Senin, 14 Desember 2009

Hadits-Hadits Batasan Jarak dan Lama dari Seseorang Dikatakan Bepergian (Musafir)

Lampiran-Lampiran
Lampiran 1.
Batasan Jarak dan Lama Safar Menurut Syar’iat


Hadits-hadits utama dan syarh (penjelasan)-nya mengenai pedoman (hujjah) dasar ketentuan jarak seseorang dikatakan musafir (atau sedang ber-safar).

1. Yahya bin Yazid Al-Hana`i  bercerita , ”Aku bertanya kepada Anas (bin Malik ) tentang meng-qoshor sholat dan pada saat itu (sebelumnya) aku (pernah) bepergian (ber-safar) ke Kufah (dari Bashroh), ”... Apakah aku sholat 2 roka’at – 2 roka’at sampai aku kembali (ke Bashroh)?”. Lalu Anas menjawab, ”Keadaan Rosululloh  jika (dia) keluar (untuk ber-safar) dalam suatu perjalanan (sejauh) 3 mil [dalam riwayat lain: ”(3) farsakh – Syubah ragu-ragu”], (maka) dia sholat 2 roka’at [dalam riwayat lain: ”... (dia) meng-qoshor sholatnya”] ; [tambahan dalam redaksi dari riwayat lainnya: ”Aku (pernah) sholat bersama Rosululloh  (sholat) zhuhur di Madinah 4 roka’at dan di Khulaifah (Dzulkhulaifah – pen.) 2 roka’at” ; atau ”Kami (pernah) keluar (ber-”safar”) bersama Rosululloh  dari Madinah menuju Mekah, maka keadaannya (kami) sholat 2 roka’at – 2 roka’at sampai kami kembali ke Madinah” ]”. [atau dalam riwayat lain yang dho’if, ”Keadaan Rosululloh  bila ber-”safar” 1 farsakh (dia) meng-”qoshor” sholatnya”. ]”.”.
Syarh (penjelasan) hadits-hadits tersebut adalah:
Ibnu Hajar Atsqolany berkata, ”Nampak jelas bahwa Yahya bin Yazid  bertanya tentang diperbolehkannya meng”qoshor” sholat dalam bepergian/”safar” (secara ”mutlaq”/umum), bukan mengenai tempat di mana dimulainya izin (”rukhshoh”/keringanan) sholat qoshor (yang berhubungan atau tidak dengan suatu tempat persinggahan dari tempat tujuan ber”safar”nya yang masih sangat jauh; lihat ”hadits-hadits” berikutnya [”hadits” no.2-4, dan 7] yang juga menjelaskan ketentuan jarak dari ”hadits” Anas tersebut – pen.). Pendapat yang paling ”shohih” dan ”rojih” dalam masalah ini adalah bahwa sholat ”qoshor” itu tidak dikaitkan dengan jarak (suatu) perjalanan, tetapi (berkaitan) dengan (ketentuan apakah sudah) melewati batas kota/daerah di mana seseorang musafir telah keluar daripadanya; (lihat ”hadits-hadits” berikutnya [no.5-9] – pen.)”.

2. Haritsah bin Wahb Al-Huzaa`i , dia berkata, ”Aku pernah sholat bersama-sama Rosululloh  di Mina, (yang dalam) keadaan apapun (saat itu) aman (buat para) manusia, mereka berkumpul (saat haji wada’), (lalu sholat) 2 roka’at (meng-”qoshor”).”.
3. Haritsah bin Wahb Al-Huzaa`i , dia berkata, ”Aku pernah sholat berjama’ah (dengan) Rosululloh  di Mina, dan (para) manusia berkumpul (dalam segala keadaannya), lalu (mereka) sholat 2 roka’at (meng-”qoshor”nya) ketika haji wada’.”.
4. Ibnu Umar , dia berkata, ”Sesungguhnya dia (orang Mekah), keadaannya bermukim di Mekah maka bila (dia) keluar (ber-”safar”) ke Mina (maka dia) meng-”qoshor” (sholatnya)”.
5. Waqo’ bin Iyas , dia berkata, ”Kami (pernah) keluar (ber-”safar”) bersama-sama Ali (bin Abi Tholib ) menuju ke arah ini (sambil menunjukkan ke arah Syam), lalu (kami) sholat 2 roka’at – 2 roka’at sampai apabila kami (telah) tiba dan kami (telah) memastikan (hampir) sampai (di kota) Kufah. (Kemudian) waktu sholat (telah) masuk (lalu) kami berkata (kepada Ali), ”Wahai ”Amirul-Mu`minin” ini (hampir sampai di) Kufah (jadi) sempurnakanlah sholatnya”. (Lalu Ali) berkata, ”Tidak, sampai kita memasuki (kota)-nya”. [dalam riwayat lain: ”Ketika ber-”safar” Ali bin Abi Tholib  maka (dia) meng-”qoshor”-nya dan (dia saat itu masih) melihat rumah-rumah penduduk (Kufah), maka (ketika) pulang dikatakan kepadanya, ”Ini Kufah (sempurnakanlah sholatnya)”. (Lalu Ali) berkata, ”Tidak, sampai kita memasuki (kota)-nya”.” ; atau ”Kami (pernah) ber-”safar” bersama-sama Ali bin Abi Tholib , maka kami meng-”qoshor” sholatnya dan kami (masih) melihat rumah-rumah penduduk (Kufah), kemudian (ketika) kami pulang maka kami masih meng-”qoshor” sholatnya dan kami (saat itu sudah) melihat rumah-rumah penduduk (walaupun kami belum memasuki kota/daerah Kufah-nya)”. ]”.
6. Nafi , dia berkata, ”Ibnu Umar  mulai meng-”qoshor” sholatnya sejak (dia meninggalkan) rumah-rumah penduduk di Madinah dan tetap meng-”qoshor”nya ketika (dia) pulang sampai sampai masuk dan berada di antara rumah-rumah (penduduk kotanya) tersebut”.
7. Ibnu Umar , dia berkata, ”Sesungguhnya tidaklah aku ber-”safar” sesaat pada waktu siang hari kecuali aku meng-”qoshor” (sholat)-nya [dalam riwayat lain: ”Kalau aku ber-”safar” sejauh 1 mil aku meng-”qoshor” sholatnya”. ]”.
8. Juba`ir bin Nufa`ir , dia berkata, ”Aku (pernah) keluar (ber-”safar”) bersama-sama Syurohbil bin Simth ... Aku (pernah) melihat Umar  sholat di Khulaifah (Dzulkhulaifah – pen.) 2 roka’at”.
9. Abdullah bin Harmilah  (ketika bertanya kepada Saidah Musayyab ), ”Bolehkah aku meng-”qoshor” sholat di Burid-Madinah?”. Saidah Musayyab  berkata, ”Boleh”.”.



























Beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits shohih / hasan, serta syarh (penjelasan)-nya mengenai pedoman (hujjah) dasar ketentuan lama seseorang dikatakan musafir (atau sedang ber-safar).

1. “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qoshor sholatmu” (QS. An-Nisaa` [4]; 101).
2. Hadits Rosululloh  ketika menunaikan haji wada’ – Lihat 2 hadits shohih yang diriwayatkan oleh Haritsah bin Wahb Al-Huzaa`i  sebelumnya di atas (no.2 dan 3) .
3. Hadits Rosululloh  ketika melakukan penaklukan kota Mekkah.
Yakni hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas , dia berkata, “Nabi  menetap sementara selama 19 hari dengan meng-qoshor (sholat), maka kami pun apabila ber-safar selama 19 hari kami sholat qoshor, dan jika lebih dari itu (yakni berubah niat untuk bermukim selamanya) kami sholat sempurna” .
Penjelasan hadits ini adalah:
“Waktu yang tertulis dalam “hadits” Ibnu Abbas tersebut, yakni selama 19 hari membolehkan ber-“istidhol” (menjadikan sebagai suatu dalil atau “hujjah”-pedoman) bagi seorang musafir yang telah meniatkan untuk singgah (tinggal) selama “safar”-nya tetapi kemudian dia mengalami kebimbangan (tidak berkeinginan untuk ber-“safar” atau singgah terus), maka kewajiban/hak-hak “safar”-nya hanya sebatas paling lama 19 hari atau dia harus meninggalkan tempat persinggahan dalam “safar”-nya kapan pun dia ada kesempatan setelah menyelesaikan keperluannya sebelum 19 hari (untuk mendapatkan kewajiban/hak-hak “safar”-nya), mengingat hal ini ditunjukkan dalam “matan (redaksi)” “hadits” tersebut, “… dan jika melebihkannya …” menjelaskan kata “… Nabi  menetap (bermukim) …” pada awal “matan hadits” tersebut sebelumnya, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ahmad Syakir , ”Kata ” ... wa in zidna atmamna” (”... dan jika kami [”safar”] melebihkannya [maka] kami menyempurnakannya”) pada redaksi ”hadits” Ibnu Abbas  tersebut merupakan ”dhomir” (kata ganti) dari/atau merujuk pada kata di awal ”hadits” tersebut yakni ”aqooma an-nabii ” (Nabi [pernah]  bermukim), sehingga maksudnya adalah jika kami menetap/bermukim maka kami menyempurnakan (sholat)-nya” (bukan berarti merujuk pada penekanan kalimat ” ... fa nahnu idza farnaa tis’ata ’asyaro ... ” [ ... maka bila kami ber-”safar” [selama] 19 hari] – pen.).” .
Penguatan dari penjelasan hadits tersebut juga dapat dilihat pada foot note beberapa hadits dan atsar berikutnya (hadits-hadits dari no. 4 - 17) dan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan para sahabat lainnya . Sementara penjelasan dari fatwa-fatwa para ulama ahlus-sunnah terdahulu, di antaranya adalah:
Ibnu Qoyyim menegaskan bahwa,
“Dalam hadits ini menunjukkan bahwa Rosululloh  tidak pernah berkata kepada umatnya, “Tidak boleh seseorang meng-qoshor sholatnya, bila menetap sementara lebih dari 19 hari”, namun secara kebetulan Rosululloh  bermukim hanya sebatas hari tersebut. Sehingga kelanjutan hadits ini dikembalikan kepada hadits yang diriwayatkan oleh A’isyah , “Awalnya sholat fardhu’ itu diwajibkan 2 roka’at (kecuali sholat Maghrib), lalu 2 roka’at tersebut ditetapkan untuk sholat safar dan mukim, dan (selanjutnya) disempurnakan (menjadi 4 roka’at) di dalam sholat hadhor (sholat ketika tidak sedang ber-safar atau ketika sedang bermukim)”.”.
Ibnu Mundzir mengatakan bahwa,
“Para ahli ilmu bersepakat bahwa bagi seorang musafir boleh meng-“qoshor” (sholat) selama tidak men-“jama`” di tempat dia berada, walaupun sampai bertahun-tahun (dia singgah dalam “safar”-nya)”.
Asy-Syaukani juga menegaskan bahwa,
“Jika seorang musafir tinggal di suatu negeri secara bimbang (yakni tidak berniat untuk tinggal/bermukim dalam batas waktu tertentu), maka dia diperkenankan meng-qoshor hingga 19 hari … lalu (bila dia berubah niat menjadi ingin bermukim untuk selamanya) dia menyempurnakan (sholatnya) sesudah itu”.
dan
Shiddiq Hasan Khon berkata,
“Adapun bila terjadi ketidakpastian (kebimbangan) untuk singgah (menetap) atau tidak (dalam “safar”-nya) dalam kurun waktu tertentu, maka seorang “musafir” diperkenankan untuk meng-“qoshor” (sholatnya) sampai batas waktu menetapnya Rosululloh  saat di Mekkah ketika penaklukan kota Mekkah. Jika dikatakan (ada seseorang yang menyatakan bahwa) “Melakukan “qoshor” sesuai dengan masa tinggalnya Rosululloh  dan tidak dibolehkan meng-“qoshor” (sholat) lebih dari waktu tersebut (secara mutlak)”, hal ini tidak sesuai bagi orang-orang yang berpegang dengan (“sunnah”)-nya (tersebut). Dari mana kita (dapat memastikan) bahwasannya andai dihadapkan kepadanya apa yang mengharuskannya untuk tinggal di atas (lebih lama dari) masa tersebut (yakni lebih lama dari 19 hari - bagi Rosululloh ) tidak meng-qoshor sholatnya ??. Kita juga harus katakan kepada orang-orang yang mengatakan pernyataan (“Boleh meng-“qoshor” sholat lebih lama dari 19 hari secara mutlak”), “Barang siapa yang menganggap bolehnya meng-“qoshor” sholat lebih lama dari batas itu dalam keadaan kebimbangan/ketidakpastian (akan bermukim atau ber-“safar” kembali), maka wajib baginya untuk mendatangkan dalil” ... Alangkah fahamnya Ibnu Abbas  terhadap maksud syar’iat tersebut. … Dan hal ini bukanlah didasarkan pada asumsi bahwa seandainya Nabi  tinggal melebihi 4 hari (ketika haji wada’) atau melebihi 19 hari (ketika penaklukan kota Mekkah) atau 20 hari (ketika perang Tabuk), tentu beliau akan menyempurnakan sholatnya, karena kita tidak mengetahui hal tersebut. Namun dasarnya adalah karena seseorang yang ber-muqim sementara lagi berniat untuk tinggal selama waktu tertentu maka tidak boleh menyempurnakan (sholat)-nya kecuali dengan adanya suatu dalil yang shohih, dan ternyata tidak ada dalil yang shohih satupun yang menjelaskan dan/ memperbolehkan untuk menambah (menyempurnakan) sholat (ketika masih niat ber-“safar” secara mutlak) lebih lama dari jumlah hari-hari tersebut (yakni 4 atau 19 atau 20 hari)”.

4. Hadits Rosululloh  ketika melakukan perang Tabuk,
Yakni hadits yang diriwayatkan dari Jabir , dia berkata, “Nabi  tinggal di Tabuk selama 20 hari dan beliau meng-qoshor sholatnya” .
Pada ketiga hadits tersebut di atas menerangkan bahwa fakta kondisi Rosululloh  ber-safar dan bermukim sementara selama berhari-hari, minimal bermukim sementara di Mekkah selama 4 hari berturut-turut dan maksimal bermukim sementara di Mekkah juga (ketika penaklukan kota) selama 19 hari berturut-turut atau di Tabuk selama 20 hari berturut-turut).

5. Hadits marfu`  Ibnu Umar  berkata, “Wahai sekalian manusia, aku pernah berada di Azerbaijan selama 4 bulan (dalam riwayat lain: ”Aku pernah tertahan salju di Azerbaijan selama 6 bulan bersama pasukan perang”), aku lihat semua pasukan (dalam riwayat lain: ”Kami”) mengerjakan sholat 2 roka’at – 2 roka’at. Aku pun pernah melihat Nabi  mengerjakan (sholat)-nya 2 roka’at dengan mata kepalaku sendiri” .
6. Atsar Abdurrohman bin Samuroh , “Aku bersama Ibnu Umar dan para sahabat lainnya, berada di musim dingin di Kabul (Afganistan) dalam sekali atau 2 kali musim dingin, (dan aku) melakukan sholat 2 roka’at (sholat qoshor)” .
7. Atsar Ibnu Abbas , “Aku tinggal di suatu negeri selama 5 bulan dan meng-qoshor sholat” .
8. Atsar Abdurrohman bin Miswar , “Kami tinggal bersama Sa’d bin Malik selama 2 bulan, dia meng-qoshor sholatnya sementara kami menyempurnakannya. Lalu kami bertanya kepadanya (mengenai kenapa dia meng-qoshor sholatnya ?). Lalu Sa’d berkata, “Kami (para sahabatnya) yang lebih tahu (mengenai ilmu safar dan adab meng-qoshor sholatnya)”.” .
9. Atsar Abdurrohman bin Miswar , “Aku bepergian dengan ayahku dan Sa’d bin Abi Waqqosh selama 50 malam (dalam riwayat lain: “… selama 40 hari”) dan tiba di bulan Romadhon, dia (Sa’d) meng-qoshor sholatnya dan berbuka, sementara kami menyempurnakannya dan berpuasa. Lalu kami bertanya kepadanya. Lalu Sa’d berkata, “Kami (para sahabatnya) yang lebih faqih”.” .
10. Atsar Abu Minhal  (salah seorang sahabat penduduk Mekkah, ketika dia bertanya kepada Ibnu Abbas  mengenai meng-qoshor sholat dalam safar-nya), “Sesungguhnya aku tinggal di Madinah selama setahun, sedangkan aku tidak melanjutkan perjalananku ?”. Lalu Ibnu Abbas menjawab, “Sholatlah 2 roka’at (dalam beberapa redaksi dari hadits shohih lainnya: “… Sholatlah 2 roka’at walaupun kamu tinggal [di Madinah] 10 tahun”)”.” .
11. Anas bin Malik  berkata, “Aku tinggal di Naisabur selama setahun atau 2 tahun melakukan sholat 2 roka’at (sholat qoshor). Aku juga pernah mengatakan kepada Jabir bin Zaid (ketika dia tinggal di Tastur selama setahun dan 2 tahun, dan sepertinya dia telah menganggap dirinya penduduk Tastur, “Sholatlah 2 roka’at (sholat qoshor)”.” .
12. Atsar Anas bin Malik , dan para sahabat  ke Ramhurmuz selama 9 bulan” .
13. Atsar Al-Qomah  berkata, “Bahwasannya aku sholat di Khowarizm (Marwa) selama 2 tahun dengan qoshor” .
14. Atsar Hasan dan Abdurrohman bin Samuroh,  , ke Kabul (Afganistan) selama 2 tahun” .
15. Atsar Abu Hamzah Nashr bin Imron , ke Khurosan (Afganistan) selama 10 tahun” .
16. Atsar Abu Wa`il , ke Sicilia selama 2 tahun” .
17. Atsar Al-Qomah dan Ibnu Abi Syaibah, , ke Khowarizm (Marwa) selama 2 tahun” .

Penjelasan dan fatwa Syaikh Al-Albani dalam mengomentari hadits-hadits tersebut di atas adalah, “Yang saya yakini bahwa yang benar adalah seorang musafir yang datang pada suatu negeri untuk berdagang dan lain-lain, dan telah memperkirakan bahwa kebutuhannya memakan waktu tertentu, maka dia tidak bisa dikatakan seorang yang bermukim secara mutlak, tergantung daripada niatnya sebelumnya. Kalau memang dia tidak berniat bermukim maka dia wajib meng-qoshor sholatnya. Keterangan lamanya seseorang ber-safar sebanyak 4, 19, atau 20 hari, dan sebagainya tidak ada hubungannya dengan niat safar atau bermukimnya dia di suatu tempat, tetapi keadaan (status) bermukim (menetapnya) seorang musafir pada suatu tempat hanya tergantung pada niatnya seorang mukallaf (orang yang telah dikenai beban syar’iat, yakni seorang musafir) dan keadaan (diri)-nya selanjutnya . … dan yang saya yakini bahwa yang benar adalah pendapat yang menyatakan seorang musafir wajib meng-qoshor sholat dalam safar-nya dalam waktu tertentu, selagi niatnya tidak benar-benar ingin bermukim (menetap) di tempat tujuan (safar)-nya dan telah berada di luar daerah batas kota tempat tinggal asalnya, berdasarkan beberapa hadits shohih/hasan yang tidak saling bertentangan … . Penjelasan dan fatwa Syaikh Al-Albani tersebut secara tersirat juga didukung beberapa fatwa dari para ulama salaf mutakhirin lainnya, di antaranya Syaikh Bin Baz , , dan lain-lain (walaupun terkesan agak tersamar atau kurang tegas – pen.) .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar