Senin, 14 Desember 2009

Redaksi Hadits Wail bin Hijr Mengenai Gerakan-Gerakan Sholat yang Benar

Beberapa Hadits fi'il (perbuatan) Sifat (Gerakan) Sholat Nabi .

Jalur sanad (periwayat):
1. Dari Wa`il bin Hijr :
Shahih 
Melalui jalur ‘Ashim bin Kulaib :
A. Dari Zaa`idah bin Qudamah ,
Dari Zaa`idah bin Qudamah, dari 'Ashim bin Kulaib berkata, “(Telah) mengabarkan dari Wa`il bin Hijr , katanya, “Aku sungguh memperhatikan bagaimana (sifat) sholatnya Rosululloh ?”,
“Maka kuperhatikan (beliau) berdiri (menghadap kiblat), lalu (beliau) bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya sampai setentang (sejajar) dengan kedua telinganya, kemudian (beliau) meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas punggung telapak tangan, pergelangan, dan lengan (bawah)-nya yang kiri,

[dalam riwayat lainnya  “... Bahwa aku melihat Nabi  mengangkat kedua tangannya ketika masuk dalam (mengawali) shalatnya lalu (beliau) bertakbir, kemudian (beliau) menyelimutkan (memasukkan kedua lengannya) dengan pakaiannya, lalu (beliau) meletakkan tangannya yang kanan di atas tangannya yang kiri” ; “... (beliau) menggenggam dengan tangannya yang kanan atas tangannya yang kiri” ; “... (beliau) meletakkan tangannya yang kanan di atas tangannya yang kiri di dadanya” ],

Saat (beliau) jika hendak melakukan ruku' (beliau) mengangkat kedua tangannya seperti sebelumnya dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya, kemudian (beliau) mengangkat kepalanya (ber-i'tidal) sambil mengangkat kedua tangannya seperti sebelumnya,
kemudian (beliau) bersujud lalu dijadikannya kedua telapak tangannya sejajar dengan kedua telingannya,
kemudian (beliau ber-tasyahud dengan) duduk menghamparkan (telapak) kakinya yang kiri (ber-iftirosy) sambil meletakkan telapak tangannya yang kiri di atas paha dan lututnya yang kiri dan dijadikannya siku tangannya yang kanan di atas pahanya yang kanan, kemudian (beliau) menggenggamkan ibu jari dan jari tengahnya di antara jari-jari tangannya lalu (beliau) melingkarkan jari-jari tangan (kanan)-nya membentuk suatu lingkaran, kemudian (beliau) mengangkat jari telunjuknya (yang kanan) sambil memandang pada (telunjuk)-nya, menggerak-gerakkannya, sambil berdo'a dengannya,
kemudian beberapa saat sesudahnya pada saat musim dingin maka kulihat para manusia di antara mereka (para sahabat) menggerak-gerakkan tangan-tangannya dari dalam pakaian-pakaiannya karena hawa dinginnya” .

B. Dari Abdul Jabbar bin Wa`il dan Al-Qomah bin Wa`il (serta maula mereka), ,
“Bahwa dia (Wa`il) melihat Nabi , (beliau) mengangkat kedua tangannya ketika masuk dalam (mengawali) shalatnya (sambil) bertakbir – lalu (beliau) memasukkan kedua lengannya ke dalam pakaiannya – Kemudian (beliau) menyelimutkan pakaiannya, kemudian meletakkan tangannya yang kanan di atas tangannya yang kiri” .

C. Syu’bah ,
C.1.
Dari Muhammad bin Ja'far, dari Syu'bah, dari 'Ashim bin Kulaib, dari bapaknya berkata, “Dari Wa`il bin Hijr , katanya, “Aku sholat di belakang (bersama) Rosululloh (Nabi) ,
lalu (beliau) bertakbir ketika masuk dalam (mengawali) (sholat)-nya sambil mengangkat kedua tangannya, dan jika ketika (beliau) hendak melakukan ruku' (beliau) mengangkat kedua tangannya, dan ketika (beliau) mengangkat kepalanya dari ruku'-nya (ber-i'tidal) (beliau) mengangkat kedua tangannya,
lalu (beliau) meletakkan (kedua tangan)-nya (yakni saat bersujud) sambil merenggangkan (kedua sikunya), lalu (beliau ber-tasyahud dengan) ber-iftirosy (dengan) menghamparkan (telapak kakinya) yang kiri dari (telapak kakinya) yang kanan, dan berisyarat dengan jari-jari (tangan kanan)-nya, jari telunjuknya” .

[dalam redaksi pada riwayat lainnya, terdapat pemotongan dan penambahan kalimat redaksi hadits, yakni 
1. Pemotongan redaksi hadits,
“... dan ketika (beliau) mengangkat kepalanya dari ruku'-nya (ber-i'tidal) (beliau) mengangkat kedua tangannya, lalu (beliau) meletakkan (kedua tangan)-nya.
(tidak dilanjutkan kembali kelengkapan redaksi hadits-nya)” ,
2. Penambahan redaksi hadits,
“... dan ketika (beliau) mengangkat kepalanya dari ruku'-nya (ber-i'tidal) (beliau) mengangkat kedua tangannya, lalu (beliau) meletakkan (kedua tangan)-nya (yakni saat bersujud) sambil merenggangkan (kedua sikunya),”,
[Seharusnya redaksi hadits-nya sudah lengkap, namun ditambah dengan menyisipkan beberapa kalimat “... bila (beliau hendak) bersujud, (beliau) meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya” ) di antara kalimat-kalimat, “mengangkat kedua tangannya, [...] lalu (beliau) meletakkan (kedua tangan)-nya (yakni saat bersujud)]”.,dan
“... lalu ber-iftirosy (dengan) menghamparkan (telapak kakinya) yang kiri dari (telapak kakinya) yang kanan, dan berisyarat dengan jari-jari (tangan kanan)-nya, jari telunjuknya.
(Seharusnya redaksi hadits-nya sudah lengkap sampai dengan “... jari telunjuknya”, namun ditambah dengan beberapa kalimat redaksi hadits sesudahnya, “... lalu (beliau) bersujud maka keadaan kedua tangannya sejajar dengan kedua daun telinganya” )”]

C.2.
Dari Muhammad bin Ja'far, dari Syu'bah, dari 'Ashim bin Kulaib, dari bapaknya berkata, “Dari Wa`il bin Hijr , katanya, “Aku sholat di belakang (bersama) Rosululloh (Nabi) ,
lalu (beliau) bertakbir ketika masuk dalam (mengawali) (sholat)-nya sambil mengangkat kedua tangannya, dan jika ketika (beliau) hendak melakukan ruku' (beliau) mengangkat kedua tangannya, dan ketika (beliau) mengangkat kepalanya dari ruku'-nya (ber-i'tidal) (beliau) mengangkat kedua tangannya,
lalu (beliau) meletakkan (kedua tangan)-nya, yakni saat bersujud, sambil merenggangkan (kedua sikunya), lalu (beliau) ber-iftirosy (dengan) menghamparkan (telapak kakinya) yang kiri dari (telapak kakinya) yang kanan dan berisyarat dengan jari-jari (tangan kanan)-nya, jari telunjuknya, yakni saat ber-tasyahud.” .



Penguat hadits-hadits di atas 
A. Dari Ibnu Umar ,
1. Dari Muslim bin Maryam, dari Ali bin Abdurrahman Al-Mu’awi,
“Biasanya bila (beliau ) duduk di dalam shalatnya (beliau) meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas pahanya yang kanan sambil menggenggamkan seluruh jari-jari (tangan kanan)-nya dan berisyarat dengan jari tangannya yang dekat dengan ibu jarinya (yakni jari telunjuk kanannya) [ke arah kiblat sambil mengarahkan (pandangan)-nya pada (jari telunjuk)-nya atau tidak melebihi (pandangan terhadap)-nya] lalu meletakkan telapak tangannya yang kiri di atas pahanya yang kiri” .

2. Dari Malik, dari Yahya bin Sa’id,
“Bahwa Al-Qasim bin Muhammad  telah memperlihatkan pada mereka di dalam ber-tasyahud (akhir), (beliau) menegakkan kakinya yang kanan sambil melipat kakinya yang kiri lalu duduk di atas bokongnya yang kiri dan tidak duduk di atas kakinya yang kiri (seprti ber-iftirosy). kemudian (kata Malik) hal ini telah (juga) diperlihatkan kepadaku dari Ibnu Umar mengenai sifat duduk (tawarruk) ini bahwa bapaknya biasanya mengerjakannya seperti itu” .

3. Dari Malik, dari Yahya bin Sa’id, dari Al-Qasim bin Muhammad (lewat jalur lain),
“Bahwa Nabi  biasanya bila duduk (tasyahud) di dalam shalatnya, (beliau) meletakkan kedua (telapak) kakinya di atas kedua lututnya sambil mengangkat jari telunjuknya yang kanan yang dekat dengan ibu jarinya, lalu (beliau) berdo’a dengannya, dan telapak tangannya yang kiri (diletakkan) di atas lututnya (yang kiri) (sambil) dihamparkannya (paha kirinya) di atas (kaki kiri)-nya” .

4. Dari periwayat lainnya,
“Bahwa Nabi  biasanya bila duduk pada akhir shalatnya (beliau) meletakkan (telapak) tangannya yang kiri di atas lututnya yang kiri dan meletakkan (telapak) tangannya yang kanan di atas lututnya yang kanan sambil menegakkan jari (telunjuk)-nya” .

B. Dari ‘Aisyah ,
“... dan biasanya (Rosululloh ) mengucapkan di dalam setiap 2 roka’at “At-Taahiyaatul ... ” sambil biasanya (beliau) meng-iftirosy-kan (menghamparkan) kakinya yang kiri dan menegakkan kakinya yang kanan” .

C. Dari Abdullah bin Zuba`ir (Ibnu Zuba`ir) ,
1. (Riwayat Ibnu Zubair )
“Biasanya Rosululloh  bila duduk dalam 2 roka’at (beliau) menghamparkan kakinya yang kiri (ber-iftirosy) dan menegakkan kakinya yang kanan, lalu meletakkan ibu jarinya di atas jari tengahnya sambil berisyarat dengan jari telunjuknya, lalu meletakkan tangannya yang kiri di atas pahanya yang kiri dan menutupkan telapak tangannya yang kiri pada lututnya (yang kiri)” .
2. (Riwayat Ibnu Zubair ).
“Biasanya Rosululloh  bila duduk dalam 2 roka’at atau 4 roka’at (beliau) meletakkan kedua (telapak) tangannya di atas kedua lututnya, lalu (dia) berisyarat dengan jari (telunjuk)-nya” .
2. (Riwayat Malik bin Numair al-Khuza'i, dari bapaknya).
“Aku melihat Nabi  ... meletakkan tangannya yang kanan di atas pahanya yang kanan dalam sholat(nya) dan berisyarat dengan jari (telunjuk)-nya” .
3. (Riwayat Yahya bin Sa'id, dari Ibnu 'Ajlan, dari 'Amir bin Abdullah bin Zubair, dari bapaknya).
“Keadaan Rosululloh  bila duduk dalam tasyahud (dia) meletakkan tangannya yang kanan di atas pahanya yang kanan dan tangannya yang kiri di atas pahanya yang kiri, dan (dia) berisyarat dengan jari telunjuknya dan tidaklah melampaui pandangannya (dari) isyaratnya” .







2. Dari Abu Humaid As-Saa’idy :
1. (Riwayat Abu Humaid As-Saa-idy , dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha` )
“Dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha`, bahwa dia pernah duduk bersama 10 orang dari sahabat Nabi , lalu kami mengatakan (mereka sedang membahas mengenai sifat) shalat Nabi , lalu berkata Abu Humaid, “Bahwa aku adalah yang lebih tahu di antara kalian mengenai shalatnya Rosululloh ,
aku lihat bila (beliau) takbir (beliau) menjadikan kedua tangannya berhadapan (sejajar) dengan kedua pundaknya dan menghadapkan kedua jari-jari kakinya ke arah kiblat,
lalu bila (beliau) ruku’ (beliau) meletakkan kedua (telapak) tangannya pada kedua lututnya, kemudian (beliau) meluruskan punggungnya, lalu (beliau) mengangkat kepalanya (ber-i’tidal) dengan berdiri (tegak) lurus sampai kembali setiap tulang-tulang belakangnya ke tempatnya,
lalu bila (beliau) sujud (beliau) meletakkan kedua tangannya lalu (beliau) tidak merenggangkan (jari-jari kedua tangannya) dan tidak (pula) menggenggamnya,
lalu bila (beliau) duduk pada roka’at kedua (ber-tasyahud awal), (beliau) duduk di atas kakinya yang kiri sambil menegakkan kakinya yang kanan, dan bila (beliau) duduk pada roka’at yang terakhir (beliau) majukan kakinya yang kiri, menegakkan kakinya yang kanan lalu (beliau) duduk di atas tempatnya (yakni di bumi/tanah)”.” .
2. (Riwayat Abu Humaid ),
“... Abu Humaid berkata, “Aku lebih tahu dari kalian mengenai shalatnya Rosululloh , bahwa Rosululloh  (bila) duduk (yakni ber-tasyahud) (beliau) menghamparkan kakinya yang kiri (ber-iftirosy) sambil dihadapkannya dada (telapak jari-jari) kakinya yang kanan ke arah kiblat, lalu (beliau) meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas lututnya yang kanan, dan telapak tangannya yang kiri di atas lututnya yang kiri, dan (beliau) berisyarat dengan jari (tangan kanan)-nya, yakni jari telunjuknya”.” .
3. (Riwayat Muhammad Ja'far dari Syu'bah dari 'Ashim; Muhammad bin Amr bin 'Atho dari Abu Humaid ).
“Bahwa Rosululloh biasanya bila (beliau) duduk di dalam shalatnya pada roka’at kedua yang pertama (ber-tasyahud awal) (beliau) menegakkan (telapak) kakinya yang kanan sambil menghamparkan kakinya yang kiri (ber-iftirosy), lalu (beliau) berisyarat dengan jari (telunjuk)-nya yang dekat dengan ibu jarinya,
dan bila (beliau) duduk pada roka’at kedua yang terakhir (beliau) duduk di tempatnya pada bumi/tanah sambil menegakkan telapak kakinya yang kanan” .
4. (Riwayat Abdul Hamid bin Ja'far dari Syu'bah dari 'Ashim; Muhammad bin Amr bin 'Atho dari Abu Humaid ).
“ ... (yakni saat ber-tasyahud) maka (dia) ber-iftirosy (yakni menghamparkan telapak) kakinya yang kiri dan dihadapkan dengan dada (jari-jari telapak kakinya) yang kanan di atas tanah (ke arah) kiblat, lalu meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas lututnya yang kanan, lalu telapak tangannya yang kiri di atas lututnya yang kiri, lalu (dia) berisyarat dengan jari (telunjuk)-nya (yakni saat ber-tasyahud) awal, dia tegakkan kakinya yang kanan lalu (dia) ber-iftirosy di (atas) hamparan (telapak kakinya) yang kiri sambil berisyarat dengan jari (telunjuk)-nya yang dekat dengan ibu jari,
dan kemudian bila duduk dalam 2 roka'at (tasyahud) akhir (beliau) menggeserkan bokongnya ke tanah lalu menegakkan kakinya yang kanan” .
5. (Riwayat Muhammad Ja'far dari Syu'bah dari 'Ashim dan Abu Humaid ).
“ ... lalu (dia) berisyarat dengan jari (telunjuk)-nya dan tidaklah melampaui pandangannya (terhadap) isyaratnya” .
6. (Riwayat Ibnu Mas’ud )
“Dari Ibnu Mas’ud , bahwa Rosululloh  biasa duduk pada akhir shalatnya di bokongnya yang kiri” .
Dha’if 
Melalui jalur ‘Ashim bin Kulaib :
A. Dari Sufyan (Ats-Tsauri) ; (Rawi-nya: Abdullah bin Walid bin Maimun),
Dari Abdullah bin Walid, dari hadits (yang dibawa) Sufyan, dari 'Ashim bin Kulaib, dari bapaknya berkata, “Dari Wa`il bin Hijr , katanya, “Aku melihat (melirik) Nabi  saat (beliau) bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua telinganya, (maka beliau mengangkat kedua tangannya saat bertakbir di dalam sholatnya), kemudian saat ruku' lalu saat berkata “Sami'alloohu liman hanidah” (beliau) mengangkat kedua tangannnya [lalu aku telah melihatnya memegang dengan tangan kanannya atas pergelangan tangan kirinya dalam sholatnya (saat ber-i'tidal)] , kemudian (dia duduk) menghamparkan (kaki kirinya) sambil ber-iftirosy (yakni dengan) menghamparkan (telapak kakinya) yang kiri lalu (dia) meletakkan tangannya yang kiri di atas lututnya yang kiri dan lengannya yang kanan di atas pahanya yang kanan, kemudian (beliau) berisyarat dengan jari telunjuknya [lalu (beliau) bersujud maka keadaan kedua tangannya sejajar dengan kedua daun telinganya] ”.

B. Dari Wa`il bin Hijr ; (Rawi-nya: Syuraikh Al-Qadhi),
“... [lalu (dia) menurunkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya (saat turun sujud), (dan saat dia bersujud maka dia meletakkan kedua tangannya sejajar dengan kedua telinganya)] , ... ”.

C. Dari Wa`il bin Hijr ; (Rawi-nya: Hajjaaj bin Muhammad),
(Riwayat Hajaj, dari Ibnu Juraij, dari Ziyada, dari Muhammad bin Ajla, dari Amir bin Abdullah, dari Abdullah bin Zubair).
Dari “Aku berada di dekat Nabi  ... Keadaannya mengangkat dengan jari (telunjuk)-nya bila berdo'a, [dan tidaklah dia menggerak-gerakkan (telunjuk)-nya] . Ibnu Juraij dan Amr bin Dinar berkata, “Telah mengabarkan padaku Amir dari bapaknya (Abdullah bin Zubair) bahwa, “Sesungguhnya aku melihat Nabi  berdo'a seperti itu ... (mengangkat jari telunjuk yang kanan), dan Nabi  meletakkan tangannya yang kiri di atas pahanya yang kiri”.”.” .













Bacaan dzikir, do’a, dan beberapa ayat Al-Qur’an yang dibaca ketika berdiri dalam sholat sesuai dengan tuntunan Nabi  yang diriwayatkan dari sahabat Abu Huroiroh dan lainnya, , di antaranya adalah:
(Pada roka’at awal/pertama):
“Alloohu Akbar (Alloh Maha Besar), Alloohumma ba’id bainii wa baina khothoo yaaya, kamaa baa‘ad ta bainal masyriki wal maghrib (Ya Alloh, jauhkanlah diriku dari kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat), Alloohumma naqqinii min khotoo yaaya, kamaa yunaqqots tsaubul abyadhu minad danas (Ya Alloh, bersihkanlah [secara sempurna] aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau membersihkan kain putih dari noda-noda kotoran), Alloohummagh silnii min khotoo yaaya, bil maa`i wal tsalji wal barod (Ya Alloh, cucilah diriku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, es, dan embun), A’udzubillaahis [sami’il ‘aliim] minasy syaithoonir rojiim min hamzihi wa nafkhihi wa naftsihi (Aku berlindung kepada Alloh [yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui], dari godaan syetan yang terkutuk, dari bisikannya, kesombongannya, dan tiupan mantra-mantranya), bismillaahir rohmaanir rohiim (dengan nama Alloh yang Maha Pengasih, Maha Penyayang), QS. Al-Fatihah, Aamiiii…n (Kabulkanlah permohonan kami), beberapa ayat Al-Qur’an lainnya”.

(Pada roka’at kedua dan seterusnya):
“A’udzubillaahis [sami’il ‘aliim] minasy syaithoonir rojiim min hamzihi wa nafkhihi wa naftsihi, bismillaahir rohmaanir rohiim, QS. Al-Fatihah, Aamiiii…n, beberapa ayat Al-Qur’an lainnya”.

Keutamaan Berwudhu dan Pemeliharaan Fitrah Tubuh, Tinjauan Segi Medis

b) Thoharoh (Bersuci badan).
Menurut kaidah bahasa (etimologis), thoharoh berarti membersihkan kotoran, baik kotoran yang berwujud maupun kotoran yang tidak berwujud. Menurut kaidah syar’i, thoharoh berarti menghilangkan hadats, najis, dan kotoran dengan air atau tanah yang bersih (suci). Jadi, thoharoh berarti menghilangkan kotoran-kotoran yang masih melekat di badan yang membuat tidak syah-nya sholat atau ibadah lainnya .
Macam-macam thoharoh secara umum terbagi menjadi 2, yaitu thoharoh batin dan thoharoh lahir. Thoharoh batin lebih penting daripada thoharoh lahir karena thoharoh batin merupakan juga cabang dari keimanan seseorang kepada Alloh  dan rosul-Nya . Bahkan, thoharoh lahir tidak bisa terwujud kalau masih ada kotoran batin (yaitu kotoran kesyirikan yang masih menempel pada tubuh seseorang), seperti dinyatakan dalam firman Alloh :
      … 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, … “ (QS. At-Taubah [9]: 28).

dan sabda Rosululloh  (yang artinya):
“Sesungguhnya orang-orang beriman (kepada Alloh  dan rosul-Nya ) itu tidak najis” .

Karena itu, wajib bagi setiap muslim membersihkan dirinya dari kotoran kesyirikan, keragu-raguan (syubhat), dan hawa nafsu (syahwat) dalam beriman kepada Alloh  dan rosul-Nya , dengan cara senantiasa bersikap ikhlas, menegakkan ketauhidan (keimanan) dan keyakinan kepada-Nya, juga dengan membersihkan jiwanya dari kotoran-kotoran riya’, sum’ah, ujub (takabur/percaya diri berlebih-lebihan), sombong, maksiat, dengki, dendam, dan hasad kepada sesama muslim lainnya.
Sementara itu, thoharoh lahir juga merupakan salah satu cabang dari keimanan seseorang kepada Alloh  dan Rosul-Nya , seperti yang dinyatakan dalam sabda Rosululloh  (yang artinya):
“Thoharoh (bersuci) adalah cabang dari keimanan” .

Thoharoh lahir dilakukan dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh Alloh  dan rosul-Nya , yaitu ber-wudhu’, mandi, atau ber-tayamum (bila tidak tersedia air), dan dengan membersihkan najis dari badan, pakaian, dan tempat sholat .
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ber-thoharoh (bersuci diri) dalam menjalankan sholat juga merupakan salah satu usaha awal yang dapat dilakukan dalam peningkatan kekhusyu’an dalam menjalankan sholat, dalam upaya untuk melakukan pengalihan penerimaan rangsangan inderawi agar dapat melakukan pengaturan nafas seefektif mungkin, yang dapat digunakan sebagai media untuk menenangkan kondisi jiwa dan pikirannya.
Beberapa hal dalam upaya untuk ber-thoharoh (bersuci diri) sebelum mendirikan sholat dan beberapa keutamaan serta pengaruhnya terhadap setiap manusia yang senantiasa mendirikannya secara benar, istiqomah, sabar, dan ikhlas, dapat dilihat pada beberapa poin di bawah ini:



























1) Thoharoh yang berhubungan dengan pemenuhan fitrah tubuh.
• Beberapa amalan (pemenuhan) fitrah sebagai bentuk thoharoh.
Fitrah di sini berarti beberapa amalan yang dilakukan oleh para Nabi, khususnya Nabi Muhammad , sebagai bentuk usaha dalam ber-thoharoh lahir pada tubuh. Beberapa amalan tersebut ada yang hukumnya wajib ataupun sunnah . Beberapa amalan yang termasuk fitrah tersebut adalah :
1) Ber-khitan (sunat) .
2) Mencukur bulu kemaluan.
3) Mencabut bulu ketiak.
4) Menggunting kuku dan membersihkan barajim (ruas-ruas jari).
5) Memangkas kumis .
6) Memanjangkan jenggot .
7) Ber-siwak (menggosok gigi) .
8) Ber-istinsyaq (menghirup air ke dalam lubang hidung) dan ber-istinsyar (mengeluarkan air kembali dari lubang hidung atau mulut).
9) Ber-istinja (membersihkan dubur setelah buang air besar).
10) Ber-intidhoh (memercikkan sedikit air ke kemaluan dan kain yang menutupinya untuk menghilangkan was-was).

• Beberapa keutamaan dan pengaruh dari amalan (pemenuhan) fitrah sebagai bentuk thoharoh sebelum mendirikan sholat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di bagian awal makalah ini bahwa Alloh  senantiasa memilihkan yang terbaik untuk setiap manusia. Dia adalah Dzat Yang Maha suci (bersih) dan tidak akan pernah mencintai sesuatu atau tidak bersedia menerima amalan, perbuatan, dan sedekah dari makhluk-Nya kecuali kesemuanya bersifat suci (bersih) juga . Semua hal mengenai kesucian (kebersihan) dalam beribadah kepada-Nya telah ditetapkan oleh-Nya melalui penciptaan fitrah makhluk-Nya yang murni dan penetapan syar’iat-syar’iat yang dibawa oleh para rosul-Nya . Semua ini menunjukkan bahwa Islam merupakan syar’iat dari Alloh  yang suci, yang dapat mendorong makhluk-Nya agar senantiasa suci sehingga dapat memperoleh kesempurnaan nikmat dan hikmah yang telah ditetapkan-Nya dengan kesuciannya tersebut .
Bila ditinjau dari sisi medis, beberapa amalan (pemenuhan) fitrah sebagai bentuk thoharoh sebelum mendirikan sholat tersebut merupakan suatu bentuk usaha pencegahan terhadap terjangkitnya penyakit, kelainan tubuh, dan berbagai komplikasi (penyulit)-nya, khususnya terjangkitnya berbagai penyakit infeksi pada tubuh. Sebagaimana fakta yang telah ditunjukkan melalui berbagai studi medis mutakhir terpublikasi menunjukkan bahwa penyakit-penyakit (terutama infeksi) pada tubuh manusia akan senantiasa dipengaruhi oleh penurunan daya tahan tubuh, keadaan bentuk dan fungsi tubuh yang memungkinkan terjadinya infeksi pada tubuh, dan kondisi lingkungan yang buruk, yang kesemuanya adalah akibat dari perbuatan manusia sendiri dan telah ditakdirkan Alloh  sebelumnya .
Fakta medis tersebut menunjukkan bahwa pada umumnya secara alamiah keadaan bentuk dan fungsi tubuh kita dapat menyebabkan peningkatan resiko terjangkitnya beberapa penyakit infeksi, di antaranya adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, dan jamur. Hal ini dapat ditunjukkan dengan faktor resiko dari adanya beberapa lipatan, ruas-ruas jari, kuku, rongga, pori-pori, dan tempat tumbuhnya rambut pada tubuh, di samping terjadinya proses perubahan hormonal dan pengeluaran keringat pada tubuh. Keadaan bentuk dan fungsi alamiah tubuh tersebut secara tidak disadari akan menjadikan tempat dan sarana yang baik bagi virus, bakteri, dan jamur untuk berjangkit, berkembang biak, dan menimbulkan penyakit atau kelainan pada tubuh manusia.
Berbagai penyakit tersebut pada umumnya terjadi disebabkan oleh kurangnya usaha dalam pemeliharaan hiegiene (kebersihan) tubuh secara maksimal dan berkesinambungan, terutama pada beberapa daerah lipatan, rongga, pori-pori, kuku, dan tempat tumbuhnya rambut pada tubuh, yaitu di antaranya adalah penyakit gigi, penyakit mulut, tangan, dan kaki, penyakit kulit, dan beberapa penyakit infeksi atau gangguan pada saluran pernapasan, pencernaan, dan kemih. Berbagai penyakit ini dapat bermanifestasi pada timbulnya berbagai keluhan tubuh (dari mulai derajat ringan sampai dengan terjadinya komplikasi atau kematian), di antaranya adalah sakit gigi, sariawan (perdarahan gusi, gigi, atau lidah), pilek, hidung tersumbat, perdarahan pada hidung, radang tenggorokan, batuk, kelainan pendengaran dan infeksi pada telinga, demam, influenza (flu), sesak nafas, radang paru-paru, sakit magh, diare, penyakit kecacingan, sulit buang air besar, penyakit tifus, gangguan haidh, infeksi dan batu pada saluran kemih, beberapa penyakit atau kelainan kulit (seperti eksim, jamur, jerawat, dan lain-lain), dan terjadinya beberapa komplikasi (penyulit) dari penyakit-penyakit tersebut, di antaranya dehidrasi, kekurangan darah, radang atau kegagalan fungsi pada jantung, hati, ginjal, dan otak, keganasan (tumor atau kanker) pada telinga, mulut, saluran pernapasan, pencernaan, rahim, dan kemih, serta kematian.
Berdasarkan dari beberapa studi medis mutakhir terpublikasi ternyata beberapa amalan (pemenuhan) fitrah sebagai bentuk thoharoh sebelum mendirikan sholat tersebut merupakan suatu bentuk usaha pencegahan terhadap terjangkitnya beberapa penyakit pada tubuh, di antaranya adalah:
1) Ber-khitan (sunat), pada umumnya untuk kaum lelaki dapat mencegah terjadinya penumpukkan smegma , yang diduga kuat bersifat karsinogenik dan infeksius , terutama pada daerah glans (kepala) penis, di antaranya adalah mencegah terjadinya penyakit tumor kondiloma akuminata, kanker basal cell squamosa , dan peradangan pada daerah glans penis (yang dapat menimbulkan kelainan dalam berkemih dan ber-senggama). Ber-khitan bagi kaum lelaki juga dapat mengatasi terjadinya kelainan pada penisnya, yakni mengatasi terjadinya fimosis dan parafimosis . Sementara pada kaum perempuan, ber-khitan akan menstabilkan gairah seksualnya dan meningkatkan gairah untuk ber-senggama bagi pasangannya .
2) Mencukur bulu kemaluan, mencegah terjadinya beberapa penyakit-penyakit parasit hewani (di antaranya adalah penyakit-penyakit Pedikulosis [Phthirus] Pubis dan Scabies [tungau/tumo/kutu]), penyakit jamur (di antaranya adalah penyakit Tinea Kruris), dan penyakit eksim (yakni penyakit Dermatitis Seboroik atau Pitiriasis Sika [ketombean/dandruff]) pada bulu dan kulit daerah kemaluan . Di samping itu dapat mencegah terjadinya penyakit-penyakit jamur, virus, bakteri, dan parasit , terutama yang berhubungan dengan alat-alat reproduksi pada wanita dan proses kehamilannya (di antaranya adalah penyakit-penyakit kandidiasis vaginalis , peradangan pada [organ-organ] panggul wanita [PRP], gangguan haidh, infertilitas [kemandulan], dan teratogenik [kelainan/gangguan pada janin]) .
3) Mencabut bulu ketiak, mencegah terjadinya beberapa penyakit-penyakit parasit hewani (di antaranya adalah penyakit Pedikulosis [Phthirus] Pubis [tungau/tumo/kutu] dan Scabies), penyakit jamur (di antaranya adalah penyakit Tinea Korporis dan Kandidosis), dan penyakit eksim (yakni penyakit Dermatitis Seboroik atau Pitiriasis Sika [ketombean/dandruff]) pada bulu dan kulit daerah ketiak .

4) Menggunting kuku dan membersihkan barajim (ruas-ruas jari tangan dan kaki), mencegah terjadinya beberapa penyakit-penyakit penyakit parasit, jamur, bakteri, dan virus (di antaranya adalah penyakit-penyakit Scabies [tungau/tumo/kutu], kecacingan, Tinea Unguium, Tinea Pedis et Manum, Kandidiasi [Onikomikosis], Paronikia , Leukonia , dan flu burung) , Penyakit eksim (Dermatitis Kontak Alergi atau Dermatitis Kontak Iritans) , dan Penyakit mulut, tangan, dan kaki (PTKM) .

5) Memangkas kumis, mencegah terjadinya beberapa penyakit-penyakit parasit hewani (di antaranya adalah penyakit Pedikulosis [Phthirus] Pubis [tungau/tumo/kutu] dan Scabies), penyakit jamur (di antaranya adalah penyakit Tinea Kapitis), Rhinitis Alergika , dan penyakit eksim (yakni penyakit Dermatitis Seboroik atau Pitiriasis Sika [ketombean/dandruff]) pada bulu dan kulit daerah antara bibir atas dan rongga hidung .

6) Ber-siwak (menggosok gigi) dan berkumur-kumur, mencegah terjadinya penyakit-penyakit infeksi (yang menimbulkan gejala nyeri dan pembengkakan) dan karies (kerusakan) pada gigi , sariawan (perdarahan atau luka pada gusi, lidah, dan mulut) serta penyakit mulut, tangan dan kaki (PTKM) .

7) Ber-istinsyaq, ber-istinsyar, dan membersihkan liang telinga, mencegah terjadinya beberapa penyakit infeksi, dan gangguan saluran nafas dan pendengaran, di antaranya adalah penyakit-penyakit rhinitis (seperti: pilek, hidung tersumbat, influenza (flu), dan perdarahan pada hidung Epistaksis]), infeksi saluran pernapasan akut (seperti: radang tenggorokan, batuk, demam, sesak nafas, dan radang paru-paru [faringitis, tonsilitis, laringitis, dan bronkitis]), dan kelainan pendengaran atau infeksi pada telinga (otitis atau otalgia) .

8) Ber-istinja (membersihkan dubur setelah buang air besar), mencegah terjadinya beberapa penyakit-penyakit parasit hewani (di antaranya adalah penyakit-penyakit Pedikulosis [Phthirus] Pubis, kecacingan, dan Scabies), penyakit jamur (di antaranya adalah penyakit Tinea Kruris), dan penyakit eksim (di antaranya adalah penyakit Dermatitis Seboroik) pada daerah dubur dan kemaluan . Di samping itu dapat mencegah terjadinya penyakit-penyakit jamur, virus, bakteri, dan parasit , terutama yang berhubungan dengan alat-alat reproduksi pada wanita dan proses kehamilannya (di antaranya adalah penyakit-penyakit kandidiasis vaginalis , peradangan pada [organ-organ] panggul wanita [PRP], gangguan haidh, infertilitas [kemandulan], dan teratogenik [kelainan/gangguan pada janin]) , dan mencegah terjadinya penyakit-penyakit dan Penyakit mulut, tangan, dan kaki (PTKM) .

9) Ber-intidhoh (memercikkan sedikit air ke kemaluan dan kain yang menutupinya untuk menghilangkan was-was), mencegah terjadinya penyakit-penyakit jamur, virus, bakteri, dan parasit , dan mencegah terjadinya penyakit-penyakit dan Penyakit mulut, tangan, dan kaki (PTKM) .
2) Thoharoh yang secara khusus berhubungan dengan mendirikan sholat.
A. Ber-wudhu’ (lihat lampiran 4).
• Beberapa hal yang dilakukan .
a) Berniat di dalam hati.
b) Membaca  (bismillah) .
c) Membersihkan kedua telapak dan sela-sela jemari tangan 3 kali.
d) Berkumur sambil menghirup (memasukkan) air ke dalam lubang hidung (dengan telapak tangan kanan), dan membuang dari dalamnya (dengan telapak tangan kiri) sebanyak 3 kali.
e) Membasuh dan membersihkan muka 3 kali.
f) Membasuh dan membersihkan kedua lengan bawah tangan sampai dengan sikunya 3 kali.
g) Membasuh dan membersihkan kepala dan kedua telinga 1 kali.
h) Membasuh dan membersihkan kedua telapak kaki sampai dengan mata kakinya (terutama sela-sela jari dan tumitnya) 3 kali .
i) Membaca do’a wudhu’.

• Beberapa keutamaan dan pengaruh dari ber-wudhu’ sebelum mendirikan sholat.
Berdasarkan beberapa studi medis mutakhir terpublikasi menunjukkan bahwa ber-wudhu’ yang dilakukan berulang-ulang, minimal 5 kali dalam sehari-semalam (yakni ketika hendak melakukan sholat), secara bermakna sangat mempengaruhi dan menguntungkan bagi kondisi jiwa dan tubuh manusia. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh air yang sangat kuat dan dominan terhadap kehidupan manusia . Beberapa keutamaan dan pengaruh dari ber-wudhu’ sebelum mendirikan sholat di antaranya adalah :
1. Ber-wudhu’ dapat menjaga tubuh agar tetap bersih, terpelihara dari debu, kotoran, dan berbagai macam parasit hewani, jamur, virus, dan bakteri yang berasal dari lingkungan dan kemudian masuk atau menempel pada tubuh, dan kesemuanya berpotensi menimbulkan penyakit (terutama penyakit-penyakit infeksi) pada tubuh . Hal ini disebabkan oleh beberapa sifat fisik air yang sangat memungkinkan terjadinya pembersihan (clearance) segala macam kotoran atau mikroorganisme asing yang berada di dalam atau melekat pada tubuh .
2. Ber-wudhu’ dapat memperbaiki fungsi organ jantung dan sistem aliran darah (kardiovaskuler) dan sistem pernapasan (respirasi) tubuh. Hal ini disebabkan oleh beberapa sifat fisik air yang sangat memungkinkan terjadinya pengoptimalisasian tekanan hidrostatika (yang terdapat di dalam sistem pembuluh/aliran darah, jantung, dan paru-paru tubuh) .
3. Ber-wudhu’ dapat mengurangi stress psikis (kejiwaan) agar kondisinya lebih santai (relaksasi) atau bersifat rekreasi. Hal ini disebabkan oleh beberapa sifat fisik air yang sangat memungkinkan terjadinya proses-proses relaksasi dan rekreasi melalui pengoptimalisasian tekanan hidrostatik (yang terdapat di dalam sistem pembuluh/aliran darah, jantung, dan paru-paru tubuh) dan kerja sistem pernapasan (respirasi) .
4. Ber-wudhu’ dapat memperbaiki fungsi otot dan persyarafannya (neuromuskuler), memperbaiki penampilan (performance) dan postur tubuh, meningkatkan kelenturan (range of motion) sendi tubuh, memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan (balance) dan koordinasi (gerakan) tubuh secara keseluruhan, serta meningkatkan kekuatan dan ketahanan ototnya. Hal ini disebabkan oleh sifat fisik air yang sangat memungkinkan terjadinya pengoptimalisasian proses-proses penenangan jiwa dan tubuh (relaksasi), rekreasi, dan penurunan rangsang nyeri (yang mungkin muncul) pada tubuh , perangsangan (stimulasi) yang adekuat (optimal) untuk beberapa reseptor persyarafan pusat dan perifer (permukaan) tubuh (terutama reseptor persyarafan tubuh yang bersifat kinestetik dan proprioseptif ), dan respons neuromuskular tubuh yang adekuat secara keseluruhan .

B. Ber-tayamum (lihat lampiran 5).
• Beberapa hal yang dilakukan .
a) Berniat di dalam hati.
b) Membaca  (bismillah).
c) Menepukkan kedua telapak tangan ke tanah (bumi) atau dinding 1 kali.
d) Meniupkan sedikit kedua telapak tangan 1 kali.
e) Mengusapkan kedua telapak tangan ke muka 1 kali.
f) Mengusapkan ke kedua telapak tangan secara bergantian, dimulai dari ujung-ujung jari hingga pergelangan tangan kanan lalu dilanjutkan ke ujung-ujung jari hingga pergelangan tangan kiri, masing-masing 1 kali.
g) Membaca do’a ber-tayamum (lafadz-nya sama dengan do’a wudhu’).
• Beberapa keutamaan dan pengaruh dari ber-tayamum sebelum mendirikan sholat.
Berdasarkan beberapa studi medis mutakhir terpublikasi menunjukkan bahwa ber-wudhu’ yang dilakukan berulang-ulang (minimal 5 kali dalam sehari-semalam), atau mandi yang dilakukan berulang-ulang (minimal 2 kali dalam sehari-semalam), secara bermakna lebih baik dan menguntungkan bagi kondisi jiwa dan tubuh manusia dibanding dengan ber-tayamum. Hal ini sebenarnya juga tidak terlepas dari pengaruh air yang sangat baik, kuat, dan dominan terhadap kehidupan manusia dibanding dengan penggunaan debu . Namun demikian penggunaan debu ketika ber-tayamum pada beberapa keadaan (kondisi) tertentu dan tempat tertentu pada tubuh setidaknya dapat mencukupkan untuk mengganti air dalam hal pembersihan (pensucian) seluruh permukaan tubuh menurut standar paling minimal, dan mengingat fakta yang terkandung dalam sifat-sifat fisik pada debu adalah hampir sama dengan sifat-sifat fisik pada air, maka debu secara minimal juga dapat memungkinkan terjadinya proses-proses pemeliharaan permukaan tubuh agar tetap bersih (dari berbagai kotoran dan mikroorganisme asing yang berasal dari lingkungan di sekitar tubuh) dan pengurangan stress psikis (kejiwaan) agar kondisinya lebih santai (relaksasi) atau bersifat rekreasi .
C. Mandi (ghusul).
• Beberapa hal yang dilakukan .
a) Berniat di dalam hati.
b) Membaca  (bismillah).
c) Membersihkan kedua telapak dan sela-sela jemari tangan 3 kali.
d) Mencuci kemaluan dengan tangan kirinya.
e) Membersihkan tangan kirinya.
f) Ber-wudhu’ seperti hendak sholat (Namun tidak diakhiri dengan membasuh dan membersihkan kedua telapak kakinya).
g) (Khusus untuk wanita) seorang wanita yang akan mandi junub, tidak wajib baginya untuk menguraikan rambutnya terlebih dahulu , sedangkan seorang wanita yang akan mandi haidh, wajib baginya untuk menguraikan rambutnya terlebih dahulu .
h) Menyela-nyela rambut secara merata 3 kali (dimulai pada kepala bagian kanan sampai sisi belakangnya, lalu pada kepala bagian kiri sampai sisi belakangnya, dan pada kepala bagian tengah sampai sisi belakangnya).
i) Menyiramkan (air) ke kepala secara merata 3 kali.
j) Menyiramkan air ke seluruh tubuh dan membersihkannya (seperti mandi biasa).
k) Bergeser dari tempat semula.
l) Membasuh dan membersihkan kedua telapak kaki sampai dengan mata kakinya (terutama tumit dan sela-sela jemari kaki) 3 kali.
m) Mengelap daerah kemaluan dan seluruh badan dengan kain yang wangi.
n) Membaca do’a setelah mandi (lafadz-nya sama dengan do’a wudhu’).





• Beberapa keutamaan dan pengaruh dari mandi (ghusul) sebelum mendirikan sholat.
Berdasarkan beberapa studi medis mutakhir terpublikasi menunjukkan bahwa mandi yang dilakukan berulang-ulang, minimal 2 kali dalam sehari-semalam, secara bermakna sangat mempengaruhi dan menguntungkan bagi kondisi jiwa dan tubuh manusia. Seperti juga ber-wudhu’, hal mandi ini juga sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh air yang sangat kuat dan dominan terhadap kehidupan manusia . Beberapa keutamaan dan pengaruh dari mandi sebelum mendirikan sholat adalah sama dengan ber-wudhu’ (namun demikian ada sedikit perbedaan dalam persiapan, proses, dan kemanfaatannya ).












c) Puasa (cooling down).
Puasa merupakan salah satu perwujudan dari pelatihan hati (jiwa) dan tubuh untuk berdiam diri dalam sholat (selain tidak berbicara atau mengeluarkan kata-kata/melakukan hal-hal yang tidak berguna dan tidak disyar’iatkan dalam agama). Secara kaidah bahasa (etimologis) puasa (shiyam) artinya menahan atau tenang (lawan kata dari melakukan suatu gerakan). Adapun secara syara’, puasa (shiyam) artinya menahan diri dari makan/minum, berhubungan dengan istri, menahan hawa nafsu, menahan diri untuk berbuat berbagai amalan (ibadah) yang tidak ada syar’iat-nya dalam tuntunan Alloh  dan rosul-Nya , dan sejenisnya . Hakikat orang yang berpuasa sebenarnya adalah dia menahan setiap anggota badannya dari segala dosa, lidahnya dari berbuat dusta dan berkata yang tidak berguna, perutnya dari makan atau minum, kemaluannya dari ber-jima’ (berhubungan antara suami-istri), sehingga semua amal perbuatannya akan bermanfa’at bagi Alloh  dan semua makhluk-Nya (khususnya sesama saudara se-imannya) , dan atas pertolongan dan rahmat-Nya seolah-olah setiap (godaan) syetan dan perbuatan yang dihasilkannya pasti akan terbelenggu/terhalang (melalui puasanya) dengan sendirinya dan sama sekali tidak akan dapat mempengaruhi keimanan dan usaha ketaqwaan kepada-Nya .
Alloh  mengiringkan berpuasa dengan sholat disebabkan sholat merupakan suatu gerakan menuju kepada al-haq (kebenaran syar’iat Islam), yang setiap gerakannya sangat dipengaruhi dan didukung oleh berpuasa (di antaranya mencakup menahan diri dari ucapan, perbuatan) . Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Alloh  dan rosul-Nya  telah memerintahkan pada saat melakukan ibadah sholat wajib bagi seorang muslim untuk berdiam (menenangkan) diri dan menghindari dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia (yang tidak ada tuntunan syar’iatnya) , seperti ditunjukkan pada firman Alloh  dalam QS. Mu’minuun (23): 1-9 (“…[yaitu] orang-orang yang khusyu' dalam sholatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna … dan orang-orang yang menjaga kemaluannya … Dan orang-orang yang memelihara sholatnya”); dan Al-A’roof [7]; 204 (“Apabila dibacakan Al-Qur’an maka kalian simaklah bacaan Al-Qur’an itu dan diamkanlah [diri] kalian [untuk] mendengarkannya. Dengan begitu semoga kalian mendapat rahmat-Nya”), serta beberapa sabda Rosululloh , “Ketahuilah, kalian semua sedang bermunajat kepada Alloh, maka janganlah (kalian) saling mengganggu satu sama lainnya …” , “Sesungguhnya ibadah sholat tidak boleh dicampuri dengan percakapan [perbuatan] manusia (yang tidak berguna). Ibadah sholat hanya boleh diisi dengan ucapan tasbih, takbir, dan bacaan Al-Qur’an” , dan “Barang siapa yang tidak juga meninggalkan berkata-kata dusta dan masih juga melakukannya (pada saat menunaikan puasa), maka Alloh sedikitpun tidak rela menerima ibadah puasanya, meski ia meninggalkan makan dan minum” .
Berpuasa pada saat melakukan sholat merupakan juga perwujudan ber-taqwa untuk ber-taubat kepada Alloh  dengan berupaya untuk membersihkan keadaan hati (jiwa) dan tubuh dari berbagai perkara kemaksiatan (dosa) yang pernah diperbuat sebelumnya agar dapat mengembalikan dan memelihara keadaannya sesuai dengan fitrah awal yang telah ditetapkan Alloh  sebelumnya , sehingga mempermudah dan mempererat untuk berinteraksi dengan-Nya.
Beberapa faedah dan kemanfa’atan lainnya dengan berpuasa tersebut, di antaranya adalah: (1) Dapat mendukung penjagaan hati (jiwa) dan tubuh terhadap berbagai penyakit, perbuatan maksiat, keji, dan munkar yang kemungkinan dapat menyerang sesudahnya , (2) Menjadikan perantara untuk mendapatkan syafa’at (pertolongan) dari Alloh , , (3) Menjadikan perantara untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan , (4) Merupakan salah satu jalan untuk masuk surga (terutama memasuki melalui pintu Royyan) , dan (5) Mengobati berbagai penyakit (terutama penyakit syahwat) dan memelihara kesehatan tubuh secara berkesinambungan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa berpuasa dalam menjalankan sholat juga merupakan salah satu usaha awal yang dapat dilakukan dalam peningkatan kekhusyu’an dalam menjalankan sholat, dalam upaya untuk melakukan pengalihan penerimaan rangsangan inderawi agar dapat melakukan pengaturan nafas seefektif mungkin, yang dapat digunakan sebagai media untuk menenangkan kondisi jiwa dan pikirannya. Dalam beberapa studi medis mutakhir menunjukkan bahwa terdapat beberapa manfa’at puasa bagi seseorang yang sudah terbiasa melakukannya, di antaranya adalah: (1) Meringankan beban kerja (metabolisme) dari alat-alat (organ) dalam tubuh, (2) Meningkatkan kenyamanan pada persendian dan saluran pencernaan dan kemih, (3) Terhindar dari masalah (penyakit) kegemukan dan beberapa penyakit jiwa atau tubuh lainnya, (4) Dapat menghilangkan perangai (sifat-sifat buruk) dan gejolak syahwat (nafsu birahi), (5) Dapat menjernihkan pikiran, (6) Meningkatkan motivasi atau semangat dalam diri untuk beraktivitas dan melatih jiwa untuk bersabar, dan (7) Membangkitkan rasa kebersamaan di antara sesama manusia.
Data dari studi medis mutakhir terpublikasi menunjukkan bahwa dengan berpuasa, tubuh akan berusaha mengurangi atau mengistirahatkan sebagian besar dari rutinitas aktivitas (metabolisme)-nya, menstabilkan atau mengembalikan kinerja dari fungsi-fungsi sel, jaringan, maupun organ tubuh ke keadaan normalnya, menghambat dan menstabilkan perangsangan (stimulasi) beberapa terminal dari pusat-pusat reseptor persyarafan pusat yang bersifat agresif dan senantiasa terpacu oleh perasaan, psikis (kejiwaan), atau emosi di hipotalamus , sehingga akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja dari berbagai terminal pusat-pusat reseptor persyarafan pusat lainnya yang lebih bersifat defensif di hipotalamus dan bagian otak lainnya. Kesemuanya ini pada umumnya secara langsung akan membuat keadaan seluruh tubuh menjadi tenang (relaksasi dan rekreasi), terpelihara dari berbagai gangguan/kelainan dari seluruh fungsi tubuh atau penyakit yang dapat berjangkit di dalam atau menempel pada permukaan tubuh, dan meningkatkan aktivitas dan penampilan (performance) tubuh dalam berinteraksi pada lingkungan sekitarnya .

Ruqyah Sesuai Tuntunan Sunnah yang Benar

Ruqyah Menurut Sunnah Rosululloh .
Penyakit-penyakit yang dapat diobati dengan menggunakan ruqyah ini terutama adalah penyakit-penyakit karena pengaruh sihir (pengaruh mata [‘ain] yang jahat), penyebaran bisa racun (humah), dan luka-luka yang menjalar di sisi badan dan anggota tubuh lainnya (Namlah). Namun demikian, penyakit-penyakit lainnya (baik penyakit hati maupun penyakit badan) pada tubuh manusia, insya Alloh juga dapat diobati dengan cara ruqyah ini (Shohih: HR. Muslim, [As-Salam, XIV/185]).
Tata cara ruqyah menurut Sunnah yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rosululloh  adalah sebagai berikut:

A. Pencegahan Pengaruh Sihir.
1. Mentauhidkan Alloh  dan mengikhlaskan semua ibadah hanya kepada-Nya saja, dan tidak boleh berbuat syirik dan bid’ah.
2. Mengusahakan semaksimal mungkin menunaikan seluruh kewajiban, meninggalkan semua larangan, serta bertaubat dari segala macam dosa yang pernah dilakukan.
3. Memperbanyak membaca Al-Qur’an, yaitu dengan menjadikannya wirid yang dibaca setiap hari (QS. Fushshilat; 42 dan QS. Al-Furqon; 33) ; dan diutamakan membaca QS. Al-Baqoroh dan QS. Ali Imron (Zahraawain) setiap hari .
4. Melindungi dan membentengi diri dengan banyak memanjat berbagai do’a, ta’awudz, serta dzikir-dzikir yang disyari’atkan Alloh  dan RosulNya  (yang shohih), seperti: dzikir-dzikir rutin setiap habis Sholat,
di antaranya:
“Subhanallohu” ( ), “Alhamdulillahi” ( ), “Allohu Akbar” ( )
(masing-masing 33 kali) ,



“Laa Ilaaha illalloohu wahdahu laa syariikalah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syain qodiir”
(setiap habis sholat 1 kali atau 10 kali ), dan setiap hari 100 kali ,

QS. Al-Baqoroh; 255 - Ayat Kursi
(setiap habis sholat 1 kali) ,
                                                          
Artinya:
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi[161] Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.,

dan
Dua ayat terakhir QS. Al-Baqoroh
(setiap memasuki malam hari atau sebelum tidur pada malam hari 1 kali) ,
                                                                           •           
Artinya:
Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan Kami taat." (mereka berdoa): "Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada Engkaulah tempat kembali. (285), Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir (286).

5. (Jika memungkinkan) Hendaklah memakan 7 buah kurma (kurma Ajwah – Kurma Nabi ) pada pagi hari .
(“Barang siapa pada pagi hari memakan 7 butir dari kurma ajwah, maka sepanjang hari ia tidak akan dapat dikenai racun maupun sihir”).

B. Pengobatan Pengaruh Sihir
 Cara Pertama:
Mengeluarkan pengaruh sihir tersebut dan menggagalkannya jika diketahui tempat-tempatnya dengan cara-cara yang dibolehkan menurut syari’at Alloh  dan RosulNya  (yang shohih)
 Cara Kedua:
1. Keyakinan bahwa kesembuhan datangnya hanya dari Alloh  semata.
2. Ruqyah harus dengan Al-Qur’an, Al-Hadits (shohih/hasan), atau dengan nama dan sifat Alloh , dengan bahasa arab atau bahasa yang dapat dipahami.
3. Mengikhlaskan niat dan menghadapkan diri kepada Alloh  saat membaca (ayat-ayat Al-Qur’an) dan berdo’a.
4. Menumbukkan 7 helai daun pohon Sidr (bidara) hijau di antara 2 batu atau sejenisnya, lalu mencampurnya dengan air bersih, kemudian menyiramkan air tersebut ke atas (kepala atau tubuh yang mengalami sakit/kelainan)-nya sebanyak jumlah air yang cukup untuk mandi dan dibacakan di dalamnya beberapa do’a yaitu:
A. Ta’awudz,


“A’udzubillaahi minasy syaithoo nir rojiim”
Artinya:
Aku berlindung kepada Alloh dari gangguan setan yang terkutuk.,

B. QS. Al-Fatihah; 1-7,
                                   
Artinya:
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (1), Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (2), Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (3), Yang menguasai di hari Pembalasan (4), Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan (5), Tunjukilah Kami jalan yang lurus (6), (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (7).,

C. QS. Al-Baqoroh; 255,
                                                          

D. QS. Al-A’rof; 117-122,
                              •       
Artinya:
Dan Kami wahyukan kepada Musa: "Lemparkanlah tongkatmu!". Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan (117), Karena itu nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan (118), Maka mereka kalah di tempat itu dan jadilah mereka orang-orang yang hina (119), Dan Ahli-ahli sihir itu serta merta meniarapkan diri dengan bersujud (120), Mereka berkata: "Kami beriman kepada Tuhan semesta alam (121), “(yaitu) Tuhan Musa dan Harun" (122).,








E. QS. Yunus; 79-82,
                           •    •         •     
Artinya:
Fir'aun berkata (kepada pemuka kaumnya): "Datangkanlah kepadaku semua Ahli-ahli sihir yang pandai!" (79), Maka tatkala Ahli-ahli sihir itu datang, Musa berkata kepada mereka: "Lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan." (80), Maka setelah mereka lemparkan, Musa berkata: "Apa yang kamu lakukan itu, Itulah yang sihir, Sesungguhnya Allah akan Menampakkan ketidak benarannya" Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang-yang membuat kerusakan (81), Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapan-Nya, walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukai(nya) (82).,

F. QS. Thoha; 65-70,
  •   •   •               •            •                           •    
Artinya:
(setelah mereka berkumpul) mereka berkata: "Hai Musa (pilihlah), Apakah kamu yang melemparkan (dahulu) atau kamikah orang yang mula-mula melemparkan?" (65), Berkata Musa: "Silahkan kamu sekalian melemparkan". Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka (66), Maka Musa merasa takut dalam hatinya (67), Kami berkata: "Janganlah kamu takut, Sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang) (68), Dan lemparkanlah apa yang ada ditangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. "Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang" (69), Lalu tukang-tukang sihir itu tersungkur dengan bersujud, seraya berkata: "Kami telah percaya kepada Tuhan Harun dan Musa" (70).

G. QS. Al-Ikhlash,
                •  
Artinya:
Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa (1), Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu (2) Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan (3), Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (4).,

H. QS. Al-Falaq,
                  •         
Artinya:
Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (1), Dari kejahatan makhluk-Nya (2), Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita (3), Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul (4), Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki." (5).,


I. QS. An-Naas,
   ••   ••   ••    • ••   •   •   • •• 
Artinya:
Katakanlah: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia (1), Raja manusia (2), Sembahan manusia (3), Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi (4), Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia (5), Dari (golongan) jin dan manusia (6).,

dan

J. QS. Al-Kafirun
                  •             
Artinya:
Katakanlah: "Hai orang-orang kafir (1), Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah (2), Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah (3), Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah (4), Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah (5), Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (6).

(Pada dasarnya seluruh Al-Qur’an dapat digunakan untuk meruqyah, akan tetapi yang disebutkan dalil-dalilnya, tentu akan lebih berpengaruh) dan meniup anggota tubuh yang sakit .
5. Menghayati makna yang terkandung dalam bacaan Al-Qur’an dan do’a-do’a yang sedang dibacanya.
6. Orang yang meruqyah hendaknya memperdengarkan bacaan ruqyah-nya, agar penderita/pasien belajar dan merasa nyaman bahwa ruqyah yang dibacakan sesuai dengan syari’at Islam dan jangan berlebih-lebihan (QS. Al-A’rof; 55 dan 205).
7. Meniupkan pada tubuh orang yang sakit di tengah-tengah pembacaan ruqyah. Caranya dengan tiupan yang lembut tanpa mengeluarkan air ludah – “...(tiupan Nabi  saat meruqyah...seperti orang yang makan kismis, tidak ada air ludahnya yang keluar)” atau dengan mengeluarkan air ludah sedikit – “... tatkala ‘Alaqoh bin Shahhar As Salithi  meruqyah seorang gila, ia mengatakan: “membacakan QS. Al-Fatihah padanya selama 3 hari, pagi dan sore. Setiap kali aku menyelesaikannya, aku kumpulkan air liurku dan aku ludahkan. Maka seolah-olah ia lepas dari sebuah ikatan”.
8. Jika meniupkan ke dalam media yang berisi air tersebut (atau media lainnya, tidak masalah, dan media yang paling baik ditiup adalah media yang berisi minyak zaitun ).
9. Mengusapkan pada tubuh orang yang sakit dengan tangan kanannya sambil terus mendo’akannya .
10. (Bagi orang yang meruqyah dirinya sendiri) Letakkan tangan di tempat yang dikeluhkan seraya mengatakan “Bismillaah” (3 kali) , dan membaca do’a:



“A’udzubillaahi wa qudrotihi, min syarrimaa ajidu wa uhaa dzir”,
Artinya:
“Aku berlindung kepada Alloh dan kekuasannya dari setiap kejelekan yang kujumpai dan kutakuti”) ,

atau membaca do’a:

“Bismillaahi a’udzu bi’izzatillaah, wa qudrotihi, min syarrimaa ajidu miw waj’ii hadzaa”
Artinya:
Dengan Nama Alloh, aku berlindung kepada keperkasaan Alloh dan kekuasanNya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dari rasa sakitku ini”) ,

lalu membaca do’a:


“Asalulloohul ‘adziima, Robbal ‘arsyil “adziimi, ayyasyfiyak”
Artinya:
Aku memohon kepada Alloh yang Maha Agung, agar Dia menyembuhkanku”) (7 kali) ,

dan membaca do’a:

“A’udzubikalimaa tillaahit taa~mmah, min kulli syaithoo niw wa hammah, wa min kulli ‘ainil lammah”
Artinya:
“Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Alloh yang sempurna dari setiap setan, binatang berbisa, dan setiap mata [‘ain] yang jahat”) ,

atau membaca do’a:


“A’udzubikalimaa tillaahit taa~mah, min syarrimaa kholaq”
Artinya:
Aku berlindung kepada Alloh yang sempurna dari kejahatan makhlukNya” .

Apabila rasa sakitnya terdapat di seluruh tubuh, caranya dengan meniup kedua telapak tangan dan mengusapkannya ke wajah (yang sakit tersebut) dengan kedua tangannya.

11. Bila penyakitnya terdapat di salah satu bagian tubuh, kepala, kaki, atau tangannya misalnya, maka dibacakan pada tempat-tempat tersebut .
12. Apabila penyakit berada di sekujur tubuh, atau lokasinya tidak jelas, seperti gila, dada sempit, atau keluhan pada mata, maka cara mengobatinya dengan membacakan ruqyah di hadapan penderita .

Hadits-Hadits Batasan Jarak dan Lama dari Seseorang Dikatakan Bepergian (Musafir)

Lampiran-Lampiran
Lampiran 1.
Batasan Jarak dan Lama Safar Menurut Syar’iat


Hadits-hadits utama dan syarh (penjelasan)-nya mengenai pedoman (hujjah) dasar ketentuan jarak seseorang dikatakan musafir (atau sedang ber-safar).

1. Yahya bin Yazid Al-Hana`i  bercerita , ”Aku bertanya kepada Anas (bin Malik ) tentang meng-qoshor sholat dan pada saat itu (sebelumnya) aku (pernah) bepergian (ber-safar) ke Kufah (dari Bashroh), ”... Apakah aku sholat 2 roka’at – 2 roka’at sampai aku kembali (ke Bashroh)?”. Lalu Anas menjawab, ”Keadaan Rosululloh  jika (dia) keluar (untuk ber-safar) dalam suatu perjalanan (sejauh) 3 mil [dalam riwayat lain: ”(3) farsakh – Syubah ragu-ragu”], (maka) dia sholat 2 roka’at [dalam riwayat lain: ”... (dia) meng-qoshor sholatnya”] ; [tambahan dalam redaksi dari riwayat lainnya: ”Aku (pernah) sholat bersama Rosululloh  (sholat) zhuhur di Madinah 4 roka’at dan di Khulaifah (Dzulkhulaifah – pen.) 2 roka’at” ; atau ”Kami (pernah) keluar (ber-”safar”) bersama Rosululloh  dari Madinah menuju Mekah, maka keadaannya (kami) sholat 2 roka’at – 2 roka’at sampai kami kembali ke Madinah” ]”. [atau dalam riwayat lain yang dho’if, ”Keadaan Rosululloh  bila ber-”safar” 1 farsakh (dia) meng-”qoshor” sholatnya”. ]”.”.
Syarh (penjelasan) hadits-hadits tersebut adalah:
Ibnu Hajar Atsqolany berkata, ”Nampak jelas bahwa Yahya bin Yazid  bertanya tentang diperbolehkannya meng”qoshor” sholat dalam bepergian/”safar” (secara ”mutlaq”/umum), bukan mengenai tempat di mana dimulainya izin (”rukhshoh”/keringanan) sholat qoshor (yang berhubungan atau tidak dengan suatu tempat persinggahan dari tempat tujuan ber”safar”nya yang masih sangat jauh; lihat ”hadits-hadits” berikutnya [”hadits” no.2-4, dan 7] yang juga menjelaskan ketentuan jarak dari ”hadits” Anas tersebut – pen.). Pendapat yang paling ”shohih” dan ”rojih” dalam masalah ini adalah bahwa sholat ”qoshor” itu tidak dikaitkan dengan jarak (suatu) perjalanan, tetapi (berkaitan) dengan (ketentuan apakah sudah) melewati batas kota/daerah di mana seseorang musafir telah keluar daripadanya; (lihat ”hadits-hadits” berikutnya [no.5-9] – pen.)”.

2. Haritsah bin Wahb Al-Huzaa`i , dia berkata, ”Aku pernah sholat bersama-sama Rosululloh  di Mina, (yang dalam) keadaan apapun (saat itu) aman (buat para) manusia, mereka berkumpul (saat haji wada’), (lalu sholat) 2 roka’at (meng-”qoshor”).”.
3. Haritsah bin Wahb Al-Huzaa`i , dia berkata, ”Aku pernah sholat berjama’ah (dengan) Rosululloh  di Mina, dan (para) manusia berkumpul (dalam segala keadaannya), lalu (mereka) sholat 2 roka’at (meng-”qoshor”nya) ketika haji wada’.”.
4. Ibnu Umar , dia berkata, ”Sesungguhnya dia (orang Mekah), keadaannya bermukim di Mekah maka bila (dia) keluar (ber-”safar”) ke Mina (maka dia) meng-”qoshor” (sholatnya)”.
5. Waqo’ bin Iyas , dia berkata, ”Kami (pernah) keluar (ber-”safar”) bersama-sama Ali (bin Abi Tholib ) menuju ke arah ini (sambil menunjukkan ke arah Syam), lalu (kami) sholat 2 roka’at – 2 roka’at sampai apabila kami (telah) tiba dan kami (telah) memastikan (hampir) sampai (di kota) Kufah. (Kemudian) waktu sholat (telah) masuk (lalu) kami berkata (kepada Ali), ”Wahai ”Amirul-Mu`minin” ini (hampir sampai di) Kufah (jadi) sempurnakanlah sholatnya”. (Lalu Ali) berkata, ”Tidak, sampai kita memasuki (kota)-nya”. [dalam riwayat lain: ”Ketika ber-”safar” Ali bin Abi Tholib  maka (dia) meng-”qoshor”-nya dan (dia saat itu masih) melihat rumah-rumah penduduk (Kufah), maka (ketika) pulang dikatakan kepadanya, ”Ini Kufah (sempurnakanlah sholatnya)”. (Lalu Ali) berkata, ”Tidak, sampai kita memasuki (kota)-nya”.” ; atau ”Kami (pernah) ber-”safar” bersama-sama Ali bin Abi Tholib , maka kami meng-”qoshor” sholatnya dan kami (masih) melihat rumah-rumah penduduk (Kufah), kemudian (ketika) kami pulang maka kami masih meng-”qoshor” sholatnya dan kami (saat itu sudah) melihat rumah-rumah penduduk (walaupun kami belum memasuki kota/daerah Kufah-nya)”. ]”.
6. Nafi , dia berkata, ”Ibnu Umar  mulai meng-”qoshor” sholatnya sejak (dia meninggalkan) rumah-rumah penduduk di Madinah dan tetap meng-”qoshor”nya ketika (dia) pulang sampai sampai masuk dan berada di antara rumah-rumah (penduduk kotanya) tersebut”.
7. Ibnu Umar , dia berkata, ”Sesungguhnya tidaklah aku ber-”safar” sesaat pada waktu siang hari kecuali aku meng-”qoshor” (sholat)-nya [dalam riwayat lain: ”Kalau aku ber-”safar” sejauh 1 mil aku meng-”qoshor” sholatnya”. ]”.
8. Juba`ir bin Nufa`ir , dia berkata, ”Aku (pernah) keluar (ber-”safar”) bersama-sama Syurohbil bin Simth ... Aku (pernah) melihat Umar  sholat di Khulaifah (Dzulkhulaifah – pen.) 2 roka’at”.
9. Abdullah bin Harmilah  (ketika bertanya kepada Saidah Musayyab ), ”Bolehkah aku meng-”qoshor” sholat di Burid-Madinah?”. Saidah Musayyab  berkata, ”Boleh”.”.



























Beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits shohih / hasan, serta syarh (penjelasan)-nya mengenai pedoman (hujjah) dasar ketentuan lama seseorang dikatakan musafir (atau sedang ber-safar).

1. “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qoshor sholatmu” (QS. An-Nisaa` [4]; 101).
2. Hadits Rosululloh  ketika menunaikan haji wada’ – Lihat 2 hadits shohih yang diriwayatkan oleh Haritsah bin Wahb Al-Huzaa`i  sebelumnya di atas (no.2 dan 3) .
3. Hadits Rosululloh  ketika melakukan penaklukan kota Mekkah.
Yakni hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas , dia berkata, “Nabi  menetap sementara selama 19 hari dengan meng-qoshor (sholat), maka kami pun apabila ber-safar selama 19 hari kami sholat qoshor, dan jika lebih dari itu (yakni berubah niat untuk bermukim selamanya) kami sholat sempurna” .
Penjelasan hadits ini adalah:
“Waktu yang tertulis dalam “hadits” Ibnu Abbas tersebut, yakni selama 19 hari membolehkan ber-“istidhol” (menjadikan sebagai suatu dalil atau “hujjah”-pedoman) bagi seorang musafir yang telah meniatkan untuk singgah (tinggal) selama “safar”-nya tetapi kemudian dia mengalami kebimbangan (tidak berkeinginan untuk ber-“safar” atau singgah terus), maka kewajiban/hak-hak “safar”-nya hanya sebatas paling lama 19 hari atau dia harus meninggalkan tempat persinggahan dalam “safar”-nya kapan pun dia ada kesempatan setelah menyelesaikan keperluannya sebelum 19 hari (untuk mendapatkan kewajiban/hak-hak “safar”-nya), mengingat hal ini ditunjukkan dalam “matan (redaksi)” “hadits” tersebut, “… dan jika melebihkannya …” menjelaskan kata “… Nabi  menetap (bermukim) …” pada awal “matan hadits” tersebut sebelumnya, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ahmad Syakir , ”Kata ” ... wa in zidna atmamna” (”... dan jika kami [”safar”] melebihkannya [maka] kami menyempurnakannya”) pada redaksi ”hadits” Ibnu Abbas  tersebut merupakan ”dhomir” (kata ganti) dari/atau merujuk pada kata di awal ”hadits” tersebut yakni ”aqooma an-nabii ” (Nabi [pernah]  bermukim), sehingga maksudnya adalah jika kami menetap/bermukim maka kami menyempurnakan (sholat)-nya” (bukan berarti merujuk pada penekanan kalimat ” ... fa nahnu idza farnaa tis’ata ’asyaro ... ” [ ... maka bila kami ber-”safar” [selama] 19 hari] – pen.).” .
Penguatan dari penjelasan hadits tersebut juga dapat dilihat pada foot note beberapa hadits dan atsar berikutnya (hadits-hadits dari no. 4 - 17) dan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan para sahabat lainnya . Sementara penjelasan dari fatwa-fatwa para ulama ahlus-sunnah terdahulu, di antaranya adalah:
Ibnu Qoyyim menegaskan bahwa,
“Dalam hadits ini menunjukkan bahwa Rosululloh  tidak pernah berkata kepada umatnya, “Tidak boleh seseorang meng-qoshor sholatnya, bila menetap sementara lebih dari 19 hari”, namun secara kebetulan Rosululloh  bermukim hanya sebatas hari tersebut. Sehingga kelanjutan hadits ini dikembalikan kepada hadits yang diriwayatkan oleh A’isyah , “Awalnya sholat fardhu’ itu diwajibkan 2 roka’at (kecuali sholat Maghrib), lalu 2 roka’at tersebut ditetapkan untuk sholat safar dan mukim, dan (selanjutnya) disempurnakan (menjadi 4 roka’at) di dalam sholat hadhor (sholat ketika tidak sedang ber-safar atau ketika sedang bermukim)”.”.
Ibnu Mundzir mengatakan bahwa,
“Para ahli ilmu bersepakat bahwa bagi seorang musafir boleh meng-“qoshor” (sholat) selama tidak men-“jama`” di tempat dia berada, walaupun sampai bertahun-tahun (dia singgah dalam “safar”-nya)”.
Asy-Syaukani juga menegaskan bahwa,
“Jika seorang musafir tinggal di suatu negeri secara bimbang (yakni tidak berniat untuk tinggal/bermukim dalam batas waktu tertentu), maka dia diperkenankan meng-qoshor hingga 19 hari … lalu (bila dia berubah niat menjadi ingin bermukim untuk selamanya) dia menyempurnakan (sholatnya) sesudah itu”.
dan
Shiddiq Hasan Khon berkata,
“Adapun bila terjadi ketidakpastian (kebimbangan) untuk singgah (menetap) atau tidak (dalam “safar”-nya) dalam kurun waktu tertentu, maka seorang “musafir” diperkenankan untuk meng-“qoshor” (sholatnya) sampai batas waktu menetapnya Rosululloh  saat di Mekkah ketika penaklukan kota Mekkah. Jika dikatakan (ada seseorang yang menyatakan bahwa) “Melakukan “qoshor” sesuai dengan masa tinggalnya Rosululloh  dan tidak dibolehkan meng-“qoshor” (sholat) lebih dari waktu tersebut (secara mutlak)”, hal ini tidak sesuai bagi orang-orang yang berpegang dengan (“sunnah”)-nya (tersebut). Dari mana kita (dapat memastikan) bahwasannya andai dihadapkan kepadanya apa yang mengharuskannya untuk tinggal di atas (lebih lama dari) masa tersebut (yakni lebih lama dari 19 hari - bagi Rosululloh ) tidak meng-qoshor sholatnya ??. Kita juga harus katakan kepada orang-orang yang mengatakan pernyataan (“Boleh meng-“qoshor” sholat lebih lama dari 19 hari secara mutlak”), “Barang siapa yang menganggap bolehnya meng-“qoshor” sholat lebih lama dari batas itu dalam keadaan kebimbangan/ketidakpastian (akan bermukim atau ber-“safar” kembali), maka wajib baginya untuk mendatangkan dalil” ... Alangkah fahamnya Ibnu Abbas  terhadap maksud syar’iat tersebut. … Dan hal ini bukanlah didasarkan pada asumsi bahwa seandainya Nabi  tinggal melebihi 4 hari (ketika haji wada’) atau melebihi 19 hari (ketika penaklukan kota Mekkah) atau 20 hari (ketika perang Tabuk), tentu beliau akan menyempurnakan sholatnya, karena kita tidak mengetahui hal tersebut. Namun dasarnya adalah karena seseorang yang ber-muqim sementara lagi berniat untuk tinggal selama waktu tertentu maka tidak boleh menyempurnakan (sholat)-nya kecuali dengan adanya suatu dalil yang shohih, dan ternyata tidak ada dalil yang shohih satupun yang menjelaskan dan/ memperbolehkan untuk menambah (menyempurnakan) sholat (ketika masih niat ber-“safar” secara mutlak) lebih lama dari jumlah hari-hari tersebut (yakni 4 atau 19 atau 20 hari)”.

4. Hadits Rosululloh  ketika melakukan perang Tabuk,
Yakni hadits yang diriwayatkan dari Jabir , dia berkata, “Nabi  tinggal di Tabuk selama 20 hari dan beliau meng-qoshor sholatnya” .
Pada ketiga hadits tersebut di atas menerangkan bahwa fakta kondisi Rosululloh  ber-safar dan bermukim sementara selama berhari-hari, minimal bermukim sementara di Mekkah selama 4 hari berturut-turut dan maksimal bermukim sementara di Mekkah juga (ketika penaklukan kota) selama 19 hari berturut-turut atau di Tabuk selama 20 hari berturut-turut).

5. Hadits marfu`  Ibnu Umar  berkata, “Wahai sekalian manusia, aku pernah berada di Azerbaijan selama 4 bulan (dalam riwayat lain: ”Aku pernah tertahan salju di Azerbaijan selama 6 bulan bersama pasukan perang”), aku lihat semua pasukan (dalam riwayat lain: ”Kami”) mengerjakan sholat 2 roka’at – 2 roka’at. Aku pun pernah melihat Nabi  mengerjakan (sholat)-nya 2 roka’at dengan mata kepalaku sendiri” .
6. Atsar Abdurrohman bin Samuroh , “Aku bersama Ibnu Umar dan para sahabat lainnya, berada di musim dingin di Kabul (Afganistan) dalam sekali atau 2 kali musim dingin, (dan aku) melakukan sholat 2 roka’at (sholat qoshor)” .
7. Atsar Ibnu Abbas , “Aku tinggal di suatu negeri selama 5 bulan dan meng-qoshor sholat” .
8. Atsar Abdurrohman bin Miswar , “Kami tinggal bersama Sa’d bin Malik selama 2 bulan, dia meng-qoshor sholatnya sementara kami menyempurnakannya. Lalu kami bertanya kepadanya (mengenai kenapa dia meng-qoshor sholatnya ?). Lalu Sa’d berkata, “Kami (para sahabatnya) yang lebih tahu (mengenai ilmu safar dan adab meng-qoshor sholatnya)”.” .
9. Atsar Abdurrohman bin Miswar , “Aku bepergian dengan ayahku dan Sa’d bin Abi Waqqosh selama 50 malam (dalam riwayat lain: “… selama 40 hari”) dan tiba di bulan Romadhon, dia (Sa’d) meng-qoshor sholatnya dan berbuka, sementara kami menyempurnakannya dan berpuasa. Lalu kami bertanya kepadanya. Lalu Sa’d berkata, “Kami (para sahabatnya) yang lebih faqih”.” .
10. Atsar Abu Minhal  (salah seorang sahabat penduduk Mekkah, ketika dia bertanya kepada Ibnu Abbas  mengenai meng-qoshor sholat dalam safar-nya), “Sesungguhnya aku tinggal di Madinah selama setahun, sedangkan aku tidak melanjutkan perjalananku ?”. Lalu Ibnu Abbas menjawab, “Sholatlah 2 roka’at (dalam beberapa redaksi dari hadits shohih lainnya: “… Sholatlah 2 roka’at walaupun kamu tinggal [di Madinah] 10 tahun”)”.” .
11. Anas bin Malik  berkata, “Aku tinggal di Naisabur selama setahun atau 2 tahun melakukan sholat 2 roka’at (sholat qoshor). Aku juga pernah mengatakan kepada Jabir bin Zaid (ketika dia tinggal di Tastur selama setahun dan 2 tahun, dan sepertinya dia telah menganggap dirinya penduduk Tastur, “Sholatlah 2 roka’at (sholat qoshor)”.” .
12. Atsar Anas bin Malik , dan para sahabat  ke Ramhurmuz selama 9 bulan” .
13. Atsar Al-Qomah  berkata, “Bahwasannya aku sholat di Khowarizm (Marwa) selama 2 tahun dengan qoshor” .
14. Atsar Hasan dan Abdurrohman bin Samuroh,  , ke Kabul (Afganistan) selama 2 tahun” .
15. Atsar Abu Hamzah Nashr bin Imron , ke Khurosan (Afganistan) selama 10 tahun” .
16. Atsar Abu Wa`il , ke Sicilia selama 2 tahun” .
17. Atsar Al-Qomah dan Ibnu Abi Syaibah, , ke Khowarizm (Marwa) selama 2 tahun” .

Penjelasan dan fatwa Syaikh Al-Albani dalam mengomentari hadits-hadits tersebut di atas adalah, “Yang saya yakini bahwa yang benar adalah seorang musafir yang datang pada suatu negeri untuk berdagang dan lain-lain, dan telah memperkirakan bahwa kebutuhannya memakan waktu tertentu, maka dia tidak bisa dikatakan seorang yang bermukim secara mutlak, tergantung daripada niatnya sebelumnya. Kalau memang dia tidak berniat bermukim maka dia wajib meng-qoshor sholatnya. Keterangan lamanya seseorang ber-safar sebanyak 4, 19, atau 20 hari, dan sebagainya tidak ada hubungannya dengan niat safar atau bermukimnya dia di suatu tempat, tetapi keadaan (status) bermukim (menetapnya) seorang musafir pada suatu tempat hanya tergantung pada niatnya seorang mukallaf (orang yang telah dikenai beban syar’iat, yakni seorang musafir) dan keadaan (diri)-nya selanjutnya . … dan yang saya yakini bahwa yang benar adalah pendapat yang menyatakan seorang musafir wajib meng-qoshor sholat dalam safar-nya dalam waktu tertentu, selagi niatnya tidak benar-benar ingin bermukim (menetap) di tempat tujuan (safar)-nya dan telah berada di luar daerah batas kota tempat tinggal asalnya, berdasarkan beberapa hadits shohih/hasan yang tidak saling bertentangan … . Penjelasan dan fatwa Syaikh Al-Albani tersebut secara tersirat juga didukung beberapa fatwa dari para ulama salaf mutakhirin lainnya, di antaranya Syaikh Bin Baz , , dan lain-lain (walaupun terkesan agak tersamar atau kurang tegas – pen.) .

Fadhillah/Keutamaan Zakat, tinjauan medis dan ekonomi

BAB I
PENDAHULUAN


Alloh  senantiasa memilihkan yang terbaik untuk manusia, karena Dia Maha baik terhadap umat-Nya dan tidak akan pernah mencintai segala (amalan dan perbuatan) hamba-Nya kecuali terhadap yang baik daripadanya, dan semua hal kebaikan buat umat-Nya telah ditetapkan-Nya melalui fitrahnya yang murni dan syar’iat-syar’iat yang dibawa oleh para rosul-Nya . Kesemuanya itu merupakan materi kebaikan dan kebahagiannya untuk menjalani kehidupan di dunia dan di akhiratnya kelak.
Ad-Dien al-Islam merupakan kumpulan syar’iat yang mengacu pada hal penciptaan dan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan aturan dalam menjalani kehidupan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Tentunya hanya Alloh -lah yang mengetahui aturan yang paling tepat dan maslahat buat manusia sebab Dia-lah penciptanya, dan aturan tersebut adalah aturan yang dibawa oleh Nabi Muhammad  sebagai rosul (utusan)-Nya untuk kepentingan manusia, yang konsekuensinya adalah siapapun yang senantiasa mengikuti Sunnah Nabi-Nya  tersebut, maka akan selamat dalam menjalani kehidupannya, serta mendapatkan kemenangan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat, dan insya Alloh dapat memasuki surga-Nya.
Hakikat Ad-Dien al-Islam adalah penyerahan diri kepada Alloh  dengan cara mentauhidkan-Nya (yakni semua peribadahan yang dilakukan secara ikhlas hanya ditujukan kepada Alloh ), bersikap patuh kepada-Nya dengan cara menjalankan semua ketetapan-Nya, dan membenci serta memusuhi kemusyrikan beserta para pendukungnya, yang semua syar’iat-nya diajarkan melalui Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya , agar menjadikan perenungan dan pemahaman pada setiap jiwa bahwa penciptaannya, penganugerahan rezekinya, dan semua hal yang berhubungan dengan kehidupannya, tidak akan dibiarkan sebebas-bebasnya (tanpa kendali), sia-sia belaka, dan untuk main-main, namun demikian semuanya telah diatur dan/ ditetapkan-Nya, serta menjadikan perwujudan dari prinsip wala’ dan baro’ hanya ditujukan kepada Alloh , rosul-Nya , dan orang-orang yang beriman, berdasarkan kesetiaan, cinta, dan kasih sayang.
Prinsip-prinsip dasar ad-Dien al-Islam adalah kewajiban memahami cara mensyukuri nikmat Alloh  dan semua karakteristik syar’iat-nya yang telah ditetapkan-Nya terhadap fitrah dan kehidupan manusia, yang dilakukan dengan cara senantiasa ber-taqwa dan ber-tazkiyatun nufuz (mensucikan jiwa dan/ tubuh) terhadap-Nya, dan diwujudkan dengan cara senantiasa beribadah hanya kepada-Nya secara ikhlas, mentauhidkan-Nya, menjauhi segala bentuk kesyirikan, ta’at kepada semua ketetapan Alloh  dan rosul-Nya , dan ber-ittiba’ (mengikuti) tuntunan dari Sunnah Nabi Muhammad .
Landasan dari prinsip-prinsip dasar Islam tersebut terdiri dari 3 tingkatan yang masing-masing daripadanya mempunyai rukun-rukun-nya. Tingkatan pertama adalah 5 rukun Islam, tingkatan kedua adalah 6 rukun Iman, dan tingkatan ketiga adalah 1 rukun Ihsan.
Islam sangat memperhatikan fitrah murni manusia untuk mewujudkan keseimbangan dalam menjalani kehidupannya, karena Islam adalah ad-Dien (Agama) yang lurus dan benar, serta semua syar’iat-nya sudah sempurna, dan menjadikan manusia (yang senantiasa mengikuti syar’iat-nya) sebagai suatu umat pertengahan (tidak berlebih-lebihan dan tidak kekurangan) dalam menjalani segala urusan kehidupannya. Fitrah murni manusia yang telah ditetapkan Alloh  harus senantiasa dipelihara sesuai dengan ketetapan-Nya yang terkandung di dalam syar’iat Islam, sebagai perwujudan dari rasa syukur, ketundukan, dan peribadahan kepada-Nya.
Realisasi semua syar’iat Islam yang sangat memperhatikan fitrah murni manusia tersebut secara umum dan khusus diwujudkan dengan melakukan penunaian ibadah sholat (yang merupakan seutama-utamanya perwujudan dalam beribadah), yang termasuk salah satu realisasi paling utama dari pembuktian penunaian ibadah ber-zakat (tazkiyatun nufuz [pensucian hati/diri]) kepada Alloh  dan makhluk-makhluk-Nya (kepada sesama manusia, antara sesama saudara se-iman).
Syar’iat Islam dan data studi medis telah menunjukkan bahwa seluruh proses pemeliharaan fitrah (jiwa dan tubuh), kehidupan, dan kebahagiaan manusia sangat dipengaruhi (tergantung) dari keadaan hatinya (yang secara medis merupakan organ jantungnya yang berhubungan dengan sistem RAS di otaknya). Keadaan hati pada manusia dapat menjamin kestabilan atau mempermudah terjadinya aktivitas, pengaturan, atau pengontrolan metabolisme di seluruh sel-sel tubuh, sehingga kelainan/penyakit yang terjadi pada hati ini dapat menimbulkan berbagai kelainan/penyakit pada tubuh, di antaranya adalah gangguan-gangguan kejiwaan, perilaku, pertumbuhan tubuh, menstruasi dan reproduksi, kerentanan terhadap suatu penyakit, dan penyakit-penyakit hormonal tubuh.
Syar’iat Islam telah menunjukkan bahwa kelainan/penyakit hati pada tubuh manusia pada umumnya terdiri dari penyakit syahwat (mengumbar hawa nafsu) dan syubhat (kerancuan), yang dapat disebabkan oleh masuknya racun-racun hati sebelumnya, di antaranya adalah banyak melakukan aktivitas mulut/lidah (seperti: banyak bicara, tertawa, bernyanyi, dan makan), aktivitas panca indera (seperti: banyak memandang dan mendengar musik), dan banyak tidur.
Syar’iat Islam dan data studi medis telah menunjukkan bahwa pemeliharaan kondisi hati (jantung-sistem RAS) agar fitrah tubuh tetap murni dan sehat, serta pencegahan/pengobatan terhadap berbagai kelainan/penyakit pada tubuh yang dapat dihasilkannya, dapat dilakukan melalui beberapa usaha untuk senantiasa ber-taqwa dan beribadah kepada Alloh , serta melakukan pensucian hati/jiwa/diri (ber-tazkiyatun nufuz), dan seutama-utamanya hal tersebut adalah diwujudkan dengan mendirikan sholat dan menunaikan zakat secara benar, ikhlas, dan istiqomah (berkesinambungan).
Data medis mutakhir menunjukkan bahwa sebagian besar kelainan/penyakit pada tubuh manusia terjadi karena adanya gangguan/kelainan dari mekanisme sistem jantung dan pembuluh darahnya yang disebabkan oleh adanya penumpukkan zat-zat radikal bebas yang tidak dapat dinetralisir sel-sel tubuh, sebagai akibat dari adanya gangguan dari proses metabolisme sel-sel tubuh secara keseluruhan, yang dihasilkan melalui adanya gangguan/kelainan pada sistem pelaksana dan pengaturan metabolisme-nya, dan lingkungan tempat seseorang hidup dan menjalani interaksinya sehari-hari.
Menunaikan zakat yang realisasinya adalah dengan penunaian dan/ pengeluaran harta (dalam bentuk shodaqoh, infaq, dan zakat) dan hak-hak fitrah tubuh (di antaranya adalah dengan menjalankan sholat, mencari nafkah, berolah raga, menikah, dan lain-lain), secara benar, istiqomah, dan ikhlas ternyata merupakan salah satu solusi paling tepat dan utama yang telah ditetapkan Alloh  dan rosul-Nya  untuk merealisasikan usaha pengatasan adanya penumpukkan radikal bebas di dalam tubuh manusia tersebut.
Syar’iat Islam telah menyatakan bahwa secara umum penunaian zakat dapat senantiasa menjadikan hati manusia ber-tasyakur, zuhud, ber-taqwa, ber-tazkiyatun nufuz, dan terwarnai dengan peribadahan kepada Alloh . Sementara secara khusus penunaian zakat dapat senantiasa menjadikan jiwa, hati, dan tubuh manusia terpelihara suci (sebagai konsekuensi perjanjiannya kepada Alloh  sebelum masa kehidupannya), serta mampu untuk melakukan berbagai amalan hati (di antaranya adalah khusyu’ [yang dilandasi dengan perasaan tawadhu’, ta’abud, tuma’ninah, dan ihsan), sabar [yang dilandasi dengan dzikir, pemahaman dan perenungan terhadap isi Al-Qur’an, ber-taubat, dan ber-tawakkal], dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya), lisan (di antaranya adalah ber-dzikir, membaca Al-Qur’an, ber-istighfar, berdo’a, dan berdiam diri/tidak mengeluarkan perkataan atau perbuatan yang sia-sia), dan perbuatan (di antaranya adalah beribadah dengan istiqomah, ber-thoharoh, berpuasa, ber-silaturahmi/berjama’ah dan bersatu mengikuti pemimpin, dan bersedekah dalam penunaian hak-hak tubuh).
Menunaikan zakat secara benar, sempurna, berkesinambungan, dan ikhlas dapat menjadikan hati (jiwa) atau tubuh manusia dapat memenuhi perjanjian (amanah) dan semua kebutuhan dari berbagai aspek kehidupannya yang telah ditetapkan Alloh  kepadanya sebelumnya, dan dapat memperbaiki serta membersihkan (diri)-nya dari berbagai penyimpangan, kesalahan, dosa, gangguan, kelainan, dan penyakit yang ada di dalam dirinya (sebagai akibat dari berbagai hasil perbuatan yang telah dilakukannya sendiri sebelumnya dan pengaruh dari lingkungannya) melalui perealisasian ruh sholat yang telah diperolehnya pada kehidupan sehari-hari dan interaksi dengan lingkungannya, serta penerimaan berbagai petunjuk dan pertolongan dari Alloh  yang selalu diterimanya (karena senantiasa mendirikan sholat untuk mengingat dan memohon pertolongan kepada-Nya).
Ironisnya, ternyata sebagian besar dari manusia masih belum/tidak memahami dan mengamalkan bagaimana cara menunaikan zakat secara benar, paling maksimal sebagian daripadanya memahami penunaian zakat hanya sebatas pada pengeluaran sejumlah uang atau harta untuk para faqir dan miskin, sehingga amalan zakat-nya tersebut tidak akan menjadikan hati, jiwa dan tubuhnya menjadi stabil dan sehat, dan amalan zakat yang ditunaikannya akan menjadi sia-sia.
Adanya fakta inilah yang menjadikan perlunya pemberian pemahaman yang lebih jelas, benar, mendetail, dan ilmiah mengenai penunaian ibadah zakat, dan hal-hal yang berhubungannya (di antaranya adalah pengertian, kedudukan, hukum dan konsekuensi, fadhillah (keutamaan) dan manfa’at, ketentuan mengenai tata cara, waktu, pelaksanaan, pencatatan (akuntansi) perekonomian, dan yang berhak menerima pembagian, serta peran pemerintah [amirul mu`minin] dalam hal pembuatan kebijakan/aturan/hukum pengurusan zakat dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya).




















Panduan Praktis

1. Alloh  memilihkan yang terbaik untuk manusia, dan semuanya telah ditetapkan-Nya melalui fitrah manusia yang murni dan syar’iat-syar’iat yang dibawa oleh para rosul-Nya , untuk kebaikan dan kebahagiannya dalam menjalani kehidupan di dunia dan di akhiratnya kelak.
2. Ad-Dien al-Islam merupakan kumpulan syar’iat yang mengacu pada hal penciptaan dan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan aturan dalam menjalani kehidupan dan berinteraksi dengan lingkungannya, yang pada hakikatnya adalah suatu penyerahan diri kepada Alloh  dan cara pentauhidan kepada-Nya, dan semua syar’iat-nya diajarkan melalui Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya .
3. Prinsip-prinsip dasar ad-Dien al-Islam adalah kewajiban memahami cara mensyukuri nikmat Alloh  (terutama yang berhubungan dengan fitrah dan kehidupan manusia), yang dilakukan dengan cara senantiasa ber-taqwa dan ber-tazkiyatun nufuz terhadap-Nya, dan diwujudkan dengan cara senantiasa beribadah hanya kepada-Nya secara ikhlas, ta’at kepada semua ketetapan Alloh  dan rosul-Nya , dan ber-ittiba’ (mengikuti) tuntunan dari Sunnah Nabi Muhammad . Prinsip dasar tersebut berlandaskan pada 5 rukun Islam, 6 rukun Iman, dan 1 rukun Ihsan.
4. Fitrah murni manusia yang telah ditetapkan Alloh  harus senantiasa dipelihara sesuai dengan ketetapan-Nya yang terkandung di dalam syar’iat Islam, yang realisasi paling utamanya adalah dengan melakukan penunaian ibadah sholat (yang juga merupakan salah satu realisasi paling utama dari pembuktian penunaian ibadah ber-zakat [tazkiyatun nufuz] kepada Alloh  dan makhluk-makhluk-Nya [terutama kepada sesama manusia]).
5. Syar’iat Islam dan data studi medis telah menunjukkan bahwa seluruh proses pemeliharaan fitrah (jiwa dan tubuh), kehidupan, dan kebahagiaan manusia sangat dipengaruhi (tergantung) dari keadaan hatinya, yang senantiasa dapat menjamin kestabilan atau mempermudah terjadinya aktivitas, pengaturan, atau pengontrolan metabolisme di seluruh sel-sel tubuhnya, dan dapat juga mencegah atau mengobati berbagai gangguan dan penyakit tubuh yang dihasilkannya (terutama kelainan atau penyakit yang berhubungan dengan keadaan syahwat-nya, yang juga secara medis ditunjukkan dengan terjadinya gangguan/kelainan dari mekanisme sistem jantung dan pembuluh darahnya yang disebabkan oleh adanya penumpukkan zat-zat radikal bebas yang tidak dapat dinetralisir sel-sel tubuh, sebagai akibat dari adanya gangguan dari proses metabolisme sel-sel tubuh secara keseluruhan, yang dihasilkan melalui adanya gangguan/kelainan pada sistem pelaksana dan pengaturan metabolisme-nya, dan lingkungan tempat seseorang hidup dan menjalani interaksinya sehari-hari).
6. Menunaikan zakat yang realisasinya adalah dengan pengeluaran harta (dalam bentuk shodaqoh, infaq, dan zakat) dan hak-hak fitrah tubuh (di antaranya adalah dengan menjalankan sholat, mencari nafkah, berolah raga, menikah, dan lain-lain) untuk kepentingan sesama manusia, secara benar, istiqomah, dan ikhlas ternyata merupakan salah satu solusi paling tepat dan utama yang telah ditetapkan Alloh  dan rosul-Nya  untuk merealisasikan usaha pengatasan adanya penumpukkan radikal bebas di dalam tubuhnya tersebut.
7. Ironisnya, ternyata sebagian besar dari manusia masih belum/tidak memahami dan mengamalkan bagaimana cara menunaikan zakat secara benar, paling maksimal sebagian daripadanya memahami penunaian zakat hanya sebatas pada pengeluaran sejumlah uang atau harta untuk para faqir dan miskin, sehingga amalan zakat-nya tersebut tidak akan menjadikan hati, jiwa dan tubuhnya menjadi stabil dan sehat, dan amalan zakat yang ditunaikannya akan menjadi sia-sia.


BAB II
Zakat Dalam Syar’iat Islam


I. Pengertian Zakat.
I a. Makna zakat menurut kaidah bahasa (etimologis).
Makna zakat menurut kaidah bahasa Arab adalah berasal dari kata adz-dzakaa` yang berarti suci, an-namaa` yang berarti tumbuh (mengalami pertumbuhan), dan adz-dziyaadah yang berarti berkembang (mengalami perkembangan) atau bertambah (mengalami pertambahan) .
Makna zakat menurut kaidah bahasa ini juga merupakan bagian dari makna tazkiyah yang berasal dari kata “zakkaa, yuzakki, tazkiyatan” ( ) yang bermakna suci, tumbuh, dan berkembang, yang mana maksud dari beberapa makna kata tersebut adalah perbaikan dan pensucian hati atau jiwa manusia, melalui ilmu yang bermanfaat dan amal sholih dengan ber-taqwa kepada Alloh , yaitu dengan melaksanakan perintah Alloh  dan rosul-Nya  dan menjauhi semua larangan-Nya .
Makna “az-zakkaa” secara kaidah bahasa menurut Ibnu Taimiyah adalah tumbuh dan berkembang dalam kebaikan menurut Alloh  dan rosul-Nya , sehingga dengannya hati membutuhkan pembinaan agar tumbuh dan berkembang mencapai kesempurnaan dan keshohihan, namun demikian, sudah menjadi keharusan juga untuk menjaganya dari perkara-perkara yang dapat merusaknya. Sebagaimana juga badan, hati juga membutuhkan makanan yang bermanfaat untuk proses tumbuh kembangnya karena badan tidak akan tumbuh dan berkembang kecuali dengan memberinya makanan-makanan yang bermanfaat . Sementara itu, makna “az-zakkaa” secara kaidah bahasa menurut Ibnu Qoyyim adalah tumbuh dan berkembang dalam kebaikan dan kesempurnaan sesuatu, sesuai dengan firman Alloh :

          •        
Artinya: “Ambilah shodaqoh (zakat) dari sebagian harta mereka. Dengan shodaqoh (zakat) itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (QS. At-Taubah [9]: 103).

Dalam ayat tersebut, terdapat 2 hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu kesucian dan shodaqoh (“az-zakkaa”), karena keduanya saling berhubungan erat . Kekejian dan kemaksiatan yang ada di hati manusia, kedudukannya sama dengan kotoran yang ada di badannya. Sebagaimana badan, jika dibersihkan dari kotorannya, maka dia akan murni kembali kekuatan alamiahnya, sehingga dapat beristirahat dengan tenang, memperbaiki kerusakan yang telah terjadi pada tubuhnya, dan tubuhnya akan berproses tumbuh kembang secara baik, tanpa adanya halangan dan rintangan. Demikian pula hati, jika telah terbebas dari dosa-dosanya dengan bertaubat melalui pensucian hatinya, maka ia telah bersih dari berbagai kotoran atau penyakit yang mencemarinya, sehingga kembali murnilah kekuatan hati dan perbuatan baiknya, serta hati dapat tumbuh dan berkembang menjadi kuat dan kokoh, mantap di atas kekuasaannya, dan mampu melaksanakan semua ketentuannya pada seluruh anggota tubuh lainnya dengan baik.
Di sisi lain menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya mengatakan bahwa, “Dinamakannya zakat karena di dalamnya terdapat pengharapan berkah, pensucian jiwa/hati, dan perkembangannya dalam kebaikan-kebaikan (al-haq). Hal ini dikarenakan makna kata zakat ini berasal dari lafazh adz-dzakaa` yang berarti an-namaa`, azh-zhohaaroh, atau al-barokah, sebagaimana telah diterangkan Alloh  dalam firman-Nya pada QS. At-Taubah. 103” . Sementara menurut Ibnu Hajar Atsqolani dalam kitabnya mengatakan bahwa, “Zakat merupakan pembersih jiwa/hati terhadap sifat kikir dan dosa-dosa, dan zakat juga menjadi penyebab tumbuh dan berkembangnya harta atau pahala. Makna ini sesuai dengan dalil bahwa harta tidak pernah akan berkurang karena bersedekah (ber-zakat), begitu juga pahala, dengan (pemberian zakat)-nya tersebut maka pahalanya secara langsung akan dilipatgandakan, seperti yang disabdakan Rosululloh , “ … Sesungguhnya Alloh mengembangkan (pahala) sedekah (zakat) … ”.” .
Kesimpulannya secara sederhana adalah, makna kata zakat menurut kaidah bahasa adalah suatu hal pensucian jiwa/hati (tazkiyatun nufuz) dan harta yang dimiliki oleh setiap manusia (terhadap berbagai penyakit hati dan racun-racunnya yang senantiasa sangat berpotensi untuk menjangkiti dan mempengaruhi kesehatan tubuhnya secara keseluruhan) , dan (dengan pertolongan Alloh ) kemudian dapat menambah atau mengembangkan kualitas dan kuantitas dari pengaruh aktivitas tubuhnya secara keseluruhan beserta harta yang dimilikinya, sehingga dapat berinteraksi dan bermanfa’at secara maksimal terhadap kondisi kehidupan pribadi dan lingkungannya, terutama dalam rangka saling tolong-menolong antara sesama manusia dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek ekonomi dan sosialnya, yang pada akhirnya semua hal tersebut ditujukan untuk meningkatkan rasa silaturahim (persaudaraan dan persatuan) dan kemaslahatan (kebahagiaan) di antara sesama manusia, dan senantiasa mencari keridho’an dan/ ber-taqorrub (mendekatkan diri) kepada-Nya . Hal ini juga telah dinyatakan dalam firman Alloh  dan beberapa sabda Rosululloh  .

I b. Makna zakat menurut kaidah syar’iat (terminologis).
Makna zakat menurut syar’i secara umum (disebut juga zakat mutlaq/umum) adalah suatu hak yang dimiliki oleh setiap manusia yang wajib ditunaikan (dishodaqohkan) menurut ketentuan Alloh  dan rosul-Nya  yang shohih/hasan, yang pada umumnya dikeluarkan baik dalam bentuk nyata (ri’il) maupun dalam bentuk tidak nyata (abstrak) , dengan tidak dibatasi oleh penetapan jumlah/kadar (nishob) dan waktu/putaran tahunan (haul)-nya (sehingga penunaian shodaqoh-nya tergantung dari keridho’an si pemiliknya) , yang pada akhirnya ditujukan untuk meningkatkan rasa silaturahim (persaudaraan dan persatuan) dan kemaslahatan (kebahagiaan) di antara sesama manusia, dan senantiasa mencari keridho’an dan/ ber-taqorrub (mendekatkan diri) kepada-Nya .
Hal tersebut juga diperkuat dengan pernyataan Ibnul ‘Arobi yang mengatakan bahwa, “Kata zakat secara syar’i pada umumnya dapat diartikan juga dengan shodaqoh (sedekah) wajib (infaq), shodaqoh sunnah, (pemberian) nafkah, hak, atau maaf pada seseorang, dan juga merupakan salah satu rukun Islam yang lima” .
Sementara itu, makna zakat menurut syar’i secara khusus (disebut juga zakat muqoyyad/khusus) adalah suatu hal yang berhubungan dengan pemberian sebagian harta tertentu, yang dimiliki oleh setiap manusia, yang wajib ditunaikan (dishodaqohkan) sesuai dengan nishob -nya dan telah mencapai haul -nya menurut ketentuan Alloh  dan rosul-Nya  yang shohih/hasan secara ikhlas (hanya mengharap keridho’an-Nya), kepada sekelompok orang tertentu (di antaranya adalah: fakir, miskin, atau yang sepertinya, selain bani Hasyim dan bani Mutholib) .
Klasifikasi pengertian zakat menurut syar’i tampak seperti gambar dibawah ini:












Sumber: Atsqolani, (Fathul Baari – Ed. Terjemahan, VIII/7-8); Ash-Shon’ani, (Subulus Salam – Ed. Terjemahan, II/12); Abu Zanjawih, (Al-Amwal, III/946,no. 1703); Shiddiq Hasan Khon, (Ar-Roudhoh an-Nadiyah, I/503); Ibnu Hazm, (Al-Muhalla, VI/233-240); Al-Albani, (Tamamul Minnah – Ed. Terjemahan, hal. 402-415; Majalah Al-Asholah, no.5/15, Dzulhijjah, 1413 H, hal. 60-61); Badawi Al-Khalafi, (Al-Wajiz - Ed. Terjemahan, hal. 426-438); Abdurrahman Al-Bassam, (Taudhih al-Ahkam min Bulughul Marom – Ed. Terjemahan, III/308).





II. Hukum Zakat .
Zakat diwajibkan pada tahun kedua Hijriah. Zakat disyar’iatkan untuk mensucikan jiwa/hati dan harta, serta berbagai bentuk ibadah kepada Alloh  dan sesama manusia (khususnya sesama saudara se-iman).
Zakat adalah salah satu rukun dan prinsip dasar Islam, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an dan hadits yang shohih/hasan, dan Alloh  menyejajarkan (yaitu pada umumnya dengan mengikutkan/menambahkan) perintah zakat bersamaan dengan perintah sholat (tertulis dalam Al-Qur’an sebanyak 82 ayat).
Zakat mencakup hal-hal yang baik di dalam syar’iat Islam, yang datang dengan membawa persamaan, kasih sayang, cinta kasih, saling tolong-menolong, menghilangkan seluruh keburukan yang mengancam kehormatan, keamanan, dan kesejahteraan, serta hal-hal lain dari pilar-pilar kehidupan bahagia di dunia serta kenikmatan abadi di akhirat. Alloh  telah menjadikan zakat sebagai kesucian bagi pelakunya dari kehinaan sifat kikir, pengembangan hal-hal yang bersifat material dan spiritual, persamaan di antara sesama manusia dan bantuan dari orang-orang yang mampu kepada saudaranya yang berhak menerimanya, dan penyatuan kata pada orang-orang kaya untuk bersikap dermawan dengan sebagian harta mereka.
Dengan kewajiban yang mulia seperti (zakat) ini dapat ditunjukkan bahwa Islam merupakan agama solidaritas yang dapat menaungi orang-orang miskin dengan sesuatu yang dapat membantu kehidupannya. Islam juga merupakan agama kebebasan yang memberikan hak kepada orang-orang yang mampu, berupa kebebasan untuk memiliki sesuai dengan kerja kerasnya. Dengan diwajibkan zakat kepadanya (khususnya orang-orang yang mampu dan kaya) merupakan suatu bentuk persamaan bagi saudara-saudaranya yang lemah dan miskin. Islam juga merupakan agama yang moderat. Dia tidak sama dengan faham komunis yang membabi buta, dan tidak sama dengan faham kapitalis yang menyimpang, menimbun, dan bersifat kikir.
III. Perintah, Ancaman, dan Hukuman Melalaikan Zakat.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Zakat adalah salah satu rukun dan prinsip dasar Islam, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an dan hadits yang shohih/hasan , dan Alloh  menyejajarkan (yaitu pada umumnya dengan mengikutkan/menambahkan) perintah zakat bersamaan dengan perintah sholat. Umat Islam pun telah sepakat bahwa zakat adalah salah satu rukun Islam berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama yang mengacu pada Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shohih/hasan .
Dengan adanya ijma’ mengenai zakat tersebut, maka barang siapa ada yang mengingkari kewajibannya, maka dia telah menjadi kufur dan pasti akan mendapat adzab (siksa) yang berat dari Alloh  baik di dunia maupun di akhirat kelak , dan barang siapa yang melarang/mencegah (untuk mengeluarkan zakat)-nya, maka dia fasik . Imam Nawawi mengatakan bahwa, “Apabila ada seseorang yang mengingkari kewajiban zakat, maka harus ditela’ah dulu. Kalau dia adalah seseorang yang masih samar tentang hukum tersebut (misalnya seorang yang mu`allaf [baru memeluk agama Islam] atau tidak sampai padanya keterangan syar’iat Islam mengenai zakat disebabkan tempat tinggalnya yang sangat jauh di daerah pedalaman, dan semisalnya) maka orang tersebut tidak dikafirkan akan tetapi berkewajiban untuk menerangkan kepadanya mengenai kewajiban ber-zakat yang diambil darinya. Kalau dia adalah seseorang yang tidak samar lagi mengenai keterangan syar’iat Islam dalam hal ber-zakat maka orang tersebut dihukumi kafir kalau sampai mengingkari kewajiban zakat-nya, dan diberlakukan baginya hukum orang yang murtad, sehingga orang tersebut wajib disuruh untuk ber-taubat dan bila tidak mau maka harus dibunuh, disebabkan zakat merupakan kewajiban yang telah diketahuinya secara pasti dalam syar’iat Islam, maka baginya bila tidak mau ber-taubat (dengan menunaikan zakat-nya) dianggap telah mendustakan Alloh  dan rosul-Nya ”. Fatwa ulama lainnya yang serupa dan menguatkan fatwa Imam An-Nawawi sebelumnya, juga dikeluarkan oleh Sayyid Sabiq namun dengan sedikit tambahan bahwa, “Adapun kalau ada seseorang yang menolak untuk menunaikan zakat-nya namun dia meyakini bahwa zakat itu wajib hukumnya untuk ditunaikan, maka dia tidak dihukumi kafir, hanya saja dia telah melakukan dosa besar. Dan bagi pemerintah/penguasa (amirul mukminin) wajib mengambil zakat-nya dan mengambil separuh (dari) harta (keseluruhan)-nya sebagai hukuman (denda) atas perbuatannya . Apabila orang tersebut tetap menolak untuk membayarnya, maka pemerintah/penguasa wajib memeranginya sampai orang tersebut mau menunaikan zakat dan dendanya sesuai ketentuannya tersebut ”.
Namun demikian juga sebaliknya, barang siapa yang menetapkan dan memaksakan kepada sesama muslim lainnya untuk mengeluarkan zakat pada harta-harta yang tidak ditetapkan secara jelas untuk pengeluaran zakat-nya secara syar’iat Islam (dalam nash/dalil Al-Qur’an ataupun hadits-hadits yang shohih/hasan, bukan hanya berdasarkan pada ijma’ atau qiyas/analogi para ulama yang tidak berdasarkan pada Al-Qur’an dan haidts-hadits yang shohih/hasan), maka dia telah berbuat bid’ah dan menzholimi saudara seimannya sendiri . Para sahabat  telah menjelaskan orang-orang yang enggan membayar zakat, di mana pada hakikatnya mereka telah menghalalkan darah dan harta mereka, dan pada hakikatnya mereka juga telah melarang salah satu syi’ar Islam yang paling besar dan mendasar dari beberapa syi’ar Islam yang ada.




Panduan Praktis

1. Makna kata zakat menurut kaidah bahasa (etimologis) adalah suatu hal pensucian jiwa/hati (tazkiyatun nufuz) dan harta yang dimiliki oleh setiap manusia (terhadap berbagai penyakit hati dan racun-racunnya yang senantiasa sangat berpotensi untuk menjangkiti dan mempengaruhi kesehatan tubuhnya secara keseluruhan), dan (dengan pertolongan Alloh ) kemudian dapat menambah atau mengembangkan kualitas dan kuantitas dari pengaruh aktivitas tubuhnya secara keseluruhan beserta harta yang dimilikinya, sehingga dapat berinteraksi dan bermanfa’at secara maksimal terhadap kondisi kehidupan pribadi dan lingkungannya, terutama dalam rangka saling tolong-menolong antara sesama manusia dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek ekonomi dan sosialnya, yang pada akhirnya semua hal tersebut ditujukan untuk meningkatkan rasa silaturahim (persaudaraan dan persatuan) dan kemaslahatan (kebahagiaan) di antara sesama manusia, dan senantiasa mencari keridho’an dan/ ber-taqorrub (mendekatkan diri) kepada-Nya.
2. Makna zakat menurut syar’i secara umum (disebut juga zakat mutlaq/umum) adalah suatu hak yang dimiliki oleh setiap manusia yang wajib ditunaikan (dishodaqohkan) menurut ketentuan Alloh  dan rosul-Nya  yang shohih/hasan, yang pada umumnya dikeluarkan baik dalam bentuk nyata (ri’il) maupun dalam bentuk tidak nyata (abstrak), dengan tidak dibatasi oleh penetapan jumlah/kadar (nishob) dan waktu/putaran tahunan (haul)-nya (sehingga penunaian shodaqoh-nya tergantung dari keridho’an si pemiliknya), yang pada akhirnya ditujukan untuk meningkatkan rasa silaturahim (persaudaraan dan persatuan) dan kemaslahatan (kebahagiaan) di antara sesama manusia, dan senantiasa mencari keridho’an dan/ ber-taqorrub (mendekatkan diri) kepada-Nya.
3. Makna zakat menurut syar’i secara khusus (disebut juga zakat muqoyyad/khusus) adalah suatu hal yang berhubungan dengan pemberian sebagian harta tertentu, yang dimiliki oleh setiap manusia, yang wajib ditunaikan (dishodaqohkan) sesuai dengan nishob-nya dan telah mencapai haul-nya menurut ketentuan Alloh  dan rosul-Nya  yang shohih/hasan secara ikhlas (hanya mengharap keridho’an-Nya), kepada sekelompok orang tertentu (di antaranya adalah: fakir, miskin, atau yang sepertinya, selain bani Hasyim dan bani Mutholib).
4. Zakat disyar’iatkan untuk mensucikan jiwa/hati dan harta, serta berbagai bentuk ibadah kepada Alloh  dan sesama manusia. Hal ini ditunjukkan bahwa zakat adalah salah satu rukun dan prinsip dasar Islam, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an dan hadits yang shohih/hasan, dan Alloh  menyejajarkan perintah zakat bersamaan dengan perintah sholat.
5. Zakat adalah salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh setiap pemeluknya, maka barang siapa ada yang mengingkari kewajibannya, maka dia telah menjadi kufur dan pasti akan mendapat adzab (siksa) yang berat dari Alloh  baik di dunia maupun di akhirat kelak, dan barang siapa yang melarang/mencegah (untuk mengeluarkan zakat)-nya, maka dia fasik. Namun demikian juga sebaliknya, barang siapa yang menetapkan dan memaksakan kepada sesama muslim lainnya untuk mengeluarkan zakat pada harta-harta yang tidak ditetapkan secara jelas untuk pengeluaran zakat (muqoyyad)-nya secara syar’iat Islam, maka dia telah berbuat bid’ah dan menzholimi saudara seimannya sendiri.

BAB III
Fadhillah dan Manfa’at Zakat

I. Menurut syar’iat Islam.
I.a. Tinjauan fadhillah (hikmah) dan manfa’at zakat mutlaq (umum).
Beberapa fadhillah (hikmah) dan manfa’at yang dapat diambil dengan disyar’iatkan-nya zakat mutlaq (secara umum), di antaranya adalah : (1) Penyempurnaan pemahaman keislaman seorang muslim, karena penunaian zakat merupakan salah satu rukun Islam yang lima, (2) Pembenaran keimanan seorang muslim, mengingat zakat merupakan suatu harta atau hak yang sangat berharga yang dimiliki dan dicintai oleh jiwa dan hawa nafsunya, 3) Mendapatkan kesempatan untuk menambah ilmu dan hidayah dari Alloh , (4) Dapat membantu meningkatkan kedisiplinan, ketahanan fisik, kesucian jiwa/hati, dan kelapangan dada secara individu, dan (5) Merupakan salah satu penyebab seorang muslim menjadi dekat dengan Alloh, dan mendapatkan rahmat, ampunan, pertolongan dan surga-Nya.

I.b. Tinjauan fadhillah (hikmah) dan manfa’at zakat muqoyyad (khusus).
Beberapa fadhillah (hikmah) dan manfa’at yang dapat diambil dengan disyar’iatkannya zakat muqoyyad (secara khusus), di antaranya adalah : (1) Zakat dapat menolong sesama manusia dan mempererat hubungan silaturahim dan ukhuwah Islamiyah, (2) Zakat dapat meredam dan memadamkan terjadinya kecemburuan sosial, kemiskinan, kriminalitas (seperti terjadinya perampokkan atau pencurian), dan 3) Zakat dapat memperbaiki, mempertahankan, dan bahkan meningkatkan keadaan sosial ekonomi suatu masyarakat atau negara.






II. Menurut kaidah medis.
II.a. Tinjauan fadhillah (hikmah) dan manfa’at zakat mutlaq (umum).
Fadhillah (hikmah) dan manfa’at yang dapat diambil dengan disyar’iatkannya zakat mutlaq (secara umum), di antaranya adalah dapat mengobati berbagai gangguan, kelainan, penyakit pada tubuh, serta mempertahankan dan meningkatkan kesehatan tubuh secara keseluruhan.
Penunaian zakat mutlaq secara benar, istiqomah (konsisten), dan ikhlas (hanya mengharap keridho’an Alloh ), dapat mewujudkan hal-hal tersebut melalui pencapaian hasil proses penenangan (pensucian) hati/jiwa (tazkiyatun nufuz) secara maksimal menurut tuntunan syar’iat Islam yang diperoleh dari: (1) Perwujudan semua peribadahan kepada Alloh  secara benar (sesuai dengan tuntunan dari Rosululloh  yang shohih/hasan), khusyu’ (penuh konsentrasi), istiqomah, sabar, dan ikhlas, dalam usahanya untuk mengobati penyakit-penyakit hati/jiwa dan racun-racun yang ada di dalamnya melalui pertolongan dan kehendak-Nya, dan (2) Penunaian hal-hak tubuh yang telah ditetapkan Alloh  sebagai fitrahnya. Inti dari kedua hal ini secara sederhana adalah mengembalikan keadaan dan kestabilan fungsi dari organ jantung (hati/jiwa) dan sistem yang berhubungan dengannya kepada fitrah awalnya yang normal dan baik. Pengembalian keadaan dan kestabilan fungsi dari organ jantung (hati/jiwa) dan sistem yang berhubungan dengannya tersebut diperoleh melalui penstabilan sistem pelaksana dan pengaturan metabolisme tubuh secara keseluruhan (yang terdiri dari sistem persarafan/kejiwaan , jantung, dan pembuluh darah) dalam usahanya untuk menstabilkan keadaan (kadar/jumlah) dan aktivitas dari pembentukan (sintesis) dan pengeluaran (sekresi) dari hormon endokrin kortisol tubuh , yang ternyata menurut kaidah medis di bidang ilmu kedokteran psiko-neuro-imuno-endokrinologi mutakhir telah ditunjukkan bahwa peningkatan kadar dan aktivitas dari hormon endokrin kortisol tersebut memainkan peran yang sangat penting dan berhubungan dengan terjadinya berbagai gangguan dan kelainan pada sistem pelaksana dan pengaturan metabolisme secara keseluruhan sehingga hormon tersebut relatif telah ditentukan sebagai faktor utama pencetus terjadinya sebagian besar gangguan, kelainan, dan penyakit pada jantung (hati), jiwa, dan tubuh secara keseluruhan .
Penjelasan lebih lanjut dan khusus mengenai pengaruh penunaian zakat mutlaq tersebut, yang dilakukan baik dengan menjalankan semua peribadahan kepada Alloh  maupun dengan penunaian hak-hak tubuh menurut syar’iat Islam, terhadap pengobatan dan peningkatan kesehatan tubuh seseorang dalam usahanya menstabilkan keadaan (kadar) dan aktivitas dari pembentukkan dan pengeluaran hormon endokrin kortisol ke dalam tubuhnya, adalah mengusahakan terjadinya penstabilan dan kelancaran dalam pengiriman, penyebaran, dan penerimaan energi murni tubuh (pure-bio-electric) yang sebelumnya sudah ada di dalam dirinya untuk mengaktifkan kesadaran murni tubuh yang berada di atas pikiran, jiwa, dan perasaan (emosi)-nya, yang secara umum dan sederhana dilakukan dengan cara-cara: (1) Perenungan kembali terhadap esensi penciptaan dirinya sendiri dan alam semesta oleh Alloh , (2) Pengenalan jati diri dan lingkungannya, sebagai tempat tinggal dan berinteraksi baginya, dan (3) Meningkatkan konsentrasi/pemusatan pikiran, jiwa, dan hati (kekhusyu’an) semaksimal dan sebaik mungkin dalam menjalankan semua peribadahannya kepada Alloh  dan penunaian hak-hak tubuhnya, yang disertai dengan pengosongan (penglepasan) semua beban pikiran dan mental yang pernah ada dan mengembalikan semuanya kepada takdir dari-Nya dengan sabar, istiqomah (konsisten), dan ikhlas hanya karena-Nya, untuk mendapatkan ketenangan diri (hati, jiwa, dan tubuh). Hal ini secara nyata dan sederhana dapat dilakukan dengan cara mengusahakan pengalihan dan penghambatan penerimaan rangsangan inderawi (rangsangan yang masuk ke tubuh dan berasal dari penerimaan panca indera) tubuh semaksimal dan sebaik mungkin dalam rangka mengusahakan penstabilan pengaturan (frekuensi/kekerapan) nafas dan denyut jantung dan otak seefektif dan seoptimal mungkin .
Data dari studi medis mutakhir lainnya menunjukkan bahwa pada saat suasana hati (jiwa) dalam keadaan tenang, tentram, dan konsentrasi intens (khusyu’), sel-sel otak (di daerah sistem limbik) menghasilkan neurotransmiter dopamine secara efektif dan optimal, yang kemudian dikeluarkan ke ujung-ujung sarafnya, lalu menghasilkan berbagai impuls (aliran atau gelombang listrik) syaraf pada otak. Dalam 4/10 detik, aktivitas gelombang listrik syaraf ini menyebar dan mengumpul pada beberapa bagian di otak (yaitu di bagian-bagian sisi-sisi kiri dan kanan dari kulit otak besar [cerebral cortex], di badan depan otak besar [lobus frontalis cerebral cortex] , di daerah pemrosesan rangsangan-penglihatan pada bagian belakang otak besar [lobus oksipitalis] , di daerah sistem limbik [terutama daerah-daerah amigdala dan hipokampus] , dan di daerah neo-korteks [yaitu daerah ganglia basalis] ), dan kemudian menghasilkan gelombang listrik yang bermuatan positif, yang selanjutnya terlihat seolah-olah seluruh bagian tubuh tidak akan memberikan reaksi atau tanggapannya secara bermakna. Ketenangan hati (jiwa) yang didapat melalui pencapaian kesadaran murni tubuh pada setiap manusia akan membantu mengatasi berbagai penyakit besar dan tekanan masalah dalam menjalani kehidupannya. Banyak data dari studi medis mutakhir menunjukkan bahwa dengan ketenangan hati (jiwa) dapat mempengaruhi kondisi tubuh secara umum, di antaranya adalah: dapat menurunkan kadar hormon-hormon yang dapat menyebabkan stress pada jiwa dan tubuh, meningkatkan daya tahan (imunitas) tubuh melalui peningkatan jumlah sel-sel pertahanan tubuh (seperti: sel-sel NK [natural killers], -Interferone, dan limfosit T dan B) dan konsentrasi protein imunoglobulin, meningkatkan aliran darah dan kadar oksigen di dalam tubuhnya untuk kebutuhan metabolisme seluruh sel tubuh melalui peningkatan ambilan oksigen pernapasan (inspirasi) dan denyut jantung, serta melatih otot-otot pernapasan (dada) seefektif dan seoptimal mungkin.
Data dari beberapa studi mutakhir menunjukkan bahwa pada saat terjadinya beberapa aktivitas kejiwaan/tubuh tertentu, seperti proses kecemasan atau banyak mengeluh atau suasana hati dalam keadaan gembira atau senang (di samping keadaan lainnya seperti tertawa, ketakutan, terjaga, banyak berbicara dan bernyanyi, marah, euforia, atau sedang terangsang dan berfantasi oleh suatu aktivitas seks yang erotis yang terlalu sering terjadi), sel-sel otak (di daerah sistem limbik) menghasilkan banyak neurotransmiter dopamine yang dikeluarkan ke ujung-ujung saraf, lalu menghasilkan berbagai impuls (aliran atau gelombang listrik) syaraf pada otak.
Terjadinya peningkatan dopamine yang berlebihan pada otak dan aliran darah pada tubuh seseorang yang diakibatkan oleh beberapa aktivitas kejiwaan/tubuh tertentu tersebut yang terlalu sering atau berlebihan selanjutnya akan menyebabkan terjadinya peningkatan pengeluaran dan ketidakstabilan aktivitas dari neurotransmiter monoamin lainnya (selain dopamine), terutama nor-epinephrine (katekolamine) yang dihasilkan di otak, dan sangat berpengaruh terhadap sistem RAS . Hal ini akan menyebabkan terjadinya gangguan atau ketidakstabilan pada aktivitas dari neurotransmiter tersebut berupa terjadinya gangguan atau kelainan kejiwaan (seperti: ansietas, depresi, dan kelainan kejiwaan lainnya) dan peningkatan rangsangan pada aktivitas poros HPA (hipotalamus-pituitary-adrenal), dengan mengaktivasi sintesis (pembentukkan) dan sekresi (pengeluaran) dari hormon-hormon CRH/F di hipotalamus otak, yang kemudian berdampak pada terjadinya stress, peningkatan denyut jantung dan gangguan iramanya, peningkatan tekanan darah, gangguan pernapasan (sesak nafas/penyakit asma) dan metabolisme sel-sel tubuh, dan peningkatan kerusakan sel-sel tubuh dan metabolisme-nya secara menyeluruh melalui terjadinya kelainan atau gangguan pembuluh darah, aliran, dan komposisinya yang disebabkan oleh peningkatan penumpukkan zat-zat radikal bebas di dalam tubuh yang dihasilkannya, sehingga pada akhirnya dapat menjadikan keadaan jiwa, hati, dan tubuhnya tidak sehat dan mudah/rentan terhadap suatu penyakit .
Kaidah keilmuan dari bidang kedokteran psiki-neuro-imuno-endokrinologi juga menunjukkan bahwa perubahan-perubahan secara fisiologis dan biokimia pada tubuh manusia secara menyeluruh terjadi akibat adanya peningkatan stimulus atau kelainan/gangguan kejiwaan yang merangsang beberapa nukleus (inti) sel syaraf (neuron) tertentu di hipotalamus otak (yang merupakan proyeksi dari aktivitas sistem RAS) untuk menghasilkan beberapa neurotransmiter monoamin otak dan mempengaruhi sintesis (proses penghasilan), sekresi (proses pengeluaran ke dalam aliran darah atau organ sel target tubuh), dan aktivitas dari hormon-hormon endokrin tubuh (terutama hormon CRH, GnRH, dan GH) di hipotalamus, kemudian menghantarkan impuls-impuls syaraf dan hormon-hormon endokrin yang dihasilkannya ke seluruh organ sasaran (target cells) tubuh melalui jalur persyarafan motorik dan aliran darah tubuh melalui aktivitas pemompaan darah yang dilakukan organ jantung dan sistem pembuluh darah tubuh (sesuai dengan kadar/kondisi impuls-impuls atau hormon-hormon endokrin yang diterimanya dari sistem RAS).
Penjelasan secara khusus mengenai timbulnya suatu kelainan, gangguan, atau penyakit pada tubuh yang disebabkan oleh adanya kelainan/gangguan pada sistem RAS dengan aktivitas metabolisme dan sistem yang dihasilkannya, dapat dilihat pada Lampiran 6.
Data dari beberapa studi mutakhir di bidang kedokteran psiko-neuro-imuno-endokrinologi tersebut juga menunjukkan bahwa penyebab jantung (hati) yang sakit atau mengalami kelainan/gangguan, dapat ditela’ah dari 2 hal, yaitu (1) Adanya kelainan/gangguan pada sistem RAS dengan aktivitas metabolisme dan sistem yang dihasilkannya, dan (2) Adanya kelainan/gangguan pada organ jantung, dengan aktivitas metabolisme dan sistem yang dihasilkannya.
Inti utama dari dampak yang ditimbulkan dari keadaan jantung yang sakit adalah terjadinya proses aterosklerosis yang diikuti terjadinya proses disfungsi endotel pada pembuluh-pembuluh darah tubuh, yang menyebabkan terjadinya kelainan atau gangguan dalam pemberian aliran darah yang akan digunakan untuk terjadinya proses metabolisme sel tubuh secara menyeluruh. Sebagaimana diketahui dari banyak studi mutakhir di bidang medis menunjukkan bahwa pada intinya sebagian besar kelainan dan/ penyakit pada tubuh manusia terjadi karena adanya gangguan/kelainan dari mekanisme sistem jantung dan pembuluh darah yang diakibatkan oleh adanya penumpukkan zat-zat radikal bebas yang tidak dapat dinetralisir sel-sel tubuh. Penumpukkan radikal bebas di dalam tubuh ini terutama disebabkan oleh adanya gangguan/kelainan dari proses metabolisme sel-sel tubuh secara keseluruhan, yang dihasilkan terutama dari adanya gangguan/kelainan pada sistem pelaksana dan pengaturan metabolisme-nya (yang terdiri dari sistem persarafan/kejiwaan , jantung, dan pembuluh darah), aktivitas tubuh, dan lingkungan tempat seseorang hidup dan menjalani interaksinya sehari-hari.

II.b. Tinjauan fadhillah (hikmah) dan manfa’at zakat muqoyyad (khusus).
Fadhillah (hikmah) dan manfa’at yang dapat diambil dengan disyar’iatkan-nya zakat mutlaq (secara umum), di antaranya adalah juga dapat mengobati berbagai gangguan, kelainan, penyakit pada tubuh, serta mempertahankan dan meningkatkan kesehatan tubuh secara keseluruhan.
Penunaian zakat muqoyyad (khusus) secara benar, istiqomah (konsisten), dan ikhlas (hanya mengharap keridho’an Alloh ), dapat mewujudkan hal-hal tersebut melalui pencapaian hasil proses penenangan (pensucian) hati/jiwa (tazkiyatun nufuz) secara maksimal menurut tuntunan syar’iat Islam yang diperoleh dari perwujudan semua peribadahan kepada Alloh  secara benar (sesuai dengan tuntunan dari Rosululloh  yang shohih/hasan), khusyu’ (penuh konsentrasi), istiqomah, sabar, dan ikhlas, dalam usahanya untuk mengobati penyakit-penyakit hati/jiwa dan racun-racun yang ada di dalamnya melalui ber-mu’amalah, berhubungan atau berinteraksi, saling tolong-menolong antar sesama manusia (khususnya sesame saudara se-iman). Inti dari hal ini secara sederhana adalah sama dengan fadhillah (hikmah) dan manfa’at dari penunaian zakat mutlaq, yakni mengembalikan keadaan dan kestabilan fungsi dari organ jantung (hati/jiwa) dan sistem yang berhubungan dengannya kepada fitrah awalnya yang normal dan baik. Pengembalian keadaan dan kestabilan fungsi dari organ jantung (hati/jiwa) dan sistem yang berhubungan dengannya tersebut diperoleh melalui penstabilan sistem pelaksana dan pengaturan metabolisme tubuh secara keseluruhan dalam usahanya untuk menstabilkan keadaan dan aktivitas dari pembentukan (sintesis) dan pengeluaran (sekresi) dari hormon endokrin kortisol tubuh.
Penjelasan lebih lanjut dan khusus mengenai pengaruh penunaian zakat muqoyyad (khusus) tersebut, yang dilakukan baik dengan menjalankan semua peribadahan kepada Alloh  maupun dengan penunaian hak-hak tubuh menurut syar’iat Islam, terhadap pengobatan dan peningkatan kesehatan tubuh seseorang dalam usahanya menstabilkan keadaan (kadar) dan aktivitas dari pembentukkan dan pengeluaran hormon endokrin kortisol ke dalam tubuhnya, juga sama dengan fadhilla (hikmah) dan manfa’at dari penunaian zakat mutlaq, yang telah diterangkan sebelumnya.














III. Menurut kaidah ekonomi - sosial.
Kemiskinan merupakan problematika terbesar dalam kehidupan, khususnya bagi kondisi perekonomian sebuah negara, dan dampaknya dapat membahayakan aqidah dan akhlaq seseorang, khususnya seorang muslim. Kemiskinan juga dapat menimbulkan banyak problematika kehidupan sosial, seperti kebodohan, rendahnya pendidikan, tingginya angka kriminalitas, keterbelakangan peradaban, dan lain-lain .
Syar’iat Islam menilai bahwa adanya suatu kemiskinan adalah suatu bencana yang harus ditanggulangi, bahkan Rosulullah  memohon pertolongan kepada Alloh  untuk dijauhkan dari kemiskinan, seperti yang dinyatakan dalam do’a beliau, “ … Wahai Alloh, aku mohon perlindungan kepadamu dari kekufuran dan kemiskinan … ” .
Syar’iat Islam datang dengan membawa berbagai solusi untuk mengentaskan kemiskinan dalam masyarakat. Salah satu cara yang ditunjukkan di dalam syar’iat Islam adalah dengan adanya shodaqoh dan zakat, di mana dengan shodaqoh dan zakat tersebut diharapkan kemiskinan dapat dikurangi melalui proses perpindahan kekayaan dari orang kaya kepada orang miskin, seperti dinyatakan Alloh  dalam firman-Nya,
     
Artinya: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian” (QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 19).

dan dalam sabda Rosululloh  yang artinya, “Sungguh aku telah diperintahkan untuk mengambil sedekah (zakat) dari orang-orang kaya di antara kamu dan membagikannya kepada orang-orang miskin di antara kamu … ” .

Beberapa dalil di atas menunjukkan beberapa hal penting terkait ekonomi masyarakat yaitu adanya keadaan masyarakat yang surplus keadaan perekonomiannya (kaya) dan adanya masyarakat yang defisit keadaan perekonomiannya (miskin), di mana keadaan perekonomian dan sosial mereka dalam hal ini dapat dijembatani dengan adanya zakat, khususnya menyangkut permasalahan ekonomi, konsumsi, dan dsitribusinya. Di bawah ini akan diuraikan bagaimana pengaruh zakat dalam meningkat konsumsi dan distribusi masyarakat.

III.a. Meningkatkan konsumsi masyarakat.
Definisi dari konsumsi adalah penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia . Dalam perekonomian syar’iat Islam, konsumsi dinilai sebagai sarana wajib di mana seorang muslim tidak dapat mengabaikannya, dalam salah satu usahanya untuk merealisasikan tujuan yang dikehendaki oleh Alloh  berkaitan dengan penciptaan manusia, yaitu pengabdian sepenuhnya kepada-Nya, di samping syar’iat Islam juga mewajibkan manusia untuk mengkonsumsi apa yang dapat menghindarkan seseorang dari terjadinya kerusakan pada dirinya dan berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan semua kewajiban yang telah ditetapkan Alloh  kepadanya. Hal ini telah dijelaskan Alloh  juga dalam firman-Nya,
      
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 56).

Dalam hubungannya antara zakat dengan konsumsi, tampak bahwa zakat mengalihkan sebagian harta dari golongan orang-orang kaya yang kemudian diberikan kepada orang-orang yang miskin, di mana di sana juga terlihat bahwa kaum muslimin yang keadaannya kaya seharusnya membatasi pola konsumsinya demi menyisihkan sebagian hartanya untuk digunakan sebagai konsumsi bagi orang-orang muslim yang miskin, seperti telah dinyatakan Alloh  dalam firman-Nya,
                      
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (di jalan Alloh) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at..Dan orang-orang kafir Itulah orang-orang yang zalim” (QS. Al-Baqoroh [2]: 254).

yang dikuatkan dengan beberapa firman-Nya yang lain,
           
Artinya: “Dan orang-orang yang apabila menginfaqkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS. Al-Furqon [25]; 67).
dan,
  •           •                     
Artinya: “Dan infaqkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Wahai Robb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)-ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?". Dan Alloh sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Alloh Maha mengetahui (segala) apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Munaafiquun [63]: 10-11).














Metwally (1995:48) dalam sebuah studi hipotesanya menjelaskan mengenai pengaruh zakat terhadap fungsi konsumsi, seperti terlihat pada diagram di bawah ini:

Keterangan: C Pola Konsumsi Masyarakat.
Z Penunaian Zakat.
Sumber: M. Arif Mufraini, (Akuntansi dan Manajemen Zakat, 2006).

Dari diagram di atas dapat ditunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat secara keseluruhan akan meningkat seiring dengan adanya penunaian zakat. Studi hipotesa tersebut menunjukkan bahwa penunaian zakat merupakan salah satu faktor pendorong pola konsumsi masyarakat miskin, yang sebelumnya terbatasi oleh pola konsumsi yang disebabkan oleh keadaan kemiskinannya. Sedangkan zakat bagi masyarakat kaya dapat berperan sebagai penahan pola konsumsi mereka, agar tetap berada dalam kondisi kewajarannya dan sesuai kebutuhannya.

III.b. Meningkatkan distribusi masyarakat.
Makna distribusi dalam perekonomian syar’iat Islam adalah mencakup pengaturan kepemilikan unsur-unsur produksi dan sumber-sumber daya kekayaan bagi keadilan masyarakat umum. Dalam masalah ini dapat ditunjukkan bahwa zakat mempunyai peran penting dalam kajian distribusi ini, seperti tampak pada kajian terhadap masalah konsumsi yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perintah zakat adalah untuk mengambil sebagian harta dari orang-orang kaya, sehingga zakat dapat terdistribusikan kepada masyarakat miskin yang membutuhkan, dan diharapkan kesejahteraan masyarakat akan semakin meningkat. Kajian tersebut menunjukkan bahwa zakat telah memenuhi tujuan dari distribusi ekonomi yaitu ditunjukkan dengan adanya redistribusi pendapatan di antara masyarakat yang memerlukan dan yang berlebihan, serta adanya alokasi antara konsumsi dan investasinya.
Masalah zakat dan distribusi yang penting lainnya adalah masalah yang berhubungan dengan jaminan sosial, di mana tanggung jawab jaminan sosial ini merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakatt, individu dan pemerintah, seperti yang telah dinyatakan Alloh  dalam firman-Nya,
                          •       • 
Artinya: “Sembahlah Alloh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, orang-orang yang sedang dalam perjalanan (musafir/ibnu sabil), dan hamba sahaya (budak)-mu. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS. An-Nisaa` [4]: 36).

Ayat Al-Qur’an tersebut menjelaskan bahwa dalam hubungannya antara sesama manusia wajib saling menjamin mengenai keadaan kehidupannya, dan dengan adanya syar’iat untuk ber-zakat diharapkan orang-orang yang berhak menerima zakat tersebut dapat menjadi tanggung jawab saudara-saudara (seimannya) yang telah mendistribusikan sebagian harta mereka melalui penunaian zakat-nya.
Hal ini juga akan mempererat sodaritas di antara sesama umat muslim pada khususnya (dan seluruh umat manusia pada umumnya), seperti dinyatakan dalam sabda Rosulullah , “Orang mukmin bagi orang mukmin lain adalah seperti bangunan yang sebagiannya menguatkan yang lainnnya” (dalam redaksi hadits lainnya: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling mencintai dan saling kasih sayang, mereka seperti sebuah tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya merasa sakit, maka seluruh anggota tubuh akan ikut juga merasakannya dengan berjaga dan demam” ).






























Panduan Praktis

1. Beberapa fadhillah (hikmah) dan manfa’at yang dapat diambil dengan disyar’iatkan-nya zakat mutlaq (secara umum), di antaranya adalah: (1) Penyempurnaan pemahaman keislaman seorang muslim, karena penunaian zakat merupakan salah satu rukun Islam yang lima, (2) Pembenaran keimanan seorang muslim, mengingat zakat merupakan suatu harta atau hak yang sangat berharga yang dimiliki dan dicintai oleh jiwa dan hawa nafsunya, 3) Mendapatkan kesempatan untuk menambah ilmu dan hidayah dari Alloh , (4) Dapat membantu meningkatkan kedisiplinan, ketahanan fisik, kesucian jiwa/hati, dan kelapangan dada secara individu, dan (5) Merupakan salah satu penyebab seorang muslim menjadi dekat dengan Alloh, dan mendapatkan rahmat, ampunan, pertolongan dan surga-Nya.
2. Beberapa fadhillah (hikmah) dan manfa’at yang dapat diambil dengan disyar’iatkannya zakat muqoyyad (secara khusus), di antaranya adalah: (1) Zakat dapat menolong sesama manusia dan mempererat hubungan silaturahim dan ukhuwah Islamiyah, (2) Zakat dapat meredam dan memadamkan terjadinya kecemburuan sosial, kemiskinan, kriminalitas (seperti terjadinya perampokkan atau pencurian), dan 3) Zakat dapat memperbaiki, mempertahankan, dan bahkan meningkatkan keadaan sosial ekonomi suatu masyarakat atau negara.
3. Menurut kaidah medis, fadhillah (hikmah) dan manfa’at yang dapat diambil dengan disyar’iatkannya zakat mutlaq (secara umum) dan muqoyyad, di antaranya adalah dapat mengobati berbagai gangguan, kelainan, penyakit pada tubuh, serta mempertahankan dan meningkatkan kesehatan tubuh secara keseluruhan.
4. Menurut kaidah ekonomi-sosial, fadhillah (hikmah) dan manfa’at yang dapat diambil dengan disyar’iatkannya zakat mutlaq (secara umum) dan muqoyyad adalah memecah berbagai solusi untuk mengentaskan kemiskinan dalam masyarakat., di mana dengan shodaqoh dan zakat tersebut diharapkan kemiskinan dapat dikurangi melalui proses perpindahan kekayaan dari orang kaya kepada orang miskin.