovarium selama fase luteal, akan berkurang atau berhenti, dan akan menghambat juga perkembangan dari korpus luteum . Pada saat bersamaan, setelah terjadinya proses ovulasi, kadar hormon estrogen mengalami penurunan . Hal ini disebabkan oleh terjadinya puncak peningkatan kadar hormon LH dan aktivitasnya yang terbentuk pada saat terjadinya proses ovulasi yang mengakibatkan terjadinya proliferasi dari sel-sel granulosa ovarium, yang secara langsung akan menghambat dan menurunkan terjadinya proses sinstesis hormon estrogen dan FSH, dan meningkatkan pembentukan hormon progesteron di ovarium . Selanjutnya pada akhir fase luteal terjadi penurunan reseptor-reseptor dan aktivitas hormon LH di ovarium secara berangsur-angsur , yang diikuti secara langsung dengan terjadinya penurunan proses sintesis dan aktivitas hormon progesteron , dan kemudian diikuti oleh penurunan hambatan terhadap proses sintesis hormon-hormon FSH dan estrogen yang telah terjadi sebelumnya, sehingga pada masa akhir fase luteal akan terjadi pembentukkan kembali hormon FSH dan estrogen dengan aktivitas-aktivitasnya di ovarium dan uterus.
Beberapa proses lainnya yang terjadi pada awal sampai dengan pertengahan fase luteal adalah terhentinya proses sintesis enzim-enzim dan zat mukopolisakarida yang telah berjalan sebelumnya sejak masa awal fase proliferasi, sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan permeabilitas dari pembuluh-pembuluh darah di lapisan endometrium uteri yang sudah berkembang sejak awal fase proliferasi, dan banyak zat-zat makanan yang terkandung di dalamnya mengalir menembus langsung stroma dari lapisannya tersebut. Proses tersebut dijadikan sebagai persiapan lapisan endometrium uteri untuk melakukan proses nidasi terhadap hasil konsepsi yang terbentuk bila terjadi proses kehamilan. Jika tidak terjadi proses kehamilan, enzim-enzim dan zat mukopolisakarida tersebut akan dilepaskan dari lapisan endometrium uteri , sehingga akan mengakibatkan terjadinya proses nekrosis dari sel-sel dan jaringan pembuluh-pembuluh darah pada lapisan tersebut, yang kemudian akan menimbulkan gangguan dalam proses terjadinya metabolisme sel dan jaringannya, dan pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya proses regresi atau deskuamasi pada lapisan tersebut, yang disertai dengan perdarahan. Pada saat yang bersamaan, peningkatan pengeluaran dan pengaruh hormon progesteron (bersama dengan hormon estrogen) pada akhir fase luteal akan menyebabkan terjadinya penyempitan pembuluh-pembuluh darah di lapisan endometrium uteri, yang kemudian dapat menimbulkan terjadinya proses iskhemia di lapisan tersebut , sehingga akan menghentikan juga terjadinya proses metabolisme pada sel dan jaringannya, dan pada akhirnya akan mengakibatkan juga terjadinya regresi atau deskuamasi pada lapisan lapisan tersebut, yang disertai dengan terjadinya perdarahan . Perdarahan yang terjadi ini merupakan manifestasi dari terjadinya perdarahan haidh.

• Fase menstruasi.
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa pada akhir fase luteal (terutama saat-saat menjelang terjadinya perdarahan haidh) terjadi kembali peningkatan hormon estrogen yang dapat kembali menyebabkan perubahan sekretorik pada dinding uterus dan vagina, berupa peningkatan produksi dan penurunan konsentrasi getah yang dikeluarkan dari serviks uteri dan vagina kembali , dan peningkatan konsentrasi glikogen dalam serviks uteri dan vagina, sehingga memungkinkan kembali terjadinya proses peningkatan pengeluaran getah yang lebih banyak dari serviks uteri dan vaginanya dan keputihan. Namun demikian karena pada saat akhir fase luteal ini, peningkatan kadar dan aktivitas hormon estrogen yang terbentuk kembali masih belum banyak, sehingga terjadinya proses-proses perangsangan produksi asam laktat oleh bakteri-bakteri flora normal dan penurunan nilai pH., yang diharapkan dapat menurunkan resiko terjadinya infeksi di dalam vagina, menjadi tidak optimal, dan ditambah dengan adanya penumpukkan getah yang sebagian besar masih dalam keadaan mengental , maka pada saat menjelang terjadinya proses perdarahan haidh tersebut, daerah vagina menjadi sangat beresiko terhadap terjadinya penularan penyakit (infeksi) melalui hubungan persetubuhan (koitus).
Terjadinya pengeluaran getah dari serviks uteri dan vagina kembali tersebut sering bercampur dengan pengeluaran beberapa tetesan darah yang sudah mulai keluar menjelang terjadinya proses perdarahan haidh dari dalam uterus, dan menyebabkan terlihatnya cairan berwarna kuning dan keruh , yang keluar dari vaginanya. Sel-sel darah merah yang telah rusak dan terkandung dari cairan yang keluar tersebut akan menyebabkan perubahan sifat bakteri-bakteri flora normal yang ada di dalam vagina menjadi bersifat infeksius (patogen potensial) dan memudahkannya untuk berkembang biak dengan pesat di dalam vagina. Bakteri-bakteri infeksius yang terkandung dalam getah tersebut, kemudian dikeluarkan bersamaan dengan pengeluaran jaringan dari lapisan endometrium uteri yang mengalami proses regresi atau deskuamasi, dalam bentuk perdarahan haidh, atau bisa juga dalam bentuk keputihan yang keluar mendahului menjelang terjadinya haidh.
Pada saat yang bersamaan, lapisan endometrium uteri mengalami ikhemia dan nekrosis, akibat terjadinya gangguan metabolisme sel-sel atau jaringannya, yang disebabkan oleh terhambatnya sirkulasi dari pembuluh-pembuluh darah yang memperdarahi lapisan tersebut akibat dari pengaruh hormonal, ditambah dengan adanya penonjolan aktivasi kinerja dari prostaglandin F2 (PGF2) yang timbul akibat terjadinya gangguan keseimbangan antara prostaglandin-prostaglandin E2 (PGE2) dan F2 (PGF2) dengan prostasiklin (PGI2), yang di-sintesis oleh sel-sel endometrium uteri (yang telah mengalami luteinisasi sebelumnya akibat pengaruh dari hormon progesteron). Semua hal tersebut akan menjadikan lapisan endometrium uteri mengalami nekrosis berat dan sangat memungkinkan untuk mengalami proses deskuamasi pada akhirnya.
Pada fase menstruasi ini juga terjadi penyusutan dan lenyapnya korpus luteum ovarium (tempat menetapnya reseptor-reseptor, dan terjadinya proses pembentukkan dan pengeluaran hormon progesteron dan LH selama fase luteal).

Keputihan (keluhan yang sering terjadi menjelang haidh).
Adanya keluhan keputihan dari seorang wanita menjelang terjadinya haidh secara statistik cenderung dapat menyebabkan keadaan daerah kemaluan (terutama vagina, uterus dan vulva) menjadi mudah terjangkit suatu penyakit dan menularkannya ke tubuhnya sendiri atau ke tubuh orang lain yang melakukan persetubuhan dengannya. Hal ini disebabkan oleh:
(1) Banyaknya bakteri-bakteri yang senantiasa berada di dalamnya (flora normal), yang telah berubah sifatnya menjadi bakteri-bakteri yang patogen di samping adanya juga mikroorganisme lainnya yang bersifat patogen potensial.
(2) Adanya perubahan pengaruh dari hormon-hormon seks steroid, terutama hormon estrogen dan progesteron, secara fluktuatif menjelang terjadinya perdarahan haidh akan menimbulkan kerentanan pada dinding vagina terhadap terjadinya infeksi, terutama infeksi Kandida sp. .
(3) Adanya hubungan langsung yang dekat dengan lingkungan luar tubuh yang dapat memungkinkan masuknya bakteri dan mikroorganisme lainnya yang bersifat patogen potensial ke vagina,
(4) Kurangnya perhatian higiene (kebersihan) di daerah kemaluan.
(5) Terjadinya benturan atau gesekan di daerah vaginanya (di antaranya pada saat melakukan persetubuhan sebelumnya).
(6) Adanya infeksi lain atau proses lainnya berupa keganasan di dalam tubuh, dan lain-lain.
Keputihan biasanya sangat sering terjadi pada saat-saat menjelang terjadinya perdarahan haidh, yang ditandai dengan keluarnya cairan lendir berwarna bening atau putih kekuningan, jernih, agak encer, dan tidak berbau dari daerah kemaluan. Kadar pengeluaran cairan keputihan ini bervariasi sesuai dengan siklus haidh seseorang dan dapat meningkat akibat adanya stress psikis (ketidakstabilan emosi). Peningkatan kadar cairan keputihan tersebut dari vagina akan membentuk suatu koagulum putih, yang dapat menimbulkan rasa gatal dan membakar di permukaan dinding vagina, dan akan menimbulkan kemerahan dan pembengkakkan atau peradanganan di dinding vagina . Keputihan yang sudah bersifat penyakit (patologis) ini biasanya ditandai dengan tampaknya cairan yang dikeluarkan dari vagina berwarna kuning sampai hijau, keruh, lebih kental dan berbau.

• Fase regenerasi.
Bersamaan dengan terjadinya proses regresi atau deskuamasi dan perdarahan haidh pada fase menstruasi tersebut, lapisan endometrium uteri juga melepaskan hormon prostaglandin E2 dan F2 (prosesnya dapat dilihat pada gambar 2), yang akan mengakibatkan berkontraksinya lapisan miometrium uteri, sehingga banyak pembuluh darah yang terkandung di dalamnya mengalami vasokonstriksi, dan pada akhirnya akan membatasi terjadinya proses perdarahan haidh yang sedang berlangsung. Di sisi lain, proses penghentian perdarahan haidh ini juga didukung oleh terjadinya pengaktivan kembali pembentukan dan pengeluaran hormon FSH dan estrogen, sehingga memungkinkan kembali terjadinya pemacuan proses proliferasi lapisan endometrium uteri dan memperkuat kontraksi otot-otot uterusnya. Hal ini secara umum disebabkan oleh terjadinya penurunan efek hambatan terhadap aktivitas adenohipofisis dan hipotalamus yang dihasilkan dari hormon progesteron dan LH (yang telah terjadi pada fase luteal), saat terjadinya perdarahan haidh pada fase menstruasi, sehingga terjadi pengaktivan kembali dari hormon-hormon LHRH, FSH, dan estrogen. Kemudian bersamaan dengan terjadinya proses penghentian perdarahan haidh ini, maka dimulailah kembali fase regenerasi dari siklus haidh tersebut.

D. Beberapa gejala yang menyertai terjadinya perdarahan haidh dan penanganannya.
Kebanyakan wanita pada masa reproduksi mengalami beberapa gejala psikologik yang negatif atau gejala fisik. Sifat gejalanya bervariasi dan cenderung memburuk ketika saat-saat menjelang dan selama terjadinya proses perdarahan haidh pada tubuhnya. Keadaan ini tidak selalu terjadi pada setiap siklus haidh-nya dan intensitas -nya tidak sama pada setiap siklusnya. Beberapa wanita ada juga yang mengalami gejala alam perasaan dan fisik yang berat.
Pada fase proliferasi siklus haidh terjadi sedikit masalah. Beberapa wanita mengalami perasaan nyeri pada daerah perut bawah (pada sebagian sisinya) , pada saat terjadinya proses ovulasi. Nyeri biasanya tidak berat dan berlangsung maksimal selama sekitar 12 jam, namun demikian pada beberapa kasus ditemukan dapat kambuh kembali dan sangat mengganggu. Adanya nyeri tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi proses ovulasi di ovarium dan pengurangan rasa nyerinya dapat diberikan pengobatan kontraseptif hormonal .
Pada 5-15 % wanita, biasanya yang berusia akhir 20-an tahun dan awal 30-an tahun (dengan rentang umur 20-40 tahun), pada fase luteal siklus haidh gangguan alam perasaan negatif dan gangguan fisik berlangsung cukup berat, sehingga dapat mengganggu fungsi kehidupannya, hubungan sosial dan pribadinya sehari-hari, terutama hubungan dengan pasangan hidupnya atau anak-anaknya. Gangguan ini terjadi hampir setiap bulan. Selama terjadinya proses perdarahan haidh, gejala-gejala tersebut berangsur-angsur menghilang. Sekurang-kurangnya setelah seminggu pasca terjadinya perdarahan haidh, seorang wanita akan merasakan senang kembali, dan sering mengalami euforia . Pada saat menjelang atau setelah terjadinya proses ovulasi, gejala-gejala tersebut muncul kembali. Keadaan munculnya gejala-gejala tersebut kembali secara bersamaan pada saat terjadinya proses ovulasi disebut sebagai sindrom pra-menstruasi . Gejala-gejala tersebut secara lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 6. Gejala-gejala yang terjadi pada PMS.
Gejala Gangguan
Alam perasaan (emosional) Fisik
Iritabilitas (mudah tersinggung dan marah) Kembung
Ansietas (panik) Rasa tidak nyaman, nyeri tekan, atau nyeri perut
Ketegangan saraf Pembengkakan, nyeri tekan, atau nyeri pada payudara
Depresi (rasa sedih, murung, tak bergairah) Perasaan berat badan bertambah
Lethargi, lemas, alam perasaan terombang-ambing (mood swing), agresif, panik, Edema
Bingung Sakit kepala
Mengidam makanan manis Nyeri punggung
Makanan Mual

Sifat dan keparahan gejala-gejala tersebut bervariasi pada setiap siklus (haidh)-nya, namun demikian selalu bersifat siklik dan terdapat masa-masa bebas mengalami gejala-gejala tersebut. Perubahan alam perasaan cenderung berkelompok dalam suatu faktor yang tetap yang disebut sebagai alam perasaan negatif umum. Sementara gejala-gejala fisik dapat berkumpul dalam 2 kelompok, yaitu:
• Gejala-gejala yang tampak menjelang dan selama terjadinya proses ovulasi (PMS), meliputi gejala-gejala yang terasa pada daerah payudara, berupa rasa penuh di daerah perut, penambahan nafsu makan.
• Gejala-gejala yang tampak pada 1 atau 2 hari menjelang terjadinya proses perdarahan haidh , meliputi gejala-gejala rasa nyeri dan tidak nyaman di daerah perut, sakit kepala, nyeri pada punggung, lemas, nafsu makan menurun, dan kram haidh (tegang daerah perut).
Penatalaksanaan terhadap timbulnya gejala-gejala tersebut adalah dengan melakukan:
(1) Pemberian penjelasan dan konseling terapeutik mengenai penentuan gaya hidup dan pengurangan stress psikologis berdasarkan catatan harian gejala alam perasaan yang muncul pada riwayat haidh.
(2) Pemberian pengobatan (farmakoterapi) .
(3) Penatalaksanaan secara radikal, yaitu pemberian supresi aktivitas ovarium dengan obat-obatan hormonal GnRH/LHRH atau melakukan ooforektomi bilateral secara total.
Penatalaksanaan no. (2) dan (3) terutama dilakukan terhadap seorang wanita yang mengalami gejala PMS berat yang tidak mudah ditanggulangi.

Penyebab terjadinya PMS belum diketahui secara pasti. Penyebabnya kemungkinan adalah berasal dari faktor genetik , namun demikian menurut beberapa teori mutakhir mengatakan bahwa penyebabnya bersifat multifaktor , seperti penyebabnya adalah terjadinya fluktuasi kadar hormon estrogen pada fase luteal yang menyebabkan timbulnya beberapa gejala secara langsung atau terjadinya efek dari aktivitas serotonin , dan lain-lain. Namun demikian, teori ini belum dapat diterima sepenuhnya karena faktanya menunjukkan bahwa tidak selalu terdeteksi terjadinya fluktuasi tersebut dalam monitoring harian pada wanita-wanita yang sedang berada pada fase luteal siklus haidh.
Pada sejumlah wanita (15 %) berusia 20-60 tahun, yang sedang mengalami PMS dapat mengalami penyakit irritabel bowel syndrome . Seorang wanita yang mengalami IBS tersebut mempunyai motilitas usus yang berlebihan dan waktu interval -nya yang lebih singkat atau lebih lama dari waktu normalnya . Penyebab kelainan IBS tersebut pada wanita yang sedang mengalami PMS belum diketahui dengan pasti, namun demikian terdapat pengaruh yang sangat kuat dari unsur psikosomatik dirinya, sehingga dalam penatalaksanaannya juga sangat diperlukan penganalisisan yang mendalam terhadap aspek-aspek kejiwaannya, seperti adanya aspek-aspek kecemasan, depresi, kebingungan, kepanikan, gangguan seksual, dan lain-lain. Pada wanita PMS yang mengalami IBS juga dapat merasakan adanya keluhan-keluhan, seperti nyeri perut yang biasanya lebih terasa di sebelah kiri dan dapat berkurang setelah melakukan defekasi , kembung (perut terasa penuh), perubahan pola defekasi, dan serangan diare yang bergantian dengan terjadinya konstipasi .
Penatalaksanaan terjadinya gejala-gejala tersebut adalah:
(1) Menyingkirkan penyakit organik pada tubuh lainnya yang dapat menimbulkan gejala-gejala yang sama dengan IBS .
(2) Penentuan diet yang lebih baik, terutama banyak mengkonsumsi makanan-makanan yang kaya akan kandungan seratnya.
(3) Pemberian loperidin atau kodein fosfat dan loperamid (imodium@) mungkin dapat sedikit bermanfaat untuk mengurangi peningkatan motilitas usus yang telah terjadi.

Pada wanita-wanita yang sedang mengalami perdarahan haidh, biasanya mengeluhkan gejala-gejalanya yang terjadi dalam 2 hari pertama terjadinya perdarahan haidh, yang mungkin pada awal terjadinya proses perdarahan haidh tidak menampakkan gejala-gejala PeMS-nya. Kebanyakan gejala-gejala tersebut yang timbul pada PeMS adalah ketidakstabilan emosi, seperti mudah marah, sakit kepala, lemas, tidak bergairah hidup, dan nafsu makan menurun. Gejala fisik yang paling umum adalah rasa tidak nyaman, nyeri dan kembung di daerah perut, rasa tertekan pada daerah kemaluannya, dan dismenore . Beberapa wanita mungkin mengalami migren peri-menstruasi yang berat. Sifat dan intensitas dari gejala-gejala PeMS tersebut mungkin bervariasi pada setiap siklus (haidh)-nya. Gejala-gejala tersebut biasanya akan hilang dalam 48 jam setelah kejadian perdarahan haidh. Beberapa wanita juga sering mengeluh adanya nyeri di daerah perut bawah dan kemaluannya dengan intensitasnya hilang timbul dan cenderung meningkat menjelang terjadinya perdarahan haidh. Rasa sakit ini dapat terjadi pada salah satu sisi abdomen dapat dirasakan pada sisi yang lain pada waktu yang berbeda. Wanita tersebut juga dapat mengeluh dispareunia yang berat terutama setelah mengalami persetubuhan (pasca koitus) sebelum terjadinya proses perdarahan haidh, yang dapat berlangsung selama 24 jam. Penatalaksanaan timbulnya ketidakstabilan emosi dapat dilakukan dengan pemberian psikoterapi suportif secara mendalam, terutama yang berhubungan dengan keadaan kejiwaan saat berlangsungnya perdarahan haidh, masalah perkawinan, masalah psikoseksual, dan lain-lain. Sementara untuk mengatasi timbulnya rasa nyeri dispareunia tersebut dapat diberikan pengobatan hormonal medroksi progesteron dengan dosis 30mg per hari atau danazol 3x200mg per hari (selama 2 atau 3 bulan), walaupun efek sampingnya dapat menghalangi khasiat dari pengobatan ini.
Gangguan fisik yang sangat menonjol pada wanita yang sedang mengalami perdarahan haidh adalah dismenore. Dismenore dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu dismenore primer (spasmodik) dan dismenore sekunder. Terjadinya dismenore primer biasanya dimulai pada saat seorang wanita berumur 2-3 tahun setelah menarche dan mencapai maksimalnya pada usia 15 dan 25 tahun. Frekuensinya menurun sesuai dengan pertambahan usia dan biasanya berhenti setelah melahirkan. Nyeri kram (tegang) daerah perut mulai terjadi pada 24 jam sebelum terjadinya perdarahan haidh dan dapat bertahan selama 24-36 jam, walaupun nyeri beratnya hanya berlangsung selama 24 jam pertama saat terjadinya perdarahan haidh. Kram tersebut terutama dirasakan pada daerah perut bagian bawah, tetapi dapat menjalar ke punggung atau ke permukaan dalam paha. Pada suatu kasus yang berat ditemukan bahwa nyeri kram tersebut dapat disertai dengan terjadinya muntah dan diare. Berdasarkan data menunjukkan bahwa dismenore primer tersebut dialami oleh 60-75 % wanita muda. Pada ¾ dari jumlah wanita tersebut mengalami dismenore dengan intensitas yang ringan atau sedang, namun demikian ¼ dari sisa jumlahnya mengalami dismenore dengan intensitas yang berat dan terkadang menyebabkan si penderita tidak berdaya (dalam menahan nyerinya tersebut). Penyebab terjadinya dismenore primer adalah adanya penonjolan aktivasi kinerja dari prostaglandin F2 (PGF2) yang timbul akibat terjadinya gangguan keseimbangan antara prostaglandin-prostaglandin E2 (PGE2) dan F2 (PGF2) dengan prostasiklin (PGI2), yang disintesis oleh sel-sel endometrium uteri . Penonjolan aktivasi ini akan menyebabkan terjadinya iskhemia pada sel-sel miometrium uteri dan peningkatan kontraksi dari rahimnya secara keseluruhan. Penatalaksanaan yang dapat diberikan terhadap timbulnya dismenore primer adalah dengan pemberian obat-obatan yang bersifat menekan terjadinya proses ovulasi atau memberikan yang termasuk salah satu golongan obat inhibitor sintetase prostaglandine .
Sedangkan dismenore sekunder adalah dismenore yang jarang terjadi, biasanya terjadi pada wanita yang berusia sebelum 25 tahun. Pada kebanyakan kasus yang ditemukan dengan dismenore sekunder, penyebabnya adalah adanya endometriosis atau penyakit peradangan rongga dalam daerah kemaluan. Gejalanya adalah nyeri kram perut yang khas mulai 2 hari atau lebih sebelum terjadinya perdarahan haidh, dan nyerinya semakin hebat pada akhir masa perdarahan haidh. Pada saat tersebut, nyerinya mencapai puncak dan berlangsung selama 2 hari atau lebih. Penatalaksanaan yang dapat diberikan terhadap timbulnya dismenore sekunder adalah sama dengan penatalaksanaan yang dilakukan pada dismenore primer.
Gangguan fisik lainnya yang dapat terjadi pada wanita yang sedang mengalami perdarahan haidh adalah sindrom syok toksik (SST) , yang disebabkan oleh pengeluaran endotoksin bakteri Staphylococcus aureus yang menempel pada (kain atau kassa) tampon yang dimasukkan sebelum terjadinya perdarahan haidh ke dalam vagina seorang wanita . Kelainan SST tersebut ditandai dengan munculnya gejala-gejala seperti terjadinya demam mendadak dan tinggi (>38,9oC), nyeri tenggorokan, sakit kepala, nyeri pada otot-otot tubuh, pusing, dan terkadang diare yang encer, syok dan ruam . Penatalaksanaannya adalah:
(1) Penggunaan (kain atau kassa) tampon harus diganti setiap 4 jam.
(2) Mengembalikan volume darah tubuh dengan pemberian cairan isotonis atau darah .
(3) Pemberian obat antibiotik yang tahan terhadap enzim penisilinase, seperti flukloksasiline.

E. Kelainan-kelainan perdarahan haidh dan siklusnya, serta penanganannya.
Beberapa kelainan dapat terjadi berhubungan dengan terjadinya perdarahan haidh. Untuk memahami beberapa kelainan dan gangguan dengan terjadinya perdarahan haidh dan siklusnya lebih mendalam, harus memahami keadaan proses dan mekanisme terjadinya perdarahan haidh dan siklusnya secara normal terlebih dahulu. Beberapa kelainan dan gangguan tersebut, khususnya yang terjadi pada masa reproduksi, dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu:
(1) Kelainan yang berhubungan dengan banyaknya darah dan lama terjadinya proses perdarahan haidh .
(2) Kelainan siklus haidh .
(3) Proses perdarahan lain yang terjadi di luar proses perdarahan haidh (akan dibahas pada Bab. istiadhoh).
(4) Gangguan yang berhubungan dengan hasil konsepsi kehamilan (akan dibahas pada Bab. nifas).

1. Polimenore.
Polimenore adalah panjang siklus haidh yang memendek dari panjang siklus haidh klasik, yaitu kurang dari 21 hari per siklusnya, sementara volume perdarahannya kurang lebih sama atau lebih banyak dari volume perdarahan haidh biasanya. Polimenore yang disertai dengan pengeluaran darah haidh yang lebih banyak dari biasanya dinamakan polimenoragia (epimenoragia).
Polimenore dapat disebabkan oleh adanya gangguan hormonal yang mengakibatkan terjadinya gangguan pada proses ovulasi, atau memendeknya fase luteal dari siklus haidh. Penyebab terjadinya polimenore lainnya adalah adanya kongesti pada ovarium yang disebabkan oleh adanya proses peradangan (infeksi), endometriosis , dan sebagainya.

2. Oligomenore.
Oligomenore adalah panjang siklus haidh yang memanjang dari panjang siklus haidh klasik, yaitu lebih dari 35 hari per siklusnya, sementara volume perdarahannya umumnya lebih sedikit dari volume perdarahan haidh biasanya. Pada kebanyakan kasus oligomenore, kesehatan tubuh wanita tidak mengalami gangguan, dan tingkat kesuburannya cukup baik. Siklus haidh biasanya juga bersifat ovulatoar dengan fase proliferasi yang lebih panjang dibanding fase proliferasi siklus haidh klasik.

3. Amenore.
Amenore adalah panjang siklus haidh yang memanjang dari panjang siklus haidh klasik (oligomenore) atau tidak terjadinya perdarahan haidh, minimal 3 bulan berturut-turut. Terjadinya amenore dan oligomenore sering kali mempunyai penyebab yang sama. Amenore dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu amenore primer dan amenore sekunder .
Penyebab terjadinya amenore primer secara umum lebih berat dan sulit daripada penyebab dari amenore sekunder, seperti adanya kelainan-kelainan kongenital dan genetik. Sedangkan penyebab terjadinya amenore sekunder lebih mengarah kepada sebab-sebab yang timbul kemudian dalam kehidupan wanita, seperti adanya gangguan-gangguan gizi tubuh, metabolisme tubuh, tumor, penyakit infeksi, dan lain-lain. Beberapa penyebab terjadinya amenore primer dan sekunder dan penanganannya secara keseluruhan dapat dikelompokkan dalam beberapa kelompok gangguan, yaitu:
1. Gangguan organik (terutama adanya infeksi, tumor, dan penghancuran sel-sel) pada sistem saraf pusat, seperti: ensefalitis (peradangan pada ensefalon ) dan lain-lain. Penanganannya adalah penentuan penyebab terjadinya kelainan organik dan pengobatannya.
2. Gangguan psikis (kejiwaan), seperti: ketidakstabilan emosional, psikosis , anoreksia nervosa , dan pseudosiesis .
Penanganannya adalah terutama dilakukan melalui pemberian konsultasi psikoterapi dari ahli kejiwaan, dan ahli kebidanan dan kandungannya.
3. Gangguan pada poros hipotalamus-hipofisis-ovarium, seperti: terjadinya sindrom-sindrom amenore-galaktore , Stein-Leventhal , dan amenore hipotalamik . Penanganannya adalah, untuk sindrom amenore-galaktore diberikan pengobatan dengan klomifen, maleas ergonovin, metil dopa, dan 2--bromokriptine. Sedangkan penanganan amenore hipotalamik adalah dilakukan pengobatan sifatnya sama dengan pengobatan pada kasus-kasus infertilitas .
4. Gangguan pada hipofisis, seperti terjadinya sindrom Sheehan dan penyakit Simmonds , dan adanya tumor-tumor hipofisis .
Penanganannya adalah, pada sindrom Sheehan dan penyakit Simmonds dilakukan pemberian pengobatan hormonal sebagai pengobatan substitusi , di antaranya hormon kortison, bubuk hormon tiroid, dan lain-lain. Sedangkan sindrom Forbes-Albright harus diobati sebagi pengobatan tumor hipofisis.
5. Gangguan (kelenjar) gonad, seperti: kelainan kongenital, yaitu disgenesis ovarii dan sindrom testicular feminization , terjadinya menopause prematur , adanya the insensitive ovary , terjadinya penghentian fungsi ovarium , adanya tumor-tumor pada ovarium .
Penanganannya adalah, untuk sindrom Turner dilakukan pengobatan substitusi melalui pemberian hormon estrogen dalam bentuk kombinasi dengan hormon progesteron secara berulang sampai masa menopause atau pasca menopause, dengan syarat pemberian hormon estrogen tersebut dapat dilakukan saat telah terjadi penutupan garis epifisis pada daerah ujung tulang-tulang panjang tubuh. Sedangkan untuk sindrom testicular feminization dilakukan pembedahan , dan pemberian pengobatan hormonal secara berulang.
6. Gangguan glandula (kelenjar) suprarenalis , seperti terjadinya sindrom-sindrom adrogenital , terutama di zona retikularis pada daerah korteks ginjal yang bertanggung jawab dalam menghasilkan hormon seks steroid, sindrom Cushing, dan penyakit Addison .
Penanganannya adalah, untuk sindrom adrogenital diberikan pengobatan kortikosteroid secara terus-menerus (bila perlu, dapat diberikan obat desoksikortikosteroid), atau dilakukan pembedahan plastik pada alat genitalia eksterna (luar)-nya. Sedangkan pada sindrom Cushing, dilakukan pembedahan (berupa reseksi atau pengangkatan) bila disebabkan oleh adanya tumor ginjal, atau adrenalektomi (pengangkatan jaringan ginjal) secara bilateral bila disebabkan oleh adanya hiperplasia jaringan ginjal, dan diberikan terapi substitusi setelah dilakukan pembedahan.
7. Gangguan glandula tiroid, seperti: terjadinya hipotiroid , hipertiroid , dan kreatinisme .
Penanganannya adalah pemberian terapi yang ditujukan pada penyebab timbulnya gangguan glandula tiroid tersebut.
8. Gangguan pankreas, seperti: terjadinya diabetes mellitus (kencing manis). Penanganannya adalah pemberian terapi seperti lazimnya pada para penderita diabetes mellitus secara umum.
9. Gangguan uterus atau vagina, seperti: adanya aplasia uteri atau hipoplasia uteri , sindrom Asherman , terjadinya endometritis tuberkulosa , terjadinya histerektomi, dan adanya aplasia vagina.
Penanganannya adalah, untuk sindrom Asherman dilakukan penglepasan perlekatan endometrium uteri yang terjadi melalui proses dilatasi dan kuretase, dan pemasukan tampon ke rongga uterus sampai luka-lukanya sembuh. Kemudian dapat diberikan juga obat-obatan antibiotik dan (selama beberapa bulan) diberikan juga hormon estrogen. Sedangkan pada endometritis, diberikan pengobatan terhadap penyebab utamanya (yaitu TBC).
10. Penyakit-penyakit umum tubuh, seperti: gangguan gizi tubuh, kegemukan (obesitas), amenore iatrogenik , dan penyakit-penyakit umum tubuh lainnya.

Kemudian terdapat variasi lainnya dari amenore, yaitu adanya keadaan di mana tidak terjadi perdarahan haidh (amenore) yang disebabkan oleh terhalangnya jalan lahir untuk pengeluaran perdarahannya, akibat adanya beberapa kelainan alat-alat genitalia, seperti gin-atresia himenalis , penutupan kanalis serviks uteri, dan lain-lain. Keadaan amenore lainnya adalah amenore yang terjadi secara normal (fisiologis), yakni amenore yang biasanya dapat terjadi pada masa-masa pubertas, kehamilan, menyusui (laktasi), dan sesudah menopause.

4. Hipermenore (menoragia).
Hipermenore adalah terjadinya perdarahan haidh yang lebih atau terlalu banyak dari normalnya dan lebih lama dari normalnya (lebih dari 8 hari).
Hipermenore dapat disebabkan oleh adanya kelainan uterus, seperti adanya tumor uterus (seperti mioma uteri) dengan permukaan endometrium uteri yang lebih luas dari biasanya, terjadinya gangguan kontraksi uterus, adanya polip endometrium uteri, terjadinya gangguan penglepasan lapisan endometrium uteri pada saat terjadinya perdarahan haidh (irregular endometrial shedding), dan lain-lain.
Penanganannya adalah, untuk mioma uteri dilakukan pembedahan, sedangkan pada polip endometrium uteri atau gangguan penglepasan endometrium pada saat haidh dilakukan kuretase (kerokan) pada lapisan endometrium uterinya.

5. Hipomenore.
Hipomenore adalah terjadinya perdarahan haidh yang lebih sedikit dari biasanya, namun demikian tidak mengganggu fertilitas (kesuburan)-nya.
Hipomenore dapat disebabkan oleh adanya gangguan hormonal endokrin dan kelainan uterus
Penanganannya adalah pemberian konseling psikoterapi dan penenangan diri.

F. Bentuk variasi dari kelainan perdarahan haidh dan siklusnya serta penanganannya.
Perdarahan bukan haidh.
Perdarahan bukan haidh terdiri dari perdarahan uterus abnormal (PUA) dan perdarahan uterus disfungsional (PUD). Perdarahan uterus abnormal (PUA) adalah perdarahan yang terjadi pada masa di antara 2 (waktu terjadinya proses) perdarahan haidh. Perdarahan uterus disfungsional (PUD) adalah PUA yang terjadi di dalam maupun di luar siklus haidh.
Perdarahan uterus abnormal (PUA) dan perdarahan uterus disfungsional (PUD) adalah hampir sama dengan perdarahan haidh. Terjadinya PUA dan PUD tidak menentu, dapat terjadi baik di dalam maupun di luar siklus haidh, dan pada masa di antara 2 (waktu terjadinya proses) perdarahan haidh. Perdarahan uterus disfungsional (PUD) merupakan PUA yang terjadi di dalam maupun di luar siklus haidh atau dapat dikatakan juga sebagai gabungan dari 2 jenis kelainan PUA. Sifat-sifat lainnya dari PUA dan PUD tersebut secara umum adalah hampir sama dengan perdarahan haidh.

Perdarahan uterus abnormal (PUA).
Mekanisme terjadinya PUA masih belum diketahui secara pasti, namun demikian terdapat beberapa studi yang menyimpulkan bahwa terjadinya PUA tersebut disebabkan oleh adanya kerusakan dari jaringan-jaringan dan pembuluh-pembuluh darah, yang disebabkan oleh adanya kelainan-kelainan organik (terutama karena adanya infeksi dan tumor) pada alat-alat genitalia interna, dan tidak berfungsinya jaringan-jaringan tersebut secara maksimal untuk melakukan proses penghentian perdarahannya.
Secara umum penyebab terjadinya PUA adalah kelainan organik pada alat-alat genitalia interna dalam (seperti: serviks uteri, korpus uterus, tuba Fallopii, dan ovarium), kelainan sistemik atau darah (seperti: kelainan faktor pembekuan darah), dan kelainan fungsional dari alat-alat genitalia. Beberapa kelainan organik pada alat-alat genitalia interna yang dapat menjadi penyebab terjadinya PUA adalah:
1. Pada serviks uteri: Polip serviks uteri, erosi porsio uteri, ulkus porsio uteri, karsinoma uteri.
2. Pada korpus uteri: Polip endometrium uteri, abortus iminens, proses berlangsungnya abortus, abortus inkomplit, kehamilan mola hidatidosa, khorio-karsinoma, sub-involusi uteri, karsinoma korpus uteri, sarkoma uteri, dan mioma uteri.
3. Pada tuba Fallopii: Kehamilan ektopik terganggu (KET), peradangan pada tuba Fallopii, dan tumor tuba Fallopii.
4. Pada ovarium: Peradangan pada ovarium dan tumor ovarium.

Sementara itu beberapa kelainan fungsional dari alat-alat genitalia yang dapat menyebabkan terjadinya PUA adalah adanya pengaruh gangguan hormonal (terutama yang berhubungan dengan poros hipotalamus-hipofisis-ovarium).
Perdarahan uterus abnormal dapat dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan manifestasinya, yaitu:
1. Jenis PUA berupa kelainan pada siklus haidh-nya, seperti: polimenore , oligomenore , amenore , dan ketidakteraturan siklus haidh.
2. Jenis PUA berupa kelainan pada volume darah yang dikeluarkan, seperti: hipomenore , hipermenore atau menoragia , dan perdarahan bercak-bercak (spotting blood).
3. Jenis PUA yang terjadinya tidak berhubungan dengan siklus haidh (akan dibahas pada Bab. istiadhoh).

Perdarahan uterus disfungsional (PUD).
Mekanisme terjadinya PUD masih belum diketahui secara pasti, namun demikian terdapat beberapa studi yang menyimpulkan bahwa terjadinya PUD tersebut disebabkan oleh adanya hiperplasia dari lapisan endometrium uteri, yang ditimbulkan oleh terjadinya peningkatan perangsangan dari hormon estrogen secara terus-menerus dan berlebihan, akibat terjadinya kegagalan dalam proses ovulasi, pembentukkan korpus luteum, dan terjadinya persistensi folikel-folikel (di ovarium) yang membuatnya sukar atau tidak dapat pecah. Pada PUD jenis ovulatoar , terjadinya perdarahan dicetuskan oleh adanya kelainan pada beberapa faktor (terutama persarafan, otot, dan pembuluh darah), yang mekanismenya belum dapat diketahui secara pasti, sedangkan pada PUD jenis anovulatoar, terjadinya perdarahan biasanya dianggap dicetuskan oleh adanya gangguan pada endokrin (hormonal)-nya.
Perdarahan uterus disfungsional (PUD) juga merupakan gabungan dari 2 jenis kelainan PUA, yang disebabkan oleh adanya gangguan fungsional mekanisme kerja dari poros hipotalamus-hipofisis-ovarium-endometrium, tanpa adanya kelainan organik dari alat-alat genitalia.
Perdarahan uterus disfungsional (PUD) dapat dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan sifat manifestasinya, yaitu:
1. Perdarahan ovulatoar, merupakan sebagian (sekitar 10%) dari PUD yang bersifat polimenore atau oligomenore. Jika telah diketahui secara pasti bahwa perdarahan ini berasal dari lapisan endometrium uteri yang terjadi tanpa adanya sebab-sebab kelainan organik dari alat-alat genitalia-nya, maka penyebab-penyebab terjadinya perdarahan tersebut dapat diperkirakan, yaitu:
A. Adanya korpus luteum persisten, yang manifestasinya adalah terjadinya perdarahan per-vaginam (yang terkadang disertai dengan pembesaran ovarium) dan pelepasan lapisan endometrium uteri secara tidak teratur (irregular shedding).
B. Terjadinya insufisiensi korpus luteum , yang dapat menyebabkan terjadinya pengeluaran bercak-bercak darah sebelum masa perdarahan haidh (pre-menstrual spotting).
C. Adanya apopleksia uteri , yang menyebabkan terjadinya pecahnya pembuluh-pembuluh darah uterus, terutama pada wanita-wanita yang mengalami hipertensi.
D. Adanya kelainan darah, seperti anemia dan gangguan dalam mekanisme pembekuan darah.

2. Perdarahan anovulatoar, merupakan PUD yang bersifat siklis atau terkadang tidak teratur, dan disebabkan oleh adanya penurunan kadar hormon estrogen pada level-level tertentu (secara fluktuatif) yang menimbulkan kelainan atau gangguan proliferasi dari folikel-folikel (di ovarium) dan lapisan endometrium uteri. Perdarahan anovulatoar tersebut dapat terjadi pada setiap waktu, namun demikian terjadinya perdarahan ini paling sering dijumpai pada masa-masa peri-menarce dan peri-menopause (masa klimakterium). Penyebab terjadinya perdarahan anovulatoar pada masa usia peri-menarche dan post-menopause yang paling sering adalah adanya gangguan psikis. Sedangkan terjadinya perdarahan anovulatoar pada masa pubertas disebabkan oleh adanya gangguan berupa terjadinya keterlambatan dalam proses maturasi sintesis hormonal di hipotalamus, yang mengakibatkan terjadinya ketidaksempurnaan dalam sintesis dari releasing factor dan hormon-hormon gonadotropin, sementara terjadinya perdarahan anovulatoar pada masa menopause disebabkan oleh terjadinya ketidaklancaran dalam proses terhentinya aktivitas (fungsi) ovarium. Terjadinya perdarahan anovulatoar juga dapat disebabkan oleh beberapa penyakit dan kelainan tubuh, seperti penyakit-penyakit metabolik, endokrin, kelainan darah (terutama kelainan pembekuan darah), tumor, dan penyakit umum secara kronis pada tubuh. Namun demikian adanya perdarahan anovulatoar juga dapat terjadi tanpa adanya penyakit-penyakit tersebut sebelumnya. Dalam hal ini, penyebabnya adalah gangguan psikis, terutama adanya stress yang sering dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, baik di dalam maupun di luar (urusan) pekerjaan, atau adanya kejadian-kejadian yang mengganggu keseimbangan emosional, seperti adanya kecelakaan atau kematian dalam keluarga, atau adanya pengaruh dari penggunaan obat penenang dalam jangka waktu lama.













II. Perdarahan Nifas
A. Definisi perdarahan nifas.
Ditinjau secara syar’iat Islam.
Ibnu Hajar Atsqolani menjelaskan kata nifas dari salah satu hadits di dalam kitabnya bahwa, “Al-Khoththobi berkata, “Asal kata nifas adalah “nafs”, yang berarti darah, hampir sama artinya dengan haidh, hanya saja berbeda dalam pembentukkan kata kerjanya. Apabila yang dimaksud adalah haidh, maka dikatakannya “nafisa”. Sedangkan jika yang dimaksud adalah darah setelah melahirkan maka dikatakannya “nufisa”.”. Perkataan Al-Khoththobi tersebut sama dengan pendapat sebagian besar ahli bahasa Arab. Namun demikian telah dinukil (arti nifas tersebut) oleh Abu Hatim (dari Al-Asmu’i), “bahwa lafazh “nufisa” adalah kata kerja yang bermakna darah yang keluar dari wanita baik saat haidh maupun setelah melahirkan”. Sementara itu pada riwayat-riwayat lainnya yang sampai kepada kami, ada yang menggunakan lafazh “nufisa” dan ada pula yang menggunakan lafazh “nafisa”.
Selanjutnya dia (Ibnu Hajar Atsqolani) juga berkata dari salah satu hadist lainnya , “bahwa lafazh “anufisti” dapat pula dibaca “anafisti”.”. Lalu ada pendapat yang mengatakan apabila dibaca “anufisti” berarti darah yang keluar setelah melahirkan, sedangkan bila dibaca “anafisti” berarti darah yang keluar ketika haidh, sebab (keluarnya) darah itu sendiri disebut sebagai “nafs””. Sebagian ahlul ‘ilmi mendefinisikan darah nifas, “Bahwa nifas adalah darah haidh, yang semasa hamil terhalangi keluarnya karena keberadaan darah (haidh) tersebut berubah menjadi makanan bagi (janin dalam) kandungan. Apabila (janin dalam) kandungannya telah dilahirkan dan urat (tempat mengalirnya darah tersebut) di dalamnya telah terputus, maka darah tersebut akan keluar dari (daerah) kemaluannya” .
Syaikh Utsaimin berkata bahwa, “nifas adalah darah yang keluar dari rahim (seorang wanita) karena melahirkan, baik (keluarnya) bersamaan dengan kelahirannya tersebut, sesudahnya, ataupun beberapa jam sebelumnya, disertai dengan rasa sakit” .

Ditinjau secara medis.
Perdarahan nifas dalam segi medis sering disebut dengan istilah lokhia. Lokhia merupakan suatu perdarahan yang bercampur dengan discharge , yang keluar setelah terjadinya proses melahirkan. Kandungan dan sifat dari lokhia hampir sama dengan darah haidh.

B. Lamanya masa nifas
Ditinjau secara syar’iat Islam.
Para ulama  berbeda pendapat tentang batasan minimal dan maksimal bagi terjadinya perdarahan nifas. Ada yang mengatakan batas maksimalnya adalah 50 hari, 60 hari atau 70 hari. Namun jumhur ulama mengatakan bahwa batas maksimal nifas adalah 40 hari. Hal tersebut didasarkan pada beberapa hadits, yaitu:


Dari Ummu Salamah , “dia berkata:

1 (AF; 10+38).

Artinya:
“Salah seorang istri Rosululloh  duduk (tidak mengerjakan sholat) saat nifas selama 40 hari, dan Rosululloh  tidak memerintahkannya untuk meng-qodho’ sholat saat nifasnya” .

2 (AF; 10+38).

Artinya:
“Wanita-wanita yang nifas pada zaman Rosululloh  tidak mengerjakan ibadah setelah mengeluarkan darah nifas selama 40 hari dan 40 malam” ”.

Dari Anas bin Malik , dia berkata:

3 (AF; 10+38).

Artinya:
“bahwa Rosululloh  menentukan waktu selama 40 hari bagi wanita-wanita yang nifas, kecuali apabila wanita tersebut melihat (tanda) suci (dari nifasnya) sebelum 40 hari”.” .

Dari Utsman bin Abi ‘Ash , dia berkata:

4 (AF; 10+38).

Artinya:
“Rosululloh  menentukan waktu selama 40 hari bagi para wanita dalam masa nifas mereka”.” .

Dari Abdullah bin Amr bin Ash , dia berkata:

5 (AF; 10+38).

Artinya:
“Rosululloh  bersabda, “Seorang wanita yang sedang nifas itu menunggu selama 40 hari. Jika dia melihat tanda kesucian sebelum waktu itu, berarti dia itu (telah) suci, namun jika sudah melebihi 40 hari, berarti (darahnya adalah) istiadhoh, dia harus mandi lalu sholat, terkecuali kalau darahnya sangat deras, maka cukup berwudhu untuk setiap kali sholat”.”.” .

Dari Jabir bin Abdillah , dia berkata:

6 (AF; 10+38).

Artinya:
“Rosululloh  memberi waktu bagi wanita nifas selama 40 hari”.” .

Dari ‘Aisyah (ketika ditanya tentang wanita yang nifas), dia menjawab:

7 (AF; 10+38).

Artinya:
“Rosululloh  juga pernah ditanya tentang hal itu, maka beliau  memerintahkan untuk menahan diri selama 40 hari kemudian mandi lalu bersuci dan sholat”.” .

Dari Abu Huroiroh , dia berkata:

8 (AF; 10+38).

Artinya:
“Rosululloh  bersabda, “Seorang wanita yang nifas menunggu selama 40 hari kecuali dia melihat tanda kesucian sebelumnya, namun jika telah mencapai 40 hari tetap belum melihat tanda suci, maka hendaklah dia mandi, dan darah itu dihukumi istiadhoh”.”.” .

Dari Abu Darda , dia berkata:

9 (AF; 10+38).

Artinya:
“Rosululloh  bersabda, “Seorang wanita yang nifas menunggu selama 40 hari kecuali dia melihat tanda kesucian sebelumnya, namun jika sudah mencapai 40 hari tetap belum melihat tanda suci, maka hendaklah dia mandi, dan darah itu dihukumi istiadhoh”.”.” .

Ijma’ dari sebagian besar para ulama adalah menshohihkan atau menghasankan hadits-hadits tersebut, di antara beberapa pendapatnya adalah, “Hadits Ummu Salamah ini sanadnya hasan.” , “Hadits tersebut shohih.” , “Hadits ini sanadnya shohih karena rawinya semuanya “tsiqah” ” , “Hadits shohih, hanya saja tidak diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim, dan aku tidak mengetahui hadits lainnya yang semakna dengannya” , “Hadits Mussah ini dipuji oleh Muhammad bin Ismail ” “ , “(Sesuai jawaban Ibnul Mulaqqin ) Kami tidak bisa menerima hadits Mussah (dari Ummu Salamah ) dikatakan “majhul ‘ain atau majhul hal” (sebagaimana yang dikomentarkan oleh Ibnu Qothon), karena banyak yang meriwayatkannya dari dia, ... . Dan Imam Bukhori telah memuji hadits Mussah ini, Imam Hakim menshohihkan sanadnya, maka minimal hadits ini adalah hasan.” , “Berkata Al-Ala’i, “Tambahan dalam hadits (dari Ummu Salamah ) ini dengan gabungan sanadnya tidak turun dari derajat hasan yang bisa dijadikan “hujjah”.”. saya setuju hadits ini dengan gabungan sanadnya menjadi hasan” , “Beberapa hadits tersebut saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya” , “Al-Hafidz (Ibnu Hajar Atsqolani) , telah menyebutkan hadits (dari Ummu Salamah ) ini dalam (kitabnya) Bulughul Marom, lalu berkata, “Dishohihkan oleh Imam Al-Hakim”. Lalu beliau menyetujui penshohihan ini dan tidak mengingkarinya. Dan beliau juga telah berkata dalam (kitabnya) Taqrib Tahdzib tentang Mussah bahwa dia itu “maqbulah” (orang yang bisa diterima haditsnya). Kemudian beliau menyebutkan perkataan Syaikh Adhim Abadi dalam Aunul Ma’bud, lalu berkata, “Yang nampak bagiku bahwasannya hadits ini hasan, bisa digunakan sebagai sebuah dalil”.” , “Hadits (dari Ummu Salamah ) ini memiliki banyak jalan, yang bisa saling menguatkan.” , “Hadits ini hasan.” , “Dalil-dalil yang menunjukkan bahwasannya masa nifas yang paling panjang adalah 40 hari, saling menguatkan sekali antara satu dengan lainnya sehingga bisa digunakan sebagai “hujjah”., dan “Semua jalannya saling menguatkan satu sama lainnya. Dan dengan ini terbantah apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Khuzaimah bahwa tidak ada dalil yang shohih mengenai masalah ini” , dan “Hadits (dari Ummu Salamah ) ini menurut saya hasan, karena semua “rowi” -nya tsiqoh, selain Mussah.” .
Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa, “Waktu maksimal nifas adalah 40 hari, berdasarkan riwayat dari Ummu Salamah . yang mengatakan bahwa, “Pada masa Rosululloh  para wanita nifas tidak melaksanakan sholat dan puasa (selama 40 hari), kami meletakkan “al-wars (sejenis tumbuhan yang berwarna kuning, yang digunakan untuk mewarnai sesuatu)” di wajah-wajah kami” .” .
At-Tirmidzi berkata , “Ahlul ‘ilmi dari kalangan sahabat-sahabat Nabi , para tabi’in, dan orang-orang setelah mereka telah sepakat bahwa wanita-wanita yang nifas, meninggalkan sholat selama 40 hari, kecuali apabila wanita tersebut melihat (tanda) suci sebelum 40 hari, maka dia mandi dan sholat. Sedangkan batasan minimal untuk nifas tidak ada, namun demikian ditunjukkan dengan (jika) seorang wanita telah benar-benar yakin suci dari nifasnya sebelum 40 hari, maka dia mandi (bersuci dari nifasnya) dan hukum-hukum nifas tidak berlaku baginya”.
Syaikh Al-Albani berkata, “Jika seorang wanita (nifas) mendapatkan kesuciannya sebelum 40 hari, maka hendaklah dia mandi dan sholat. Dalam hal ini terdapat hadits yang saling menguatkan. Dari Anas , dia berkata, “Rosululloh  menetapkan waktu bagi wanita nifas sebanyak 40 hari, kecuali jika wanita nifas tersebut mendapati kesuciannya sebelum batas itu”.” .
Nifas tidak dapat ditetapkan kecuali apabila seorang wanita melahirkan sesuatu yang berbentuk manusia. Jika dia mengalami keguguran dan janin yang dilahirkannya belum atau tidak berbentuk manusia , maka darah (yang keluar) itu bukan darah nifas, tetapi darah (yang berasal dari) urat tubuhnya, dan hukum yang berlaku baginya adalah hukum seorang wanita yang mengalami istiadhoh (bukan hukum nifas atau haidh). Sementara waktu terbentuknya janin berwujud manusia minimal 80 hari dan umumnya adalah 90 hari (sekitar 12-13 minggu atau 3 bulan) terhitung sejak awal kehamilan .
Apabila darah nifas berhenti keluar sebelum 40 hari, lalu darah tersebut keluar lagi (namun masih dalam batas waktu 40 hari), maka pendapat yang benar dan rojih adalah bahwa darah yang keluar tersebut masih termasuk darah nifas jika keluarnya darah tersebut masih pada masa yang memungkinkan terjadinya nifas. Namun demikian, jika tidak (pada masa yang memungkinkan nifas), maka darah tersebut adalah darah haidh, dan apabila darah tersebut terus-menerus keluar, maka darah tersebut dinamakan darah istiadhoh. Imam Malik berkata, “Jika seorang wanita melihat darah (kembali keluar) setelah 2 atau 3 hari berhenti (namun masih pada masa nifas), maka itu adalah darah nifas, jika tidak (dalam masa nifas), itu adalah darah haidh” .

Ditinjau secara medis.
Masa nifas menurut konvensi adalah berlangsung selama 6 minggu dari sejak hari melahirkan . Setelah terjadinya proses melahirkan, perubahan-perubahan fungsi dan bentuk dari uterus yang terjadi selama proses kehamilan, kembali ke keadaan pada masa tidak mengalami kehamilan. Masa nifas juga merupakan masa bagi seorang wanita untuk mengambil alih tanggung jawab perawatan bayi (yang baru lahir) yang masih sangat memerlukan perhatian dan bergantung pada orang lain. Masa ini dapat menimbulkan masalah, terutama jika seorang wanita tersebut mendapat kesulitan dalam menyesuaikan diri menjadi seorang ibu.
Pada masa nifas, perubahan-perubahan hormonal endokrinologik yang terjadi selama kehamilan pulih kembali dengan cepat. Beberapa jam setelah plasenta keluar, kadar hormon-hormon yang dihasilkannya (yaitu hPL dan hCG) mengalami penurunan dengan cepat . Kadar hormon estrogen dan progesteron menurun dengan cepat dalam 3 hari pertama masa nifas dan mencapai kadar hormon tidak dalam keadaan hamil sebelum hari ke-7 pasca melahirkan. Kadar ini akan tetap demikian jika seorang wanita melanjutkannya dengan pemberian susu pada bayinya yang baru lahir, namun apabila tidak dilakukan, hormon estrogen tersebut akan mulai mengalami peningkatan dan folikel-folikel di dalam ovarium akan mengalami pertumbuhan kembali. Kemudian setelah 24 jam pertama pasca melahirkan, volume darah dan plasmanya kembali seperti pada masa tidak mengalami kehamilan. Dalam 10 hari pertama setelah melahirkan, peningkatan faktor pembekuan darah (lihat tabel 3.) yang telah terjadi selama kehamilan masih menetap, namun demikian hal ini diimbangi dengan peningkatan aktivitas fibrinolisis-nya.
Pada masa nifas juga terjadi perubahan-perubahan bentuk dari alat-alat genitalia yang berperan pada proses kehamilan dan melahirkan, meliputi perubahan-perubahan pada alat-alat genitalia dan lain-lain, di antaranya adalah:

Daerah perineum (antara vagina dan dubur) dan vagina.
Setelah terjadinya proses melahirkan, daerah perineum mengalami kerusakan atau terkadang masih utuh. Kerusakan pada daerah perineum ini dapat diperbaiki, tetapi edema yang terjadi mungkin dapat menetap sampai beberapa hari pasca melahirkan. Dinding vagina juga akan mengalami pembengkakkan, kebiruan dan lebih menonjol. Daya regang (tonus) vaginanya cepat mengalami pemulihan kembali walaupun masih fragile sampai 1 atau 2 minggu pasca melahirkan.

Uterus.
Terjadinya perubahan yang besar pada ukuran uterus ditunjukkan dengan adanya perubahan ukuran dan berat yang bermakna (sekitar 500 gram), antara akhir masa persalinan kala III , yang ukuran beratnya pada saat ini adalah sekitar 1000 gram, dengan minggu pertama masa nifas, yang ukuran beratnya pada saat ini menjadi sekitar 500 gram. Kemudian perubahan tersebut berlangsung lebih lambat, namun demikian pada akhir minggu ke-6 masa nifas ukuran uterusnya sedikit lebih besar daripada sebelum mengalami kehamilan. Bersamaan dengan terjadinya perubahan pada uterus tersebut, tempat (bekas menempelnya) plasenta (pada lapisan endometrium uteri) juga mengalami pengecilan. Tempat ini cepat tertutup oleh anyaman pembuluh-pembuluh darah yang memberikan aliran darah kepadanya. Dalam 10 hari pasca melahirkan, tempat ari-ari tersebut mengecil hingga bergaris tengah sekitar 2,5 cm. Jaringan pada lapisan endometrium uteri dan tempat plasenta tersebut akan terus mengalami penglepasan/peluruhan selama 6 minggu pasca melahirkan (sekitar 42 hari selama masa nifas), yang menjadi bagian dari lokhia.

C. Kandungan dan sifat perdarahan nifas.
Kandungan perdarahan nifas.
Ditinjau secara syar’iat Islam.
Kandungan darah nifas sama dengan darah haidh .

Ditinjau secara medis.
Lokhia menurut kandungan dibagi menjadi 4, yaitu:
(1) Lokhia rubra (cruenta) .
(2) Lokhia sanguinolenta .
(3) Lokhia serosa .
(4) Lokhia alba, .

Biasanya lokhia tersebut secara normal berbau khas dan agak amis, namun demikian dapat juga berbau busuk bila terjadi penyumbatan pengeluaran cairannya (pada daerah uterus dan vaginanya) dan infeksi.



Sifat perdarahan nifas.
Ditinjau secara syar’iat Islam.
Sifat darah nifas sama dengan darah haidh, keduanya adalah darah (nafs) yang bersifat kotoran (adzaan), di mana darah nifas merupakan darah (haidh) yang terhalang untuk keluar pada masa kehamilan karena dia berubah menjadi bahan makanan bagi si janin dalam kandungan, dan bila kehamilannya selesai serta saluran-saluran darahnya telah putus, maka dia akan keluar kembali seperti keadaan di luar masa kehamilan .

Ditinjau secara medis.
Sifat lokhia secara umum sama dengan darah haidh, yaitu sama-sama merupakan suatu darah kotor, yang mengandung banyak bakteri infeksius, yang dapat menimbulkan dan menularkan suatu penyakit. Namun demikian sifat lokhia akan mengalami perubahan hanya pada saat proses trombosis yang terjadi di dinding pembuluh-pembuluh darah di daerah rahim mengalami proses organisasi kembali, sehingga warna cairan lokhia-nya akan berubah-ubah secara berangsur-angsur, dari merah kehitaman menjadi coklat kemerahan (sejak hari ke-3 sampai ke-12 pasca melahirkan), kemudian pada hari-hari selanjutnya berubah lagi menjadi berwarna kuning , di samping itu juga terkadang lokhia juga dapat berwarna merah kembali, setelah mengalami perubahan warna menjadi kuning . Sedangkan perbedaan sifat antara lokhia dengan darah haidh adalah pada warnanya (yang lebih merah dan terang) dan kadarnya yang lebih rendah dibanding lokhia dan darah haidh.

D. Mekanisme terjadinya perdarahan nifas.
Awal terjadinya proses perdarahan nifas secara umum hampir sama dengan terjadinya proses perdarahan haidh, yaitu akibat terjadinya proses regresi atau deskuamasi dari lapisan endometrium uteri yang disebabkan oleh terjadinya peningkatan aktivasi dan pengaruh dari hormon prostaglandin , dan penurunan aktivasi dan pengaruh dari hormon-hormon endokrin lainnya yang mempertahankan integritas dan eksistensi -nya dari lapisan endometrium uteri tersebut.
Perdarahan nifas adalah bentuk manifestasi dari upaya tubuh untuk melakukan evakuasi sisa-sisa hasil konsepsi dan drainase -nya pada jalan lahir sebagai kelanjutan secara langsung dari terjadinya proses persalinan. Sementara proses persalinan adalah proses pengeluaran janin dan plasenta dari dalam uterus tubuh seorang wanita, yang dapat terjadi akibat adanya kontraksi lapisan miometrium uteri yang terkoordinasi. Jadi mekanisme awal terjadinya proses perdarahan nifas sangat terkait dengan terjadinya proses persalinan.
Mekanisme awal terjadinya proses persalinan masih belum bisa ditentukan secara pasti, walaupun telah banyak penelitian dan teori yang telah dikemukakan. Suatu teori yang dikemukakan pada tahun 1965 mengatakan bahwa awal terjadinya proses persalinan dimulai sebagai akibat dari konvergensi sekumpulan faktor yang secara bertahab semakin menguat, pada waktu tertentu pada masing-masing spesies, dan disesuaikan dengan keadaan morfologik -nya masing-masing yang sangat berkaitan erat satu dengan lainnya, sehingga dapat menimbulkan evakuasi isi uterus . Menurut beberapa studi dan teori mutakhir menunjukkan bahwa peranan hormon oksitosin dan prostaglandin sangat dominan dalam mengawali terjadinya proses persalinan, di samping juga diperkuat efeknya dengan adanya penurunan kadar dan pengaruh dari beberapa hormon yang berperan dalam mempertahankan keberadaan dari janin dan plasentanya di dalam rahim pada saat yang bersamaan. Telah terbukti bahwa jumlah reseptor hormon oksitosin di dalam sel desidua dan sel-sel pada lapisan miometrium uteri mengalami peningkatan pada masa kehamilan lanjut dan menjelang proses persalinan. Hormon oksitosin akan berikatan dengan reseptor-reseptor tersebut dan meng-induksi terjadinya penglepasan hormon prostaglandin, terutama PGE2. Kemungkinan hormon oksitosin tersebut akan meningkatkan pasase ion kalsium (Ca2+) ke sel-sel otot pada lapisan miometrium uteri sehingga dapat mengaktivasi kinerja aktin dan miosin sel-sel ototnya, untuk menimbulkan terjadinya kontraksi fibrile miometrium uterinya. Di sisi lain, pada saat yang bersamaan akan terjadi juga peningkatan pengeluaran dan pengaruh dari hormon prostaglandin yang dapat menimbulkan vasokonstriksi di lapisan miometrium dan endometrium uteri, sehingga dapat mempercepat terjadinya proses iskhemia dan nekrosis pada sel-sel dan jaringannya, kemudian akan memperkuat terjadinya kontraksi pada otot-otot yang ada pada lapisan miometrium dan endometrium uterinya yang diikuti dengan pecahnya beberapa pembuluh darah di daerah tersebut dan pengeluaran bloody show, dan pada akhirnya akan mempercepat terjadinya proses pengeluaran janin dan plasenta yang diikuti juga dengan pengeluaran lokhia dari dalam uterus dan vagina.
Dari studi-studi tersebut juga menunjukkan adanya kesan bahwa hormon oksitosin yang dikeluarkan dari sel-sel desidua tersebut juga terlibat dalam pengaturan pengaruh dari aktivasi hormonnya tersebut. Pada saat persalinan normal setelah melahirkan bayi, terjadi pengeluaran darah sebanyak 200 – 400 ml. sebelum timbulnya retraksi (penarikan) otot-otot yang ada pada lapisan miometrium uteri, yang dilengkapi dengan kontraksi uterus yang kuat.



E. Beberapa kelainan yang menyertai perdarahan nifas dan penanganannya.
Ada empat masalah yang mungkin timbul selama masa nifas, yaitu perdarahan post partum , infeksi masa nifas, tromboembolisme, dan psikiatrik post partum.

Perdarahan post partum.
Perdarahan post partum (PPP) adalah perdarahan per-vaginam (keluar dari vagina) dengan kadar minimalnya 500 ml., yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah melahirkan atau setelah 24 jam pasca melahirkan . Perawatan kebidanan yang lebih baik dan pemberian obat hormonal oksitosin secara tepat pada seorang wanita setelah melahirkan, dapat menurunkan insidens dan beratnya (severity) PPP primer menjadi di bawah 4 %. Adanya PPP lebih sering terjadi pada seorang wanita hamil tua yang mengalami proses persalinan lama, distensi uterus yang berlebihan , perdarahan ante partum (PAP) , dan menggunakan anestesi umum yang dalam.
Penyebab utama dan tersering (80 %) terjadinya PPP primer adalah kurang atau tidak efektifnya kontraksi uterus (uterus hipo- atau a-tonik) dan tertahannya sisa-sisa jaringan dari selaput ketuban di dalam uterus , yang dapat mencegah terjadinya retraksi tempat plasenta secara baik, setelah bayi dilahirkan. Sementara penyebab PPP primer lainnya (20 %) adalah adanya laserasi pada saluran genitalia (biasanya serviks uteri dan vagina), tetapi terkadang dapat juga terjadi ruptur uterus dan daerah perineum, dan gangguan pembekuan darah.
Penanganan PPP primer harus cepat, efektif dan efisien, karena dapat menimbulkan kematian ibu. Upaya pencegahan terjadinya PPP dapat dilakukan dengan beberapa cara:
(1) Pengobatan keadaan anemia yang mungkin terjadi selama masa kehamilan.
(2) Pada wanita-wanita hamil dengan riwayat pernah mengalami perdarahan pasca persalinan pada kelahiran-kelahiran sebelumnya, maka proses persalinannya harus dilakukan di rumah sakit.

Penatalaksanaan awal dari kasus-kasus penyebab PPP primer tersebut adalah dengan pemberian obat hormonal oksitosin profilaksis setelah melahirkan bayi dan ergometrin setelah melahirkan plasenta, pengelolaan kala III yang baik dan semaksimal mungkin, dan penghindaran pendorongan fundus uteri pada saat melakukan pertolongan persalinan sampai dengan lepasnya plasenta. Namun demikian penatalaksanaan selanjutnya berbeda-beda, tergantung apakah selaput ketuban (plasenta)-nya masih di dalam uterus atau sudah keluar, dan jenis penyebab PPP primernya. Bila penyebab PPP primernya adalah retensio plasenta, di mana plasenta belum lahir dalam 30 menit setelah bayi dilahirkan, maka dilakukan pengeluaran plasenta dari rahimnya secara manual , sementara dilakukan juga pemasangan dan pemberian infus cairan isotonis (NaCl 0,9%) yang berisi oksitosin. Bila penyebabnya adalah uteri hipo- atau a-tonik, maka dilakukan masase (pemijatan) uterus dan pemberian injeksi ergometrin atau prostaglandin. Jika tidak berhasil menghentikan perdarahannya, maka dilakukan kompresi (penekanan) secara bimanual pada uterusnya. jika masih gagal menghentikan perdarahannya, dilakukan pemasangan (kain atau kassa) tampon uterovaginal sampai padat terisi, atau folley cathether selama 24 jam. Jika masih gagal juga menghentikan perdarahannya, maka dilakukan histerektomi atau ligasi dari arteri uterina pada dinding uterusnya. Bila penyebabnya adalah laserasi pada jalan lahirnya, maka segera dilakukan reparasi dan penyatuan kembali jalan lahirnya dengan melakukan hecting pada luka robeknya tersebut. Bila penyebabnya adalah gangguan pembekuan darah, maka dilakukan pemasangan dan pemberian transfusi plasma segar.
Sementara itu, penyebab yang paling umum dari PPP sekunder adalah terjadinya proses epitelisasi yang buruk pada tempat (menempelnya) plasenta di dinding uterus, dan adanya fragment plasenta atau bekuan darah yang tertahan di dalam rongga uterus. Pada keadaan ini, uterus mungkin menjadi sangat besar dan menimbulkan rasa nyeri tekan pada perut serta membuat keadaan serviks uteri akan selalu terbuka.
Penatalaksanaan awal dari PPP sekunder ini adalah pemberian obat ergometrin secara injeksi (bila perlu dapt diulangi kembali) dan antibiotik (untuk mengontrol adanya infeksi yang telah atau akan terjadi). Penatalaksanaan berupa kuretase hanya dilakukan apabila didapati jaringan plasenta atau bekuan darah pada penampakkan dari scanning USG (ultrasonografi) atau jika terjadi perdarahan yang menetap meskipun telah diberikan obat hormonal oksitosin sebelumnya.

Infeksi masa nifas.
Infeksi masa nifas adalah infeksi bakteri pada saluran genitalia yang terjadi sesudah melahirkan, ditandai dengan kenaikan suhu sampai dengan 38oC atau lebih, yang berlangsung selama 2 hari dalam 10 hari pertama pasca melahirkan.
Infeksi ini disebabkan masuknya dan berkembang-biaknya bakteri-bakteri anaerob dan aerob , yang keduanya termasuk dari golongan bakteri gram positif, dan Echerichia coli. Dari studi-studi mutakhir ternyata dilaporkan bahwa infeksi dari mikoplasma (jamur) juga memegang peranan penting sebagai penyebab terjadinya infeksi masa nifas. Kebanyakan kasus dari infeksi masa nifas yang timbul pada saluran genitalia berasal dari infeksi ascendens dari vagina atau serviks uteri ke tempat (menempelnya) plasenta di dinding uterus. Kemudian dari tempat plasenta tersebut dapat menyebar ke daerah lapisan parametrium uteri atau melalui rongga uterus menuju ke tuba Fallopii, dan pada beberapa kasus dapat menimbulkan peritonitis pelvik .
Penatalaksanaannya adalah lakukan upaya pencegahan berupa pencegahan terjadinya anemia selama kehamilan, pembatasan masuknya bakteri-bakteri selama proses persalinan berlangsung , dan pemberian obat antibiotika spektrum luas yang tepat untuk bakteri infeksius penyebabnya dan metronidazol selama 5 hari.

Tromboembolisme.
Tromboembolisme adalah adanya bekuan darah (baik trombus maupun emboli) di dalam pembuluh darah akibat terjadinya proses trombosis (pembekuan darah), yang dapat menyumbat aliran darah di dalamnya. Pada masa nifas pembuluh-pembuluh darah balik (vena) di daerah uterus sering mengalami proses trombosis, terutama pada hari ke-5 dan 15. Proses trombosis ini sebenarnya sudah mulai terjadi pada masa kehamilan, diawali dengan terjadinya trombosis pada vena-vena profunda di daerah kedua tungkai, dan kemudian meluas ke vena-vena daerah paha dan daerah kemaluan (pada rongga pelvik). Proses trombosis pada vena-vena tersebut bila tidak ditangani akan menimbulkan komplikasi berupa terjadinya emboli pada pembuluh-pembuluh darah di paru-paru. Dari studi-studi mutakhir dilaporkan bahwa emboli paru dapat terjadi pada seorang wanita nifas dari 6000 kelahiran di negara-negara Barat yang maju, dan 1 dari 5 wanita yang mengalaminya tersebut akan meninggal dunia.
Gejala-gejala terjadinya proses trombosis tersebut adalah adanya demam derajat rendah, peningkatan denyut nadi, dan adanya rasa gelisah. Sementara penatalaksanaannya adalah pemberian anjuran untuk berbaring dengan keadaan kedua tungkai yang ditinggikan dan memakai kaus kaki elastik yang sesuai. Pengobatan yang dapat diberikan adalah pemberian heparin (selama kira-kira 5 hari) atau warfarin (selama kira-kira 6-12 minggu).

Psikiatrik post partum.
Beberapa masalah psikiatrik dapat timbul setelah menjalani persalinan. Terdapat 3 kondisi psikiatrik mengenai wanita setelah dia melahirkan, yaitu murung pada hari ke-3, depresi post partum, dan psikosis post partum.
Kelainan psikiatrik murung pada hari ke-3 terjadi pada 50-70 % wanita-wanita yang sedang dalam masa nifas. Gejala-gejalanya adalah adanya kelabilan emosi, mudah tersinggung, diiringi dengan episode-episode menangis dan merasa sengsara, yang terjadi antara hari ke-3 dan 5 setelah melahirkan. Penyebabnya belum diketahui. Kelabilan emosi biasanya berlangsung kurang dari seminggu, tetapi dapat menetap selama sebulan. Penatalaksanaannya adalah dengan pemberian support mental melalui konseling psikoterapi yang baik. Kelainan psikiatrik depresi post partum terjadi pada 8-12 % wanita-wanita yang sedang dalam masa nifas. Gejala-gejalanya adalah mengalami depresi klinis pada 3 bulan pertama setelah melahirkan, dan 2 kali di antaranya depresi psikometrik.
Penyebab kelainan ini juga belum diketahui secara pasti, namun demikian seorang wanita akan lebih mungkin mengalami depresi post partum jika secara sosial dan emosional dia terisolasi atau mengalami peristiwa kehidupan yang penuh dengan stres terhadap kondisi jiwanya, terutama selama masa-masa kehamilan dan menjelang persalinan. Seorang wanita yang mengalami depresi post partum menunjukkan penyakit depresi umum, walaupun kelelahan, mudah tersinggung, dan ansietas (kepanikan) lebih sering terjadi daripada kebanyakan wanita yang menderita depresi klinis.
Penatalaksanaannya adalah pemberian support mental atau kejiwaan melalui proses konseling psikoterapi yang baik, dan bila perlu pengobatan psikotropika dapat diberikan (hanya pada kasus-kasus depresi yang lebih berat).
Kelainan psikiatrik psikosis post partum terjadi pada 1-3 per 1000 wanita-wanita yang sedang dalam masa nifas. Gejala-gejalanya yang timbul biasanya adalah depresi atau manik, tetapi terkadang dapat timbul gejala skizofrenia . Adanya penyakit ini biasanya timbul secara mendadak antara hari ke-5 sampai 15 pada masa nifas, diawali dengan timbulnya gejala-gejala bingung, cemas, gelisah dan sedih.
Penyebab secara umum biasanya adalah timbulnya delusi dan halusinasi, disertai dengan perasaan melankonia-nya yang mendalam. Penatalaksanaannya adalah pemberian perawatan gabungan dengan bayi yang telah dilahirkannya (sehingga dapat diharapkan akan mengurangi delusinya tersebut) dan pengobatan psikotropika (diutamakan obat Haloperidol). Dari studi-studi mutakhir menunjukkan bahwa pada sekitar 15 % dari para wanita yang pernah mengalami kelainan ini, dapat mengalaminya kembali pada kehamilan berikutnya, dan satu dari tiga wanita tersebut akan mengalami psikosis di luar masa nifasnya.

F. Beberapa kelainan sebagai bentuk variasi dari perdarahan nifas dan penanganannya.
F.1. Abortus (keguguran).
Abortus didefinisikan sebagai keluarnya janin yang disertai dengan perdarahan dari dalam uterus, sebelum mencapai keadaan viabilitas-nya. Organisasi kesehatan dunia (WHO) merekomendasikan bahwa janin dikatakan viabel apabila masa gestasi -nya telah mencapai minimal 20 minggu, atau bila berat janinnya telah mencapai minimal 500 gram. Kebanyakan abortus yang terjadi secara alamiah atau diinduksi, biasanya terjadi antara minggu ke-6 sampai ke-10 pada masa kehamilan. Data dari beberapa negara memperkirakan bahwa antara 10 sampai 15 % kehamilan yang terdiagnosis secara klinis akan berakhir dengan abortus. Abortus lebih sering terjadi pada wanita yang berusia di atas 30 tahun dan frekuensinya akan meningkat bersamaan dengan meningkatnya angka graviditas yang telah dialami sebelumnya. Jenis-jenis abortus dapat yang terjadi dapat dikelompokkan menjadi 5 jenis, yaitu abortus iminens , abortus insipiens , abortus inkomplit , abortus komplit , dan missed abortion.
Abortus dapat terjadi karena beberapa sebab, yaitu:
1. Kelainan pertumbuhan dari janin, yang dapat disebabkan oleh kelainan kromosom sel tubuhnya, kurang sempurnanya lingkungan sekitar tempat (menempelnya) janin di dinding uterus, dan adanya pengaruh teratogen yang disebabkan oleh adanya radiasi, infeksi virus, penggunaan obat-obatan pada masa kehamilan, tembakau (asap rokok), dan alkohol.
2. Kelainan pada plasentanya.
3. Kelainan atau penyakit pada tubuh si-ibu yang mengandungnya, seperti penyakit thyfus, pneumonia , anemia berat, keracunan, dan toksoplasmosis .
4. Kelainan jalan lahir, seperti inkompetensi serviks uteri , retroversi uteri , mioma uteri , dan kelainan bawaan uterus.
Pada awal abortus terjadi perdarahan (yang berasal dari) sel-sel desidua basalis, diikuti terjadinya nekrosis jaringan endometrium uteri dan disekitarnya yang menyebabkan janin terlepas, dan dianggap sebagai benda asing di dalam uterus dan kemudian dikeluarkan melalui terjadinya kontraksi dari lapisan miometrium uteri. Pada masa kehamilan kurang dari 8 minggu, villi khorialis belum menembus lapisan desidua basalis secara mendalam, sehingga janin yang terkandung di dalam plasenta dapat dikeluarkan seluruhnya disertai dengan perdarahan. Pada masa kehamilan 8-14 minggu, penembusannya sudah lebih dalam sehingga plasenta tidak dilepaskan secara sempurna dan menimbulkan banyak perdarahan. Pada masa kehamilan 14-22 minggu, janin dikeluarkan lebih dahulu daripada plasenta disertai dengan perdarahan juga. Pada terjadinya abortus, janin dikeluarkan dalam berbagai bentuk, seperti berupa kantong yang berisi cairan atau benda kecil yang tidak jelas bentuknya , janin lahir dalam keadaan mati, janin masih hidup, kantong yang berisi bongkahan daging berwarna merah , maserasi, atau fetus papiraseus.
Manifestasi gejala yang timbul pada abortus adalah:
1. Diawali dengan terlambatnya haidh atau amenore kurang dari 20 minggu.
2. Keadaan umum tubuh tampak lemah, terjadi penurunan kesadaran dan tekanan darah (tensi), peningkatan frekuensi dan volume denyut nadi dan suhu badan.
3. Terjadi perdarahan per-vaginam, terkadang disertai juga dengan keluarnya janin atau bongkahan daging dari jalan lahir.
4. Timbul rasa mulas atau kram perut bagian bawah (di daerah atas kemaluan), bahkan sering disertai dengan timbulnya nyeri pinggang (akibat terjadinya kontraksi pada lapisan miometrium uteri).
Komplikasi selanjutnya adalah terjadinya perdarahan yang massif , anemia, perforasi (robeknya) uterus, infeksi, kelainan pembekuan darah dan keadaan syok pada tubuh.
Penanganannya disesuaikan pada jenis-jenis abortus yang terjadi. Penanganan secara umumnya adalah pemberian anjuran untuk melakukan istirahat tirah baring dengan perawatan di rumah sakit , dan mengkonsumsi makanan tinggi protein dan vitamin C dosis tinggi , pengobatan penenang gejala panik yang biasanya timbul akibat terjadinya abortus (seperti: fenobarbital atau luminal dengan dosis 3x30 mg per hari) dan tambah darah (seperti: sulfas ferosus dengan dosis 600-1000 mg per hari), pemasangan infus cairan isotonis NaCl 0,9% atau transfusi darah (bila mengalami perdarahan yang massif), tindakan kuretase , pembersihan daerah vagina dan vulva dengan cairan antiseptik (untuk mencegah terjadinya infeksi).
Abortus dapat digunakan sebagai usaha untuk menghindarkan kehamilan yang tidak diinginkan. Mengingat setiap kehamilan harus disetujui bersama antara sepasang suami-istri, maka apabila mereka tidak menginginkan kehamilan perlu diusahakan usaha pencegahan yang rasional secara medis. Namun demikian usaha tersebut tidak dapat berhasil 100 %. Beberapa indikator dari penggunaan abortus untuk menghindarkan kehamilan yang tidak diinginkan dan dibenarkan secara medis adalah abortus yang digunakan untuk penyelamatan terhadap jiwa dan penyakit si ibu, dan kepentingan sosial . Secara sederhana usaha untuk menghindarkan kehamilan tersebut adalah dengan melakukan abortus provokatus . Segera setelah terjadi perkosaan atau persetubuhan secara paksa pada seorang wanita, dia harus mendapat perlindungan obat-obatan yang mengandung hormon estrogen atau progesteron atau prostaglandin dosis tinggi selama 3 hari berturut-turut . Cara abortus lainnya yang dapat dilakukan terhadap wanita tersebut adalah melakukan kuretase (kuret isap) atau injeksi larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%) ke dalam rongga rahim. Tindakan ini harus menyesuaikan dan memperhatikan dengan aspek hukum yang berlaku di negara tempat wanita tersebut tinggal. Menurut hukum medis yang berlaku di Indonesia, yaitu UU. Kesehatan no.23, tahun 1992, pasal 15 tercantum bahwa indikasi tindakan abortus hanya dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin. Namun demikian, UU. Kesehatan ini masih memiliki beberapa kelemahan, di antaranya adalah belum adanya peraturan pemerintah (juklak) yang mengatur mengenai spesifikasi dari indikasi tindakan abortus tersebut, terutama mengenai siapa (subyeknya)?, tempat dan cara melakukannya dan dalam kondisi seperti apa?. Namun demikian, sanksi untuk tindakan abortus yang dilakukan di luar ketentuan tersebut cukup berat (lihat pasal 80, UU. Kesehatan no.23, 1992). Oleh karena itu, peraturan pemerintah yang akan dibuat seharusnya mengakomodasikan semua indikasi-indikasi untuk melakukan tindakan abortus provokatus tersebut.

F.2. Mola hidatidosa (kehamilan anggur).
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal di mana hampir seluruh dari villi korialis plasenta mengalami perubahan hidrofilik . Mola termasuk merupakan penyakit tumor plasenta yang dinamakan penyakit trofoblastik gestasional .
Penyebab terjadinya belum diketahui secara pasti. Ada beberapa teori yang menyatakan bahwa mola disebabkan oleh infeksi, defisiensi makanan, dan faktor genetika. Teori yang paling mendekati adalah teori Acosta Sison, yang menyatakan bahwa penyebab terjadinya mola adalah adanya defisiensi protein pada tubuh. Faktor resiko terjadinya mola terdapat pada golongan sosio-ekonomi rendah, dengan usia di bawah 20 tahun dan mempunyai riwayat paritas yang tinggi.
Manifestasi gejala yang timbul pada mola adalah
1. Diawali dengan terlambatnya haidh atau amenore kurang dari 20 minggu.
2. Terjadinya perdarahan per-vaginam secara berulang, dengan warna darah yang cenderung coklat dan terkadang disertai dengan pengeluaran gelembung (mola).
3. Tampak pembesaran ukuran uterus lebih besar dari ukurannya sesuai dengan usia kehamilannya.
4. Tidak terabanya bagian janin (seperti kepala atau kaki) pada pemeriksaan perabaan perut dan tidak terdengarnya bunyi jantung janin.
5. Terjadinya proses keracunan kehamilan sebelum masa kehamilan mencapai 24 minggu.
Komplikasi selanjutnya adalah terjadinya anemia yang berat, infeksi, pre-eklamsia/eklamsia, tirotoksikosis, dan keadaan syok pada tubuh.
Penanganannya secara umum adalah dengan pemberian anjuran istirahat tirah baring (dengan perawatan di rumah sakit), perbaikan keadaan tubuh secara umum dan pembersihan jalan lahir, pengobatan hormonal injeksi uterotonika , seperti oksitosin atau progesteron, kuretase, dan tindakan histerektomi .

F.3. Kehamilan ektopik (kehamilan di luar rahim).
Kehamilan ektopik adalah terjadinya penempelan hasil konsepsi yang berisi janin dan pertumbuhannya di luar lapisan endometrium uteri. Kebanyakan dari kehamilan ektopik ini terjadi pada dinding tuba Fallopii, namun demikian terkadang juga dapat terjadi pada permukaan ovarium atau serviks uteri atau omentum . Insidens terjadinya kehamilan ektopik meningkat di negara-negara maju, dan sampai sekarang telah menunjukkan angka 1 dalam 80-150 kehamilan. Alasan terjadinya peningkatan tersebut belum dapat dipastikan tetapi mungkin berhubungan dengan terjadinya peningkatan aktivitas seksual dan insidens penyakit peritonitis pelvik.
Kehamilan ektopik dapat terjadi karena beberapa sebab, yaitu:
1. Adanya kelainan pada tuba Fallopii, seperti salpingitis , perlengketan tuba, kelainan kongenital pada tuba, terjadinya endometriosis, adanya tumor yang dapat mengubah bentuk tuba, dan memiliki riwayat kehamilan ektopik sebelumnya.
2. Adanya kelainan zigot, baik kelainan kromosomnya atau bentuknya (malformasi).
3. Adanya (kelainan) migrasi luar sel-sel ovum (dari ovarium kanan ke tuba Fallopii kiri atau sebaliknya), pembesaran ovarium, dan unextruded ovum cells .
4. Adanya riwayat penggunaan obat-obatan hormonal eksogen (estrogen) sebelum masa kehamilan, seperti penggunaan kontrasepsi oral (pil KB).
5. Adanya riwayat pemakaian IUD dan mengalami abortus (pada) tuba sebelum masa kehamilan.
Manifestasi gejala yang timbul pada kehamilan ektopik adalah
1. Diawali dengan terlambatnya haidh atau amenore kurang dari 20 minggu.
2. Timbulnya gejala hamil muda (mengidam).
3. Terjadinya nyeri perut bagian bawah yang hebat secara tiba-tiba, sehingga terkadang dapat membuat pasien pingsan. Nyeri dapat menjalar ke bagian tubuh lainnya, seperti dubur dan bahu.
4. Terjadinya perdarahan per-vaginam, dengan warna darah coklat tua.
5. Pada pemeriksaan vagina, akan didapatkan rasa nyeri bila dilakukan penggerakkan serviks uteri (nyeri goyang) dan perabaan pada dinding vagina di sekeliling serviks uteri tersebut, dan teraba penonjolan dari kavum Dauglash (ruang yang dibentuk oleh serviks uteri dan dinding vagina di sekelilingnya), karena berisi bekuan darah yang banyak.
Komplikasi selanjutnya adalah terjadinya anemia yang berat, infeksi, dan keadaan syok atau pingsan pada tubuh.
Penanganannya secara umum adalah dengan pemberian anjuran istirahat tirah baring (dengan perawatan di rumah sakit), perbaikan keadaan tubuh secara umum dan pembersihan jalan lahir, pemasangan infus cairan isotonis NaCl 0,9% atau transfusi darah (bila mengalami perdarahan yang deras), pengobatan kemoterapi, seperti metotreksat (dengan dosis 1 mg/kg berat badan per hari) dan sitrovorum (dengan dosis 0,1 mg/kg berat badan per hari), diberikan dengan cara berselang-seling selama 8 hari (bila: kehamilan di tuba dekat ampula belum pecah, ukuran garis tengah kantong plasenta maksimal 4 cm, terjadinya perdarahan di dalam rongga perut maksimal 1000 ml, dan tanda-tanda vital [kehidupan] tubuh dalam keadaan baik atau batas-batas normal), dan tindakan salpingektomi atau salpingostomi atau reanastomosis tuba .

F.4. Solusio plasenta.
Solusio plasenta adalah lepasnya plasenta dari insersi –nya sebelum waktunya. Penyebab terjadinya solusio plasenta belum diketahui secara pasti. Faktor-faktor yang dapat memungkinkan terjadinya solusio plasenta ini adalah telah mengalami hipertensi yang menahun (kronis) sebelumnya, mengalami trauma atau benturan pada bagian perut bawah, mengandung janin dengan tali pusat yang pendek, terjadinya proses dekompresi uterus secara mendadak, kelainan atau adanya tumor uterus, defisiensi gizi tubuh, merokok, penggunaan kokain atau narkotika, dan memiliki penyakit jantung atau pembuluh darah tubuh lainnya (seperti: obstruksi vena kava inferior dan vena ovarika).
Mekanisme terjadinya proses perdarahan ante partum yang ditimbulkan akibat adanya solusio plasenta ini terjadi pada masa kehamilan 20 minggu atau lebih. Terjadinya solusio plasenta ini dipicu oleh terjadinya perdarahan ke dalam sel-sel desidua basalis, yang kemudian sel-sel tersebut terlepas dan meninggalkan lapisan tipis yang melekat pada lapisan miometrium uteri sehingga terbentuk hematom desidual yang menyebabkan penglepasan, kompresi, dan akhirnya penghancuran plasenta yang berdekatan dengan bagian tersebut. Di sisi lain, terjadinya ruptur pembuluh nadi arteri spiralis desidua menyebabkan juga terjadinya hematom lainnya (hematom retroplasenta) yang akan memutuskan lebih banyak pembuluh-pembuluh darah di daerah sekitarnya, sehingga penglepasan bagian plasenta akan meluas dan mencapai tepi dari plasentanya tersebut, dan selanjutnya terjadilah perdarahan yang mengalir keluar dengan melepaskan seluruh bagian plasentanya. Dalam hal tersebut, uterus tidak mampu berkontraksi secara optimal untuk menekan perdarahan yang terjadi tersebut karena keadaan uterus masih tetap ber-distensi akibat adanya janin yang tertanam padanya.
Manifestasi gejala yang timbul pada solusio plasenta adalah
1. Terjadinya perdarahan biasanya pada masa kehamilan trimester ke-3, yang keluar melalui vagina , berwarna merah kehitaman atau hitam, dengan kadar yang sedikit sekali sampai sangat deras, disertai dengan tanpa rasa nyeri sampai dengan nyeri perut yang hebat, uterus yang tegang, kematian janin, dan keadaan syok pada tubuh.
2. Dalam pemeriksaan tubuh, akan didapatkan keadaan tanda-tanda vital tubuh normal sampai dengan menunjukkan keadaan syok tubuh.
3. Dalam pemeriksaan kebidanan, akan ditemukan adanya ketegangan dan nyeri tekan pada uterus, kesulitan dalam menilai bagian-bagian janin dan mendengar bunyi denyut jantung janinnya, penampakan warna merah pada air ketuban (karena telah bercampur dengan darah).
Komplikasi selanjutnya adalah terjadinya anemia yang berat, kelainan pembekuan darah, infeksi, dan keadaan syok pada tubuh.
Penanganannya secara umum adalah dengan pemberian anjuran istirahat tirah baring (dengan perawatan di rumah sakit), perbaikan keadaan tubuh secara umum dan pembersihan jalan lahir, pemasangan infus cairan isotonis NaCl 0,9% atau transfusi darah (bila mengalami perdarahan yang massif), pengobatan dengan obat kortikosteroid (untuk pematangan paru-paru janinnya, bila masa kehamilannya belum memungkinkan dilakukan terminasi ), dan tindakan pembedahan (bila perlu dan sesuai dengan indikasi atau keadaan dan umur kehamilannya).
III. Perdarahan Istiadhoh
A. Definisi perdarahan istiadhoh.
Ditinjau secara syar’iat Islam.
Istiadhoh secara bahasa adalah bentuk masdar dari istahadhoh, yang artinya: perdarahan istiadhoh. Sedangkan seorang wanita mustahadhoh adalah seorang wanita yang darahnya mengalir. Darah tersebut bukan dari darah haidh, tetapi dia berasal dari darah yang disebut “‘Adzil”. Kata istiadhoh secara istilah, menurut mazhab Hanafi adalah darah penyakit yang keluar bukan dari rahim, menurut mazhab Syafi’i adalah darah penyakit yang mengalir dari saluran rahim yang paling bawah yang disebut “‘adzil”, dan menurut pendapat jumhur ulama adalah darah yang mengalir dari farji seorang wanita bukan pada waktunya (bukan pada saat terjadinya perdarahan haidh dan nifas) dan darah tersebut berasal dari urat yang disebut “Al-‘Adzil” . Kata istiadhoh menurut syara’ adalah keluarnya darah pada seorang wanita secara terus-menerus, di mana keluarnya darah tersebut tidak berhenti selamanya atau berhenti sebentar, seperti satu atau dua hari dalam satu bulan .

Ditinjau secara medis.
Istiadhoh menurut medis adalah perdarahan dari kemaluan bukan haidh yang terjadinya di luar siklus haidh atau perdarahan dari kemaluan yang tampak terpisah dan dapat dibedakan dari haidh. Perdarahan ini dalam medis disebut sebagai metroragia.

B. Kandungan dan sifat perdarahan istiadhoh.
Kandungan perdarahan istiadhoh.
Ditinjau secara syar’iat Islam.
Kandungan darah istiadhoh tidak seperti darah haidh atau darah nifas, yang mengandung suatu “Adzaan”, namun darah tersebut hanya merupakan darah tubuh biasa seperti darah yang mengalir pada bagian-bagian tubuh lainnya.

Ditinjau secara medis.
Kandungan darah istiadhoh (metroragia) pada umumnya sama dengan darah yang mengalir pada tubuh manusia secara normal. Kandungan darahnya sebagian besar adalah plasma darah, yang mengandung sel-sel darah, seperti sel eritrosit, lekosit, trombosit, dan lain-lain (lihat table 2).

Sifat perdarahan istiadhoh.
Ditinjau secara syar’iat Islam.
Darah istiadhoh bersifat “’Irqun” , berbeda dengan darah haidh atau darah nifas yang bersifar “Adzaan”, di mana keluarnya darah istiadhoh ini berasal terutama dari kerusakan urat (saluran darah) di daerah rahim yang paling bawah, yang terjadi di luar kebiasaan (syadz) terjadinya perdarahan pada seorang wanita pada umumnya (seperti perdarahan haidh atau nifas), tidak memiliki waktu (siklus) tertentu (menarche maupun menopause), dan terjadinya terus-menerus, tidak teratur dan lamanya tidak dibatasi oleh waktu. Ciri-ciri lain dari darah istiadhoh tersebut adalah berwarna merah terang, tidak kental, dan tidak berbau.

Ditinjau secara medis.
Secara umum sifat dari metroragia adalah sama dengan darah yang mengalir pada tubuh manusia secara normal, yang pada umumnya keluar akibat terjadi pecahnya pembuluh-pembuluh darah di daerah vagina atau serviks atau korpus uteri, dan terjadinya di luar atau terpisah dari siklus haidh, serta warna, kandungan dan sifatnya dapat dibedakan dengan darah haidh. Metroragia berwarna merah terang, tidak kental, tidak mengandung bibit penyakit, dan tidak berbau.

C. Mekanisme terjadinya perdarahan istiadhoh.
Mekanisme terjadinya metroragia belum diketahui secara pasti. Namun demikian penyebab terjadinya metroragia yang paling sering adalah adanya gangguan psikis (kejiwaan) . Beberapa penyebab lainnya yang dapat menimbulkan terjadinya metroragia adalah adanya penyakit atau kelainan pada tubuh, seperti penyakit-penyakit metabolic-endokrin (hormonal), kelainan darah (terutama kelainan pembekuan darah), tumor (polip atau karsinoma endometrium uteri atau karsinoma serviks uteri), dan penyakit infeksi (peradangan) umum secara kronis pada tubuh.

Penanganannya adalah dengan pemberian terapi kombinasi hormon-hormon estrogen dosis tinggi (yaitu estradiol dipropionas, 2,5mg, secara intramuskular , atau benzoas estradiol, 1,5mg atau valeras estradiol 20mg) dan progesteron (yaitu kaproas hidroksi-progesteron 125mg, secara intramuskular, atau norethindrone 15mg atau asetas medroksi progesteron 10mg, secara per oral), pembedahan , dan (bila perlu) dilakukan histerektomi.

D. Bentuk variasi dari istiadhoh dan penanganannya.
D.1. Plasenta previa.
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya tidak normal, yaitu pada bagian bawah uterus, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir (serviks uteri).
Penyebab terjadinya plasenta previa belum diketahui secara pasti. Frekuensi terjadinya plasenta previa meningkat pada seorang wanita hamil grande multipara , primigravida tua , memiliki riwayat menjalani pembedahan seksio sesarea atau proses aborsi pada kehamilan sebelumnya, memiliki kehamilan dengan kelainan janin, dan memiliki tumor jinak (leiomioma uteri) pada rahimnya.
Mekanisme terjadinya proses perdarahan ante partum (sebelum proses persalinan) yang ditimbulkan akibat adanya plasenta previa ini terjadi sejak masa kehamilan 22 minggu, di mana saat segmen (bagian) bawah uterus telah terbentuk (menyatu dengan plasenta), dan (dindingnya) mulai melebar dan menipis. Pada umumnya plasenta previa terjadi pada masa trimester ke-3 kehamilan (bulan ke-7 sampai ke-9), karena pada masa-masa kehamilan ini segmen uterus lebih banyak mengalami perubahan. Pelebaran dan penipisan segmen bawah uterus diikuti dengan pembukaan serviks uteri yang terjadi akibat adanya plasenta previa tersebut, menyebabkan ruptur uterus (di tempat menempelnya plasenta), karena lepasnya plasenta dari dinding uterus. Perdarahan ini tidak dapat dihindarkan karena ketidakmampuan dari serat-serat otot segmen bawah uterus untuk ber-kontraksi.
Manifestasi gejala yang timbul pada plasenta previa adalah
1. Terjadinya perdarahan dari jalan lahir berwarna merah segar tanpa rasa nyeri, tanpa sebab yang jelas, terutama pada seorang wanita yang grande multipara (multigravida), pada masa kehamilan setelah 22 minggu.
2. Bila dilakukan pemeriksaan luar, bagian terbawah janin (dalam kandungannya) biasanya tidak pernah masuk pintu panggul bagian atas dan akan timbul kelainan letak janin (misalnya: letak janin menjadi melintang).
3. Bila dilakukan pemeriksaan inspekulo , akan tampak bahwa adanya perdarahan berasal dari ostium uteri ekternum .
Komplikasi selanjutnya adalah terjadinya anemia yang berat, infeksi, dan keadaan syok pada tubuh.
Penanganannya secara umum adalah dengan pemberian anjuran istirahat tirah baring (dengan perawatan di rumah sakit), perbaikan keadaan tubuh secara umum dan pembersihan jalan lahir, pemasangan infus cairan isotonis NaCl 0,9% atau transfusi darah (bila mengalami perdarahan yang deras), pengobatan dengan obat kortikosteroid (untuk pematangan paru-paru janinnya, bila masa kehamilannya belum memungkinkan dilakukan terminasi [dengan persalinan]), dan tindakan pembedahan (bila perlu dan sesuai dengan indikasi atau keadaan dan umur kehamilannya).

D.2. Bloody show.
Bloody show adalah suatu cairan discharge yang bercampur dengan darah segar . Adanya bloody show tersebut juga digunakan sebagai salah satu pertanda bahwa seorang wanita yang hamil tua sudah mulai mengalami proses melahirkan atau dalam masa persalinan . Bloody show berisi darah segar yang bercampur dengan rembesan air ketuban dan lendir , sehingga membuat warna cairannya menjadi merah muda.
Biasanya bloody show secara normal berbau khas dan agak amis, namun demikian dapat juga berbau busuk bila terjadi penyumbatan pengeluaran cairannya (pada daerah uterus dan vaginanya) dan infeksi.Sedangkan perbedaan sifat antara bloody show dengan lokhia dan darah haidh adalah pada warnanya (yang lebih merah dan terang) dan kadarnya yang lebih rendah dibanding lokhia dan darah haidh.
Bloody show terjadi karena pecahnya beberapa pembuluh darah di daerah serviks uteri akibat adanya peregangan yang terjadi akibat dorongan dari janin (yang ada dalam plasenta) yang akan keluar melalui jalan lahir (yaitu melalui serviks uteri dan vagina).
D.2. Perdarahan karena penggunaan preparat hormonal (obat-obatan KB).
Perdarahan karena penggunaan preparat hormonal ini biasanya sering terjadi pada para wanita pengkonsumsi pil-pil dan suntikan keluarga berencana (obat-obatan KB), dan diperkirakan bahwa lebih dari 25% wanita PUS (perempuan usia subur) pada saat ini menggunakan obat-obatan kontrasepsi KB dengan jenis pil secara kontinyu .
Perdarahan yang terjadi biasanya disebabkan oleh beberapa hal di antaranya adalah ketidakteraturan dalam pengkonsumsian obat-obatan KB-nya (baik karena lupa maupun tidak berminat sepenuhnya dalam pengkonsumsiannya), kelebihan dosis dalam penggunaan obat-obatannya, adanya kelainan dalam pola siklus haidh-nya, adanya kelainan-kelainan yang menjadi kontraindikasi dalam penggunaan obat-obatan KB tersebut (seperti: adanya gangguan fungsi hati, kelainan/gangguan pembekuan darah, kelainan darah dan pembuluh darahnya, adanya proses keganasan pada payudara atau alat-alat reproduksi, adanya penyakit-penyakit degeneratif dan kronis , dan lain-lain).
Sifat-sifat perdarahan yang paling sering terjadi di antaranya adalah berupa bercak-bercak perdarahan (spotting) dan perdarahan per vaginam yang tidak teratur (withdrawal bleeding) atau tidak sesuai dengan waktu haidh yang semestinya (metroragia), namun demikian juga ditemukan sejumlah kasus yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan frekuensi dari perdarahan haidh secara bermakna (amenore). Perdarahan yang terjadi tersebut biasanya diiringi dengan adanya keluhan-keluhan fisik lainnya yang terjadi pada bulan-bulan pertama saat memulai atau menghentikan pengkonsumsian obat-obatan KB tersebut, seperti mual, muntah, sakit kepala, pusing, menggigil, kejang, gangguan penglihatan, penambahan berat badan, timbulnya jerawat, kelainan pembekuan darah dan kemungkinan juga dapat menimbulkan terjadinya proses keganasan (di antaranya adalah kanker leher rahim atau payudara).
Penatalaksanaan terjadinya perdarahan ini dilakukan melalui 2 pendekatan, yaitu pendekatan pencegahan dan pendekatan penanganan bila telah mengkomsumsi obat-obatannya. Pendekatan pencegahannya adalah meliputi beberapa hal di antaranya adalah mengetahui cara pemakaian dan pemilihan obat-obatan KB yang kemungkinan dapat disesuaikan penggunaannya pada tubuh nanti. Pedoman untuk mengetahuinya secara sederhana dapat dikonsultasikan pada para tenaga medis (baik dokter maupun dokter spesialis kebidanan dan kandungan) dan paramedis (bidan) yang ada di rumah sakit atau klinik KB, dan biasanya pedoman tersebut meliputi pola siklus haidh-nya, keadaan bentuk fisik dan vital statistik tubuhnya, dan pengevaluasian terhadap adanya reaksi (efek samping) dari obat-obatan KB yang telah dikonsumsi sebelumnya (bila sebelumnya pernah mengkonsumsi obat-obatan KB). Sementara pendekatan penanganannya adalah meliputi beberapa hal di antaranya adalah :
A. Untuk pengkonsumsi pil KB.
Jika terjadi bercak-bercak perdarahan (spotting), maka makanlah 2 pil KB dari bungkus kemasan pil yang lain (dengan dosis digandakan) setiap hari selama 5 hari. Jika dengan cara ini perdarahannya masih belum berhenti, maka hendaknya langsung diperiksakan ke fasilitas kesehatan atau rumah sakit secepatnya agar dapat terhindar dari terjadinya komplikasi yang lebih parah. Jika perdarahan yang terjadi adalah metroragia , maka dapat dilakukan beberapa hal untuk penanganannya sebagai berikut:
1. Berikan motivasi sehingga diharapkan tidak perlu dilakukan pengobatan secara khusus terhadap perdarahannya.
2. Apabila memang perlu diobati, pertama-tama berikanlah obat-obatan anti perdarahan, seperti tablet Daflon, Kalnex, Vitamin K, Adona AC 17, Metergin, dan lain-lain.
3. Kemudian dapat diberikan juga teblet lynoral dengan dosis penggunaan 0,05 – 0,1 mg per hari selama 7 – 10 hari, atau pil KB kombinasi lainnya sampai perdarahan berhenti, atau suntikan KB – ekstra Depo Provera 150mg , atau tablet primolut-N 5mg, 3 kali sehari satu tablet selama 3 hari.
4. Apabila masih terjadi perdarahan yang banyak dan berlanjut, penanganannya harus dilakukan di rumah sakit, yaitu dengan melakukan penanganan secara kuretase.

B. Untuk pengkonsumsi suntikan KB.
Pada umumnya yang sering terjadi adalah metroragia, namun demikian terkadang juga terjadi amenore. Penanganan metroragia tersebut juga sama dengan penanganan pada efek samping perdarahan pada pengguna pil KB sebelumnya. Sementara itu untuk terjadi amenore-nya, tidak memerlukan penanganan.
























Bab IV.
TATA CARA BERSUCI (MANDI)
PASCA TERJADINYA PERDARAHAN HAIDH, NIFAS, dan ISTIADHOH

Tata Cara Mandi Haidh, Nifas, Istiadhoh, dan Junub.
Ditinjau secara syar’iat Islam.
Tata cara mandi setelah mengalami perdarahan haidh, nifas, junub, atau istiadhoh menurut syar’iat Islam telah dijelaskan melalui petunjuk Nabi Muhammad , berdasarkan sabda-sabdanya yang shohih, yaitu:
dari ‘Aisyah , dia berkata:

1 (AS; IV/4).

Artinya:
“bahwa Asma’ binti Syakal bertanya kepada Nabi  (tentang mandi haidh), maka beliau  bersabda,“Salah seorang di antara kalian (wanita) mengambil air dari sidroh -nya. Kemudian dia bersuci (berwudhu) dan membaguskan bersucinya, kemudian dia menuangkan air ke atas kepalanya lalu menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga air sampai pada kulit kepalanya, kemudian dia menyiramkan air ke badannya, lalu mengambil sepotong kain atau kapas yang telah diberi minyak wangi, kemudian dia bersuci (membersihkan tubuhnya) dengannya”. Kemudian Asma’ berkata, “Maha suci Alloh”.” Maka ‘Aisyah berkata kepada Asma’, “Engkau mengikuti (mengusap) bekas darah (dengan kapas atau kain itu)” , dan

dari ‘Aisyah , dia berkata:

2 (AS; IV/4).

Artinya:
“bahwa (ada) seorang wanita bertanya pada Nabi  mengenai (tata cara) mandinya haidh. Maka beliau  memerintahkannya tata cara bersuci, dan beliau  bersabda, “Hendaklah dia mengambil sepotong kapas atau kain yang diberi minyak wangi kemudian bersucilah dengannya”. (Kemudian) wanita tersebut menjawab, “Bagaimana (caranya) aku bersuci dengannya?”. Beliau bersabda, “Maha suci Alloh, bersucilah!”.”. Maka ‘Aisyah menarik wanita itu kemudian berkata, “Ikutilah (usaplah) olehmu bekas darah itu dengan (potongan kapas atau kain)-nya”.” .

Imam An-Nawawi berkata , “Jumhur ulama berkata, “(bekas darah) adalah farji (kemaluan)”. Beliau berkata , “.., Sunnah bagi wanita yang mandi dari haidh adalah mengambil minyak wangi kemudian menuangkannya pada kapas, kain atau semacamnya, lalu memasukkannya ke farjinya setelah selesai mandi, hal ini disukai juga bagi wanita-wanita yang nifas karena nifas itu adalah haidh”.” .

Syarat-syarat mandi.
Syarat-syarat mandi adalah: (1) niat, (2) beragama Islam, (3) berakal sehat, (4) tamyiz, (5) air yang dipakai suci dan mubah, (6) tidak ada hal-hal yang menghalangi sampainya air ke kulit, dan (7) telah berhentinya hal-hal yang mewajibkan mandi.


Ketentuan kadar penggunaan air saat mandi.
Rosululloh  menunjukkan dalam berwudhu dan mandi hendaknya tidak menggunakan air secara berlebih-lebihan. Hal ini berdasarkan beberapa hadits yang diriwayatkan oleh:
Dari Abdullah bin Mughoffal , dia berkata:

3 (TN; 81).

Artinya:
“Aku pernah mendengar dari Rosululloh  bersabda, “Akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang berlebih-lebihan dalam bersuci dan berdo’a”.” ,

hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah , dia berkata:
Artinya:
“bahwa Rosululloh  biasa mandi junub dengan menggunakan bejana (kadar isinya sekitar sama dengan 3 sha` )” ,

hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik , dia berkata:

4 (BM; 27).

Artinya:
“Nabi  biasa berwudhu dengan 1 mud air, dan mandi dengan 4 sampai 5 mud air.” ,

hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah , dia berkata:
“Aku dan Nabi  biasa mandi bersama menggunakan satu bejana dengan air sebanyak 3 mud atau sekitar itu” , dan

hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Ammaroh dan Abdullah bin Zaid , mereka berkata:
Artinya:
“Nabi  pernah disediakan air 2/3 mud, lalu saya lihat beliau  menggosok-gosok lengan (dengan)-nya” .

Tata cara mandi.
Tata cara mandi haidh atau junub dilakukan dengan berdasarkan pada hadits shohih yang diriwayatkan dari ‘Aisyah dan Maimunah .
Dari A’isyah , dia berkata:

5 (Masa’il 3; 142).

Artinya:
“A”.

Dari Maimunah , dia berkata:

6 (Masa’il 3; 144).

Artinya:
“B”.

Tata cara mandi secara lengkap meliputi hal-hal yang wajib dan yang sunnah sebagai berikut:
1. Berniat di dalam hati.
Seseorang yang hendak melakukan mandi, wajib berniat di dalam hatinya. Hal ini berdasarkan hadits shohih yang diriwayatkan:
dari Umar bin Khothob :

7 (TN; 120).

Artinya:
bahwa Rosululloh  bersabda, “Sesungguhnya amalan-amalan seseorang tergantung niatnya, dan seseorang akan mendapatkan balasannya sesuai dengan niatnya” .

2. Membaca “Bismillah”.
Seseorang yang hendak mandi, hendaknya membaca “Bismillah”. Hal ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Abu Huroiroh . .

3. Mencuci telapak tangan terlebih dahulu sebanyak 3 kali.
Seseorang yang hendak mandi sebaiknya memulainya dengan mencuci telapak tangannya terlebih dahulu sebanyak 3 kali. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah dan Maimunah . .

4. Mencuci kemaluan dengan tangan kirinya.
Seseorang yang mandi haidh atau junub hendaknya mencuci kemaluannya dengan tangan kiri. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah dan Maimunah .

5. Membersihkan tangan kirinya.
Seseorang yang mandi haidh atau junub hendaklah mencuci tangan kirinya setelah digunakan untuk mencuci kemaluannya dengan cara sebagai berikut:
 Menggosok-gosokkan tangan kiri tersebut ke tanah, lalu mencucinya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah dan Maimunah .
 Menggosok-gosokkan tangan kiri tersebut ke tanah, lalu mencucinya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah dan Maimunah .
 Mencucinya dengan air sabun. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah , dia berkata, “bahwa Asma’ binti Syakal bertanya kepada Nabi  (tentang mandi haidh), maka beliau  bersabda,“Salah seorang di antara kalian (wanita) mengambil air dari sidroh-nya. ... ” .

6. Berwudhu.
Seseorang yang hendak mandi haidh atau junub, setelah mencuci kemaluannya, hendaklah berwudhu secara sempurna sebagaimana berwudhu ketika hendak sholat. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah , atau boleh juga berwudhu dengan membasuh kaki di akhir rangkaian mandi, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah dan Maimunah . .

7. Menyela-nyela rambut secara merata dan menyiramkan (air) ke kepala.
Seseorang yang hendak mandi haidh atau junub, hendaklah menyela-nyelai rambut secara merata, lalu menyiramkan (air) ke kepalanya 3 kali, (dengan air) sepenuh 2 telapak tangan. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah dan Maimunah .
Ketika menyiramkan kepala, hendaklah dimulai dari kepala bagian kanan, kemudian kiri, setelah itu bagian tengahnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah , dia berkata, “Kami (para isteri Nabi ) apabila salah seorang di antara kami junub, maka dia mengambil (air) dengan kedua telapak tangannya 3 kali lalu menyiramkannya di atas kepalanya, kemudian dia mengambil air dengan satungannya lalu menyiramkannya ke bagian tubuh yang kanan dan dengan tangan yang lain (menyiramkannya) ke bagian tubuh yang kiri” . Ibnu Hajar Atsqolani berkata , “Hadits ini mempunyai hukum marfu’ , karena dzahir -nya adalah bahwa Nabi  mengetahui hal yang demikian itu” .
Bagi wanita yang hendak mandi haidh atau junub dibolehkan tidak melepas ikatan rambutnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah “dia berkata, “Wahai Rosululloh, saya suka mengikat rambut. Apakah saya harus melepaskannya ketika mandi junub?”. Rosululloh  menjawab, “Tidak, kamu cukup menyiramkan air pada kepala 3 kali, selanjutnya meratakannya ke seluruh tubuh. Dengan cara begitu kamu telah suci”.” , namun demikian setelah mandi haidh, wanita dianjurkan untuk melepaskan ikatan rambutnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan:
dari ‘Aisyah , dia berkata:

8 (FB; 538/ 540+541).

Artinya:
“aku mendapati hari Arofah dalam keadaan haidh, maka aku mengadu kepada Rosululloh . Kemudian beliau  bersabda, “Tinggalkanlah rangkaian ibadah umrohmu, lepaskanlah ikatan (uraikanlah) rambutmu (setelah mandi) dan sisirlah rambutmu”.” .

Imam Bukhori telah memasukkan hadits ini dalam bab “Naqdhul Mar’ati Sya’roha ‘Inda Ghuslil Mahidhi” dan mengatakan bahwa pengambilan dalil dengan hadits ini tidaklah sempurna karena yang datang dalam hadits ‘Aisyah ini bukanlah mandi dari haidh. . Dia (‘Aisyah ) hanyalah diperintahkan mandi untuk melakukan ihrom dalam haji dan dia dalam keadaan haidh (ketika mandi, dia dalam keadaan haidh juga, belum suci), maka hal ini adalah mandi (untuk) kebersihan bukan mandi dari haidh. Hal ini menunjukkan bahwa dalil pada hadits tersebut belum dapat dijadikan hujjah tentang wajibnya menguraikan jalinan rambut pada saat mandi haidh, dan sebagian ahli ‘ilmi telah mengisyaratkan akan hal tersebut . Jika menguraikan rambut adalah wajib, maka beliau  pasti menyebutkannya karena tidak boleh mengakhirkan penjelasan dari saat (waktu) kebutuhan . Musthofa Al-‘Adawy berkata (dinukil dari Ibnu Qudamah ), “Wanita menyukai untuk menguraikan jalinan rambutnya apabila mandi dari haidh, tetapi hal ini tidaklah wajib. Hal ini adalah pendapat kebanyakan ahli fiqih dan shohih” . Mandi dari haidh seperti mandinya dari junub, keduanya tidak berbeda . Musthofa Al-‘Adawy berkata, “Wajib bagi wanita untuk menetapkan sampainya air ke pangkal rambutnya pada waktu mandinya dari haidh baik dengan menguraikan jalinan rambut atau tidak. Apabila airnya tidak sampai pada pangkal rambut, kecuali dengan menguraikan jalinan rambut, maka dia (wanita tersebut) menguraikannya (bukan karena menguraikan jalinan rambut adalah wajib), tetapi agar air dapat sampai ke pangkal rambutnya. Wallohu A’lam” . Namun demikian, menurut pendapat yang paling mendekati kebenaran dan rojih adalah seorang wanita yang mandi junub, tidak wajib menguraikan rambutnya terlebih dahulu, sedangkan seorang wanita yang mandi haidh, wajib menguraikan rambutnya terlebih dahulu dan wajib bagi seorang wanita bila telah bersih dari haidh untuk mandi dengan membersihkan seluruh anggota badan, sampai ke pangkal rambutnya.

8. Menyiramkan air ke seluruh tubuh.
Seseorang yang mandi haidh, nifas, atau junub, diwajibkan meratakan air ke seluruh tubuhnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah dan Maimunah . Kemudian ketika menyiramkan air ke tubuh hendaknya dimulai dari tubuh bagian kanan, kemudian bagian kiri. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah , “dia berkata, “Sesungguhnya Nabi  suka mendahulukan bagian yang kanan ketika memakai sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam segala urusan beliau”.” . Seseorang yang mandi juga hendaknya menggosok-gosokkan bagian tubuhnya yang tidak mudah terjangkau air. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah , “... kemudian dia menyiramkan air ke atas kepalanya, lalu dia gosok-gosokkan kepala (agar airnya merata)” .

9. Bergeser dari tempat semula, membasuh kaki dan mengelap badan dengan kain yang wangi.
Menjelang selesai mandi, sebelum membasuh kedua kaki, seseorang yang mandi haidh, nifas, atau junub dianjurkan bergeser sedikit dari tempat semula, lalu membasuh kedua kakinya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Maimunah .
Dan apabila telah selesai mandi, dianjurkan seseorang tidak mengelap badannya dengan handuk maupun kain lap lainnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Maimunah , “dia berkata, “... lalu saya mengambilkan sapu tangan, namun beliau  menolaknya. Beliau  tidak mau mengelap tubuhnya dengan sapu tangan tadi”.” . Beliau  menganjurkan untuk mengelap badannya, terutama kemaluannya dengan menggunakan secarik kain/kapas (atau sejenisnya) yang telah diberi minyak wangi kemudian mengusap bekas darah (pada farji-nya) dengannya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah , dia berkata, “bahwa Asma’ binti Syakal bertanya kepada Nabi  (tentang mandi haidh), maka beliau  bersabda,“Salah seorang di antara kalian (wanita) mengambil air dari sidroh-nya. Kemudian dia bersuci, ..., lalu mengambil sepotong kain atau kapas yang telah diberi minyak wangi, kemudian dia bersuci (membersihkan tubuhnya) dengannya”. Kemudian Asma’ berkata, “Maha suci Alloh”.” Maka ‘Aisyah berkata kepada Asma’, “Engkau mengikuti (mengusap) bekas darah (dengan kapas atau kain itu)” ,
dan dari ‘Aisyah , dia berkata, “bahwa (ada) seorang wanita bertanya pada Nabi, SAW. mengenai (tata cara) mandinya haidh. Maka beliau  memerintahkannya tata cara bersuci, dan beliau  bersabda, “Hendaklah dia mengambil sepotong kapas atau kain yang diberi minyak wangi kemudian bersucilah dengannya”. (Kemudian) wanita tersebut menjawab, “Bagaimana (caranya) aku bersuci dengannya?”. Beliau bersabda, “Maha suci Alloh, bersucilah!”.”. Maka ‘Aisyah menarik wanita itu kemudian berkata, “Ikutilah (usaplah) olehmu bekas darah itu dengan (potongan kapas atau kain)-nya”.” ..
Bagi seseorang yang mandi juga dianjurkan agar tidak berlebihan maupun terlalu sedikit dalam menggunakan air. Air juga dapat digunakan untuk menghilangkan bekas (bercak) darah haidh yang menempel pada pakaian. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan:
dari Ummu Qois binti Mihshon , “dia berkata:

10 (FB; 521: BM; 18).

Artinya:
“Aku bertanya kepada Nabi  tentang darah yang mengenai pakaian. Beliau  bersabda, “Keriklah dengan kuku dan cukuplah kamu gunakan air dan daun bidara (untuk membasuhnya)”.” .

Ditinjau secara medis.
Tata cara pembersihan daerah kemaluan pasca terjadinya perdarahan haidh, nifas, junub, atau istiadhoh secara umum hampir sama seperti pembersihan tubuh secara keseluruhan, dengan urutan-urutannya adalah menyiapkan persiapan peralatan mandi, mencuci tangan, mencuci seluruh tubuh (mandi), dan mengeringkan seluruh bagian tubuh.

Persiapan peralatan mandi.
Persiapan peralatan mandi mencakup hal-hal seperti penyediaan air yang bersih (jernih), mengalir, tidak berbau, dengan jumlah secukupnya di dalam suatu tempat pemandian yang tertutup dan telah dilengkapi dengan fasilitasnya, terutama saluran pembuangannya. Kemudian sediakan dan letakkan sabun (pada tempat sabun yang kering) dan alat-alat mandi lainnya (terutama wadah berisi cairan antiseptik dan 2 handuk bersih dan kering) di tempat yang kering. Sabun yang akan digunakan tidak mesti sabun yang mengandung zat anti bakteri (antiseptik), karena menurut suatu studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara para pengguna sabun biasa dengan sabun yang mengandung zat anti bakteri (antiseptik), di samping sabun yang mengandung zat anti bakteri (antiseptik) kemungkinan akan menyebabkan pengeluaran biaya. Beberapa cairan antiseptik yang dianjurkan dapat digunakan untuk pembersihan daerah kemaluan tubuh adalah dettol , phisohex , dan savlon , sedangkan cairan antiseptik yang dilarang untuk digunakan dan harus dihindari adalah tinctura yodium, klorhexidin, iodine (1-3%), zephiran , merkuri laurel atau campuran yang berisi merkuri (seperti: mercurochrome ), dan alkohol (60-90%), seperti metil , etil, atau isopropil - spiritus. Cairan antiseptik dapat dituangkan pada bejana yang telah terisi air bersih yang akan digunakan untuk mandi sebelumnya, sebanyak kira-kira 3 sampai 5 ml dari cairan tersebut atau secukupnya. Sebaiknya mandi dengan menggunakan pancuran air (seperti kran shower mandi) untuk mempermudah pencucian tubuhnya, terutama daerah kemaluannya, namun apabila tidak terdapat fasilitas tersebut, maka gunakanlah gayung sebagai penyiram tubuhnya dengan air dari bak atau ember yang mungkin telah terisi dan tersedia dalam kamar mandinya.

Pencucian tangan.
Pada tahab awal pencucian daerah kemaluan hendaknya melakukan terlebih dulu pencucian kedua tangan yang akan digunakan untuk mandi dan terutama akan digunakan untuk mencuci daerah kemaluan tubuh. Siapkan gayung yang telah terisi air (yang mungkin telah diberikan cairan antiseptik sebelumnya) atau keluarkan air dari kran shower, lalu siramlah air tersebut untuk mencuci tangan. Pencucian tangan dilakukan dengan menggosok-gosok semua permukaan kedua tangan (sebaiknya sampai batas kedua siku tangan) dengan air yang telah diberikan cairan antiseptik sebelumnya atau dengan mengalirkan air disertai dengan mengoleskan kedua tangannya dengan sabun yang tersedia secara maksimal selama minimal 2 menit dan maksimal 10 menit. Kemudian bilas kedua tangan yang telah dicuci tersebut dengan air mengalir yang telah tersedia. Selanjutnya keringkan kedua tangan tersebut dengan salah satu handuk yang bersih dan kering, yang telah tersedia sebelumnya. Setelah dipakai untuk mengeringkan kedua tangan, sebaiknya handuk yang telah terpakai tersebut jangan digunakan kembali.

Pencucian daerah kemaluan.
Pada tahab pencucian daerah kemaluan ini, diawali dengan melakukan penyiraman pada daerah kemaluan dan sekitarnya (terutama vagina dan vulva) dengan air mengalir yang telah tersedia dan bersihkan permukaan kulitnya terhadap sisa-sisa kotoran (terutama bekuan darah) yang masih menempel di daerah kemaluan dan sekitar genitalia eksterna-nya, dengan cara mengusap dan mengoleskan secukupnya dengan sabun pada daerah-daerah tersebut sambil menggosok-gosokkannya dengan telapak tangan secara lembut, perlahan dan optimal, dimulai dari daerah kemaluan bagian dalam (liang vagina) kemudian ke bagian luarnya dan daerah sekitar kemaluannya. Kemudian daerah-daerah kemaluan dan sekitarnya yang telah dicuci tersebut dengan air mengalir yang telah tersedia. Kemudian lakukan hal-hal tersebut berulang-ulang (secukupnya), sampai dirasakan adanya sisa-sisa kotoran yang menempel pada daerah kemaluan bagian dalam (dari vagina) sampai bagian luar dan sekitarnya telah hilang dan bersih. Selanjutnya lakukan pencucian kedua tangan kembali seperti sebelumnya dengan air mengalir yang telah tersedia, dan mulai untuk melakukan penyiraman dan pencucian tubuh secara menyeluruh (mandi).

Pencucian seluruh tubuh (mandi).
Tahab selanjutnya adalah melakukan penyiraman air dan pencucian tubuh secara menyeluruh dengan menggunakan air mengalir yang telah tersedia, diikuti oleh melakukan penyabunan dan pembilasan tubuh secara menyeluruh kembali dengan air mengalir yang telah tersedia sebelumnya, seperti melakukan aktivitas mandi pada umumnya.

Pengeringan seluruh bagian tubuh.
Tahab terakhir dari pencucian tersebut adalah pengeringan seluruh bagian tubuh dengan salah satu handuk bersih dan kering yang masih tersedia secara perlahan dan maksimal, terutama di daerah kemaluan dan sekitarnya, dan daerah lipatan-lipatan pada tubuh (seperti daerah selangkangan paha dan ketiak). Jangan biarkan sisa-sisa cairan mandi tersebut masih menempel pada tubuh, terutama pada daerah kemaluan dan sekitarnya atau daerah lipatan-lipatan pada tubuh, karena akan menimbulkan keadaan lembab pada daerah-daerah tersebut yang selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya infeksi jamur pada tubuh.













Bab V.
HUKUM-HUKUM SYAR’IAT ISLAM DAN PENJELASANNYA SECARA MEDIS,
MASALAH-MASALAH YANG BERKENAAN DENGAN HAIDH, NIFAS, DAN ISTIADHOH


Hukum-hukum syar’iat Islam yang berkaitan dengan perdarahan haidh dan nifas.
Haidh dan nifas mempunyai hukum-hukum syar’iat yang banyak, di antaranya yang berhubungan dengan sholat, thowaf dan ibadah haji, puasa, ber-jima’ (bersetubuh), thalaq (perceraian) dan masa iddah, masuk dan berdiam di dalam masjid, membaca dan memegang Al-Qur’an, kewajiban mandi, penggunaan obat penunda haidh, melakukan segala macam ibadah lainnya (kecuali yang bid’ah dan terlarang), makan dan minum bersama, melakukan hal-hal yang berhubungan dengan manusia (mu’amalah), dan lain-lain.

A. Hukum yang berhubungan dengan sholat.
Seorang wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas tidak boleh (diharamkan) melakukan sholat, baik sholat wajib maupun sholat sunnah. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari:
Fatimah binti Hubaisy ketika mendatangi Rosululloh  (saat sedang mengalami istiadhoh),
“dia berkata (kepada beliau ):

1 (FB; 518).

Artinya:
“Aku telah mengalami haidh satu atau dua bulan”. Kemudian Rosululloh  bersabda, “Itu bukan darah haidh, tetapi itu adalah darah yang keluar dari urat. Jika telah datang haidh maka tinggalkanlah sholat dan jika telah selesai maka mandilah untuk mensucikanmu, lalu berwudhulah (sholatlah)”.” .

Sholat-sholat yang telah ditinggalkan tersebut selama masa haidh atau nifas tidak perlu di-qodho’ di hari lain. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan:
‘dari A’isyah , “dia berkata:
Artinya:
“Pada zaman Rosululloh  ketika kami (para isteri Nabi ) haidh, (kami) disuruh meng-qodho’ puasa, tetapi tidak disuruh meng-qodho’ sholat”.” .

Menurut Jumhur ulama , seperti Imam-Imam Malik, Syafi’i, Ahmad , bahwa (pada masalah meng-qodho’ sholat wajib) seorang wanita apabila dia telah suci (bersih) dari haidh-nya pada waktu Ashar sebelum matahari tenggelam, dia harus men-jama’ sholat Zhuhur dengan sholat Asharnya (di waktu Ashar [jama’ takhir] ), dan apabila dia telah suci dari haidh-nya pada waktu Isya sebelum fajar (Shubuh) datang, maka dia harus men-jama’ sholat Maghrib dengan sholat Isyanya (di waktu Isya ). Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Huroiroh, Abdurrohman bin Auf, dan Abdullah bin Abbas . Pendapat tersebut didasarkan pada alasan bahwa sholat pada waktu kedua (dalam hal tersebut waktu Ashar dan Isya) sama dengan sholat pada waktu pertama (dalam hal tersebut waktu Maghrib dan Isya) dalam hal udzur (dalam menunaikan sholat). Oleh karena itu, bila seorang wanita memiliki udzur melakukan sholat waktu pertama maka dia wajib meng-qodho’nya sebagaimana dia juga wajib meng-qodho’nya ketika ber-udzur melakukan sholat waktu kedua . Imam Ahmad berkata, “Semua ulama kalangan tabi’in berpendapat seperti ini, kecuali Al-Hasan Al-Bashri” . Kemudian apabila seorang wanita telah suci (bersih) dari haidh-nya pada waktu Shubuh sebelum matahari terbit (kira-kira selama orang sholat 1 roka’at), maka dia cukup sholat Shubuh saja. Hal ini berdasarkan hadits Nabi ,
Artinya:
Beliau  bersabda: “Barang siapa mendapatkan 1 roka’at sholat Shubuh (sebelum matahari terbit) berarti dia mendapatkan sholat Shubuh tersebut, dan barang siapa mendapatkan sholat Ashar sebelum matahari terbenam, berarti dia mendapatkan sholat Ashar tersebut” .

Syaikh Sholih Al-Utsaimin berkata, “Seorang wanita bila kedatangan haidh setelah masuk waktu sholatnya atau telah suci (bersih) dari haidh di akhir waktu sholatnya, tidak wajib mengqodho’ sholatnya, kecuali apabila dia mendapatkan sisa waktu untuk (melakukan) ruku’ sholat, baik di awal maupun akhir waktu sholatnya (seperti seorang wanita yang mengalami haidh setelah tenggelamnya matahari dan diperkirakan dia bisa menjalani ruku’ sholat Maghrib), maka dia wajib meng-qodho’nya. Begitu pula apabila dia mendapatkan waktu untuk ruku’ sholat di akhir waktu sholatnya (seperti seorang wanita yang telah suci dari haidh sebelum terbitnya matahari dan masih bisa mendapatkan ruku’ sholat Shubuh), maka dia wajib mengqodho’nya, karena mendapat 1 bagian sholat yang memungkinkan dia mendapatkan 1 roka’at penuh. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan:
dari Abu Huroiroh , “dia berkata:
Artinya:
“bahwasannya Rosululloh  bersabda, “Barang siapa mendapatkan ruku’ suatu sholat, maka dia mendapatkan 1 roka’at sholat tersebut” ”.”,

dan beberapa sahabat (‘Aisyah, Ibnu Abbas, Abu Huroiroh) ,mereka berkata:

2 (TN; 159).

Artinya:
“Bahwa Nabi  bersabda, “Barang siapa mendapatkan ruku’ sholat Shubuh (sebelum matahari terbit), maka dia mendapatkan 1 roka’at sholat Shubuh, dan barang siapa mendapatkan ruku’ sholat Ashar (sebelum matahari tenggelam) maka dia mendapatkan 1 roka’at sholat Ashar”.” ”.

Dipahami dari kedua hadits tersebut bahwa apabila seorang wanita tidak mendapatkan ruku’ sholat berarti dia tidak mendapatkan satu roka’at tersebut .
Kemudian ada permasalahan lainnya, mengenai wanita yang baru mulai mengalami haidh setelah masuk waktu sholat wajib sementara dia belum melakukan sholatnya tersebut, apakah wanita tersebut harus meng-qodho’ sholatnya tersebut atau tidak?. Ada 2 pendapat ulama dalam permasalahan ini, yaitu:

Pendapat pertama:
Wajib bagi wanita tersebut meng-qodho’ sholatnya. Hal ini menjadi pendapat jumhur ulama (para ulama pengikut Imam-Imam Ahmad, Syafi’i, dan Malik) . Namun demikian, di antara mereka pun masih berbeda pendapat mengenai berapa kadar sisa waktu sholatnya tersebut saat haidh-nya datang. Dalam hal ini ada beberapa pendapat, yaitu: (1) “Apabila sisa waktu tersebut cukup untuk mengucapkan takbir, maka dia harus meng-qodho’nya” , (2) “Apabila sisa waktu tersebut cukup untuk melakukan sholat 1 roka’at, maka dia harus meng-qodho’nya, karena orang yang bisa mendapatkan 1 roka’at sholat, dirinya akan bisa mendapatkan sholat tersebut secara sempurna, seperti halnya sholat Jum’at” , (3) “Apabila sisa waktu tersebut cukup untuk melakukan sholat dan dia yakin dapat menyelesaikan sholatnya dengan sempurna pada sisa waktu tersebut (namun haidh datang sebelum dia melakukan sholatnya), maka dia harus meng-qodho’nya”, (4) “Apabila sisa waktu tersebut cukup untuk melakukan sholat 5 roka’at, maka dia harus meng-qodho’nya”, dan (5) “Apabila sisa waktu tersebut cukup untuk melakukan sholat, tetapi diakhir-akhir sholatnya dia batal, kemudian datang haidh, maka dia harus meng-qodho’nya” .

Pendapat kedua:
Wanita tersebut tidak wajib meng-qodho’ sholatnya, baik dia mengalami haidh di awal maupun di akhir waktu sholatnya. Hal ini disebabkan oleh telah ditentukannya oleh Alloh  batasan awal dan akhir dari sholat. Di samping itu ada hadits shohih yang menyebutkan bahwa Rosululloh  terkadang sholat di awal waktu sholat dan terkadang diakhirnya, dan telah menjadi ketentuan bahwa orang yang terlambat sholat adalah bukan termasuk tindakan yang menyalahi agama .
Menurut fatwa Syaikh bin Baz (menukil dari pendapat Ibnu Taimiyah ), “Pendapat yang lebih rojih dari pendapat-pendapat tersebut adalah, “Seorang wanita yang bila kedatangan waktu sholat, tetapi tidak segera menunaikannya (sholat tersebut) hingga waktu sholatnya hampir habis, kemudian (tiba-tiba) mengalami haidh, maka dia wajib mengqodho’ sholatnya (yang belum ditunaikannya) tersebut, karena dia telah meninggalkan sholatnya.”. Wallohu A’lam” .




B. Hukum yang berhubungan dengan thowaf dan ibadah haji.
Seorang wanita yang sedang haidh dan nifas tidak boleh (diharamkan) thowaf mengelilingi Ka’bah. Hal ini berdasarkan hadits Nabi ,

3 (TN; 114/163).

Artinya:
“Thowaf di Baitulloh adalah merupakan sholat” ,

dan hadits yang diriwayatkan dari Jabir , mengenai kisah ‘Aisyah (tatkala dia mengalami haidh ketika sedang menunaikan ibadah haji),

4 (FB; 513).

Artinya:
“..., dia (‘Aisyah) berkata: “Ya, Rosululloh, mereka pergi menunaikan haji dan umroh, sedangkan saya hanya untuk haji? (“Apakah manusia [yang berhaji itu] kembali dengan 2 ganjaran, sedangkan aku dengan satu ganjaran?”)”. Beliau  menjawab, “Sesungguhnya untukmu (lakukanlah semua amalan-amalan haji) seperti yang diperuntukkan bagi mereka (kecuali thowaf jika kamu belum suci)”.” .

Namun demikian, bagi seorang wanita yang kedatangan haidh setelah melakukan thowaf ifadhoh, diperbolehkan tidak melakukan thowaf wada’. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan:
Dari Ibnu Abbas ,

5 (TN; 164).

Artinya:
“dia berkata: “Rosululloh  menyuruh manusia agar menjadikan thowaf (wada’) di Baitulloh sebagai akhir dari rangkaian ibadah haji mereka, kecuali bagi wanita yang mengalami haidh”.” .

C. Hukum yang berhubungan dengan puasa.
Seorang wanita yang sedang mengalami haidh dan nifas tidak boleh (diharamkan) berpuasa, baik puasa wajib maupun puasa sunnah. Namun, dia wajib meng-qodho’ puasa wajib yang ditinggalkannya itu setelah suci (bersih) dari haidh-nya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari:

6 (TN; 162).

Artinya:
Abu Sa’id Al-Khudri . bahwa Nabi  pernah bersabda, “Bukankah bila dia haidh, tidak boleh sholat dan juga tidak boleh berpuasa?” ,

dan dari hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ,

7 (TN; 167).

Artinya:
“dia berkata: “Pada zaman Rosululloh, ketika kami haidh disuruh meng-qodho’ puasa, tetapi tidak disuruh meng-qodho’ sholat”.” .

Hal tersebut merupakan rahmat dari Alloh  karena apabila sholat harus di-qodho’ tentu akan memberatkan (karena terlalu banyak sholat yang telah ditinggalkan selama masa haidh). Adapun mengenai meng-qodho’ puasa, masalahnya tidak seberat seperti meng-qodho’ sholat. Qodho’ puasa terhitung ringan, karena puasa dilakukan sekali dalam setahun, yaitu pada bulan Romadhon. Qodho’ puasa sebanyak hari-hari pada masa haidh (sekitar 6 atau 7 hari), insya Alloh, tidak akan memberatkan dan menyusahkan untuk menjalankannya bagi seorang wanita.

D. Hukum yang berhubungan dengan ber-jima’ (bersetubuh).
Seorang wanita yang sedang mengalami haidh dan nifas dilarang (diharamkan) untuk disetubuhi (pada kemaluannya). Hal ini berdasarkan firman Alloh ,

A

Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, “Haidh itu adalah kotoran”. Oleh karena itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita yang sedang haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang di perintahkan Alloh kepadamu. Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS. Al-Baqoroh; 222),

dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari:

Abu Huroiroh , “dia berkata:

8 (TN; 168).

Artinya:
“Bahwa Nabi  pernah bersabda, “Barang siapa menyetubuhi istri(nya) yang sedang haidh atau menyetubuhi istri(nya) di duburnya, atau mendatangi dukun lalu mempercayai ucapannya, berarti (dia) telah mengingkari ajaran yang telah diturunkan kepada Muhammad”.”.” .

Barang siapa yang menyetubuhi istrinya yang sedang mengalami haidh atau nifas, maka hendaknya dia bertaubat kepada Alloh  dan mengeluarkan shodaqoh sebesar 1 atau ½ dinar. Dia boleh memilih, apakah hendak mengeluarkan 1 dinar atau ½ dinar, menurut pendapat jumhur ulama yang paling mendekati kebenaran dan rojih. Pada saat ini, satu dinar nilainya sama dengan 4/7 junaih Arab Saudi atau setara dengan 4,25 gram emas. Hal ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari:
Ibnu Abbas , “dia berkata:

9 (BM; 62).

Artinya:
“Bahwa Rosululloh  pernah berkata kepada seseorang yang menyetubuhi istrinya yang sedang haidh. Beliau  berkata, “Hendaklah dia mengeluarkan shodaqoh sebesar 1 dinar atau ½ dinar”.”.” .

Bersetubuh yang diperbolehkan.
Seorang wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas dibolehkan melakukan persetubuhan asal tidak pada lubang kemaluan, karena kemaluan merupakan tempat keluarnya haidh yang dianggap kotoran oleh Alloh  dan RosulNya . Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik  (lihat kembali penjelasannya pada hal.37-38), dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan:
dari ‘Aisyah , (tentang bolehnya seseorang menyetubuhi isterinya yang sedang haidh atau nifas),
dan hadits dari Hirom Ibnu Hukaim “dia bertanya kepada Rosululloh , “Apa (saja) yang dihalalkan baginya terhadap istrinya yang sedang haidh”. Beliau  menjawab:

10 (TN; 173).

artinya:
“Apa saja asal dilapisi kain (daerah kemaluan dan sekitarnya)”.”.” ,

dan hadits dari Maimunah , “dia berkata:

11 (TN; 174).

Artinya:
“Rosululloh  biasa menyetubuhi (menikmati) tubuh istri-istrinya yang sedang haidh dengan cara ditutup kain”.” .

Syaikh bin Baz menyebutkan bahwa wanita yang sedang haidh haram disetubuhi, namun demikian tidak mengapa suaminya menyetubuhi istrinya yang sedang haidh tersebut asal pada bagian yang berada di bawah lututnya ditutupi oleh kain. Adapun menyetubuhi pada bagian lainnya (bagian yang di bawah atau tidak tertutup kain, selain daerah kemaluan dan sekitarnya tersebut), menurut pendapat jumhur ulama dibolehkan, berdasarkan perkataan Nabi , “Lakukanlah apa saja, kecuali bersetubuh” (lihat kembali penjelasannya hal.37-38).

E. Hukum yang berhubungan dengan thalaq (perceraian) dan masa iddah .
Seorang wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas tidak boleh (diharamkan) diceraikan. Seseorang yang menceraikan istrinya yang sedang haidh berarti telah melakukan perbuatan bid’ah . Hal ini berdasarkan firman Alloh ,

B

Artinya:
“Dan cerailah mereka setelah mereka selesai masa iddah-nya ” ,

dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari:

12 (TN; 170).

Artinya:
Ibnu Umar , “dia berkata, “Bahwa Nabi  bersabda, “Perintahkanlah dia untuk rujuk kepada istrinya itu. Kemudian hendaklah dia tahan (jangan diceraikan dulu) istrinya itu hingga bersih dari haidh. Kemudian biarkan hingga dia haidh, lalu bersih lagi. Kemudian setelah istrinya bersih dari haidh yang kedua, kalau mau, dia boleh menahannya (rujuk kembali), atau menceraikannya asalkan sejak bersih (dari haidh) kedua itu dia tidak menyetubuhinya. Begitulah masa iddah bagi orang yang hendak menceraikan istrinya yang diperintahkan oleh Alloh”.”.” .

Seorang wanita yang sedang mengalami haidh tidak boleh (diharamkan) menghitung masa iddah-nya dengan (perhitungan) bulan seumpama suatu ketika terjadi konflik dalam kehidupan rumah tangganya. Namun, hendaklah dia menghitung masa iddah-nya dengan menggunakan (perhitungan) haidh-nya.
Hal ini berdasarkan firman Alloh ,

C

Artinya:
“Wanita-wanita yang dicerai hendaklah menahan diri (ber-iddah) 3 kali quru’ (bersih dari haidh)” (QS. Al-Baqoroh; 228), dan

D

Artinya
“Dan wanita-wanita kalian yang tidak haidh lagi (menopause), jika kalian ragu-ragu (mengenai masa iddahnya), maka (masa) iddah mereka adalah 3 bulan, begitu (pula) wanita-wanita yang tidak haidh”(QS. Ath-Tholaq; 4).

Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa, seorang wanita yang masih mengalami haidh, maka perhitungan masa iddah-nya menggunakan perhitungan haidh, sedangkan bagi seorang wanita yang sudah tidak mengalami haidh lagi (menopause) atau masih anak-anak (yang belum mengalami haidh), perhitungannya dengan menggunakan perhitungan bulan. Adapun bagi seorang wanita yang kondisinya ditinggal suami karena kematiannya, maka iddah-nya adalah 4 bulan 10 hari, baik dia masih anak-anak (yang belum mengalami haidh) maupun sudah menopause (kecuali wanita yang sedang hamil ). Hal ini berdasarkan firman Alloh ,

E

Artinya:
“Apabila orang-orang di antara kalian meninggal dunia meninggalkan para isterinya, (hendaklah para isterinya tersebut) menangguhkan dirinya (ber-iddah) empat bulan sepuluh hari” (QS. Al-Baqoroh; 234),

dan

F

Artinya:
“Dan wanita-wanita yang hamil, masa iddahnya mereka ialah sampai mereka melahirkan” (QS. Ath-Tholaq; 4).

F. Hukum yang berhubungan dengan masuk dan berdiam diri di dalam masjid.
Sebagian ulama melarang masuk dan berdiam diri di dalam masjid bagi seorang wanita yang sedang mengalami (dalam keadaan) haidh, nifas atau junub, berdasarkan pada ayat Al-Qur’an yang telah dikoreksi dari makna yang terkandung di dalamnya dan beberapa hadits yang ternyata telah dilemahkan oleh ulama-ulama lainnya. Ayat Al-Qur’an dan hadits yang dijadikan dasar penentuan hujjah dari beberapa ahli ‘ilmi tersebut atas pengharaman seorang wanita yang sedang mengalami (dalam keadaan) haidh, nifas atau junub untuk masuk dan berdiam diri di dalam masjid adalah:
1. Firman Alloh  yang mengatakan, (......; ...Dan janganlah [kamu masuk ke masjid untuk sholat] sedangkan kamu dalam keadaan junub, kecuali orang-orang yang sekedar berlalu saja (musafir), sampai kamu mandi....) (QS. An-Nisaa`; 43).
Sebagian ulama  melarang seorang wanita yang sedang mengalami (dalam keadaan) haidh, nifas atau junub untuk masuk dan berdiam diri di dalam masjid, berdasarkan dari firman Alloh  tersebut. Penjelasan makna dari ayat Al-Qur’an tersebut telah dikoreksi oleh sebagian ulama lainnya yang memperbolehkan seorang wanita yang sedang mengalami haidh, nifas, atau junub, atau seorang yang di tubuhnya terdapat najis, masuk dan berdiam diri di dalam masjid.
Makna yang paling mendekati kebenaran dan rojih menurut mereka dari firman Alloh  tersebut adalah dapat dilihat dari asbabun nuzul dan penjelasannya dari beberapa sahabat  mengenai turunnya ayat tersebut. Asbabun nuzul dari ayat tersebut adalah sesungguhnya banyak kaum lelaki dari kalangan Anshor di Madinah memiliki pintu-pintu rumahnya selalu menghadap ke masjid. Apabila mereka berada dalam kondisi junub sementara mereka tidak mempunyai air untuk bersucinya, maka terpaksa mereka harus mencari air, dan jalan yang terdekat menuju tempat airnya adalah tidak ada jalan lain kecuali melalui masjid. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Yazid bin Abu Habib “dia berkata:

13 (Ibnu Katsir; 169).

Artinya:
“Rosululloh  pernah bersabda, “Tutuplah semua pintu yang menuju ke masjid, kecuali pintu milik Abu bakar”.”.” .

Asbabun nuzul ini dipertegas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir , dari Ali  yang mengatakan bahwa, “Ayat tersebut turun berkenaan dengan (masalah) musafir (karena yang dimaksud dengan kata [; orang yang sekedar berlalu saja] adalah seorang musafir), jadi makna kalimat (......) adalah “Dan tidak juga bagi orang yang junub, kecuali orang yang mengadakan perjalanan, sehingga dia mandi”. Apabila seorang (musafir) itu junub lalu dia tidak memperoleh air, dia dapat bertayammum lalu menunaikan sholat sampai dia mendapatkan air (untuk bersucinya). Dan apabila dia telah mendapatkan air, hendaklah dia mandi”.
Menurut Ibnu Abbas , “dia berkata, (......) artinya adalah “seseorang tidak boleh mendekati (mengerjakan) sholat (di dalam masjid) apabila dalam keadaan junub, kecuali jika dia seorang musafir yang sedang mengalami Junub, lalu dia tidak menjumpai air, maka dia diperbolehkan langsung sholat terlebih dahulu sampai dia menemukan air (untuk bersucinya)”. Hal (ayat) ini berkenaan dengan musafir” . Hadits ini didukung dari hadits lainnya yang diriwayatkan dari Abu Zar  (ketika sedang membicarakan masalah musafir, di mana diawali dengan membaca ayat ini sebelumnya), “dia berkata, “Rosululloh  pernah bersabda (mengenai masalah musafir), “Debu yang baik (suci) adalah sarana bersuci orang muslim, sekalipun engkau belum menjumpai air selama sepuluh (kali) menunaikan haji. Dan apabila kamu menjumpai air, maka usapkanlah kekulitmu, karena hal tersebut lebih baik bagimu”.”.”.
Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan bahwa, “Demikian itu karena Alloh  telah menjelaskan hukum-hukum orang musafir bila tidak menemukan air, sementara dia dalam keadaan junub. Demikian pula dengan ketentuan musafir selanjutnya (yang dijelaskan dengan kelanjutan dari ayat tersebut), “... Dan jika kalian sakit atau sedang dalam keadaan musafir...” hingga akhir ayat ini, yang dimaksudkan pula adalah orang-orang yang musafir dan sedang menderita penyakit, maka tidak perlu diulang lagi penyebutan (kata [])-nya.
Menurut Ibnu Juraij juga mengatakan bahwa, “kata () artinya adalah orang yang melewati atau menyeberangi, disebutkan dari akar kata yang sama yaitu, ‘araba, ‘abran, dan ‘ubuurun. Ketiganya termasuk dalam pengertian kata ‘abara, yaitu kata yang diungkapkan pada unta yang kuat dalam perjalanan jauh dengan sebutan ‘abral asfar (mengingat kekuatannya yang hebat dalam menempuh jarak yang sangat jauh)”. .
Berdasarkan penjelasan asbabun nuzul tersebut berarti penggunaan firman Alloh  sebagai dalil untuk melarang (mengharamkan) seorang wanita yang sedang mengalami (dalam keadaan) haidh, nifas atau junub secara umum, untuk memasuki atau melintasi masjid dan berdiam diri di dalam masjid tidak kuat atau dho’if (lemah), karena esensi dari makna ayat tersebut adalah menerangkan masalah yang berkenaan dengan keadaan seorang yang musafir, Wallohu A’lam. .

2. Hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah secara marfu’, “dia berkata:

14 (Masa’il 5; 105).

Artinya:
“Nabi  bersabda, “... Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid ini bagi wanita yang haidh dan orang yang junub”.”.” .

Keterangan hadits ini adalah dho’if sanadnya, karena di dalam perawinya ada Jasroh binti Dajaajah, dia adalah seorang rawi yang dho’if. .

3. Hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah secara marfu’, “dia berkata:

15 (Masa’il 5; 106).

Artinya:
“Nabi  bersabda, “... Sesungguhnya masjid ini tidak halal bagi orang yang junub dan wanita haidh”.”.” .

Keterangan hadits ini adalah dho’if sanadnya, karena di dalam perawinya ada Jasroh binti Dajaajah, dia adalah seorang rawi yang dho’if. Imam Abu Zur’ah Ar-Roozi berkata, “Yang benar adalah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ” . Imam Ibnu Hazm berkata, “Adapun Mahduh telah gugur riwayatnya, karena dia telah meriwayatkan dari Jasroh di samping riwayat-riwayat haditsnya bersifat mu’dhol dan majhul . Sedangkan Abul Khoththob Al-Hajari adalah seorang yang majhul. Semua hadits-hadits ini dari seluruh sanad-sanadnya adalah batil .” . Ibnu Hajar Atsqolani berkata, “Abul Khoththob dan Mahduh adalah 2 orang rowi yang majhul” .

4. Hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ketika dia mengalami haidh pada saat sedang menjalani ibadah hajinya,

16 (FB; 493 + 494).

Artinya:
“...Rosululloh  bersabda, “Sesungguhnya (haidh) ini adalah perkara yang telah Alloh tetapkan bagi para putri Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang berhaji selain thowaf di Ka’bah sampai kamu suci (dari haidhnya)”.” .

Hadits ini adalah nash yang membolehkan wanita haidh untuk masuk masjid, bahkan Masjidil Harom, karena Nabi  membolehkan ‘Aisyah melakukan apa saja yang dilakukan orang yang sedang menunaikan ibadah haji. Masuk ke masjid, sholat di dalamnya, atau melakukan thowaf mengelilingi Ka’bah adalah ibadah-ibadah yang biasanya dilakukan oleh seseorang yang sedang menunaikan ibadah haji. Di antara ibadah-ibadah tersebut yang dilarang (diharamkan) oleh Nabi  terhadap ‘Aisyah yang sedang mengalami haidh adalah hanya sholat dan thowaf. Jadi dengan sendirinya memasuki masjid tidak dilarang. Maka barang siapa yang melarang seorang wanita yang sedang haidh untuk memasuki masjid dan berdiam diri di dalamnya, wajib mendatangkan penjelasan (dalil) yang mengharamkannya secara akurat, dan dalil pengharamannya tersebut harus datang setelah dalil penghalalan (dengan kata lain dalil pengharamannya tidak di-mansukh oleh dalil lain yang datang sesudahnya). Jadi hadits ini dapat dijadikan hujjah pembolehan seorang wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas secara umum untuk memasuki masjid atau berdiam diri di dalamnya .

5. Hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah dia berkata:

17 (Masa’il 5; 109).

Artinya:
“Rosululloh  bersabda kepadaku, “Ambilkan untukku al-khumroh (sajadah kecil yang hanya cukup untuk sujud) di masjid”. Lalu aku menjawab, “Sesungguhnya aku sedang haidh”. Lalu Rosululloh  bersabda, “Sesungguhnya haidhmu itu tidak berada di tanganmu”.”.” .

Hadits ini adalah dalil yang menegaskan keadaan seorang wanita yang sedang mengalami haidh diperbolehkan memasuki masjid, berdasarkan dari perintah Rosululloh  kepada istrinya, ‘Aisyah , untuk mengambilkan sajadah kecilnya yang tertinggal dan berada di dalam masjid, dan perkataan beliau  yang menunjukkan bahwa terjadinya haidh tidak dapat dijadikan sebagai halangan untuk memasuki masjid. Redaksi hadits tersebut juga tidak menunjukkan adanya larangan bagi seorang wanita yang sedang haidh untuk memasuki masjid dalam waktu yang lama atau berdiam diri di masjid. Kalau memang benar ada pelarangan terhadap seorang wanita yang sedang mengalami haidh untuk berdiam diri di dalam masjid, kemungkinan besar Rosululloh  telah memberikan peringatan atau pengecualiannya terhadap perintah yang diberikan kepada ‘Aisyah dalam bentuk tambahan perkataan bahwa dia hanya boleh masuk ke masjid dalam waktu yang singkat atau hanya diperkenankan melewati masjid sekedar mengambil sajadah kecil beliau  saja dan tidak boleh tinggal terlalu lama atau berdiam diri di dalam masjid. Kenyataannya adalah beliau  memerintahkannya secara umum, untuk masuk ke masjid, tanpa ada satupun redaksi tambahan dari perintahnya tersebut yang menunjukkan adanya pengecualian atau pelarangan bagi ‘Aisyah untuk berdiam diri di dalam masjid. Hal ini juga diperkuat dengan adanya penegasan perintah dari Rosululloh  terhadap adanya keengganan dari ‘Aisyah (yang sebelumnya mengganggap dirinya tidak pantas masuk ke dalam masjid karena sedang mengalami haidh), bahwa haidh yang sedang dialaminya tersebut tidak dapat menjadi penghalang baginya untuk memasuki masjid dan mengambil sejadah yang telah diperintahkan beliau  kepadanya. Jadi hadits ini dapat juga dijadikan hujjah pembolehan seorang wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas secara umum untuk memasuki masjid atau berdiam diri di dalamnya.

6. Hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah , dia berkata:

18 (Masa’il 5; 111).

Artinya:
“Sesungguhnya ada seorang budak wanita berkulit hitam kepunyaan dari salah satu suku bangsa Arab. Lalu mereka memerdekakannya, kemudian dia pun tinggal bersama mereka... Lalu wanita tersebut datang kepada Rosululloh  dan masuk Islam. Lalu wanita tersebut membuat kemah kecil di masjid (untuk tempat tinggalnya sampai dia meninggal – lihat hadits no.7, sesudah hadits ini) ...” .

7. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Huroiroh , dia berkata:

19 (Masa’il 5; 113).

Artinya:
“Bahwasannya ada seorang wanita berkulit hitam yang biasa membersihkan kotoran di masjid meninggal dunia. Lalu Nabi  bertanya tentangnya. Kemudian mereka (para sahabat) menjawab, “Dia sudah meninggal”. Beliau  bersabda, “Mengapa kalian tidak memberitahukannya kepadaku tentang (kematian)nya. Tunjukkan kepadaku kuburannya”. Lalu beliau mendatangi kuburan perempuan tersebut, kemudian beliau mensholatinya” .

Imam Bukhori meriwayatkan kedua hadits tersebut dalam kitab shohihnya dan telah memberikan bab dengan judul “Tidurnya perempuan di masjid”, dan dijelaskan oleh Ibnu Hajar Atsqolani dengan mengatakannya, “Yang dimaksud (judul bab tersebut) adalah tinggal atau berdiamnya wanita di dalam masjid” . Kedua hadits ini adalah dalil yang menunjukkan secara tersirat bahwa diperbolehkannya seorang wanita yang sedang haidh memasuki dan tinggal di dalam masjid, berdasarkan makna yang didapatkan secara analogis bahwa dari kedua hadits tersebut tidak menunjukkan adanya pelarangan atau pengecualian dari Rosululloh  terhadap wanita tersebut untuk membuat kemah dan tinggal di dalam masjid sampai dia meninggal dunia, mengingat tidak dapat dihindari lagi bahwa pada kehidupan harian dari seorang wanita yang normal setidaknya akan mengalami haidh sebulan sekali atau waktu-waktu tertentu yang dikhawatirkan dapat menimbulkan pencemaran dari kesucian masjid, dan mengenai hal tersebut jelas dan sangat mungkin telah diketahui oleh Rosululloh . Hal ini menunjukkan bahwa Rosululloh . telah mengijinkan dan menetapkan wanita tersebut untuk tinggal di dalam masjid secara umum dan mutlak, bahkan mempunyai kemah sendiri yang telah dibuatnya untuk tempat tinggalnya di dalam masjid dalam waktu lama. Kedua hadits tersebut juga merupakan hujjah yang paling tegas tentang diperbolehkannya seorang wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas untuk masuk dan tinggal di dalam masjid dalam waktu lama.

G. Hukum yang berhubungan dengan membaca dan memegang mushaf Al-Qur’an .
Tidak diragukan lagi, bahwa membaca Al-Qur’an adalah ibadah, di mana hamba-hamba Alloh  melakukannya untuk menyembahNya. Membaca Al-Qur’an merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Alloh  dalam beribadah, yang mereka baca di waktu siang dan malam, serta dalam segala situasi dan kondisi (baik dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring), baik dalam kondisi (telah) berwudhu maupun tidak. Hal ini merupakan perkara yang telah disepakati bersama oleh sebagian besar umat Islam. Namun demikian, ada sebagian ulama berpendapat bahwa seorang wanita yang sedang mengalami (dalam keadaan) haidh, nifas atau junub, dilarang (diharamkan) membaca Al-Qur’an, bahkan ada sebagian ulama juga berpendapat bahwa memegang mushaf Al-Qur’an juga dilarang (diharamkan) bagi seorang wanita yang sedang mengalami (dalam keadaan) haidh, nifas atau junub. Penjelasan dari hal-hal tersebut selanjutnya dapat dikaji melalui pembahasan atas dalil-dalil yang dijadikan sebagai hujjah dari pendapat-pendapat para ahli ‘ilmi tersebut dalam menentukan hukum seorang wanita yang sedang mengalami (dalam keadaan) haidh, nifas atau junub, dalam membaca atau memegang mushaf Al-Qur’an.



 Pembahasan mengenai hukum membaca Al-Qur’an.
Sebagian ulama  melarang membaca Al-Qur’an bagi seorang wanita yang sedang mengalami (dalam keadaan) haidh, nifas atau junub, berdasarkan pada beberapa hadits yang ternyata telah dilemahkan oleh ulama-ulama lainnya. Beberapa hadits yang dijadikan dasar penentuan hujjah dari beberapa ahli ‘ilmi tersebut atas pengharaman ataupun penghalalan seorang wanita yang sedang mengalami (dalam keadaan) haidh, nifas atau junub untuk membaca Al-Qur’an adalah:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar , “dia berkata:

20 (Masa’il 5; 96).

Artinya:
“Nabi  bersabda, “Janganlah seorang wanita yang haidh dan seseorang yang junub membaca sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’an” (dalam riwayat lainnya: “Janganlah seseorang yang junub dan seorang wanita yang haidh membaca sedikitpun juga dari [ayat] Al-Qur’an”).”.” .

2. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ,

21 (Masa’il 5; 98).

Artinya:
“Perempuan yang haidh dan orang yang junub, keduanya tidak boleh membaca sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’an” .

3. Hadits yang diriwayatkan dari Jabir , “dia berkata:

22 (Masa’il 5; 98-99).

Artinya:
“Wanita yang haidh dan yang nifas tidak boleh membaca sesuatupun dari Al-Qur’an”.” .

4. Hadits yang diriwayatkan dari Ali , “dia mengatakan:

23 (Masa’il 5; 102).

Artinya:
“Sesungguhnya Rosululloh  keluar dari tempat buang air (WC), lalu beliau membacakan Al-Qur’an kepada kami dan makan daging bersama kami, dan tidak ada yang membatasinya sesuatupun juga untuk menyentuh Al-Qur’an, kecuali janabah (junub)”.” .

5. Hadits yang mengatakan bahwa:
“Adapun untuk orang yang junub, maka tidak boleh dan tidak pula untuk membaca ayat (Al-Qur’an)-nya” .

6. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas , “dia berkata:
“Tidak ada masalah bagi seorang yang junub membaca Al-Qur’an”.” .

7. Hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah , “dia berkata:

24 (Masa’il 5; 101).

Artinya:
“Nabi  biasa berdzikir atas segala keadaan”.” .

8. Hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah (yang mengalami haidh ketika dia sedang menunaikan ibadah haji dan umrohnya),
“... Kemudian beliau  bersabda, “Sesungguhnya (haidh) ini adalah perkara yang telah Alloh tetapkan bagi para putri Adam, oleh karena itu kerjakanlah semua (ibadah) yang dikerjakan oleh orang yang sedang berhaji selain thowaf di Ka’bah sampai kamu suci (dari haidhnya)”.” .

Beberapa ahli ‘ilmi  mengomentari beberapa hadits tersebut sebagai berikut:
Bukhori : “(Pada hadits pertama) Sesungguhnya yang meriwayatkan (hadits) ini adalah Isma’il bin ‘Ayyasi, dari Musa bin ‘Uqbah, dan aku tidak mengetahuinya dari hadits selainnya, sedangkan Isma’il (tersebut), adalah munkar haditsnya, (apabila dia meriwayatkan haditsnya) dari penduduk Hijaz dan Iraq, (ternyata Isma’il dan Musa adalah seorang penduduk Iraq). Dengan demikian riwayat Isma’il dan Musa ini dho’if” .
Al-Baihaqi : “(Pada hadits pertama) Pada hadits ini perlu diperiksa lagi”. “(Pada hadits ketiga) dan diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, dari ucapannya tentang orang yang junub, haidh dan nifas, tetapi (haditsnya) tidak kuat” .
Al-Albani : “(Pada hadits pertama) Dan ini adalah riwayatnya dari penduduk Hijaz, maka riwayat ini dho’if”. “(Pada hadits ketiga) Dia (Muhammad bin Fadhl) adalah pendusta. Di dalam “At-Taqrib” , “Mereka mendustakannya”, dan di dalam “At-Talkhish Al-Habir” , “Dia matruk , dan diriwayatkan secara mauquf , ditambah di dalam sanadnya ada Yahya bin Abu Unaisah (dia seorang pendusta juga)”.” .
Al-‘Uqoili : “(Pada hadits pertama) Abdullah bin Ahmad berkata, “Ini hadits batil, aku mengingkari hadits ini pada Isma’il bin ‘Ayyasi (yaitu kesalahannya ada padanya)”.” .
‘Ayyasi : “(Pada hadits pertama) Kesalahannnya dari Isma’il bin ‘Ayyasi” .
Atsqolani : “(Pada hadits pertama) Di dalam sanadnya ada Isma’il bin ‘Ayyaasy, sedangkan riwayatnya dari penduduk Hijaz adalah dho’if dan di antaranya (hadits) ini” .
Abu Hatim : “(Pada hadits pertama) Ini kesalahan, hadits ini hanya dari ucapan Ibnu Umar” .
Ibnu ‘Adi : “(Pada hadits pertama) Tidak ada yang meriwayatkannya kecuali Ibnu ‘Ayyasi. At-Tirmidzi dan Bukhori juga menyebutkannya seperti itu. Ucapan ketiga Imam dikarenakan sanad-sanadnya yang lain tersembunyi atas mereka, di mana hal itu telah diisyaratkan oleh Al-Baihaqi dengan ucapannya, “Dan telah diriwayatkan dari selainnya, dari Musa bin ‘Uqbah”. Akan tetapi tidak shohih”. “(Pada hadits ketiga) tidak diriwayatkan kecuali dari Muhammad bin Fadhl” .
Abdul Aziz bin Baz : “(Pada hadits pertama) Hanya saja hadits ini merupakan hadits yang dho’if, karena berasal dari riwayat Isma’il bin ‘Ayyasy, dari ulama Hijaz, dia merupakan tokoh yang dho’if dalam meriwayatkan hadits ini dari mereka”. “(Pada hadits ke-4) Sebenarnya hadits ini dho’if, tidak shohih dari Nabi, SAW. Wallohu A’lam”. “(Pada hadits ke-5) Sanadnya dho’if” .

 Pembahasan mengenai hukum memegang mushaf Al-Qur’an.
Telah terjadi perselisihan pendapat dari para ulama  dalam menyikapi hukum permasalah ini. Sebagian ulama melarang memegang mushaf Al-Qur’an bagi seorang wanita yang sedang mengalami (dalam keadaan) haidh, nifas atau junub, berdasarkan pada ayat Al-Qur’an yang telah dikoreksi dari makna yang terkandung di dalamnya dan beberapa hadits yang ternyata telah dilemahkan oleh ulama-ulama lainnya. Ayat Al-Qur’an dan hadits yang dijadikan dasar penentuan hujjah dari beberapa ahli ‘ilmi tersebut atas pengharaman ataupun penghalalan seorang wanita yang sedang mengalami (dalam keadaan) haidh, nifas atau junub untuk memegang mushaf Al-Qur’an adalah:

1. Firman Alloh , ( - Laa Yamassahu illal muthohharuuna; Tidak menyentuhnya kecuali [hamba-hamba] yang disucikan) (QS. Al-Waqiyah; 79).
Sebagian ulama yang melarang seorang wanita yang sedang mengalami (dalam keadaan) haidh, nifas atau junub untuk memegang mushaf Al-Qur’an, menyatakan bahwa, maksud dari kata “menyentuhnya” adalah menyentuh mushaf Al-Qur’an, dan maksud dari kata “(hamba-hamba) yang disucikan” adalah orang-orang yang bersuci, sehingga setiap orang yang ber-hadats , atau seorang wanita yang sedang mengalami haidh, nifas, atau junub, atau seorang yang di tubuhnya terdapat najis, tidak boleh menyentuh mushaf Al-Qur’an, kecuali orang-orang yang (telah) suci dari hadats besar maupun kecil. Sebagian ulama yang menggunakan dalil ini sebagai dasar pelarangannya di antaranya adalah para imam mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Ahmad), Ibnu Taimiyah, Bin Baz, Bin Wahf Al-Qohthoni, .
Makna dari ayat Al-Qur’an tersebut telah dikoreksi oleh sebagian ulama lainnya yang memperbolehkan seorang wanita yang sedang mengalami haidh, nifas, atau junub, atau seorang yang di tubuhnya terdapat najis, menyentuh mushaf Al-Qur’an. Makna yang paling mendekati kebenaran dan rojih menurut mereka dari firman Alloh  tersebut adalah : “Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, di dalam kitab yang terpelihara, tidak menyentuhnya kecuali (hamba-hamba) yang disucikan, (yang) diturunkan oleh Robbul ‘Alamin” (QS. Al-Waaqi’ah; 77-80).
Penjelasan dari ayat tersebut adalah, pada kata, (- laa yamassahu; tidak menyentuhnya – QS. Al-Waqiyah, 79), akhiran (- hu; nya) merupakan dhomir (- ha), yang artinya kembali kepada kata benda yang disebutkan paling dekat dengan dhomir tersebut, yaitu pada kalimat atau ayat sebelumnya, ( - fii kitaabin maknuunin; di dalam kitab yang terpelihara), sedangkan “kitab yang terpelihara” tersebut adalah kitab Lauhul Mahfuzh (bukan Al-Qur’an). Hal ini juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir (dari jalan Musa bin Isma’il, dari Syarik, dari Hakim bin Jubair, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas ), “dia berkata, “Sehubungan dengan makna firman Alloh , “di dalam kitab yang terpelihara (QS. Al-Waaqi’ah; 78)”, yaitu kitab yang dimuliakan, tersimpan, diagungkan dan terpelihara, yaitu kitab yang ada di langit, yang disebut kitab Lauhul Mahfuzh. “Tidak menyentuhnya, kecuali (hamba-hamba) yang disucikan (QS. Al-Waaqi’ah; 79)” artinya tidak ada yang diperkenankan menyentuhnya di sisi Alloh  kecuali hamba-hamba yang disucikan” ”. Makna tersebut juga diperkuat dari firman Alloh  lainnya, “Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan dan terpelihara) di dalam kitab Lauhul Mahfuzh” (QS. Al-Buruj; 21-22); dan dari firman Alloh  lainnya, “... Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, ditinggikan lagi disucikan (kitab Lauhul Mahfuz)” (QS. Al-‘Abasa; 13-14).
Jadi makna yang paling mendekati kebenaran dan rojih dari kalimat, ( - fii kitaabin maknuunin; di dalam kitab yang terpelihara), adalah kitab Lauhul Mahfuzh, yang dimuliakan, tersimpan, diagungkan dan terpelihara di langit, (- laa yamassahu; tidak menyentuhnya), bukan kitab Al-Qur’an yang ada di bumi, yang dapat tersentuh juga oleh orang-orang yang tidak suci atau ber-najis. Hal ini juga diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir (dari jalan Ibnu Abdul A’la, dari Ibnu Saur, Ma’mar, dari Qotadah ) “dia berkata, “(Sehubungan dengan makna firman Alloh  pada QS. Al-Waqii’ah; 79 tersebut) ... Adapun di dunia, maka sesungguhnya Al-Qur’an itu dapat dipegang oleh orang-orang majusi , munafik, kafir, atau musyrik lainnya yang telah ditetapkan secara tegas oleh Alloh  dan RosulNya  sebagai golongan orang-orang yang kotor dan ber-najis (“Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis” )”.
Masalah tersebut dapat dinyatakan seperti pada sebuah hadits yang menunjukkan bahwa Heracleus (seorang bangsa Rumawi yang termasuk golongan kafir) dapat memegang atau membaca surat Rosululloh  yang dikirimkan kepadanya dan berisi ayat Al-Qur’an di dalamnya, isi suratnya adalah:

25 (Masa’il 5; 162).

Artinya:
“Dari Muhammad hamba Alloh dan RosulNya kepada Heraklius pembesar bangsa Rumawi ... (kemudian beliau mengutip firman Alloh  yang terdapat pada QS. Ali Imron; 64, (“Katakanlah, hai Ahli Kitab, marilah [berpegang] kepada suatu kalimat [ketetapan] yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Alloh dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak [pula] sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai “Ilah” selain Alloh. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, saksikanlah bahwa kami termasuk orang-orang yang berserah diri [kepada Alloh]”)”,” .

Perkataan ( - Al-Muthohharuuna; [hamba-hamba] yang disucikan)” merupakan bentuk kalimat pasif (bukan bentuk kalimat aktif) yang berarti “dijadikan suci”, bukan “menjadikan suci”, sehingga makna dari “(hamba-hamba) yang disucikan” tersebut secara kaidah bahasa adalah para makhluk Alloh  yang telah dijadikan atau ditetapkan “suci” oleh Alloh  dan RosulNya , yakni para malaikat atau bisa juga orang mukmin (dalam berbagai kondisi, baik dalam kondisi berhadats [besar atau kecil], atau wanita yang sedang haidh atau nifas atau junub, atau seseorang yang di badannya ada najis, atau seseorang yang tidak ber-hadats), bukan orang-orang (muslim/mukmin) yang bersuci, karena telah disebutkan dalam sabda Rosululloh  bahwa:

26 (Masa’il 5; 111).

Artinya:
“... Orang mukmin itu tidak najis (suci keadaannya)” .

Makna pertama dari “hamba-hamba yang disucikan” adalah para malaikat, berdasarkan dari firman Alloh .lainnya yaitu, “Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan (kitab Lauhul Mahfuzh), di tangan para penulis (kitab yang ada dilangit [yaitu malaikat]), yang mulia lagi berbakti (QS. Al-‘Abasa; 13-16)” .
Menurut Al-Aufi yang juga meriwayatkan haditsnya dari Ibnu, Abbas , “(Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan) Maksudnya adalah para malaikat”. Kemudian dari hadits yang diriwayatkan dari Abu ‘Aliyah , “(Sehubungan dengan QS. Al-Waqii’ah; 79 tersebut) “(hamba-hamba) yang disucikan”, bukan kalian, kalian adalah orang-orang yang berdosa (tetapi para malaikat)”. Kemudian berdasarkan hadits dari Ibnu Jarir (dari jalan Ibnu Abdul A’la, dari Ibnu Saur, Ma’mar, dari Qotadah ) “dia berkata, “(Sehubungan dengan makna firman Alloh  pada QS. Al-Waqii’ah; 79 tersebut) “Tidak ada yang menyentuhnya di sisi Alloh kecuali hamba-hamba yang disucikanNya” hamba-hamba yang disucikan adalah (hamba-hamba) yang ada di langit, yaitu para malaikat. ...”. Kemudian Ibnu Zaid  mengatakan bahwa “Orang-orang Quraisy mempunyai dugaan bahwa A-Qur’an ini diturunkan oleh syaithan. Maka Alloh  menerangkan bahwa Al-Qur’an yang ini.tidak dapat disentuhnya (oleh para syaithan) tersebut, kecuali hamba-hamba yang disucikan, yaitu para malaikat (“Dan Al-Qur’an ini bukanlah diturunkan oleh para syaithan. Dan tidaklah patut mereka membawa turun Al-Qur’an itu, dan merekapun tidak akan kuasa. Sesungguhnya mereka dijauhkan dari mendengar Al-Qur’an itu” ”.” .
Makna kedua dari “hamba-hamba yang disucikan” adalah orang-orang mukmin dalam berbagai kondisi, baik dalam kondisi berhadats, atau wanita yang sedang haidh, nifas atau junub, ataupun seseorang yang di badannya ada najis, berdasarkan hadits dari Abu Huroiroh , “Sesungguhnya Nabi  bertemu dengannya (Abu Huroiroh) di tengah perjalanan menuju Madinah (ketika dia dalam keadaan junub), ... Lalu Rosululloh  bersabda (kepadanya):
“Orang mukmin itu tidak najis (suci keadaannya) (dalam riwayat lainnya: “Subhanalloh wahai Abu Huroiroh, sesungguhnya seorang mukmin itu tidak najis”)”.” .

Syaikh Allamah Muhammad bin Ibrohim Al-Wazir mengatakan bahwa, “Penggunakan kata “najis” tersebut untuk orang mukmin yang tidak suci dari junub, atau dalam keadaan “haidh” atau “nifas”, atau berhadats besar atau kecil adalah tidak benar, baik secara “hakiki majazi” (makna kiasan), maupun secara makna bahasa. Sehingga, seorang mukmin itu senantiasa dalam keadaan suci, baik dia dalam keadaan “junub”, “haidh”, “nifas”, berhadats kecil atau besar, maupun terdapatnya “najis” di tubuhnya” , dan dari salah satu hadits yang mengatakan, “Beliau  melarang perjalanan dengan membawa Al-Qur’an menuju tanah musuh (supaya tidak memberikan kuasa kepada orang musyrik untuk menyentuhnya)” .

2. Hadits Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm (dari ayahnya, dari kakeknya), yang mengatakan bahwa, “(Rosululloh  menulis surat untuk penduduk Yaman, yang di dalam isi suratnya terdapat perkataan beliau ):

27 (Irwa gholil; 206).

Artinya:
“Janganlah menyentuh Al-Qur’an kecuali dalam keadaan suci” .

Syaikh Al-Albani berkata, “Seluruh jalan hadits-hadits tersebut tidak pernah terlepas dari ke-dho’if-an (sanadnya), namun demikian sifatnya adalah dho’if lemah dan tidak parah, karena tidak seorangpun dari para perawinya (yang telah dinyatakan dho’if) tersebut, dinyatakan sebagai perawi pembohong, tetapi kecacatan (yang didapatkan dari para perawinya) hanya sebatas irsal atau lemah hafalannya. Dalam ilmu Mushtholah Hadits dikatakan bahwa jalur keluar hadits tersebut saling menguatkan satu dengan yang lainnya, apabila para perawinya tidak ada yang ditetapkan sebagai perawi pembohong, maka derajat hadits tersebut dapat naik menjadi hasan atau shohih lighoiri. Apalagi ternyata telah ada pendapat-pendapat ulama lainnya yang menguatkannya, menyatakannya shohih dan telah menjadikannya sebagai salah satu dasar dalam penetapan hujjahnya, yaitu dari Imam nawawi (At-Taqrib), As-Suyuti (Asy-Syarh), Imam Ahmad, Ishaq bin Rohawih (Al-Masa`il Imam Ahmad, hal.5), dan ada pegangan dari hadits shohih lainnya yang diriwayatkan oleh Mush’ab bin Sa’ad bin Abu Waqqosh  (“dia berkata, “Aku memegang mushaf Al-Qur’an di hadapan Sa’ad bin Abu Waqqosh, kemudian aku menggaruk. Lalu Sa’ad berkata, “Bisa jadi telah terpegang olehmu zakarmu?”. Lalu aku menjawab, “Ya”. Lalu Sa’ad berkata, “Berdiri dan berwudhulah”. Lalu aku berdiri dan berwudhu”.” . Jadi kesimpulannya, dapat saya katakan bahwa derajat hadits-hadits tersebut telah berubah menjadi shohih lighoiri” .
Sebagian ulama yang menggunakan dalil hadits tersebut sebagai dasar pelarangannya di antaranya adalah para imam mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Ahmad), Ibnu Taimiyah, Bin Baz, Bin Wahf Al-Qohthoni, dan lain-lain.
Penjelasan dari beberapa hadits tersebut dinyatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam perkataannya, “Yang paling mendekati dan rojih (tetapi Alloh  yang lebih mengetahuinya) adalah bahwa yang dimaksud dengan orang yang keadaannya suci adalah orang mukmin dalam berbagai kondisi, baik dalam kondisi berhadats (besar atau kecil), atau seorang wanita yang sedang haidh atau nifas atau junub, ataupun seseorang yang di badannya ada najis, berdasarkan hadits dari Abu Huroiroh , “Sesungguhnya Nabi  bertemu dengannya (Abu Huroiroh) di tengah perjalanan menuju Madinah (ketika dia dalam keadaan junub), ... Lalu Rosululloh  bersabda (kepadanya), “Orang mukmin itu tidak najis (suci keadaannya) (dalam riwayat lainnya: “Subhanalloh wahai Abu Huroiroh, sesungguhnya seorang mukmin itu tidak najis”)”.” ”, Namun demikian, bagi seseorang yang berhadats kecil, dan dia ingin memegang mushaf sekalian membaca al-qur’an, akan lebih baik apabila dia berwudhu dahulu” .

 Kesimpulan.
Kesimpulan dari pembahasan dalil-dalil di atas mengenai memegang dan membaca mushaf Al-Qur’an bagi seorang wanita yang sedang mengalami (dalam keadaan) haidh, nifas atau junub hukumnya menurut pendapat yang paling mendekati kebenaran dan rojih adalah diperbolehkan atau mubah, tidak dilarang atau diharamkan, namun sedikit makruh (untuk berhati-hati dalam beribadah) dan disunnahkan bersuci dahulu ketika melakukan ibadah-ibadah yang agung, termasuk di antaranya memegang dan membaca mushaf Al-Qur’an . Kesimpulan ini didasarkan pada tidak adanya kejelasan dan ketegasan beberapa dalil yang tersebut di atas, yang dapat dijadikan pegangan secara kuat dan mutlak untuk melarang seorang wanita yang sedang mengalami (dalam keadaan) haidh, nifas atau junub untuk memegang dan membaca mushaf Al-Qur’an (di mana di dalam ilmu atau kaidah ushuliyyah hadits dikatakan bahwa “Melarang sesuatu hal [terutama dalam masalah ibadah] harus berdasarkan pada dalil khusus yang shohih, jelas dan terperinci, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang shohih atau Al-Baro’ah Al-Ashliyyah ”), dan adanya keumuman makna dari beberapa hadits yang dapat memperkuat hukum dari masalah tersebut, (di mana di dalam ilmu atau kaidah ushuliyyah hadits dikatakan bahwa “Setiap ibadah yang dilakukan harus berdasarkan pada adanya dalil yang shohih dan jelas, baik dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah yang shohih”), yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik , “(Menjelaskan QS. Al-Baqoroh; 222)...Rosululloh  bersabda, “Lakukanlah segala sesuatunya, kecuali nikah (bersetubuh)”.” , dan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah  ketika dia mengalami haidh pada saat sedang menjalani ibadah hajinya, “... Rosululloh  bersabda, “Sesungguhnya (haidh) ini adalah perkara yang telah Alloh tetapkan bagi para putri Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang berhaji selain thowaf di Ka’bah sampai kamu suci (dari haidhnya)”.” , serta pendapat-pendapat sebagian para ulama lainnya, yang memperbolehkan seorang wanita yang sedang mengalami haidh, nifas, atau junub untuk memegang dan membaca mushaf Al-Qur’an, di antaranya adalah Syaikh Ibnu Hazm dia berkata, “Adapun menyentuh mushaf Al-Qur’an, membacanya, dan berdzikir kepada Alloh  adalah perbuatan-perbuatan baik yang disunnahkan, dan orang yang melakukannya mendapat pahala. Maka barang siapa yang melarang perbuatan-perbuatan tersebut dalam sebagian kondisi tertentu wajib mendatangkan penjelasan (dalil) yang mengharamkannya secara akurat, dan dalil pengharamannya tersebut harus datang setelah dalil penghalalan (dengan kata lain dalil pengharamannya tidak dimansukh oleh dalil lain yang datang sesudahnya]). Adapun tentang menyentuh mushaf Al-Qur’an, maka sesungguhnya atsar-atsar yang dijadikan hujjah tersebut tidak satupun yang shohih, karena atsar-atsar tersebut sifatnya mursal , ataupun tidak memiliki sandaran, ataupun diriwayatkan dari perawi yang majhul dan dho’if” .

H. Hukum yang berhubungan dengan penggunaan obat penunda haidh.
Haidh adalah sesuatu yang telah Alloh  tetapkan bagi seorang wanita. Dalam suatu hadits shohih yang diriwayatkan dari ‘Aisyah (yang mengalami haidh ketika dia sedang menunaikan ibadah haji dan umrohnya), “dia berkata:
“ Kami keluar (menunaikan haji) bersama Nabi  (dan) kami tidak menyebut kecuali haji. Maka ketika kami sampai di (satu tempat bernama) Sarif, aku (mengalami) haidh. Kemudian Rosululloh  masuk menemuiku (saat) aku sedang menangis, lalu Rosululloh  bertanya, “Apa yang menyebabkan kamu menangis?”. Jawabku, “Aku ingin demi Alloh kalau sekiranya aku tidak berhaji pada tahun ini”. Beliau  bertanya, “Apakah kamu haidh?”. Kemudian aku menjawab, “Ya”. Kemudian beliau  bersabda, “Sesungguhnya (haidh) ini adalah perkara yang telah Alloh tetapkan bagi para putri Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang berhaji selain thowaf di Ka’bah sampai kamu suci (dari haidhnya)”.” .

Oleh karena itu, hendaknya para wanita sabar dan ridho’ terhadap hal-hal yang telah ditetapkan Alloh  bagi dirinya. Pintu-pintu kebaikan “alhamdulillah dan insya Alloh” akan sangat banyak yang terbuka. Apabila dia tidak dapat menunaikan sholat dan berpuasa karena haidh, maka dihadapannya ada pintu-pintu keta’atan lainnya, seperti: berdo’a, ber-tasbih , tahmid , tahlil , takbir , istighfar , ber-shodaqoh , birrul walidain , ber-sholawat (kepada Nabi ), dan lain-lain. Namun demikian, jika ada suatu udzur pada diri wanita tersebut sehingga memaksa dia menggunakan pil penunda haidh, maka telah datang beberapa fatwa ahlu ‘ilmi yang membolehkan hal tersebut, di antaranya adalah dari:
1. Abdur Rozaq , dia berkata, “Ibnu Juraij telah mengabarkan kepada kami bahwa, “Atho’ ditanya tentang seorang wanita haidh yang diberikan obat (penunda haidh), lalu wanita tersebut berhenti haidhnya (setelah meminum obat tersebut), sementara dia seharusnya masih berada dalam masa haidhnya. Apakah dia boleh melakukan thowaf?. Atho’ berkata, “Ya, apabila dia melihat (tanda) suci. Jika dia tidak melihat (tanda) hampir selesai dari haidh namun belum melihat (tanda) suci yaitu warna putih, maka tidak boleh (melakukan thowaf)”.”.” .
2. Ma’mar , dia berkata, “Aku mendengar dari Ibnu Nujaih ketika ditanya tentang hal itu (wanita yang meminum obat penunda haidh), maka dia berpendapat, “Tidak apa-apa”.” (Shohih: menukil dari perkataan Ibnu Nujaih).
3. Ibnu Qudamah , dia berkata, “diriwayatkan dari Ahmad , bahwa beliau berkata, “Tidak apa-apa seorang wanita meminum obat yang akan menghentikan haidhnya, jika obat itu adalah obat yang dikenal (tidak berbahaya)”.” .
4. Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin , dia berkata, “Seorang wanita boleh menggunakan obat yang akan mencegah haidhnya, dengan 2 syarat:
(1) Obat tersebut tidak membahayakan dirinya. Apabila obat tersebut membahayakan dirinya, maka tidak boleh (haram hukumnya), berdasarkan beberapa firman Alloh ,:
“Janganlah kalian melempar diri kalian pada kebinasaan” (QS. Al-Baqoroh; 195), dan
“Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Alloh Maha Penyayang terhadap kalian” (QS. An-Nisaa`; 29),
(2) Penggunaan obat tersebut dengan ijin suami, apabila suaminya mempunyai kaitan dengannya, misalnya: wanita yang sedang menunggu masa ‘iddahnya dari sisi yang wajib bagi suami menafkahkannya. Kemudian wanita tersebut menggunakan obat yang akan mencegah haidhnya untuk memperpanjang masa ‘iddahnya dan (diharapkan) akan menambahkan nafkah pada dirinya dari suaminya. Maka ketika itu, dia dilarang (diharamkan) menggunakan obat yang akan mencegah haidhnya, kecuali dengan ijin suaminya. Demikian pula apabila telah pasti bahwa obat pencegah haidh itu dapat mencegah kehamilan, maka (menggunakannya) haruslah dengan izin suami. Apabila telah tetap kebolehannya (menggunakan obat tersebut), maka yang lebih utama adalah tidak menggunakannya, kecuali ada satu kebutuhan. Karena meninggalkan tabi’at (kebiasaan perilaku tubuh) sebagaimana adanya adalah lebih dekat pada rusaknya kesehatan dan keselamatan” .
5. Sholih bin Fauzan Al-Fauzan , dia berkata, “Di sini ada permasalahan yang harus diperhatikan, yaitu bahwa sebagian wanita kadang-kadang meminum obat untuk mencegah datangnya haidh, sehingga memungkinkan dia untuk berpuasa pada bulan Romadhon atau menunaikan ibadah haji. Jika pil-pil ini (digunakan) untuk mencegah datangnya haidh (hanya) pada satu waktu dan tidak menghentikan haidhnya (selamanya), maka tidak apa-apa meminumnya. Namun jika pil-pil itu menghentikan haidh (dalam jangka lama atau selamanya), maka hal itu dilarang (diharamkan), kecuali dengan izin suaminya. Karena hal itu akan menyebabkan terhentinya keturunan” .

I. Hukum yang berhubungan dengan semua ibadah (kecuali yang bid’ah dan terlarang).
Seorang wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas diperbolehkan melaksanakan semua macam ibadah, kecuali sholat, thowaf, dan berpuasa, terutama ibadah yang telah diperintahkan Alloh  dan dicontohkan Rosululloh , termasuk berdzikir, berdo’a, membaca Al-Qur’an, berhaji dan umroh, dan lain-lain, di antaranya adalah:



• Mengikuti sholat ‘Id., di tanah lapang.
Seorang wanita yang sedang haidh atau nifas, disunnahkan ikut serta pergi ke tanah lapang untuk melakukan sholat pada kedua hari raya (‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha). Mereka hanya ikut meramaikan syi’ar Islam dan mendengarkan khutbah, tidak ikut melaksanakan sholat. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ummu Athiyyah , “dia berkata:

28 (TN; 175).

Artinya:
“Rosululloh  memerintahkan kami untuk keluar pada kedua hari raya (‘idul fitri dan ‘idul adha), baik yang gadis sedang menginjak dewasa, wanita-wanita yang sedang haidh, maupun wanita-wanita yang dipingit. Adapun wanita-wanita yang sedang haidh, mereka tidak ikut mengerjakan sholat (“..., mereka tidak ikut mengerjakan sholat, namun mereka tetap mendapatkan kebaikan dan syi’ar kaum muslimin”)”.” .

• Membaca Al-Qur’an sambil berbaring di pangkuan istri yang sedang haidh.
Seorang lelaki boleh membaca Al-Qur’an sambil berbaring di pangkuan istrinya yang sedang mengalami haidh. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah , “dia berkata:

29 (TN; 176).

Artinya:
“Rosululloh  pernah bersandar di pangkuanku yang sedang haidh, kemudian membaca Al-Qur’an”.” .

J. Hukum yang berhubungan dengan hal-hal mu’amalah lainnya.
Seorang wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas diperbolehkan melaksanakan semua macam kegiatan yang berhubungan dengan urusan kemanusiaan atau kemasyarakatannya (mu’amalah), kecuali kegiatan-kegiatan yang telah datang larangannya dari Alloh  dan RosulNya  untuk melakukannya, yaitu bersetubuh di daerah kemaluan pada saat sedang mengalami haidh atau nifas, atau bersetubuh tanpa ada pelapis pada daerah kemaluaannya pada saat sedang mengalami haidh atau nifas, atau bersetubuh bukan pada tempatnya pada saat di luar masa haidh atau nifas (seperti: melakukan persetubuhan pada daerah dubur). Kegiatan-kegiatan tersebut yang diperbolehkan, di antaranya adalah:

• Makan dan minum bersama.
Seorang wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas diperbolehkan makan dan minum bersama suami maupun anggota keluarga lainnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah , “dia berkata, “Ketika sedang haidh, saya pernah minum dengan gelas. Selesai minum, saya sodorkan gelas tersebut kepada Nabi  Lalu Nabi pun minum dengan gelas tersebut pada tempat bekas saya minum (Ketika aku sedang makan daging, sisa tulangnya kusodorkan kepada Nabi  Lalu Nabi pun memakan tulangnya tersebut pada tempat bekas saya makan)”.” , dan

30 (TN; 174).

Artinya:
“... Rosululloh  berkata, “Sesungguhnya darah haidhmu tidak di tanganmu”.” .

• Mencuci rambut suami dan menyisirkannya.
Seorang wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas diperbolehkan mencucikan rambut suaminya dan menyisirkannya (sesudahnya). Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah , “dia berkata,

31 (TN; 176).

Artinya:
“Saya biasa menyisirkan rambut Rosululloh  meskipun (saya) sedang haidh”.” .










































Hukum-hukum syari’at Islam yang berkaitan dengan perdarahan istiadhoh.
Seorang wanita yang mengalami istiadhoh digolongkan sebagaimana seorang yang bersih, sehingga dibolehkan melakukan sholat, thowaf, puasa, ibadah-ibadah lainnya, dan bersetubuh, sebagaimana layaknya seorang wanita yang bersih. Namun demikian masalah ini di dalamnya juga masih terdapat perselisihan di kalangan para ahli ‘ilmi (fiqih) . Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa istiadhoh merupakan darah yang dapat membatalkan wudhu, baik sedikit maupun banyak. Pendapat ini dikatakan oleh sebagian ulama yang ber-madzhab Hanafiyyah (pengikut Imam Abu Hanifah). Di antara mereka juga ada yang berpendapat sebaliknya, yaitu darah tidak membatalkan wudhu, baik banyak maupun sedikit. Pendapat ini dikatakan oleh sebagian ulama yang ber-mazhab Syafi’iyyah. Di antara mereka ada pula yang berpendapat di tengah-tengah, yaitu jika banyak akan membatalkan wudhunya, dan jika sedikit tidak akan membatalkan wudhunya .
Syaikh Al-Albani berpendapat bahwa, “Secara mutlak dan menurut pendapat ulama yang paling mendekati kebenaran dan rojih adalah bahwa pengeluaran darah dari tubuh tidak membatalkan wudhu, baik sedikit maupun banyak, berdasarkan pada: (1) Adanya kaidah “Al-Baro’ah Al-Ashliyyah”, yaitu terbebasnya seorang hamba dari segala bentuk beban syari’at, selagi tidak ada dalil yang datang dari Alloh  dan RosulNya ,
(2) Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu dawud, dan lain-lain, dari Jabir bin Abdullah , dia berkata:
“Kami bersama Rosululloh  dalam suatu peperangan, dan kami menawan seorang wanita musyrikin yang pada saat itu suaminya sedang tidak ada, maka tak kala suaminya tiba dan sampai padanya khabar (tentang keadaan istrinya), kemudian dia bersumpah tidak akan memasuki desanya sebelum dia menuntut balas terhadap sebagian sahabat Rosul . Sang suami tersebut kemudian mengikuti jejak mereka (para sahabat). Ketika hari telah sore, Nabi  dan para sahabatnya singgah di suatu lembah, dan Nabi  berkata, “Siapakah yang akan (bertugas) menjaga kami malam ini?”. Maka berdirilah 2 orang pemuda Anshor dan berkata, “Kami wahai Rosululloh”. Lalu beliau  berkata, “Berjaga-jagalah kalian di ujung jalan (antara 2 gunung) ini”. Lalu berangkatlah mereka berdua dan mereka sepakat untuk berjaga-jaga secara bergantian ... Selang beberapa saat terlintas dalam pikiran pemuda Anshor ini untuk melakukan sholat. Ketika dia sedang sholat ternyata suami wanita tadi sedang mengintainya dan si suami tersebut segera memanahnya dan tepat mengenai betis si pemuda yang sedang sholat tersebut. Pemuda ini tidak melakukan apa-apa kecuali mencabut anak panah tersebut dan melanjutkan sholatnya. Kemudian si suami tersebut terus memanahinya dan selalu mengenai betis pemuda tersebut, namun sholatnya masih tetap dilanjutkannya. Setelah selesai sholat 2 roka’at, temannya terbangun dan terkejut melihat sahabatnya mengalami luka-luka dan perdarahan. Si pemuda yang terluka tersebut berkata, “Demi Zat yang jiwaku berada di tanganNya, dalam sholatku tadi aku membaca dan menghayati sebuah surat. Seandainya bukan karena tugas dari Rosul , niscaya aku akan terus membaca dan menghayatinya”.”.

Dari kisah tersebut dapat ditunjukkan bahwa seandainya si pemuda yang terluka tersebut meyakini bahwa keluarnya darah dari betis akibat tertusuk panah akan membatalkan wudhu, tentunya dia akan memutuskan sholatnya seketika itu juga. Ada tambahan kisah lainnya, yaitu dari atsar (riwayat) Al-Hasan Al-Bashri , dia berkata, “Banyak di antara para sahabat Nabi  yang sholat dalam keadaan luka-luka”. Dan hal ini merupakan suatu dalil ilmiah yang menunjukkan bahwa para sahabat tidak pernah mendengar dari Nabi  sebelumnya bahwa keluarnya darah dari tubuh dapat membatalkan wudhu” .
Beberapa ketentuan yang harus diperhatikan pada seorang wanita yang mengalami istiadhoh, yaitu:
• Seorang wanita yang mengalami istiadhoh diwajibkan mandi 1 kali, yaitu di saat dia bersih dari haidh-nya. Hal ini berdasarkan dari hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Habibah , dia berkata:

32 (TN; 182).

Artinya:
“Rosululloh  berkata (kepadaku), “Tahanlah dirimu (untuk melakukan sholat) selama kamu masih haidh. Setelah bersih, barulah kamu mandi dan sholat (Untuk selanjutnya dia diwajibkan mandi setiap kali hendak sholat)”.” .

• Seorang wanita yang mengalami istiadhoh diwajibkan berwudhu setiap kali hendak sholat. Hal ini berdasarkan dari hadits yang diriwayatkan oleh Fatimah binti Abu Hubaisy , dia berkata:

33 (TN; 186).

Artinya:
“Rosululloh  berkata (kepadaku), “Kemudian, berwudhulah setiap kali hendak melakukan sholat bila telah tiba waktunya”.” .

Seorang wanita yang mengalami istiadhoh diwajibkan untuk berwudhu setiap kali akan menunaikan sholat wajib setelah masuk waktu sholat tersebut, dan masa berlaku wudhunya itu adalah sampai habis waktu sholat, selama dia tidak batal. Dalam masa wudhunya tersebut dia diperbolehkan melakukan sholat wajib dan sunnah.

• Seorang wanita yang mengalami istiadhoh ketika hendak berwudhu, hendaknya terlebih dahulu membersihkan bekas darahnya yang masih menempel pada daerah kemaluan dan sekitarnya, dan menutupnya dengan kain atau kapas, agar darahnya tidak jatuh mengotori ke setiap tempat. Hal ini berdasarkan dari hadits yang diriwayatkan oleh Hamnah binti Jahesy , dia berkata:

34 (AS; IV/7).

Artinya:
“Rosululloh  berkata (kepadaku), “Usahakan kamu mencari kapas untuk menutupnya. Kapas bisa menahan darah”. Lalu kujawab, “Kapas tidak cukup”. Lalu Nabi  menjawab, “Carilah kain saja”. Lalu kujawab lagi, “Kain juga tidak cukup”. Lalu Nabi  menjawab lagi, “Maka kendalikanlah (Sumpallah)”.” .

Dalam hadits lainnya yang diriwayatkan dari Fatimah binti Abu Hubaisy , dia berkata:
Nabi  berkata (kepadaku), “Hendaklah kamu mandi lalu sumpal kemaluanmu dengan kain, kemudian sholatlah” . Setelah dilakukan upaya seperti hal tersebut, tidak mengapa jika ternyata darahnya masih keluar, karena dia dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya (“Maka bertaqwalah kalian kepada Alloh semampu kalian” ).

Hal ini juga berdasarkan dari hadits yang diriwayatkan dari Fatimah binti Abu Hubaisy , dia berkata:

35 (TN; 187).

Artinya:
“Nabi  pernah berkata, “Berwudhulah kamu setiap kali hendak sholat meskipun darahmu menetes di atas tikar”.” ,

dan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah , dia berkata:

36 (FB; 524).

Artinya:
“Pernah salah satu istri Rosululloh  i’tikaf bersama beliau. Waktu dia sedang sholat, darah merah bercampur warna kuning menetes dan terinjak-injak di tempat dia melakukan sholat” .

• Seorang wanita yang mengalami istiadhoh diperbolehkan men-jama’ sholat. Hal ini berdasarkan dari hadits yang diriwayatkan oleh Hamnah binti Jahesy , dia berkata:
\
37 (TN; 187).

Artinya:
“Rosululloh  berkata (kepadaku), “Bila memang kuat, kamu boleh mengakhirkan sholat Zhuhur dan menyegerakan sholat Ashar, lalu menjama’ kedua sholat tersebut, setelah mandi terlebih dahulu. Bila kamu mau, kamu juga boleh mengakhirkan sholat Maghrib dan menyegerakan sholat ‘Isya, lalu menjama’ kedua sholat tersebut, setelah mandi terlebih dahulu. Kemudian kamu pun harus mandi sebelum sholat shubuh”.” .

Jadi kesimpulannya adalah seorang wanita yang sedang mengalami istiadhoh dibolehkan men-jama’ sholat Zhuhur dengan sholat Ashar, atau sholat Maghrib dengan sholat ‘Isya, baik jama’ ta’khir ataupun jama’ taqdim, karena dia termasuk orang yang sedang sakit. Hanya Alloh-lah tempat mohon pertolongan .











Penjelasan ketentuan-ketentuan secara medis mengenai haidh, nifas, dan istiadhoh.
Seorang wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas atau istiadhoh dianjurkan untuk tidak melakukan aktivitas sedang atau berat, yang dapat menguras energi atau tenaga yang banyak, seperti berthowaf, berpuasa, mengangkat beban berat, olah raga, bersetubuh, dan lain-lain, untuk sementara waktu sampai kondisi atau stamina tubuh dan kejiwaannya dianggap stabil menurut indikator-indikator medis secara subyektif dan obyektif. Namun demikian, masih diperbolehkan untuk melakukan aktivitas-aktivitas ringan, yang tidak memerlukan energi atau tenaga yang banyak, seperti membaca, melakukan sholat (dengan cara-cara tertentu, terutama yang disesuaikan dengan keadaan stamina tubuh dan syar’iat yang berlaku), makan, minum, dan lain-lain.
Hal ini perlu diperhatikan mengingat pada saat itu kondisi atau stamina tubuh dan psikis (kejiwaan) seorang wanita tersebut dalam keadaan sangat menurun dan tidak stabil, terutama karena adanya fakta yang menunjukkan bahwa telah terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh pada saat terjadinya proses haidh atau nifas atau istiadhoh cukup banyak (+ 50 ml untuk perdarahan haidh, dan + 200-400 ml untuk perdarahan nifas) dan terjadinya banyak sekali perlukaan pada beberapa sel atau jaringan atau organ peranakan dan daerah kemaluan tubuh, sehingga dapat menyebabkan terjadinya:
(1) Penurunan kandungan zat-zat nutrisi yang terkandung dalam darah secara bermakna, yang akan digunakan tubuh untuk beraktivitas atau melakukan perbaikan atau penyembuhan diri terhadap sel-sel atau bagian tubuh yang rusak, terutama terhadap luka-luka yang terjadi selama proses perdarahannya tersebut berlangsung.
(2) Ketidakstabilan dari kinerja atau aktivitas dari beberapa sel, jaringan maupun organ tubuh secara menyeluruh untuk menjalankan aktivitas metabolismenya secara optimal, yang manifestasi pada umumnya adalah adanya efek samping yang menyertai terjadinya proses haidh, nifas, atau istiadhoh tersebut, baik efek samping yang disebabkan oleh terjadinya perdarahan secara langsung (seperti: terjadinya penurunan tekanan darah, lemas, infeksi, nyeri, dan lain-lain) maupun yang tidak langsung (seperti adanya ketidakstabilan emosi, penurunan gairah untuk beraktivitas atau menjalani kehidupan, dan lain-lain).
(3) Peningkatan keparahan dan komplikasi, yang dapat beresiko tinggi terhadap adanya perburukkan kondisi atau stamina tubuh, atau kemungkinan dapat menimbulkan kematian.
Oleh karena itu, beberapa hal yang sangat dianjurkan untuk dilakukan pada kondisi seperti ini adalah mengistirahatkan seluruh organ tubuhnya seoptimal atau semaksimal mungkin dari melakukan beberapa aktivitas sedang maupun berat dan mengkonsumsikan makanan dan minuman yang kaya akan kandungan energi, protein, dan vitamin untuk kebutuhan tubuhnya, agar dapat memberikan waktu dan energi yang cukup untuk menghentikan terjadinya proses perdarahan (pada waktunya), dan memperbaiki serta membangun kembali beberapa sel atau jaringan atau organ tubuh yang telah mengalami kerusakan selama terjadinya proses haidh, nifas atau istiadhoh tersebut, sehingga diharapkan dapat mempercepat terjadinya proses pemulihan (recovery) kondisi atau stamina tubuh dan kejiwaannya secara umum. Pada kasus-kasus haidh, nifas atau istiadhoh tertentu yang beresiko tinggi, pemberian perawatan khusus, seperti penanganan kegawatdaruratan, pemberian obat-obatan dan makanan, dan lain-lain, harus segera dilakukan dan biasanya dilakukan di pusat-pusat pelayanan kesehatan atau rumah sakit yang menyediakan sarana atau fasilitas kesehatan yang baik, untuk menghindari terjadinya perburukkan kondisi tubuh dan komplikasi yang tidak diinginkan lebih lanjut.
Mengenai penggunaan obat penunda haidh, dalam dunia medis sudah sangat banyak dianjurkan pemakaiannya pada seorang wanita yang mempunyai keperluan . Biasanya yang digunakan adalah obat-obatan hormonal yang mengandung hormon estrogen atau progesteron . Hormon estrogen yang terkandung dalam obat tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya haidh melalui beberapa cara, yaitu:
1. Menghambat terjadinya proses ovulasi .
2. Menghambat perjalanan sel ovum .

Sedangkan hormon progesteron yang terkandung dalam obat tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya haidh melalui beberapa cara, yaitu:
1. Membuat getah atau lendir serviks uteri menjadi lebih kental, sehingga dapat menghambat perjalanan sel ovum di dalam tuba Fallopii.
2. Menghambat terjadinya proses ovulasi .

Namun demikian, efek samping dari pemberian obat-obatan penunda haidh ini juga sering terjadi, di mana efek sampingnya sesuai dengan kadar hormon yang dikandungnya. Kelebihan kadar hormon estrogen dari pemberian obat tersebut dapat menimbulkan gejala-gejala seperti: mual, pembengkakkan pada tubuh, keputihan, peningkatan kadar lemak tubuh secara berlebihan, nyeri kepala, peningkatan tekanan darah, dan payudara terasa tegang. Sedangkan kelebihan kadar progesteron dari pemberian obat tersebut dapat menimbulkan gejala-gejala seperti: perdarahan haidh yang tidak teratur , peningkatan nafsu makan, mudah lelah, depresi, penurunan libido , tumbuhnya jerawat, alopesia , hipomenore, dan keputihan. Menurut hemat penulis, penggunaan obat-obatan penunda haidh sebaiknya ditinggalkan atau jangan pernah untuk mencoba-coba untuk digunakan sekalipun, kecuali memang keadaannya darurat dan memang memerlukan obat-obatan tersebut untuk penyembuhan dari suatu penyakit, karena di samping obat-obatan tersebut dapat menimbulkan gangguan keteraturan dari aktivitas hormonal yang sangat berperan dalam proses terjadinya haidh , dia juga merupakan bahan-bahan kimia sintetik yang secara langsung atau tidak, dalam waktu cepat atau lambat, dapat menimbulkan efek toksik terhadap organ-organ tubuh secara keseluruhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar