Sabtu, 12 Desember 2009

BAB I
PENDAHULUAN


Alloh  senantiasa memilihkan yang terbaik untuk manusia, karena Dia Maha baik terhadap umat-Nya dan tidak akan pernah mencintai segala (amalan dan perbuatan) hamba-Nya kecuali terhadap yang baik daripadanya, dan semua hal kebaikan buat umat-Nya telah ditetapkan-Nya melalui fitrahnya yang murni dan syar’iat-syar’iat yang dibawa oleh para rosul-Nya . Kesemuanya itu merupakan materi kebaikan dan kebahagiannya untuk menjalani kehidupan di dunia dan di akhiratnya kelak.
Ad-Dien al-Islam merupakan kumpulan syar’iat yang mengacu pada hal penciptaan dan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan aturan dalam menjalani kehidupan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Tentunya hanya Alloh -lah yang mengetahui aturan yang paling tepat dan maslahat buat manusia sebab Dia-lah penciptanya, dan aturan tersebut adalah aturan yang dibawa oleh Nabi Muhammad  sebagai rosul (utusan)-Nya untuk kepentingan manusia.
Islam sangat memperhatikan fitrah murni manusia untuk mewujudkan keseimbangan dalam menjalani kehidupannya, karena Islam adalah ad-Dien yang lurus dan benar, serta semua syar’iat-nya sudah sempurna. Fitrah murni manusia yang telah ditetapkan Alloh  harus senantiasa dipelihara sesuai dengan ketetapan-Nya yang terkandung di dalam syar’iat Islam, sebagai perwujudan dari rasa syukur, ketundukan, dan peribadahan kepada-Nya.
Syar’iat Islam dan data studi medis telah menunjukkan bahwa seluruh proses pemeliharaan fitrah, kehidupan, dan kebahagiaan manusia sangat dipengaruhi dari keadaan hatinya. Keadaan hati pada manusia dapat menjamin kestabilan atau mempermudah terjadinya aktivitas, pengaturan, atau pengontrolan metabolisme di seluruh sel-sel tubuh, sehingga kelainan/penyakit yang terjadi pada hati ini dapat menimbulkan berbagai kelainan/penyakit pada tubuh .
Syar’iat Islam dan data studi medis juga telah menunjukkan bahwa pemeliharaan kondisi hati tersebut agar fitrah tubuh tetap murni dan sehat, serta pencegahan/pengobatan terhadap berbagai kelainan/penyakit pada tubuh yang dapat dihasilkannya, dapat dilakukan melalui beberapa usaha untuk senantiasa ber-taqwa dan beribadah kepada Alloh , serta melakukan pensucian hati/jiwa/diri (ber-tazkiyatun nufuz).
Safar (bepergian) merupakan salah satu kebutuhan yang sering kali muncul dalam hidup keseharian, baik itu hanya sekedar wisata atau tujuan lainnya, seperti mengunjungi sanak kerabat, mencari nafkah di negeri orang, atau lebih dari itu seperti untuk menuntut ilmu. Alloh  sebagai pembuat syar’iat Islam yang Maha mulia tidaklah lupa dalam masalah ini, hingga keringanan, kemudahan, dan karunia-Nya dapat kita ambil didalamnya, seperti meringkas (qoshor) dan menggabungkan (jama`) ibadah sholat, dan kemudahan-kemudahan dalam menjalankan ibadah-ibadah lainnya.
Ironisnya, ternyata sebagian besar dari manusia masih belum/tidak memahami dan mengamalkan bagaimana cara menunaikan sholat dan ibadah-ibadah lainnya secara benar ketika sedang bepergian (safar), paling maksimal sebagian daripadanya memahami penunaian sholat dan ibadah-ibadah lainnya hanya sebatas pada pengetahuan, hasil pemikiran (logika), dan pendapat-pendapat dari beberapa ulama yang jahil, taqlid buta terhadap mahdzab-nya, dan selalu menjadi ahli bid’ah/ahwa di antara umat-umatnya, sehingga amalan sholat dan ibadah-ibadahnya tidak akan menjadikan hati, jiwa dan tubuhnya menjadi stabil dan sehat, dan semua ibadah yang ditunaikannya tersebut akan menjadi sia-sia.
Adanya fakta inilah yang menjadikan perlunya pemberian pemahaman yang lebih jelas, benar, mendetail, dan ilmiah mengenai beberapa ketentuan dan hukum dalam penunaian beberapa ibadah, terutama ibadah sholat, dan hal-hal yang berhubungannya, ketika sedang bepergian (safar) menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shohih/hasan.





BAB II
Batasan Safar
Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah

I. Definisi safar
Kata safar menurut kaidah bahasa (etimologis) terambil dari kata bahasa ‘Arab “safaran” (), yang berarti nampak atau menampakkan , – bentuk kata jamaknya adalah asfaar. Dikatakan demikian karena kata “safar” tersebut menampakkan wajah, akhlaq, karakter, dan sifat asli seseorang, tempat, atau hal-hal yang belum dikenal sebelumnya ketika ber-safar. Sementara orang yang melakukan safar (bepergian) dinamakan musafir .
Hal tersebut juga dinyatakan dalam salah satu atsar dari sahabat Umar bin Khoththob , “Suatu ketika ada seseorang pernah berkata kepadanya, “Sesungguhnya si Fulan adalah orang yang jujur”. Lalu Umar bertanya kepadanya, “Apakah kamu pernah ”safar” dengannya?”. Jawabnya, “Tidak”. Kemudian Umar bertanya kembali kepadanya, “Pernahkah ada hubungan bisnis antara dirimu dengannya (ketika ”safar”)?”. Jawabnya, “Tidak”. Lalu Umar bertanya kembali, “Pernahkah kamu memberikan kepercayaan kepadanya?”. Jawabnya, “Tidak”. Kemudian Umar berkata kepadanya, “Berarti kamu tidak pernah ber-”safar” dengannya”.” . Atsar tersebut juga dikuatkan melalui fatwa dari salah satu ulama salaf, Shodaqoh bin Muhammad , yang pernah berkata, “Safar merupakan timbangan seseorang. Disebut safar karena ia menampakkan akhlaq (asli) seseorang” .

Kata safar menurut istilah bahasa (etimologis) adalah memotong jarak perjalanan, - yakni menempuh perjalanan, dan telah meninggalkan daerah batas desa (kota)-nya - , dengan maksud menuju suatu tempat tertentu . Kata safar secara istilah juga ada yang mengartikan menempuh perjalanan yang merubah hukum (syar’iat) dengan niatnya, sehingga menjadikan orang yang melakukannya dapat mengambil keringanan-keringanan syar’iat-nya .

Kata safar menurut pengertian syar’iat adalah meninggalkan tempat tinggal dengan niat berjalan atau untuk berusaha di jalan Alloh di muka bumi. Hal ini dinyatakan dalam beberapa firman Alloh , dalam beberapa kata di antaranya adalah :

     … 
Artinya: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, …” (QS. An-Nisaa` [4]; 101).

…    …    … 
Artinya: “ … terkecuali sekedar berlalu saja, … atau saat musafir …” (QS. An-Nisaa` [4]; 43).

…    … 
Artinya: “… atau dalam perjalanan …” (QS. Al-Baqoroh [2]; 184).

     ... 
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan …” (QS. Al-Baqoroh [2]; 283).
…    … 
Artinya: “… atau dalam perjalanan …” (QS. Al-Maidah[5]; 6).

...  … 
Artinya: “… dan perjalanan …” (QS. At-Taubah [9]; 42).

…     … 

Artinya: “… "Ya “Robb” kami jauhkanlah jarak perjalanan kami" …” (QS. Sabaa` [34]; 19).

…         … 
Artinya: “…orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Alloh …” (QS. Al-Muzammil [73]; 20).

…      … 
Artinya: “… jika kamu dalam perjalanan di muka bumi …” (QS. Al-Maidah [5]; 106).

…     … 
Artinya: “… apabila mereka mengadakan perjalanan di muka bumi …” (QS. Ali Imron [3]; 156).

…      ...
Artinya: “… mereka tidak dapat berjalan (berusaha) di muka bumi …” (QS. Al-Baqoroh [2]; 273).

…    … 
Artinya: “… yang kamu merasa ringan di waktu kamu berjalan …” (QS. An-Nahl [16]; 80).


II. Pembagian jenis safar menurut syar’iat Islam
Safar menurut syar’iat dibagi menjadi menjadi 5 macam, yaitu :
Safar yang haram, safar yang wajib, safar yang sunnah, safar yang boleh (mubah), dan safar yang makruh.
Ibnu Qoyyim menentukan 4 penyebab dilakukannya safar, yakni: Safar untuk hijrah, safar untuk ber-jihad, safar untuk melaksanakan ibadah umroh, dan safar untuk menunaikan ibadah haji . Sementara itu, menurut Ibnu Jauzi yang melatari safar ada 6 hal, yakni: Safar dari sari pati tanah ke tulang sulbi (tulang punggung), safar dari tulang sulbi ke (dalam) rahim, safar dari rahim ke dunia, safar dari dunia ke alam kubur, safar dari alam kubur ke Mauqif (Padang Mahsyar), dan safar dari Mauqif ke Surga atau Neraka .
Jumhur ulama berpendapat bahwa, “Orang yang bermaksiat dalam safar-nya tidak diperkenankan baginya untuk meng-qoshor sholatnya, mengusap bagian atas dari kedua sepatunya, dan berbuka puasa di bulan Romadhon. Sesungguhnya keringanan-keringanan tersebut hanya dapat diperoleh apabila safar-nya dilakukan dalam rangka menta’ati Alloh . Tidak sepatutnya mereka (para musafir) yang ber-safar untuk kemaksiatan tersebut mendapatkan keringanan dan kemudahan, sehingga dengan keringanan tersebut yang didapatnya sama dengan mendapatkan dukungan atas kemaksiatan yang dilakukannya.” .
Namun demikian, hampir tidak akan ditemukan satu dalil-pun dari pendapat jumhur ulama tersebut kecuali sebagian besar daripadanya merupakan pendapat murni, istihsan (anggapan), qiyas (analogi), dan penentangan/tidak berdasarkan pada nash-nash (dalil) Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shohih/hasan. Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shohih/hasan telah menerangkan wajibnya meng-qoshor sholat dan juga menjadikannya sebagai hak secara mutlak, baik safar dalam rangka keta’atan maupun kemaksiatan, sebagaimana kemutlakkannya diterangkan di antaranya dalam firman Alloh , “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qoshor sholatmu …” (QS. An-Nisaa` [4]; 101); dan hadits yang diriwayatkan dari A’isyah , “Rosululloh  bersabda, “Awalnya sholat fardhu’ itu diwajibkan 2 roka’at (kecuali sholat Maghrib), lalu 2 roka’at tersebut ditetapkan untuk sholat safar dan mukim, dan (selanjutnya) disempurnakan (menjadi 4 roka’at) di dalam sholat hadhor (sholat ketika tidak sedang ber-safar atau ketika sedang bermuqim)”.” .


III. Keadaan safar/musafir menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah
Banyak firman Alloh  dalam Al-Qur’an yang menjelaskan keadaan seorang musafir, di antaranya adalah :
…  …      … 
Artinya: “… dan perjalanan … tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka …” (QS. At-Taubah [9]; 42).

   …       
Artinya: “Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah (Musa kepada muridnya): "… Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini" ” (QS. Al-Kahfi [18]; 62).

   
Artinya: “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain” (QS. Alam Nashroh/Al-Inshiroh [94]; 7)

   
Artinya: “Dan subuh apabila mulai terang” (QS. Al-Mudatsiir [74]; 34).

Salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh , menggambarkan bagaimana keadaan seseorang yang sedang bepergian (safar), yakni Rosululloh  bersabda, “Safar (bepergian) adalah bagian dari adzab (siksaan Alloh), (yang dapat) menghambat seseorang dari makan, minum, dan tidurnya (yang nyenyak), maka apabila (seorang yang bepergian) telah selesai dari kebutuhannya hendaklah dia segera kembali ke keluarganya” .
Komentar dari Imam Al-Munawi dalam menjelaskan sebagian isi hadits tersebut adalah, “Dikatakan (bahwa bepergian adalah) sebagian dari adzab karena di dalam safar terdapat kesukaran, kelelahan, hembusan angin, cuaca yang dingin dan panas, rasa takut, bahaya yang mengancam, sedikit makan dan minum, dan berpisah dari orang-orang yang tercinta” , sementara itu komentar dari Al-Hafizh Ibnu Hajar Atsqolany dalam menjelaskan sebagian isi hadits tersebut adalah, “Maksud dari adzab (pada hadits tersebut) adalah rasa sakit yang timbul karena kesulitan/kesukaran yang didapatkan ketika berkendaraan atau berjalan”, dan Imam Haromain juga menjelaskan bahwa, “Dinamakan adzab karena ketika (sedang) ber-safar, dia berpisah dari orang-orang yang dicintainya” .
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah ketika menjelaskan sebagian isi hadits tersebut mengatakan bahwa, “Alloh  mengkhususkan kelonggaran bagi musafir (orang yang bepergian) dalam safar-nya, dia diperbolehkan berbuka (puasa) dan meng-qoshor sholatnya. Ini termasuk hikmah (karunia) dari (Alloh , Sang) Pembuat syar’iat. Karena safar itu sendiri pada dasarnya adalah sepotong dari adzab, sebab mengandung kepayahan dan kelelahan, meskipun orang yang melakukannya adalah orang yang paling senang hidupnya, maka (keadaannya) tetap dalam kesulitan dan kelelahan di tubuhnya. Sehingga termasuk rahmat dari Alloh  dan kebaikan-Nya kepada para hamba-Nya, Dia meringankan bagi mereka separuh sholatnya, (jadi) mereka cukup mengerjakan separuhnya saja. Alloh  tidak menghilangkan untuk mereka kemaslahatan ibadah dengan menggugurkannya secara penuh ketika safar, sebaliknya Dia juga tidak mengharuskannya secara penuh saat safar sebagaimana ketika ber-muqim. Adapun menetapnya dia (di tengah-tengah kepergiannya) tidak menyebabkan gugurnya kewajiban ibadah dan pengakhirannya. Apa yang dialaminya berupa kesulitan dan kesibukan, hal itu adalah perkara yang tidak tetap dan tidak terbatas. Sekiranya Dia (Alloh ) membolehkan bagi setiap orang yang sibuk dan orang yang mengalami kesukaran mengambil rukhshoh (keringanan dari Alloh ), niscaya kewajiban tersebut akan sia-sia dan hilang lenyap secara keseluruhan. Jika Dia membolehkannya terhadap sebagian hamba-Nya maka tidaklah hal tersebut bisa dijadikan sebagai pedoman, karena tidak ada sifat yang tetap yang boleh bersamanya rukhshoh dan yang tidak boleh, berbeda dengan safar” . Selanjutnya Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di juga menjelaskan sebagian dari isi hadits tersebut dengan mengatakan bahwa, “Termasuk kaidah syar’iat adalah kesulitan itu membawa kepada kemudahan. Sementara safar merupakan sepotong dari adzab, lantaran seorang hamba tercegah dari tidur, istirahat, dan ketenangannya, maka (Alloh , Sang) Pembuat syar’iat memberi keringanan kepadanya sampaipun sekiranya dia (musafir) terbebas dari kesulitan, karena hukum itu berkaitan dengan sebabnya secara umum, meski tertinggal (tidak dijumpai) pada sebagian bentuk dan individu” .


IV. Beberapa adab safar terbaik menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah
Beberapa adab safar terbaik menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shohih dan hasan, adalah sebagai berikut:
A. Ber-safar pada hari kamis.
Seperti ditunjukkan dalam hadits  Ka’ab bin Malik  berkata, “Adalah Rosululloh  berangkat pada hari kamis ketika perang Tabuk, dan beliau menyukai ber-safar (bepergian) pada hari kamis” .

B. Berpamitan sebelum ber-safar.
Seperti ditunjukkan dalam hadits  Abdullah Al-Khotmi  berkata, “Adalah Rosululloh  apabila hendak melepas keberangkatan bala tentaranya beliau berkata, “Astawdi’ulloohu diinakum wa amaanatakum wa khowaatiima a’maa lakum – Artinya: Kutitipkan agama dan amanah dan amalan terakhir dari kalian kepada Alloh”.” .

C. Berdo’a sebelum dan saat ber-safar.
Seperti ditunjukkan dalam hadits  Ibnu Umar  berkata, “Adalah Rosululloh  apabila hendak ber-safar dan telah berada di atas kendaraannya, dia berdo’a, “Alhamdulillah, Allohu Akbar 3x, Subhaanalladzi sakhkhorolanaa hadzaa wa maa kunnaa lahu muqriniina wa innaa ilaa robbinaa lamun qolibuun, Alloohumma inna nas`aluka fii safarinaa hadzal birro wattaqwaa wa minal ‘amali maa tardho, Alloohumma hawwin ‘alainaa safarinaa hadzaa wathwi ‘annaa ba’dahu, Alloohumma Antas shoohibu fis safari wal kholiifatu fil ahli, Alloohumma inni a’udzubika min wa’tsaa`is safari, wa kaabitil manzhur, wa suu`il munqolabi fil maali wal ahli,– Maha suci Alloh yang telah menundukkan semua ini buat kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, Ya Alloh kami mohon kebaikan dan taqwa dalam safar ini, dan dari amalan yang Engkau ridhoi, Ya Alloh mudahkanlah safar kami, dan dekatkanlah jarak yang jauh, Ya Alloh Engkaulah pendamping kami dalam safar, dan pengganti dalam keluarga, Ya Alloh aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan dalam safar, dari jeleknya penglihatan, dan jeleknya perubahan dalam harta dan keluarga”. Ketika setelah ber-safar dan sampai di tempat asalnya, membaca: “A`ibuuna taa `ibuuna ‘aabiduuna lirobbina haamiduun, - Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah, dan selalu memuji Robb kami”.” (redaksi do’a lainnya adalah: QS. Az-Zukhruf [43]: 13-14) .

D. Ber-safar dengan mengajak teman (tidak menyendiri).
Seperti ditunjukkan dalam hadits  Ibnu Umar  berkata, Rosululloh  bersabda, “Seandainya manusia mengetahui dalam kesendirian seperti yang aku ketahui, tentulah tidak akan ada orang yang pergi sendiri di malam hari (dalam riwayat lain: “Orang yang bepergian sendiri adalah syetan, orang yang bepergian berdua adalah syetan, dan orang yang bepergian bertiga adalah jama’ah”)” .

E. Ber-safar (bagi wanita) wajib dengan mahrom-nya (QS.An-Nur: 31).
Seperti ditunjukkan dalam hadits  Abu Huroiroh  berkata, Rosululloh  bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Alloh dan hari akhir untuk mengadakan safar (perjalanan) sehari semalam tanpa mahromnya” .

F. Ber-safar dengan mengangkat seorang pemimpin safar.
Seperti ditunjukkan dalam hadits  Abu Sa’id Al-Hudzri  berkata, Rosululloh  bersabda, “Apabila 3 orang hendak ber-safar maka jadikanlah salah seorang sebagai pemimpinnya” .

G. Ber-safar dengan meng-qoshor dan men-jama` sholat.
Seperti ditunjukkan dalam hadits  A’isyah berkata, Rosululloh  bersabda, “Awalnya sholat fardhu’ itu diwajibkan 2 roka’at (kecuali sholat Maghrib), lalu 2 roka’at tersebut ditetapkan untuk sholat safar dan mukim, dan (selanjutnya) disempurnakan (menjadi 4 roka’at) di dalam sholat hadhor (sholat ketika tidak sedang ber-safar atau ketika sedang bermuqim) – Dalam riwayat lain dari Ibnu Umar , dia berkata, “Adalah Rosululloh  apabila safar memberatkannya, beliau menjama` sholat Maghrib dan Isya`”.” .

H. Ber-safar dengan mengusahakan sholat fardhu’ tidak di atas kendaraan.
Seperti ditunjukkan dalam hadits  Ibnu Umar  berkata, “Adalah Rosululloh  sholat malam dan witir di atas kendaraannya, selain sholat wajib. Beliau berisyarat dan menghadap ke arah mana kendaraannya menuju” .

I. Mohon perlindungan kepada Alloh  ketika singgah di suatu tempat.
Seperti ditunjukkan dalam hadits  Rosululloh  bersabda, “Apabila seseorang mendatangi suatu tempat, baik dia sedang safar atau tidak, hendaklah membaca do’a, “A’udzubi kalimatillaahit taa~mmah min syarri maa kholaq – Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Alloh yang sempurna dari keburukan-keburukan yang diciptakan”. Maka barang siapa yang membacanya tidak akan membahayakannya sesuatu apapun hingga ia berpindah dari tempat tersebut” .

J. Segera kembali (pulang) setelah menyelesaikan kebutuhan.
Seperti ditunjukkan dalam hadits  Rosululloh  bersabda, “Apabila salah seorang telah selesai dari kebutuhannya (ketika ber-safar) maka segeralah kembali kekeluarganya” .
K. Berangkat safar pada waktu pagi atau awal siang hari,
Seperti ditunjukkan dalam hadits  Rosululloh  bersabda, “Wahai Alloh, berikanlah keberkahan pada umatku pada waktu pagi hari” .

dan dibencinya kembali (pulang) ke keluarga pada malam hari.
Seperti ditunjukkan dalam hadits  Jabir bin Abdullah  berkata, “Rosululloh  melarang seseorang (yang pulang dari safar-nya) datang kekeluarganya di waktu malam hari” .

L. Saat pulang, sholat sunnah 2 roka’at di masjid yang terdekat dengan rumah, sebelum tiba di rumah.
Seperti ditunjukkan dalam hadits  Ka’ab bin Malik  berkata, “Adalah Rosululloh  apabila datang dari “safar”-nya pagi hari beliau sholat 2 roka’at di masjid sebelum duduk (tiba di rumahnya)” .


V. Jarak safar menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah
Beberapa hadits dan atsar yang shohih/hasan, serta ijma’ para jumhur ulama salaf terdahulu menunjukkan bahwa ketetapan jarak untuk ber-safar tidak dijadikan sebagai pedoman umum/mutlaq. Namun demikian penentuannya secara umum hanya didasarkan pada urf (kebiasaan) berpergiannya Rosululloh  dan para sahabatnya  dahulu, yakni berdasarkan ketentuan sudah melewati batas daerah (kota) tempat tinggal asalnya (Lihat lampiran 1) .
Dalam permasalahan ini telah terjadi perselisihan sengit di antara kalangan para ulama . Al-Albani berkata, “Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap penamaan yang tidak ada batas tertentu baginya dalam kaidah bahasa dan syar’iat maka dikembalikan kepada pengertian ‘urf (adat kebiasaan orang-orang ‘Arab terdahulu) mengenai safar (bepergian) yang juga dikenal oleh kebanyakan orang, di mana Alloh  mengaitkannya dengan suatu hukum(-Nya)”. Namun apa yang kami sebutkan dari pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim (Zaadul Ma’ad, I/189) merupakan pendapat yang paling rojih (kuat), mendekati kebenaran, dan lebih sesuai dengan kemudahan Islam” .


VI. Batas daerah awal/akhir safar menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah
Batas daerah awal/akhir safar menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah, “Permulaan bolehnya seorang musafir meng-qoshor sholatnya dimulai ketika sudah meninggalkan daerah (kota) tempat tinggal asalnya (walaupun dinding-dinding atau kebun-kebun bersambung dengan dinding perbatasan negeri atau kota, dan/ telah meninggalkan bangunan kota, maka diperbolehkan untuk meng-qoshor sholatnya) , dan juga tidak boleh menunaikan sholat secara sempurna sebelum memasuki daerah (kota) tempat tinggal asalnya tersebut” (Lihat lampiran 1) .


VII. Lamanya safar menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah
Lamanya ber-safar bagi seorang musafir menurut pendapat yang rojih (kuat) dan mendekati kebenaran secara syar’iat dan ilmiyah menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah dari Rosululloh  dan para sahabatnya , insya Alloh dan wa Allohu A’lam, adalah bahwa, “Seorang musafir yang sedang ber-safar meninggalkan batas kota tempat tinggal asalnya untuk suatu keperluan, akan dianggap ber-safar atau musafir menurut syar’iat dalam waktu yang tidak terbatas (baik sebentar maupun bertahun-tahun) selama dia tidak berniat bermukim atau menikah/berkeluarga atau menetap untuk selamanya di tempat tujuan safar-nya”. Hal ini berdasarkan firman Alloh  dan beberapa hadits shohih/hasan dari Rosululloh  dan para sahabatnya , (lihat lampiran 1).
Panduan Praktis

1. Kata safar menurut kaidah bahasa (etimologis) terambil dari kata bahasa ‘Arab yang berarti nampak atau menampakkan, sementara orang yang melakukan safar dinamakan musafir. Seseorang yang bepergian dapat dikatakan musafir karena dia maupun jati dirinya yang sebenarnya dapat dikenal banyak orang, dan dia juga akan mengenal tempat atau hal-hal yang belum dikenal sebelumnya. Kata safar secara istilah juga ada yang mengartikan menempuh perjalanan yang merubah hukum (syar’iat) dengan niatnya, sehingga menjadikan orang yang melakukannya dapat mengambil keringanan-keringanan syar’iat-nya.
2. Kata safar menurut pengertian syar’iat adalah meninggalkan tempat tinggal dengan niat berjalan atau untuk berusaha di muka bumi.
3. Safar menurut sebagian ulama dibagi menjadi menjadi 5 macam, yaitu safar yang haram, safar yang wajib, safar yang sunnah, safar yang boleh (mubah), dan safar yang makruh.
4. Keadaan safar/musafir menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah berada dalam sebagian dari adzab (siksaan Alloh), (yang dapat) menghambat seseorang dari makan, minum, dan tidurnya (yang nyenyak), maka apabila (seorang yang bepergian) telah selesai dari kebutuhannya hendaklah dia segera kembali ke keluarganya.
5. Beberapa adab safar terbaik menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shohih dan hasan, adalah sebagai berikut:
a. Ber-safar pada hari kamis.
b. Berpamitan sebelum ber-safar.
c. Berdo’a sebelum dan saat ber-safar.
d. Ber-safar dengan mengajak teman (tidak menyendiri).
e. Ber-safar (bagi wanita) wajib dengan mahrom-nya.
f. Ber-safar dengan mengangkat seorang pemimpin safar.
g. Ber-safar dengan meng-qoshor dan men-jama` sholat.
h. Ber-safar dengan mengusahakan sholat fardhu’ tidak di atas kendaraan.
i. Mohon perlindungan kepada Alloh  ketika singgah di suatu tempat.
j. Segera kembali (pulang) setelah menyelesaikan kebutuhan.
k. Berangkat safar pada waktu pagi atau awal siang hari dan dibencinya kembali (pulang) ke keluarga pada malam hari.
l. Saat pulang, sholat sunnah 2 roka’at di masjid yang terdekat dengan rumah, sebelum tiba di rumah.
6. Beberapa hadits dan atsar yang shohih/hasan, serta ijma’ para jumhur ulama salaf terdahulu menunjukkan bahwa ketetapan jarak untuk ber-safar tidak dijadikan sebagai pedoman umum/mutlaq. Namun demikian penentuannya secara umum hanya didasarkan pada urf (kebiasaan) berpergiannya Rosululloh  dan para sahabatnya  dahulu, yakni berdasarkan ketentuan sudah melewati batas daerah (kota) tempat tinggal asalnya.
7. Batas daerah awal/akhir safar menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah, “Permulaan bolehnya seorang musafir meng-qoshor sholatnya dimulai ketika sudah meninggalkan daerah (kota) tempat tinggal asalnya, dan juga tidak boleh menunaikan sholat secara sempurna sebelum memasuki daerah (kota) tempat tinggal asalnya tersebut”.
8. Lamanya safar menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pendapat yang rojih (kuat) dan mendekati kebenaran secara syar’iat dan ilmiyah menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah dari Rosululloh  dan para sahabatnya , insya Alloh dan wa Allohu A’lam, adalah bahwa, “Seorang musafir yang sedang ber-safar meninggalkan batas kota tempat tinggal asalnya untuk suatu keperluan, akan dianggap ber-safar atau musafir menurut syar’iat dalam waktu yang tidak terbatas (baik sebentar maupun bertahun-tahun) selama dia tidak berniat bermukim atau menikah/berkeluarga atau menetap untuk selamanya di tempat tujuan safar-nya”.
BAB III
Ketentuan dan Hukum Safar
Terhadap Syar’iat Ibadah Lainnya


I. Ketentuan dan hukum safar terhadap ber-thoharoh (bersuci)
I.a. Ber-wudhu’.
 Musafir dianjurkan senantiasa bersuci/ber-wudhu’ dalam safar-nya.
Seperti ditunjukkan dalam hadits 
Abu Huroiroh  berkata, “Ketika kami tertidur dalam safar kami bersama Rosululloh , dan tidaklah kami terbangun kecuali ketika matahari telah terbit … Rosululloh  bersabda, “Hendaklah setiap orang membawa kendaraannya, sesungguhnya tempat ini telah dihadiri syetan di dalamnya … kemudian beliau  meminta air dan ber-wudhu’, kemudian sholat 2 roka’at dan sholat shubuh’”.” .
Abu Qotadah  berkata, “… ketika telah bangun dari tidur dalam safar-nya kemudian Rosululloh  bersabda, “… Semoga Alloh menjagamu sebagaimana kamu telah menjaga Nabi-Nya” … Lalu beliau  meminta tempat air untuk ber-wudhu’, beliau  pun lantas ber-wudhu’ dengan air tersebut.” .

 Musafir yang berada di laut, dibolehkan ber-wudhu’ dengan air laut.
Seperti ditunjukkan dalam hadits  Abu Huroiroh  berkata, “… Rosululloh  bersabda, “(Air laut itu) Suci airnya dan halal bangkainya”.” .

 Musafir diperbolehkan ketika ber-wudhu’ mengusap kedua bagian atas sepatu dan kaus kakinya selama safar-nya, dan dengan ketentuan bahwa waktu safar-nya masih dalam waktu 3 hari 3 malam. Bila melebihinya atau sejak awal sudah berniat untuk mukim, maka hanya 1 hari 1 malam batas waktu yang diberikan untuk mengusap sepatunya.

Seperti ditunjukkan dalam hadits 
Ali bin Abi Tholib  berkata, “Andaikan agama ini dengan akal pastilah yang lebih utama pengusapan itu ada pada bagian bawah dari sepatu, (tetapi) sungguh aku telah melihat Rosululloh  mengusap bagian atas dari sepatunya” .
Riwayat dari Abi ‘Ammaroh , “Aku bertanya pada Rosululloh , “Apakah aku mengusap sepatu ?”. Rosululloh  menjawab, “Ya !”. Aku bertanya kembali padanya, “Sehari atau 2 hari ?”. Rosululloh  menjawab kembali, “Ya !”. Dan aku bertanya kembali kepadanya, “Tiga hari ?”. Rosululloh  menjawab kembali, “Ya, dan sesuai dengan yang kamu kehendaki (berapa lama kamu akan bersafarnya)”.” .
Adapun atsar dari Al-Juhani  ketika ditanya Umar bin Khoththob , “Sejak kapan kamu tidak melepaskan kedua sepatumu ?” Al-Juhani menjawab, “Dari hari Jum’at yang lalu ke Jum’at yang ini” Umar berkata, “Kamu telah menyesuaikan dengan sunnah”.”, adalah dho’if.

I.b. Ber-tayamum.
 Musafir ber-tayamum dalam safar-nya ketika tidak menjumpai air, baik dalam keadaan junub, haidh, maupun seperti biasanya.
Dinukil dari firman Alloh  
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan (bersenggama), lalu kamu tidak memperoleh air, maka ber-tayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Alloh tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Maidah [5]: 6);
“Hai orang-orang yang beriman, … (jangan pula kamu hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja (dalam keadaan ber-safar/musafir), hingga kamu mandi. dan jika kamu … sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air (kakus) atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Alloh Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisaa` [4]: 43),
serta beberapa hadits, yang di antaranya diriwayatkan dari 
A’isyah berkata, “… Rosululloh  bangun … lantas dia menerima dan menjelaskan turunnya ayat ber-tayamum dari Alloh … Maka serentaklah kami semua ber-tayamum” ,
dan Syaqiq , dia berkata, “Pernah aku duduk bersama Abdullah dan Abu Musa Al-Asy’ari … Berkatalah Abu Musa, “… Rosululloh  bersabda, “Bahwasannya sangat cukup bagimu (wahai Ammar) untuk melakukan hal yang demikian itu (yakni bergulung-gulung di tanah seperti mandinya kucing). Kemudian beliau memukulkan kedua telapak tangannya sekali ke tanah kemudian dia mengebutkan (meniupkankan)-nya, kemudian mengusapkan telapak tangannya tersebut ke punggung telapak tangan kanannya dengan telapak tangan kirinya lalu punggung tangan kirinya dengan telapak tangan kanannya, setelah itu dia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya (tersebut) ”.”.” .

I.c. Mandi junub/wajib.
 Musafir mandi dari keadaan junub-nya.
Seperti ditunjukkan dalam hadits  Imron bin Husain  berkata, “… Rosululloh  bersabda, “… Pergilah, gunakan air (pemberianku) ini untukmu mandi jinabah”.” .

 Wanita yang sedang mengalami haidh dalam safar-nya, apabila dia telah suci, hendaklah dia mengurai rambutnya sebelum dan sesudah mandinya , dan menyisirkan (menyela-nyelai)-nya ketika sedang mandi wajibnya (mencuci haidh-nya) tersebut.
Seperti ditunjukkan dalam hadits 
A’isyah berkata kepada Rosululloh (setelah bersuci sehabis haidh-nya pada malam Arofah), “… Rosululloh  bersabda, “Uraikan rambut kepalamu, sisirlah, dan tahanlah umrohmu, serta ber-tahalullah dengan berhaji”.” .
A’isyah dan Maimunah,  berkata, “… Seseorang yang hendak mandi haidh atau junub, hendaklah menyela-nyelai rambut secara merata, lalu menyiramkan (air) ke kepalanya 3 kali, (dengan air) sepenuh 2 telapak tangan” ,
A’isyah berkata, “Kami (para isteri Nabi ) apabila salah seorang di antara kami junub, maka dia mengambil (air) dengan kedua telapak tangannya 3 kali lalu menyiramkannya di atas kepalanya, kemudian dia mengambil air dengan satu tangannya lalu menyiramkannya ke bagian tubuh yang kanan dan dengan tangan yang lain (lalu menyiramkannya) ke bagian tubuh yang kiri dan bagian tengahnya” ,
dan A’isyah berkata, Rosululloh  berkata kepadanya (ketika dia telah suci haidh), “… Bukalah (uraikanlah) rambutmu dan mandilah” .

 Musafir jika berada di hari Jum’at, harus mandi wajib.
Seperti ditunjukkan dalam hadits 
Ibnu Umar  berkata, “… Rosululloh  bersabda, “Barang siapa yang kedatangan Jum;at (pada dirinya) maka mandilah”.”, Ibnu Umar  berkata, “… Rosululloh  bersabda, “Barang siapa yang kedatangan Jum;at (pada dirinya) maka mandilah”.” ,
dan Abu Sa’id Al-Khudri  berkata, Nabi  bersabda, “Mandi hari Jum’at hukumnya wajib bagi setiap orang yang telah baligh” .




















II. Ketentuan dan hukum safar terhadap sholat (fardhu’ dan sunnah)
II.a. Persiapan sholat.
II.a.1. Ber-adzan dan/ ber-iqomah .
 Musafir dapat mengumandangkan adzan atau iqomah .

II.a.2. Tempat sholat .
 Haram sholat di masjid yang dibangun (terdapat) di dalamnya kuburan para Nabi, termasuk kuburan Nabi  .
 Haram sholat di tanah kuburan yang sudah jelas dijadikan tempat pemakaman .
 Haram sholat jenazah dengan keadaan jenazahnya berada di sisi kiblat (Ka’bah atau di dalam masjid) orang-orang yang mensholatkannya .
 Haram sholat di masjid yang berada di sekitar kuburan (walaupun antara masjid dan kuburannya dipisahkan oleh dinding) .
 Haram sholat di dalam masjid yang dibangun di sekitar kuburan (hal ini bersifat umum pada segala keadaan, baik kuburannya ada di depan, di belakang, atau di samping kanan/kiri masjid) .

II.a.3. Menghadap kiblat atau sesuai dengan arah kendaraannya .

II.a.4. Menggunakan pakaian sesuai dengan syar’iat .
II.a.5. Ber-sutroh .


II.b. Sholat.
Beberapa penjelasan dan fatwa dari jumhur ulama yang paling rojih (kuat), mendekati kebenaran secara ilmiyah menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shohih/hasan, serta sesuai dengan kaidah kemudahan dalam syar’iat Islam, di antaranya ditunjukkan oleh Syaikh Al-Albani , dalam menjelaskan hal-hal berkaitan dengan penunaian ibadah sholat fardhu’ ketika ber-safar, yakni:
“Yang saya yakini bahwa yang benar adalah Sang pembuat syar’iat Yang Maha Bijaksana telah menggugurkan (kewajiban) bagi seorang musafir untuk menyempurnakan sholatnya, menunaikan sholat berjama’ah dengan penduduk mukim setempat dan/ sholat Jum’at, dan berpuasa. Meskipun demikian dapat kukatakan bahwa jika seorang musafir mendapatkan pada suatu masjid faedah dan manfa’at, maka lebih utama dan wajib baginya sholat di masjid untuk sholat berjama’ah bersama-sama dengan teman-teman sesama musafir-nya, jika tidak diperkirakan tidak ada faedah dan manfa’atnya maka lebih utama dan mudah baginya untuk sholat di rumah. Namun, semua hal tersebut yang saya yakini adalah bahwa yang benar adalah pendapat yang menyatakan seorang musafir wajib meng-qoshor sholat dalam safar-nya dalam waktu tertentu, selagi niatnya tidak benar-benar ingin bermukim (menetap) di tempat tujuan (safar)-nya dan telah berada di luar daerah batas kota tempat tinggal asalnya, berdasarkan beberapa hadits shohih/hasan yang tidak saling bertentangan dan juga telah dipaparkan oleh jumhur ulama, di antaranya oleh Asy-Syaukani dalam kitab-kitabnya, As-Sailul Jaror (I/306-307) dan Nailul Author (III/83), dan hadits shohih yang diriwayatkan oleh A’isyah , “Awalnya sholat fardhu’ itu diwajibkan 2 roka’at (kecuali sholat Maghrib), lalu 2 roka’at tersebut ditetapkan untuk sholat safar dan mukim, dan (selanjutnya) disempurnakan (menjadi 4 roka’at) di dalam sholat hadhor (sholat ketika tidak sedang ber-safar atau ketika sedang bermuqim)”.” . Begitu juga seorang musafir disunnahkan untuk tidak menunaikan (dimakruhkan untuk menunaikan) sholat Jum’at, namun demikian hukumnya menjadi bid’ah bila dia melakukan sholat fardhu’ (wajib) yang lima bermakmum dengan penduduk mukim setempat, disebabkan oleh tidak ada satupun riwayat Nabi  melakukan sholat Jum’at (walaupun ada riwayat shohih yang menunjukkan bahwa ada para utusan dengan keadaannya yang musafir ikut sholat Jum’at bersama Nabi , tetapi Nabi  tidak melarangnya) dan bermakmum dengan penduduk mukim setempat ketika safar-nya, seperti ditegaskan dalam beberapa hadits Nabi  di antaranya ketika beliau menunaikan haji wada’-nya , namun demikian, apabila keadaannya seorang musafir tidak mengetahui dan/ tidak sengaja berjama’ah dengan penduduk mukim setempat, maka dia harus menyempurnakan sholatnya (berdasarkan keumuman hadits Nabi , “Dijadikannya seorang imam untuk diikuti” ; dan perkataan Ibnu Abbas , “Demikianlah itu merupakan sunnah Abul Qosim , yakni musafir menyempurnakan sholatnya apabila menjadi makmum dari penduduk yang bermukim. Dia menyempurnakan sholatnya bukan mengqoshornya” ), dan hal tersebut merupakan pendapat imam empat mahdzab”. Adapun beberapa riwayat, di antaranya yang berasal dari sahabat ‘Utsman bin Affan  dan A’isyah , tidak dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman) untuk membolehkan seorang musafir bermakmum dengan penduduk mukim setempat, disebabkan karena beberapa riwayat tersebut mauquf, dho’if (lemah) dan masih dalam perdebatan para ulama terhadapnya, bertentangan dengan nash-nash (dalil) yang shohih/hasan dari Rosululloh , dan telah mendapat kritikan yang bermakna dari beberapa sahabat lainnya, di antaranya kritikan melalui riwayat beristirja’nya Ibnu Mas’ud  ketika beliau bermakmum kepada ‘Utsman bin Affan  saat safar-nya. Sementara itu, dalam kaitannya dengan men-jama` ketika ber-safar, seorang musafir tidak disunnahkan untuk melakukannya, dikarenakan menurut syar’iat ketentuan men-jama` bukanlah menjadi sunnah dalam ber-safar sebagaimana meng-qoshor, namun demikian ketentuan men-jama` hanya sunnah dan/ diperuntukkan bila mendapatkan suatu kesibukan atau keperluan yang sangat penting untuk kemaslahatan umat dan dirinya menurut syar’iat. Di samping itu Rosululloh  dalam safar-nya lebih sering tidak men-jama` dalam sholat-sholat fardhu’-nya. Kemudian Rosululloh  dalam safar-nya hanya selalu menunaikan sholat sunnah fajar, witir, sholat sunnah tahiyatul masjid, sholat sunnah mutlak, dan sholat sunnah 2 roka’at (di masjid yang terdekat dengan rumahnya) ketika telah tiba di tempat asal setelah ber-safar (sebelum tiba di rumahnya) dalam sholat-sholat sunnah-nya, sementara sholat-sholat sunnah dan rowatib selainnya tidak pernah dituntunkan oleh beliau  sebelumnya dalam safar-nya .

II.b.1. Sholat fardhu’ sendiri.
 Seorang musafir wajib untuk meng-qoshor sholatnya .
 Seorang musafir bila lupa tidak menunaikan sholat ketika dia sedang bermukim sebelum safar-nya kemudian dia teringat ketika dalam safar-nya, maka dia meng-qoshor sholatnya yang tertinggal tersebut ketika sedang berada dalam safar-nya .
 Seorang musafir bila lupa tidak menunaikan sholat ketika dia sedang dalam safar-nya kemudian dia teringat ketika telah tiba di tempat mukimnya, maka dia meng-qoshor sholatnya yang tertinggal tersebut ketika dia telah tiba di tempat tinggal (mukim) asalnya.
 Seorang musafir bila menyegajakan diri tidak menunaikan sholat ketika dia sedang dalam safar-nya kemudian dia berniat meng-qoshor sholat (yang disengajakannya tidak dilakukannya tersebut) ketika telah tiba di tempat mukimnya, maka dia wajib menyempurnakan sholatnya yang tertinggal tersebut ketika dia telah tiba di tempat tinggal (mukim) asalnya.
 Seorang musafir yang lupa dengan menyempurnakan sholat (seperti: dia sholat 4 roka’at pada sholat zhuhur, ashar, atau isya’) dalam safar-nya, kemudian dia teringat bahwa dia sedang ber-safar, maka dia dianggap sah untuk sholat sempurna yang telah dikerjakannya tersebut , dan kelupaannya tersebut insya Alloh tidak menjadikannya dosa (telah berbuat bid’ah) kepada-Nya dengan ketentuan jangan mengulanginya kembali (ber-taubat) , dan apabila waktu sholatnya masih memadai hendaklah dia mengulangi sholatnya tersebut dengan mengqoshornya atau teringat ketika masih di dalam sholat hendaknya langsung menyelesaikan sholatnya dengan melakukan sujud sahwi sebelum salam-nya , tetapi jika waktu sholatnya telah berlalu tidak mengapa baginya untuk tidak mengulangi (untuk meng-qoshor sholat)-nya kembali .
 Seorang musafir ketika dia sedang dalam safar-nya kemudian dia teringat bahwa ada suatu hal/keperluan yang tertinggal di tempat mukimnya dan pada saat yang bersamaan (ketika tiba di tempat mukimnya) dia menjumpai waktu sholat (padahal dia hanya sekedar ingin mengambil apa yang diperlukannya lalu dia melanjutkan safar-nya kembali), maka dia tidak boleh meng-qoshor sholatnya sampai dia meninggalkan batas kota tempat mukim asalnya .
 Seorang musafir ketika dia sedang dalam safar-nya kemudian dia melewati/singgah di sebuah kota tempat tinggal sebagian keluarganya (yakni hanya istri dan anak-anaknya) juga, maka dia harus menyempurnakan sholatnya, baik di rumah keluarga tempat mukim asalnya maupun di rumah (tempat istri dan anaknya yang lain) pada persinggahan dalam safar-nya. Hal ini sesuai dengan makna firman Alloh , “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qoshor sholatmu …” (QS. An-Nisaa` [4]: 101); dan hadits Nabi  yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh , “Safar itu bagian dari adzab yang mencegah salah seorang (musafir) dari kalian tidur, makan, dan minumnya, maka apabila salah seorang dari kalian telah menyelesaikan keperluannya hendaklah segera kembali ke keluarganya” ; dan beberapa hadits lainnya yang menguatkan riwayat tersebut , dengan ketentuan tempat tinggal keluarga persinggahan saat safar-nya tersebut bukan bekas tempat tinggalnya atau keluarganya (seperti tempat tinggal orang tuanya) sebelum hijrah-nya (untuk menetap bersama keluarga, istri, dan/ anaknya di tempat mukim asalnya pada saat ini) .
 Seorang musafir yang sudah meng-jama`-qoshor sholatnya dalam safar-nya di awal waktu (jama`-qoshor taqdiim), kemudian ketika telah tiba di tempat tinggal (mukim) asalnya, dia mendapati awal masuknya (adzan-nya) satu sholat terakhir yang sebelumnya telah dia lakukan jama`-qoshor-nya ketika ber-safar sebelumnya, maka dia wajib mengikuti sholat terakhir tersebut secara sempurna ketika dia telah berada di pemukiman asalnya .
 Seorang musafir hendak ber-safar ketika tiba waktu sholat yang panjang waktunya (seperti: zhuhur, ashar, atau isya’), kemudian dia sengaja meninggalkan sholat tersebut untuk ber-safar, maka seorang musafir tersebut tidak perlu menunggu datangnya waktu sholat tersebut dan bila safar-nya telah melewati batas kotanya maka dia wajib meng-qoshor sholatnya . Begitu juga adanya dengan waktu sholat Jum’at, dia tidak perlu menunggu datangnya waktu sholat atau berakhirnya hari Jum’at terlebih dahulu , namun demikian apabila adzan sholat Jum’at telah dikumandangkan maka dia wajib menghadiri sholat Jum’atnya tersebut terlebih dahulu di tempat mukim asalnya .
 Seorang musafir ber-safar karena menjadikannya sebagai suatu pekerjaan atau profesinya, maka dia meng-qoshor sholatnya dan boleh berbuka di bulan Romadhon secara terus-menerus .
 Seorang musafir ber-safar karena menjadikannya sebagai suatu tempat tinggal (bermukim), pekerjaan, dan/ harta-keluarganya (seperti: tinggal di mobil karavan atau kapal laut), maka dia menyempurnakan sholatnya dalam safar-nya tersebut .
 Seorang musafir ber-safar hanya karena menjadikannya sebagai suatu ritual ibadah (seperti manasik haji), maka keyakinannya tersebut salah, dan sebenarnya adalah ketentuan meng-qoshor sholat untuk seorang musafir tidak hanya sebatas ritual ibadah dalam manasik haji .
 Seorang musafir bila mempunyai suatu kesibukan dan/ keperluan yang sangat mendesak menurut syar’iat, disunnahkan untuk men-jama` sholatnya .
 Seorang musafir men-jama` sholatnya, sebaiknya mengikuti sunnah-sunnah Nabi  ketika beliau men-jama`-qoshor sholat dalam safar-nya, yakni seperti men-jama`-qoshor di antara 2 sholat, men-jama` taqdim/takhir (baik ketika sedang dalam safar-nya ataupun ketika sedang singgah di suatu tempat dalam safar-nya), dan sebagainya.

II.b.2. Sholat fardhu’ (wajib) berjama’ah.
 Seorang musafir bermakmum dengan orang yang tidak diketahui statusnya sebagai seorang musafir atau bermukim, dan memulai sholat berjama’ahnya pada 2 roka’at terakhir dari sholat ruba’iyah (sholat yang pada awal perintahnya adalah 2 roka’at-2 roka’at, termasuk sholat qoshor ketika ber-safar), maka keadaan dan jumlah roka’at sholatnya mengikuti imamnya.
 Seorang musafir bermakmum dengan orang yang sesama musafir, tetapi belakangan diketahui imamnya mengerjakan sholat dengan jumlah roka’at sempurna, maka sholatnya sah (dengan mengikuti imamnya) dan dia tidak dianggap melakukan perbuatan dosa bid’ah secara disengaja .
 Seorang musafir bermakmum dengan penduduk setempat yang bermukim, maka sholatnya sah tetapi dia melakukan perbuatan dosa bid’ah.
 Seorang musafir menjadi imam dari orang yang sesama musafir, maka maka sholatnya sah.
 Seorang musafir menjadi imam dari penduduk setempat yang bermukim, maka maka sholatnya sah, harus di-qoshor, dan sebelum memulai sholat jama’ah-nya dia harus mengatakan pada para makmumnya yang juga merupakan penduduk mukim setempat, “… Sholatlah kalian dengan sempurna, sesungguhnya kami adalah kaum musafir” - (seperti yang dikatakan Rosululloh  kepada penduduk Mekkah ketika penaklukan kota Mekkah, melalui hadits yang diriwayatkan oleh Imron bin Husain , “Wahai penduduk Mekkah, sholatlah 4 roka’at, sesungguhnya kami adalah kaum musafir” ).
 Seorang musafir menjadi imam dari penduduk setempat yang bermukim atau yang sesama musafir, kemudian dia mendapatkan udzur yang mengharuskannya keluar dari sholatnya dan digantikan oleh makmumnya dari penduduk setempat yang mukim, maka orang-orang musafir yang telah berimam secara langsung kepadanya harus menyempurnakan sholatnya karena mengikuti imam dari penduduk mukim setempat .
 Seorang musafir dengan penduduk setempat yang bermukim, maka yang ditunjuk sebagai imamnya adalah ditentukan berdasarkan ketentuan syar’iat Islam dalam menentukan seorang imam .

II.b.3. Sholat Jum’at.
 Seorang musafir dimakruhkan untuk menunaikan sholat Jum’at .
 Seorang musafir dapat ber-safar pada hari Jum’at dan disunnahkan untuk tidak menunggu datangnya waktu sholat Jum’at terlebih dahulu, namun demikian apabila adzan sholat Jum’at telah dikumandangkan maka dia wajib menghadiri sholat Jum’atnya tersebut terlebih dahulu sebelum ber-safar .
 Seorang musafir diperbolehkan mengikuti sholat Jum’at hanya dengan niat menunaikan sholat zhuhur di dalamnya, dan bila dalam keadaan sibuk seorang musafir dapat men-jama` sholat zhuhurnya tersebut dengan sholat ashar ketika orang-orang mukim lainnya telah selesai menunaikan sholat jum’atnya. (Catatan: Ketentuan ini juga berlaku pada orang-orang yang mukim [bukan musafir] yang akan men-jama` sholat jum’atnya dengan sholat ashar,hanya secara jamak taqdim (di waktu setelah selesai sholat Jum'at); baik karena keadaan udzur menurut syar’iat Islam dan adanya kesibukan untuk kemaslahatan umat , sehingga niat penunaian sholat jum’atnya telah berubah dengan penunaian sholat secara jama` taqdim dengan sholat ashar (setelah sholat Jum'atnya diniatkan hanya di dalam hati, bukan dilafadzkan).

II.b.4. Sholat ‘Ied (hari raya).
 Seorang musafir sangat dianjurkan untuk tidak menunaikan sholat ‘Ied (karena tidak adanya tuntunan Rosululloh ) , namun tidak ada larangan baginya untuk menunaikannya disebabkan oleh terdapat beberapa riwayat dari para sahabat  yang pernah menunaikan sholat ‘Ied di dalam safar-nya dan dalam beberapa riwayat yang shohih/hasan belum pernah ter-nukil larangan dari Rosululloh mengenainya secara jelas .

II.b.5. Sholat sunnah rowatib dan witir.
 Seorang musafir sangat disunnahkan untuk menunaikan hanya sholat sunnah qoubliyah shubuh dan witir, disebabkan tidak ada satupun riwayat yang shohih/hasan bahwa Rosululloh  menunaikan sholat-sholat sunnah rowatib lainnya selain kedua sholat rowatib tersebut di dalam safar-nya .

II.b.6. Sholat sunnah tahiyatul masjid.
 Seorang musafir sangat disunnahkan untuk menunaikan sholat sunnah tahiyatul masjid .

II.b.7. Sholat sunnah lainnya.
 Seorang musafir disunnahkan untuk menunaikan sholat sunnah mutlaq (sholat sunnah yang tidak ditetapkan niatnya secara syar’iat), di antaranya adalah sholat sunnah 2 roka’at ketika telah tiba dari ber-safar di masjid terdekat dari tempat mukim asalnya, dan beberapa sholat sunnah lainnya, di antaranya adalah sholat kusuf (gerhana), istisqo (minta hujan), dan khouf (sholat dalam situasi takut) .


III. Ketentuan dan hukum safar terhadap puasa (fardhu’ dan sunnah)
 Seorang musafir dimakruhkan menunaikan ibadah puasa wajib pada bulan Romadhon, bahkan diwajibkan untuk berbuka bila benar-benar dalam keadaan kepayahan .
 Seorang musafir yang berniat safar, disunnahkan untuk tidak makan sahur seperti keadaannya ketika hendak berpuasa .
 Seorang musafir diwajibkan meng-qodho’ (mengganti) ibadah puasanya ketika kembali dari safar-nya .
 Seorang musafir yang belum menunaikan hutang qodho’ ibadah puasa wajibnya kemudian dia meninggal, maka walinya wajib membayarkannya (dengan meng-qodho’ puasanya) .
 Seorang musafir dilarang menunaikan ibadah i’tikaf, baik ketika safar maupun ketika sedang bersinggah dalam safar-nya .
 Seorang musafir dilarang menunaikan puasa sunnah, karena tidak ada satupun riwayat yang shohih/hasan dari Rosululloh  untuk menunaikan ibadah puasa sunnah ketika dalam safar-nya .


IV. Ketentuan dan hukum safar terhadap zakat (fardhu’ dan sunnah) .
 Seorang musafir dapat menunaikan shodaqoh, infaq, dan zakat , serta berhak menerima zakat (kecuali zakat fitrah – Penerimaan zakat ini hanya khusus bila keadaan musafir-nya fakir atau miskin ).
 Seorang musafir diperbolehkan menunaikan zakat fitrah bila dia berpuasa Romadhon sebelumnya .
 Seorang musafir disunnahkan secara mu’akad berkurban dalam safar-nya , dan diwajibkan berkurban bila dia dalam safar-nya merupakan rangkaian dari manasik haji .


V. Ketentuan dan hukum safar terhadap hal-hal lainnya
 Seorang musafir dalam safar-nya disunnahkan dan sangat dianjurkan untuk mengulang-ulang membaca Al-Qur’an (khususnya QS. Al-Fath [48]) .
 Seorang musafir yang menuntut ilmu dalam safar-nya, maka insya Alloh dia akan dapat menjaga dirinya (terutama dari hal-hal kemaksiatan terhadap Alloh ) , mendapatkan perlindungan, keridho’an, dan kemudahan dari Alloh , malaikat-Nya  , saudara-saudaranya (terutama sesama muslim/mukmin) , dan menerima pahala yang sebanding dengan ber-jihad (berperang) membela agama-Nya .
 Seorang musafir diperbolehkan membagikan dan menerima harta ghonimah (rampasan perang) dalam safar-nya .
 Seorang musafir disunnahkan dan sangat dianjurkan untuk memperhatikan makannya , membawa perbekalan , dan bersurban hitam dalam safar-nya.
 Seorang musafir diperbolehkan menikah , bercerai , bercanda/bergaul dengan istrinya , dan/ mengungkapkan akad nikah atau cerai (melalui utusan, surat resmi yang dibawa/disaksikan oleh orang yang terpercaya, atau lewat telepon, – walau tidak secara mutlak) dalam safar-nya.
 Seorang musafir diperbolehkan jual-beli (berdagang) dalam safar-nya .
 Seorang musafir diperbolehkan menaruh jaminan kepada yang menghutangi dalam safar-nya .
 Seorang musafir diperbolehkan membuat persaksian-persaksian atau menjadi saksi dalam safar-nya .
 Seorang musafir diperbolehkan berburu dalam safar-nya .
 Seorang musafir diperbolehkan ber-qurban dalam safar-nya .
 Musafir diperbolehkan berobat/mengobati dalam safar-nya .
 Seorang wanita diharamkan ber-safar seorang diri (tanpa mahrom-nya) .





























Panduan Praktis

1. Beberapa ketentuan dan hukum khusus dalam beribadah kepada Alloh  ketika ber-safar sebagai suatu nikmat dan kemudahan yang diberikan-Nya kepada para umatnya (khususnya kaum muslimin dan muslimah), di antaranya adalah meliputi ber-thoharoh (bersuci), persiapan sholat, sholat, sholat fardhu’ (wajib) berjama’ah, sholat Jum’at, sholat ‘Ied (hari raya), sholat sunnah rowatib dan witir, sholat sunnah tahiyatul masjid, sholat sunnah lainnya, berpuasa (fardhu’ dan sunnah), ber-zakat (fardhu’ dan sunnah), dan hal-hal lainnya.




























BAB IV
Karunia Alloh  Dengan Ber-safar
Tinjauan Menurut Syar’iat dan Medis

a) Tinjauan menurut syar’iat Islam
Beberapa bab terdahulu telah menjelaskan bahwa “Safar (bepergian) merupakan bagian dari adzab (siksaan Alloh), (yang dapat) menghambat seseorang dari makan, minum, dan tidurnya (yang nyenyak), …” , sehingga seseorang yang ber-safar (musafir) di jalan Alloh, seperti mencari nafkah, menuntut ilmu, berperang membela agama Alloh, dan sejenisnya, dengan senantiasa mengikhlaskan niatnya hanya kepada-Nya, menurut syar’iat Islam termasuk orang-orang yang sedang ber-jihad di jalan Alloh. Pada umumnya dia selalu mengkondisikan dirinya dalam keadaan siap siaga menghadapi berbagai hal yang kemungkinan besar baru pertama kali ditemuinya , dan tidak jarang dia ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan dengan bermacam-macam cobaan dalam safar-nya. Hal ini juga telah dinyatakan Alloh  dalam beberapa firman-Nya, di antaranya adalah:
                  •      
Artinya: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar, sholat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. An-Nisaa` [4]: 101).

                        
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang – Jihad Fisabilillah). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (QS. At-Taubah [9]: 22).

       
Artinya: “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan Jihad yang besar” (QS. Al-Furqon [25]: 52).

…         … 
Artinya: “…orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Alloh (mencari nafkah dari-Nya) …” (QS. Al-Muzammil [73]; 20).

    •   •      •    …  •    
Artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu ?. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) … Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Alloh itu amat dekat” (QS. Al-Baqoroh [2]: 214).

      •    
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung” (QS. Ali Imron [3]: 200).

Beberapa keadaan seorang musafir tersebut menjadikan dia insya Alloh akan mendapat berbagai macam kemudahan, karunia (hikmah), dan manfa’at dari Alloh  dalam ibadah, mu’amalah, pengetahuan, kesehatan, dan lain-lain, baik dalam bentuk nyata (riil) maupun abstrak, ketika berada dalam safar-nya. Beberapa karunia tersebut, di antaranya adalah:
a.1. Karunia dalam bentuk nyata (riil)
Diberikan beberapa rukshoh (kemudahan) dan pertolongan, baik dalam beribadah maupun ber-mu’amalah, di antaranya adalah:
• Dalam beribadah.
A. Diperbolehkan tidak ber-thoharoh/bersuci dengan ber-wudhu’ atau mandi wajib, tetapi hanya dengan ber-tayamum (dengan menggunakan debu yang bersih), bila tidak ditemukan air yang baik dan memadai, bila hendak masuk masjid dan/ melakukan sholat di dalamnya .
B. Diperbolehkan mengusap hanya bagian atas sepatu (khuff) sebagai pengganti mencuci kedua punggung dan telapak kaki .
C. Diwajibkannya meng-qoshor sholat fardhu’ (dan/ disunnahkan men-jama` sholat fardhu’-nya juga, bila dalam keadaan sibuk) .
D. Disunnahkan membaca ayat-ayat yang pendek setelah bacaan QS. Al-Fatihah (meringankan bacaan) ketika sholat .
E. Dimakruhkan untuk menunaikan sholat Jum’at .
F. Dimakruhkan ber-makmum dengan penduduk yang bermukim, dan diwajibkan sholat berjama’ah di antara sesama rombongan musafir .
G. Disunnahkannya menunaikan sholat-sholat sunnah mutlaq atau sunnah tertentu (seperti: sholat gerhana) di atas kendaraan safar-nya, dengan arah kiblat mengikuti arah kendaraan safar-nya .
H. Disunnahkan menunaikan sholat sunnah rowatib, hanya sholat qobliyah (sebelum) Shubuh dan witir (penutup) .
I. Disunnahkan sholat istikhoroh sebelum ber-safar .
J. Disunnahkan memperbanyak ber-dzikir ketika hendak dan dalam ber-safar .
K. Dimakruhkan untuk menunaikan ibadah puasa di bulan Romadhon .
L. Diharamkan untuk menunaikan ibadah puasa sunnah .
M. Diberikan hak mendapatkan pembagian zakat, dan dijadikannya salah satu pilihan tempat penerimaan pemberian infaq (sedekah wajib) dan sedekah .


• Dalam ber-mu’amalah.
a) Dijadikannya salah satu pilihan tempat penerimaan pemberian infaq (sedekah wajib), sedekah , dan makanan berbuka puasa di bulan Romadhon .
b) Diperbolehkan melakukan transaksi jual beli , berhutang , penggadaian barang , berburu , menikah , dan lain-lain.
c) Berhak mendapatkan harta rampasan perang (ghonimah) .
d) Berhak berobat dan mengobati ketika safar .
e) Menerima do’a dari keluarga yang ditinggalkan .
f) Disunnahkan Qoylullah (tidur siang sebelum mendekati waktu zhuhur) dan tidur saat ber-safar pada malam hari dan sebelum fajar (shubuh) .
g) Menerima pertolongan dari teman sesama musafir, karena disunnahkan setiap musafir menolong dan melayani teman sesamanya dalam ber-safar .
h) Dihalalkan mengambil hasil peternakan dan/ perkebunan bila si pemiliknya telah mengijinkannya terlebih dahulu atau si pemiliknya tidak berada di tempatnya, terutama dalam kondisi kelaparan saat ber-safar .







a.2. Karunia dalam bentuk abstrak
Beberapa karunia dalam bentuk abstrak, di antaranya adalah:
• Diberikan beberapa rukshoh (kemudahan) dan pertolongan, baik dalam beribadah maupun ber-mu’amalah .
• Diberikan beberapa petunjuk, keberuntungan, dan rahmat-Nya .
• Dikabulkannya setiap do’a (permohonannya)-nya .
• Dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang ber-jihad di jalan-Nya , dan golongan orang-orang yang selalu bersyukur atas segala nikmat-Nya .
• Dijanjikan Alloh keselamatan sampai kembali ke tempat asalnya .
• Diberikan-Nya ampunan, pahala, dan surga .
b) Tinjauan menurut medis
Kaidah-kaidah medis secara umum yang perlu sekali diperhatikan pada seseorang yang melakukan perjalanan (musafir/travelers), dapat dijelaskan pada kajian medis berikut ini.
Perkembangan pesat yang di alami perjalanan wisata internasional dan domestik saat ini menyebabkan adanya upaya pencegahan keadaan sakit selama perjalanan, dengan tujuan untuk meraih manfaat yang sebesar-besarnya dari perjalanan yang akan dilakukan secara perseorangan. Upaya pencegahan ini terutama sangat difokuskan terhadap pengenalan beberapa gangguan kesehatan yang kemungkinan besar dapat terjadi selama dalam perjalanan. Beberapa gangguan kesehatan tersebut pada umumnya dapat disebabkan oleh:

1. Aktivitas dan perubahan lingkungan fisis.
Beberapa perubahan dan/ kelainan pada fungsi tubuh yang sering terjadi ketika sedang melakukan perjalanan jauh, di antaranya adalah tegang dan kelelahan (terutama akibat adanya loncatan waktu [jet lag]) yang dapat menimbulkan keluhan-keluhan mual, muntah, gangguan pencernaan, cemas (ansietas) / depresi, gangguan/kesulitan tidur (insomnia), nyeri/pegal-pegal pada otot-otot tubuh (pada umumnya di bagian pinggang dan punggung bawah), dan penurunan daya tahan tubuh secara bermakna.
Perubahan dan/ kelainan pada fungsi tubuh lainnya juga dapat disebabkan oleh adanya pencemaran air (baik pada sungai, saluran irigasi, dan laut), lumpur, dan adanya hewan-hewan berbisa yang kemungkinan besar sering ditemukan selama masa perjalanan.
Keadaan ketinggian, kelembaban, dan sengatan sinar matahari pun tidak terlepas sebagai faktor pencetus terjadinya perubahan dan/ kelainan pada fungsi tubuh. Biasanya hal ini berhubungan dengan beberapa kelainan tubuh, di antaranya adalah kelainan jantung, paru-paru, kulit, dan otak, dan juga sering sekali berhubungan dengan factor penyebab terjadinya kerusakan tubuh melalui adanya suatu kecelakaan dalam perjalanan.


2. Pengkonsumsian minuman dan makanan yang tidak baik, higienis, dan sembarangan.
Akibat dari makanan yang terkontaminasi, terutama di Negara-negara yang sedang berkembang, 20 – 50% para pelancong (musafir/travelers) dapat mengalami penyakit diare yang pada beberapa kasusnya dapat berakibat fatal terhadap kehidupannya. Beberapa penyakit lainnya yang sering juga menimbulkan gangguan selama masa bepergian disebabkan karena masalah makanan/minuman yang tidak higienis, di antaranya adalah adalah penyakit demam thyfoid (penyakit tifus), paratifoid, enterovirus, hepatitis virus A, polio, dan beberapa penyakit parasit lainnya (seperti penyakit-penyakit giardiasis dan amubiasis).

3. Adanya infeksi serangga dan hewan-hewan lainnya.
Beberapa penyakit yang disebabkan serangga dan hewan-hewan lainnya, juga sering menimbulkan gangguan kesehatan (sistem kekebalan tubuh) selama masa bepergian, di antaranya adalah penyakit demam malaria, demam berdarah, flu (termasuk flu burung), kecacingan, gigitan sejenis kutu, sengatan lebah, gigitan kelelawar, ular, anjing, serigala, dan lain-lain.

4. Perilaku seksual yang tidak dapat terkontrol dengan baik.
Kelainan dan penyakit selama masa bepergian pada umumnya adalah penyakit yang berkaitan dengan penularan melalui hubungan seksual (sexually transmitted diseases [STD]) secara bebas. Angka kejadiannya dalam setahun dapat diperkirakan sebanyak 333 juta kasus, yang meliputi beberapa penyakit STD tersebut, di antaranya adalah sifilis, gonore (raja singa [GO]), infeksi klamidia, kusta, dan trikomoniasis. Di sisi lain, dari angka kejadian STD tersebut 13 juta di antaranya juga mengalami infeksi AIDs (aquired imun deficiencies – mengidap infeksi HIV [human immunodeficiency virus]). Hepatitis B juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kelainan dan penyakit pada fungsi tubuh selama masa bepergian yang didapat melalui hubungan seksual dan penggunaan berbagai jarum suntik secara bebas.

5. Berbagai situasi khusus lainnya.
Beberapa keadaan pada tubuh manusia yang disesuaikan dengan umur (seperti pada usia anak-anak) dan keadaan tertentu (seperti pada keadaan seorang wanita yang sedang hamil), sangat beresiko apabila melakukan suatu perjalanan jauh tanpa ada pertimbangan dan persiapan yang benar.
Kelompok anak-anak akan sangat beresiko tinggi untuk mudah mengalami infeksi flu, terjangkit malaria, demam berdarah, penyakit tifus, dan lain-lain, mengingat bahwa pada usia-usia tersebut keadaan stamina dan daya tahan tubuhnya masih belum/kurang terlatih dan/ beradaptasi untuk melakukan perjalanan jauh, dan juga belum mampu secara benar dalam mengontrol dirinya untuk menghadapi kondisi fisik lingkungan, kebutuhan akan asupan makanan/minuman yang higienis, dan kestabilan jiwanya.
Kelompok wanita yang sedang hamil akan sangat beresiko terjadinya kelainan/gangguan pada janin yang ada dalam kandungannya. Gangguan dan kelainan pada janin yang dikandungannya tersebut sangat rentan terhadap beberapa perubahan-perubahan lingkungan fisik, adanya infeksi dari beberapa serangga dan hewan, asupan makanan/minuman yang tidak higienis, dan adanya ketidakstabilan perasaan dari ibu yang mengandungnya, yang sangat mungkin terjadi selama masa bepergian.


b.1. Karunia dalam bentuk nyata (ri’il)
Sebagaimana diketahui dari banyak studi mutakhir di bidang medis menunjukkan bahwa pada intinya sebagian besar kelainan atau penyakit pada (sistem kardiovaskuler) tubuh manusia terjadi karena adanya gangguan/kelainan dari mekanisme sistem jantung dan pembuluh darah yang diakibatkan oleh adanya penumpukkan zat-zat radikal bebas (reactive oxydant species [ROS]) yang tidak dapat dinetralisir sel-sel tubuh. Penumpukkan radikal bebas di dalam tubuh ini terutama disebabkan oleh adanya gangguan/kelainan dari proses metabolisme sel-sel tubuh secara keseluruhan, yang dihasilkan terutama dari adanya gangguan/kelainan pada sistem pelaksana dan pengaturan metabolisme-nya (yang terdiri dari sistem persarafan/kejiwaan, jantung, dan pembuluh darah), dan lingkungan tempat seseorang hidup dan menjalani interaksinya sehari-hari.
Berdasarkan data dari studi tersebut juga ditunjukkan bahwa usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi adanya penumpukkan radikal bebas di dalam tubuh manusia terutama adalah mengkondisikan keadaan dari sistem pelaksana dan pengaturan metabolisme sel-sel tubuh tersebut menjadi lebih stabil, menenangkan kondisi hati/jiwa, dan dapat beradaptasi dengan lingkungannya secara efektif dan proporsional (sesuai dengan kapasitas kemampuan maksimal yang dimilikinya).
Hal-hal tersebut dapat dilakukan di antaranya adalah dengan pengaktivan kesadaran murni tubuh secara umum dan sederhana, yakni dengan cara-cara sebagai berikut :
Pertama, Memperbanyak perenungan kembali terhadap esensi penciptaan dirinya sendiri dan alam semesta oleh Alloh .
Kedua, Pengenalan jati diri dan lingkungannya, sebagai tempat tinggal dan berinteraksi baginya.
Ketiga, Meningkatkan konsentrasi/pemusatan pikiran, jiwa, dan hati (kekhusyu’an) semaksimal dan sebaik mungkin dalam menjalankan semua peribadahannya kepada Alloh  dan penunaian hak-hak tubuhnya, yang disertai dengan pengosongan (penglepasan) semua beban pikiran dan mental yang pernah ada (melalui pengalihan pikiran kepada perenungan/tadabur akan banyaknya nikmat dan kehendak-Nya yang telah diterima , serta adanya kematian ) dan mengembalikan semuanya kepada takdir dari-Nya dengan sabar, memperbanyak ber-dzikir/do’a/sholat dan ber-silaturrahim, istiqomah (konsisten), dan ikhlas hanya karena-Nya, untuk mendapatkan ketenangan diri (hati, jiwa, dan tubuh) dan keberuntungan dari-Nya.
Bab sebelumnya telah menjelaskan bahwa, keadaan seseorang ketika ber-safar (musafir) adalah sedang berada dalam suatu bagian dari adzab (siksaan) Alloh, (yang dapat) menghambat seseorang dari makan, minum, dan tidurnya (yang nyenyak) . Dia juga berada dalam keadaan kesukaran, kelelahan, kepayahan, hembusan angin, cuaca yang dingin dan panas, beresiko terkena penyakit, rasa takut, bahaya yang mengancam, sedikit makan dan minum, tercegah dari tidurnya yang nyenyak, dan berpisah dari orang-orang yang tercinta, meskipun orang yang melakukannya adalah orang yang paling senang hidupnya . Di sisi lain, dia maupun jati dirinya (terutama akhlaq-nya) yang sebenarnya dapat dikenal banyak orang, dan dia juga akan mengenal tempat atau hal-hal yang belum dikenal sebelumnya .
Keadaan ini yang menjadikan Alloh  mengkhususkan kelonggaran bagi musafir (orang yang bepergian) dalam safar-nya, dia diperbolehkan berbuka (puasa), meng-qoshor sholatnya, dan lain-lain. Hal ini termasuk hikmah (karunia) dari (Alloh , Sang) Pembuat syar’iat. Alloh  tidak menghilangkan untuknya kemaslahatan ibadah dengan menggugurkannya secara penuh ketika safar, sebaliknya Dia juga tidak mengharuskannya secara penuh saat safar sebagaimana ketika ber-muqim. Sehingga hal-hal tersebut menjadikannya sebagai salah satu rahmat dari Alloh  dan kebaikan-Nya kepada para hamba-Nya yang senantiasa ber-safar .
Namun demikian, beberapa keadaan seorang musafir, seperti kelelahan, kepayahan, hembusan angin, cuaca yang dingin dan panas, beresiko terkena penyakit, rasa takut, bahaya yang mengancam, sedikit makan dan minum, tercegah dari tidurnya yang lama, dan berpisah dari orang-orang yang tercinta, secara tidak disadari melalui kehendak dan pertolongan Alloh  telah menjadikan pemeliharaan kesehatan tubuhnya senantiasa terjamin. Beberapa karunia dalam bentuk nyata (konkrit) di antaranya adalah diberikan-Nya beberapa rukshoh (kemudahan), manfa’at dan pertolongan, seperti hal-hal berikut di bawah ini:

• Penormalan fungsi jantung .
Beberapa keadaan seorang musafir yang telah tersebut sebelumnya, dapat menjadikan penormalan fungsi jantung tubuh. Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya beberapa keadaan tersebut setidaknya dapat menjadikan setiap sel yang berada di dalam tubuh menunaikan haknya (bersedekah atau ber-dzikir kepada Alloh ), yakni dengan senantiasa ber-metabolisme (beraktivitas) dan diiringi dengan keadaan sedikit makan dan minum, serta tercegahnya dari tidur yang lama. Beberapa keadaan ini secara langsung dapat mencegah beberapa racun hati (seperti: banyak makan, tidur, bernyanyi, mendengarkan musik, dan sejenisnya) dan mengobati penyakit hati (seperti: penyakit syahwat/hawa nafsu dan syubhat/kerancuan/kebodohan) yang akan sangat mempengaruhi dari usaha penormalan fungsi jantung tubuh.
Banyaknya aktivitas yang terjadi pada tubuh, setidaknya akan mengkondisikan fungsi hati (jantung) menjadi tenang dan stabil, disebabkan terjadinya pemaksaan penghambatan dari seluruh inderawi tubuh terhadap hal-hal yang tidak berguna (yakni dengan menghambat masuknya beberapa racun dan penyakit hati ke dalam tubuh), dan pengalihan serta peningkatan konsentrasi untuk beribadah kepada Alloh , yakni dengan senantiasa menunaikan hak-hak tubuhnya, mengosongkan (menglepaskan) semua beban pikiran dan mental yang pernah ada, dan mengembalikan semuanya kepada takdir dari-Nya dengan sabar, istiqomah (konsisten), dan ikhlas hanya karena-Nya, untuk mendapatkan ketenangan diri (hati, jiwa, dan tubuh) ketika ber-safar, demi terwujudnya tujuan safar-nya secara maksimal.
Di sisi lain, banyaknya aktivitas yang terjadi pada tubuh juga secara langsung akan memperlancar aliran darah di seluruh tubuh, melalui pencegahan terjadinya sumbatan-sumbatan di dalam pembuluh-pembuluh darah tubuh yang disebabkan keadaannya yang sedikit makan dan sedikit tidur. Hal ini kemudian dapat meringankan dan menormalkan kerja (fungsi) jantung untuk memompakan aliran darah ke seluruh tubuh. Walaupun makan memang diperlukan tubuh, namun untuk memelihara kesehatan tubuh dan menjaga tampilan (performance) dari setiap aktivitas (terlebih lagi ketika sedang ber-safar), makan tidak perlu berlebihan , begitu juga halnya dengan tidur .
Pada akhirnya, penormalan fungsi jantung tubuh yang terjadi tersebut juga secara langsung akan meningkatkan kualitas dan kuantitas kinerja system jantung dan pembuluh darah seluruh tubuh dan mencegah terjadinya banyak penyakit-penyakit tubuh, terutama mencegah penyakit-penyakit degeneratif (seperti kencing manis [DM], kolesterol [dislipidemia], stroke, hipertensi, asam urat, keganasan, dan lain-lain).

• Penunaian hak tubuh .
Seperti kaidah penormalan fungsi jantung tubuh, beberapa keadaan seorang musafir yang telah tersebut sebelumnya, dapat menjadikan dan/ mengkondisikan penunaian hak-hak tubuh secara berkelanjutan. Hal ini dapat dijelaskan dengan beberapa keadaan tersebut setidaknya dapat menjadikan setiap sel yang berada di dalam tubuh senantiasa ber-metabolisme (beraktivitas) dan diiringi dengan keadaan sedikit makan dan minum, serta tercegahnya dari tidur yang lama. Beberapa keadaan ini secara langsung dapat mencegah beberapa racun hati dan mengobati penyakit hati yang akan sangat mempengaruhi dari usaha penunaian hak-hak tubuh.
Banyaknya aktivitas (penunaian hak-hak) tubuh, setidaknya akan mengkondisikan fungsi hati (jantung) menjadi tenang dan stabil, disebabkan terjadinya pemaksaan penghambatan dari seluruh inderawi tubuh terhadap hal-hal yang tidak berguna untuk direalisasikan, dan pengalihan serta peningkatan konsentrasi untuk beribadah hanya kepada Alloh , untuk mendapatkan ketenangan diri (hati, jiwa, dan tubuh) ketika ber-safar, demi terwujudnya tujuan safar-nya secara maksimal.
Di sisi lain, banyaknya aktivitas (penunaian hak-hak) tubuh juga secara langsung akan memperlancar aliran darah di seluruh tubuh, melalui pencegahan terjadinya sumbatan-sumbatan di dalam pembuluh-pembuluh darah tubuh yang disebabkan keadaannya yang sedikit makan dan sedikit tidur. Hal ini kemudian dapat meringankan dan menormalkan kerja (fungsi) jantung untuk memompakan aliran darah ke seluruh tubuh. Walaupun makan memang diperlukan tubuh, namun untuk memelihara kesehatan tubuh dan menjaga tampilan (performance) dari setiap aktivitas (terlebih lagi ketika sedang ber-safar), makan tidak perlu berlebihan , begitu juga halnya dengan tidur .
Pada akhirnya, banyaknya aktivitas (penunaian hak-hak) tubuh tersebut juga secara langsung akan meningkatkan kualitas dan kuantitas ketahanan, kekuatan, kelenturan, keseimbangan, dan kecepatan tubuh dalam merespons setiap perubahan kondisi lingkungan, baik yang akan mempengaruhi maupun yang akan menimbulkan suatu gangguan/kelainan dan penyakit pada tubuh.

• Penstabilan kondisi tubuh (melalui beberapa ketentuan rukhsoh-Nya dalam safar) .
Beberapa keadaan seorang musafir yang telah tersebut sebelumnya, dapat menjadikan penstabilan kondisi tubuh. Hal ini dapat dijelaskan dengan beberapa ketentuan rukhsoh-Nya dalam safar, di antaranya adalah diperbolehkan tidak ber-wudhu’ atau mandi wajib, tetapi hanya dengan ber-tayamum, bila tidak ditemukan air yang baik dan memadai; diwajibkannya meng-qoshor sholat fardhu’ (dan/ disunnahkan men-jama` sholat fardhu’-nya juga, bila dalam keadaan sibuk); disunnahkan membaca ayat-ayat yang pendek setelah bacaan QS. Al-Fatihah (meringankan bacaan) ketika sholat; dimakruhkan untuk menunaikan sholat Jum’at; disunnahkannya menunaikan sholat-sholat sunnah mutlaq atau sunnah tertentu (seperti: sholat gerhana) di atas kendaraan safar-nya dengan arah kiblat mengikuti arah kendaraan safar-nya; disunnahkan menunaikan sholat sunnah rowatib, hanya sholat qobliyah (sebelum) Shubuh dan witir (penutup); dimakruhkan untuk menunaikan ibadah puasa di bulan Romadhon; diharamkan untuk menunaikan ibadah puasa sunnah; dijadikannya salah satu pilihan tempat penerimaan pemberian infaq (sedekah wajib), sedekah, zakat, dan makanan berbuka puasa di bulan Romadhon; berhak mendapatkan harta rampasan perang (ghonimah); disunnahkan berjalan cepat untuk mengurangi rasa lelah dan bila tidak dikhawatirkan membawa mudhorot (bencana) buat dirinya; berhak berobat ketika safar; disunnahkan Qoylullah (tidur siang sebelum mendekati waktu zhuhur) dan tidur saat ber-safar pada malam hari dan sebelum fajar (shubuh); dihalalkan mengambil hasil peternakan dan/ perkebunan bila si pemiliknya telah mengijinkannya terlebih dahulu atau si pemiliknya tidak berada di tempatnya, terutama dalam kondisi kelaparan saat ber-safar; dan lain-lain.
Beberapa hal tersebut menunjukkan pemberian hikmah (karunia) dari (Alloh , Sang) Pembuat syar’iat. Alloh  tidak menghilangkan untuknya kemaslahatan ibadah dengan menggugurkannya secara penuh ketika safar, sebaliknya Dia juga tidak mengharuskannya secara penuh saat safar sebagaimana ketika ber-muqim. Sehingga hal-hal tersebut menjadikannya sebagai salah satu rahmat dari Alloh  dan kebaikan-Nya kepada para hamba-Nya yang senantiasa ber-safar.

• Peningkatan daya tahan tubuh (melalui peningkatan resiko terpaparnya suatu penyakit pada tubuh) .
Beberapa keadaan seorang musafir yang telah tersebut sebelumnya, dapat menjadikan peningkatan daya tahan tubuh. Hal ini dapat dijelaskan, (1) Dengan adanya beberapa keadaan tersebut ketika safar, maka akan senantiasa tercipta penormalan fungsi jantung tubuh melalui penenangan hati/jiwa, penunaian hak-hak tubuh, penstabilan kondisi tubuh (melalui beberapa ketentuan rukhsoh-Nya ketika ber-safar), dan (2) Dengan adanya peningkatan resiko terpaparnya suatu penyakit pada tubuh yang berasal dari berbagai jenis lingkungan dengan berbagai jenis kondisi alam, higiene, iklim, dan cuacanya yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.


b.2. Karunia dalam bentuk abstrak
Alloh  telah menjelaskan dalam beberapa firman-Nya, di antaranya adalah:
…  …      … 
Artinya: “… dan perjalanan … tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka …” (QS. At-Taubah [9]; 42).

   …       
Artinya: “Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah (Musa kepada muridnya): "… Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini" ” (QS. Al-Kahfi [18]; 62).

   
Artinya: “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain” (QS. Alam Nashroh/Al-Inshiroh [94]; 7).

Rosululloh  juga telah menjelaskannya dalam sabdanya, di antaranya adalah dari salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh , menggambarkan bagaimana keadaan seseorang yang sedang bepergian (safar), “Safar (bepergian) adalah bagian dari adzab (siksaan Alloh), (yang dapat) menghambat seseorang dari makan, minum, dan tidurnya (yang nyenyak), maka apabila (seorang yang bepergian) telah selesai dari kebutuhannya hendaklah dia segera kembali ke keluarganya” .
Faktanya adalah seorang musafir akan senantiasa berada dalam keadaan kesukaran, kelelahan, kepayahan, hembusan angin, cuaca yang dingin dan panas, beresiko terkena penyakit, rasa takut, bahaya yang mengancam, sedikit makan dan minum, tercegah dari tidurnya yang nyenyak, dan berpisah dari orang-orang yang tercinta, meskipun orang yang melakukannya adalah orang yang paling senang hidupnya . Di sisi lain, dia maupun jati dirinya (terutama akhlaq-nya) yang sebenarnya dapat dikenal banyak orang, dan dia juga akan mengenal tempat atau hal-hal yang belum dikenal sebelumnya .
Beberapa penjelasan dari firman Alloh , sabda Rosululloh , dan fakta tersebut menunjukkan bahwa keadaan seseorang yang sedang ber-safar (musafir) adalah dalam salah satu adzab (siksaan) dari Alloh , yang diberikan-Nya untuk menguji hamba-Nya tersebut sesuai dengan kadar kemampuannya, agar dia senantiasa wajib merenungi (ber-tadabur) terhadap berbagai macam nikmat dan karunia-Nya yang telah dianugerahkan kepadanya (bukan sesuatu yang sia-sia atau main-main) dan mensyukurinya (dengan memperbanyak ber-dzikir, sholat, dan sabar dengan penuh keikhlasan hanya kepada-Nya secara istiqomah). Namun demikian, Alloh  juga tidak akan membiarkan hamba-Nya tersebut terlantar, semuanya itu diinginkan-Nya untuk menyempurnakan semua nikmat-Nya yang diberikan kepada hamba-Nya, khususnya nikmat karunia dalam bentuk abstrak ketika sedang ber-safar.
Beberapa karunia dalam bentuk abstrak tersebut di antaranya adalah diberikan-Nya beberapa rukshoh (kemudahan), manfa’at dan pertolongan, seperti hal-hal berikut di bawah ini:
• Peningkatan ilmu pengetahuan melalui tadabur dalam safar, khususnya terhadap:
1. Keadaan alam, iklim, dan cuaca yang berhubungan dengan derajat kesehatan di suatu negeri.
2. Keadaan budaya dan sosio-ekonomi yang berhubungan dengan derajat kesehatan di suatu negeri.
3. Keadaan pola penyakit yang berhubungan dengan derajat kesehatan di suatu negeri.


• Mendapatkan pengalaman baru, khususnya pengalaman dalam:
1. Beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
2. Beradaptasi dengan berbagai karakter, budaya, dan kejiwaan sekelompok manusia yang baru.
3. Beradaptasi dengan penyakit yang beresiko terhadap kesehatan tubuh.

• Peningkatan silaturahim dan ukhuwah (persatuan) antara sesama manusia (terutama saudara se-iman), khususnya yang membawa kepada:
1. Ketenangan jiwa.
2. Kemaslahatan (kebahagian) umat.
3. Perbaikan akhlaq (budi pekerti).
4. Persatuan dan kekuatan suatu negeri.

• Penenangan keadaan hati/jiwa.






















c) Tinjauan menurut bidang ekonomi
Banyak sekali karunia (hikmah) dan manfa’at yang diberikan Alloh  kepada orang-orang yang ber-safar (musafir), khususnya di bidang ekonomi. Imam Syafi’i berkata bahwa, “Berkelana dari kampungmu untuk mencari keutamaan, maka lakukanlah safar, karena di dalamnya ada beberapa faedah … memudahkan mendapat rizki, teman, ilmu, dan adab”.
Beberapa faedah yang dikatakan Imam Syafi’i tersebut dapat ditela’ah menurut kaidah-kaidah syar’iat Islam maupun ekonomi, secara ilmiyah. Adapun tela’ah tersebut dapat dijelaskan sebagaimana beberapa fakta berikut ini:
Kata safar yang menurut kaidah bahasa (etimologis) terambil dari kata bahasa ‘Arab “safaran” () yang berarti nampak atau menampakkan, namun secara istilah maupun syar’iat sering disebutkan dalam bentuk kata “dhorb” (, , , ) yang berarti berjalan, melakukan perjalanan (yang pada umumnya adalah untuk berusaha mencari nafkah/rizki, berniaga [berbisnis], menuntut ilmu atau berperang [jihad]), “tho’aam” (, ) yang berarti berjalan (untuk mencari penghasilan dengan berniaga/berbisnis) , dan “shobr” yang juga berarti berjalan, melakukan perjalanan, atau berusaha untuk mencari nafkah yang disertai kesabaran yang kuat ( ) .
Beberapa makna dari ayat tersebut juga diperkuat dengan salah satu atsar (riwayat) dari sahabat Umar bin Khoththob , “Suatu ketika ada seseorang pernah berkata kepadanya, “Sesungguhnya si Fulan adalah orang yang jujur”. Lalu Umar bertanya kepadanya, “Apakah kamu pernah safar dengannya?”. Jawabnya, “Tidak”. Kemudian Umar bertanya kembali kepadanya, “Pernahkah ada hubungan bisnis antara dirimu dengannya (ketika safar)?”. Jawabnya, “Tidak”. Lalu Umar bertanya kembali, “Pernahkah kamu memberikan kepercayaan kepadanya?”. Jawabnya, “Tidak”. Kemudian Umar berkata kepadanya, “Berarti kamu tidak ber-”safar” dengan-nya”.” .

Sementara itu, pada hakikatnya rizki tidak hanya berwujud harta atau materi seperti asumsi dari kebanyakan orang, tetapi juga dapat bersifat lebih umum dari hal itu, yakni dapat berupa semua kebaikan dan kemaslahatan yang dinikmati seorang hamba seperti hilangnya beban pikiran, selamat dalam bepergian (perjalanan), bebas dari terjangkitnya penyakit, dan sebagainya .
Anugerah rizki yang telah diberikan Alloh  meliputi setiap makhluk-Nya. Limpahan karunia rizki itu merupakan cerminan rahmat dan kemurahan-Nya.
Seperti diungkapkan-Nya dalam beberapa ayat Al Quran, di antaranya: “Kami berfirman (kepada Adam  dan istrinya): "Turunlah kamu (ke dunia/bumi)! … dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup (tempat mencari kehidupan) sampai waktu yang ditentukan”.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 30, 36);
“Alloh  berfirman (kepada Adam  dan istrinya): "Turunlah kamu sekalian, sebahagian … dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan".” (QS. Al-A’roof [7]: 24);
“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan” (QS. Al-A’roof [7]: 10);
“Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak, … Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, … ” (QS. Al-A’roof [7]: 95-96);
“Dan Dia-lah, Alloh yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk” (QS. An-Nahl [16]: 14-15);
dan “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). … Dan di antara hewan ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan (sarana transportasi dalam ber-“safar”) dan ada yang untuk disembelih. makanlah dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu, …” (QS. Al-An’am [6]: 141-142).

Sementara itu, porsi pemberian rizki terhadap setiap makhluk-Nya sudah ditentukan sejak dini, yakni pada manusia porsinya telah ditentukan sejak masih berada dalam kandungan berusia 120 hari , walaupun tidak dijelaskan-Nya secara detail bagaimana proses pendapatan porsi rizkinya pada setiap makhluk-Nya .
Di sisi lain, syar’iat Islam sangat mencela seorang pemalas dan membatasi ruang gerak dalam mencari atau mendapatkan rizki, meminta-minta (mengemis), menganggur, dan senantiasa membuka lebar semua bentuk pintu ketergantungan hidup dengan orang lain. Rizki harus dicari dan didapatkan dengan bergerak, berjalan, dan berusaha semaksimal mungkin dengan kesabaran, bukan hanya diam di tempat saja.
Beberapa hal tersebut telah dinyatakan dan diperintahkan Alloh  dan rosul-Nya , sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa firman-Nya:
“… maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Alloh dan ingatlah Alloh banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS. Jumuah [62]: 10);
“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu” (QS. Maryam [19]: 25);
“(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Alloh; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi, orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. … mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. …” (QS. Al-Baqoroh [2]: 273);
dan “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rizki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk [67]: 15);
serta beberapa sabda rosul-Nya ,
dan “Tidak halal shodaqoh (zakat) bagi orang kaya dan tidak pula bagi orang kuat dan sehat badannya untuk kerja” .

Makna dari beberapa firman Alloh  dan sabda rosul-Nya  tersebut adalah merupakan suatu perintah untuk senantiasa ber-safar, - bergerak, bekerja, atau menjalankan usaha dan/ perniagaan -, dengan cara menyebar kemanapun arah peluang (kesempatan) untuk mencari atau mendapatkan rizki yang diridhoi-Nya , dengan selalu berdzikir (sholat/berdo’a) kepada-Nya secara ikhlas agar selalu diberikan petunjuk, perlindungan, dan pertolongan-Nya .


Fakta sejarah karunia Alloh  dengan ber-safar dalam bidang ekonomi (pengaisan rizki dengan ber-safar melalui usaha perdagangan).
 Zaman pra-sejarah.
Ber-safar untuk mengais rizki sebenarnya sudah terjadi sejak pertama kali manusia diciptakan di muka bumi (yakni sejak zaman Nabi Adam ).
Hal ini telah dinyatakan Alloh  dalam beberapa firman-Nya, di antaranya adalah, “Ingatlah ketika “Robb”-mu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” … ; Kami berfirman (kepada Adam  dan istrinya): "Turunlah kamu (ke dunia/bumi)! … dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup (tempat mencari kehidupan) sampai waktu yang ditentukan” (QS. Al-Baqoroh [2]: 30, 36);
“Alloh berfirman (kepada Adam  dan istrinya): "Turunlah kamu sekalian, sebahagian … dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan".” (QS. Al-A’roof [7]: 24);
“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan” (QS. Al-A’roof [7]: 10);
“Dan Dia-lah, Alloh yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk” (QS. An-Nahl [16]: 14-15);
“Yang menjadikan bumi untuk kamu sebagai tempat menetap dan Dia membuat jalan-jalan di atas bumi untuk kamu supaya kamu mendapat petunjuk” (QS. Az-Zukruf [43]: 10);
“Dan suatu tanda (kekuasaan Alloh yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, Maka daripadanya mereka makan” (QS. Yasin [36]: 33);
“Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. (maka) berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam hari dan siang hari dengan dengan aman” (QS. Saba’ [34]: 18);
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan” (QS. Al-Mulk [67]: 15);
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS. Al-Isroo` [17]: 70);
dan “Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak, … Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah (rizki) dari langit dan bumi, … ” (QS. Al-A’roof [7]: 95-96).

Alloh  menjadikan dunia terdiri dari berbagai macam negeri, seperti firman-Nya, “Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. (Maka) berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam hari dan siang hari dengan dengan aman” (QS. Saba’ [34]: 18). Firman-Nya tersebut menunjukkan secara tersirat bahwa, “Masing-masing negeri mempunyai ciri khas yang berbeda dengan daerah lainnya begitu juga penduduknya , yang mana mereka juga saling membutuhkan dan menginginkan barang yang dihasilkan dari negeri lainnya , dan didukung oleh adanya keinginan untuk memperoleh keuntungan yang banyak .
Fakta sejarah menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim  telah ber-safar untuk mengais rizki dari Alloh . Hal ini ditunjukkan dengan adanya beberapa fakta sejarah bahwa, Nabi Ibrahim  pernah ber-safar dari kota Ar menuju ke Haaran (Hirran), Mesir, Mekkah, dan Palestina . Begitu juga yang dialami oleh para Nabi lainnya, seperti Nabi Yusuf , Nabi Musa , Nabi Daud , Nabi Sulaiman , dan lain-lain .
Sementara itu, data yang diambil dari ilmu sejarah dunia mutakhir menunjukkan bahwa ber-safar untuk mengais rizki telah dilakukan sejak + 30 abad sebelum masehi (zaman pra-sejarah), yang terkenal sejak masa tersebut dengan istilah sistem “kolonial”.
Kata “kolonial” terambil dari kata bahasa latin “colonia” yang berarti tanah, tanah pemukiman, atau tanah jajahan. Menurut fakta sejarah, sistem “kolonial” sudah ada sejak zaman Yunani kuno, di mana ditunjukkan dengan terjadinya perjalanan dan perpindahan (ber-safar) dari para petani Yunani dari negerinya yang tandus ke wilayah (negeri) lain yang lebih subur, dengan tujuan mencari dan mengolah tanah di daerah yang baru agar dapat mengais rizki dan meningkatkan taraf (kesejahteraan) hidupnya menjadi lebih layak, di samping memperluas wilayah kekuasaannya, melakukan penjajahan, membuat pemerintahan di daerah yang baru (ber-imperator - imperialisme), dan dapat berhubungan juga dengan daerah asalnya.

Data tersebut menunjukkan bahwa ber-safar telah dilakukan oleh beberapa bangsa pada saat itu, di antaranya adalah bangsa Mesir kuno, Mesopotamia, kaum Sa’ba (di Yaman) , Pulau Kreta, Yunani, Persia , dan Romawi. Namun demikian, adanya keinginan untuk memonopoli dan menguasai banyaknya rizki (harta kekayaan) yang dihasilkannya, di samping berkembangnya kekhalifahan Islam, menjadikan safar yang telah dilakukan dan keberadaan dari beberapa bangsa tersebut menjadi terhambat atau dapat dikatakan terhenti untuk sementara waktu.

 Zaman Rosululloh  dan para sahabatnya .
Adanya bukti pada masa pra-Islam (masa jahiliyyah) tentang melakukan perjalanan (ber-safar) untuk usaha perdagangan dan model-model transaksi ekonomi lainnya yang dilakukan oleh berbagai bangsa di dunia, ternyata tetap dipertahankan dalam syar’iat Islam, khususnya pada masyarakat (kaum) Quraisy, di mana berdagang merupakan pekerjaan utama mereka yang dilakukan dengan ukuran suatu perjalanan (safar) dengan model transaksi ekonomi dagangnya pada umumnya adalah kerja sama (mudhorobah) .
Data sejarah menunjukkan bahwa, “Adanya persekutuan antara kaum Quraisy dengan suku Kinanah dan suku Ahabis di daerah sekitar Mekkah ternyata sangat kental dengan kebiasaan-kebiasaannya untuk ber-safar sebagai kabilah-kabilah yang bergerak di bidang perniagaan dalam usaha mengais rizki dan menjadikannya sebagai tulang punggung perekonomian dari penduduk Mekkah. Dalam hal tersebut, mereka terbiasa ber-safar dimulai dari Mekkah sampai dengan Siriyah, Syam, Irak, dan Yaman. Kaum Quraisy biasanya juga memberi upah.gaji tertentu kepada para utusan dagang dari kedua suku tersebut. Di sisi lain, adanya konflik yang berlangsung antara Romawi dan Persia juga ikut membantu berkembangnya kebiasaan-kebiasaan mereka ber-safar untuk berniaga lewat jalur perdagangan laut (yang sebelumnya mereka ber-safar hanya melalui jalur perdagangan darat antara Syam/Palestina, Irak, dan Siriyah), walau mereka hanya menggunakan perahu-perahu sewaan dari milik bangsa Eithiopia dan Romawi untuk merealisasikannya disebabkan oleh mereka tidak memiliki armada laut yang baik”.

Hal tersebut telah dinyatakan Alloh  dalam firman-Nya, “(Yaitu) kebiasaan mereka (kaum Quraisy) bepergian di musim dingin dan musim panas” (QS. Al-Quraisy [106]: 2), yang merupakan salah satu indikator dari beberapa nikmat-Nya yang diberikan kepada kaum Quraisy untuk senantiasa wajib disyukurinya, di antaranya adalah diberikannya keadaan aman dan keselamatan pada kaum dan negerinya, serta wilayah yang sangat strategis (terutama untuk berniaga atau ber-safar), dilepaskannya dari musibah serangan pasukan bergajah, – berhubungan dengan firman-Nya yang lain, “Lalu Dia menjadikan mereka (pasukan bergajah) seperti daun-daun yang dimakan (ulat)” (QS. Al-Fiil [105]: 5) -, dan dijadikannya sebagai panutan bagi umat manusia (khususnya umat Islam) sesudahnya agar dapat mengagumi dan mempelajarinya bagaimana kaum Quraisy dapat senantiasa bertahan hidup, mendapat keselamatan dan keamanan selama mereka bepergian (melakukan safar-nya) , baik terhadap gangguan alam yang terjadi (ketika musim dingin dan panas) maupun gangguan lainnya (seperti gangguan musuh atau penyakit), setelah mendapat pertolongan dari-Nya, sehingga menjadikannya mereka (kaum Quraisy) berkedudukan tinggi dan agung di mata manusia di seluruh dunia.
Sebagai catatan bahwa, “Perhatian kaum Quraisy terhadap perdagangan sampai pada taraf mereka melakukan 2 kali perjalanan (ber-safar) untuk berdagang dalam setahun, dan mereka memiliki kebiasaan bepergian pada musim dingin ke negeri Yaman, dan pada musim panas ke negeri Syam untuk berdagang atau keperluan lainnya. Mereka pun kembali dari bepergian dalam keadaan selamat tanpa kekurangan suatu apapun. Hingga akhirnya mereka kaya dan hidup dalam kemewahan. Di sisi lain, letak geografis kediaman kaum Quraisy sangat strategis untuk dijadikan sebagai pusat perniagaan (yakni di kota Mekkah) karena menghubungkan antara daerah-daerah penting dalam dunia perniagaan, yaitu Syam (Yordania, Palestina, dan Libia), Yaman, dan Habasyah (Eithiopia). Adanya beberapa fakta ini ternyata membuat sebagian besar kaum Quraisy mengkufuri nikmat Alloh  yang diberikan kepada mereka dan mendustakan rosul-Nya , maka Alloh menutup keberkahan perdagangan mereka, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, “Dan Alloh telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rizkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)-nya mengingkari nikmat-nikmat Alloh, karena itulah Alloh merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan oleh apa yang selalu mereka perbuat” (QS. An-Nahl [16]: 112)”.

Ber-safar untuk mengais rizki sebenarnya sudah dilakukan Rosululloh  sejak beliau belum menjadi seorang rosul. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa bukti sejarah bahwa ketika beliau masih berusia muda (kira-kira sejak umurnya 12 tahun), beliau sering mengembala kambing atau berdagang ke negeri Syam baik ditemani oleh pamannya (Abu Tholib) atau budak lelaki Siti Khadijah (Maisarah), membawa barang-barang perniagaan milik Siti Khadijah sebelum beliau menikahinya. Pekerjaan berniaga inilah yang juga banyak digeluti oleh para sahabat , baik ketika masa jahiliyyah maupun masa setelah Islam berkembang, terutama dari kalangan kaum Muhajirin, yang pada umumnya dilakukan dengan ukuran suatu perjalanan (safar) dengan model transaksi ekonomi dagangnya adalah kerja sama (mudhorobah).
Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa model transaksi ekonomi perdagangan dengan sistem kerja sama (mudhorobah - partnership) berdasarkan pada suatu perjalanan (safar) niaga telah ada dan dipraktekkan oleh masyarakat dunia (khususnya kaum Quraisy) sejak masa sebelum Islam (jahiliyyah). Model transaksi ekonomi dagang tersebut secara sederhana menjadikan adanya suatu kerja sama pemilik modal dengan menggunakan tenaga (tangan) orang lain sebagai pekerja (pedagang atau membawa barang-barang untuk berdagang). Di masa Islam berkembang, bentuk transaksi ekonomi dagang sistem kerja sama ini tetap dipertahankan. Para sahabat Rosululloh  sering sekali melakukan perjalanan (ber-safar) untuk berdagang, yang modalnya berasal dari patungan dan hal ini tidak pernah dilarang oleh Rosululloh . Berpijak dari tidak adanya larangan dari Rosululloh , para sahabat  menyatakan bahwa kegiatan perdagangan dengan sistem kerja sama (mudhorobah - partnership) tersebut, yang dilakukan dengan melakukan perjalanan (ekspedisi) berdagang ke tempat atau negeri yang lain, disetujui beliau , dan kemudian dijadikanlah sebagai sunnah-nya .
Bahkan eksistensinya diakui sebagai suatu bentuk investasi ketika pemerintahan sahabat Umar bin Khoththob , seperti dijelaskan dalam salah satu atsar yang diriwayatkan oleh Zaid bin Aslam dari Ayahnya (Aslam ), bahwa dia menceritakan, “Abdullah dan Ubaidillah bin Umar bin Khoththob pernah ber-safar dalam suatu pasukan ke negeri Irak. Ketika mereka kembali, mereka lewat dihadapan Abu Musa Al-Asy’ari (Gubernur Bashrah – negeri Syam) dan kemudian beliau menyambut mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu dengan suka cita. Kemudian beliau berkata kepada mereka, “Kalau aku bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk kalian, pasti akan aku lakukan. Sepertinya aku bisa melakukannya, ini ada sejumlah uang dari harta Alloh yang akan kukirimkan kepada Amirul Mu`minin (Umar bin Khoththob). Aku meminjamkannya untuk kalian, untuk kalian belikan sesuatu di Iraq ini. Kemudian kalian jual di kota Madinah. Lalu kalian kembalikan modalnya kepada Amirul Mu`minin, dan keuntungannya kalian ambil”. Kemudian mereka berdua berkata kepadanya, “Kami suka (dengan hal) itu”. Maka beliau menyerahkan sejumlah uang itu kepada mereka berdua dan menulis surat untuk disampaikan kepada Amirul Mu`minin, agar dia mengambil sejumlah uang yang telah dititipkannya pada mereka berdua. Sesampainya di Madinah, mereka berdua menjual barang (yang telah dibelikan sebelumnya dengan uang tersebut di Iraq)-nya tersebut dan mendapatkan keuntungan. Ketika mereka berdua menyerahkan sejumlah uangnya tersebut kepada Umar, lantas Umar bertanya kepada mereka, “Apakah setiap anggota pasukan diberi pinjaman oleh Abu Musa seperti yang diberikan kepada kalian berdua ?”. Mereka berdua menjawab, “Tidak”. Umar berkata kembali, “Apakah karena kalian anak-anak dari Amirul Mu`minin, sehingga dia memberikan pinjaman uang ?. Kembalikan sejumlah uang tersebut dengan keuntungannya”. Abdullah hanya terdiam sementara Ubaidillah angkat bicara, “Tidak sepantasnya engkau berbuat demikian, wahai Amirul Mu`minin. Kalau uang ini berkurang atau habis, pasti kami akan bertanggung jawab”. Umar tetap berkata, “Berikan kembali uang itu semuanya”. Abdullah masih tetap diam sementara Ubaidillah tetap membantah. Tiba-tiba salah seorang di antara pengawal Umar berkata, “Bagaimana bila engkau menjadikannya sebagai suatu investasi, wahai Umar ?”. Kemudian Umar menjawab, “Ya, aku akan jadikannya sebagai suatu investasi”. Kemudian Umar mengambil sejumlah uangnya dan setengah dari keuntungannya, sementara Abdullah dan Ubaidillah mengambil setengah dari keuntungannya”.

Kemudian, bukti lainnya adalah adanya perjalanan (safar) dari Rosululloh  dan para sahabatnya  untuk mencari penghidupan yang lebih layak dalam bentuk perjalanan hijrah ke beberapa daerah atau kota pada masa-masa awal dakwah (siar) Islam dilakukan, disebabkan oleh banyaknya intimidasi dan penyiksaan dari kaum kafir Quraisy terhadapnya . Selanjutnya adalah adanya bukti lain perjalanan (safar) dari Rosululloh  dan para sahabatnya  untuk mengais rizki , menyebarkan dakwah, ber-jihad , berniaga, dan memperluas wilayah kekhalifahan dalam bentuk perjalanan pengiriman utusan-utusan (ekspedisi) ke beberapa daerah dan negara/bangsa, di antaranya adalah bersafarnya para utusan yang dikirim ke Najasyi/Raja Habasyah-Eithiopia, Al-Muquqis/Raja Mesir, Kisra/Raja Persia, Kaisar Raja Romawi-Yunani Heraklius, Al-Mundzir bin Sawi/Raja Bahrain, Haudzah bin Ali/Penguasa Yamamah, Harits bin Abi Syamr Al-Ghassani/Penguasa Damaskus-Siriyah, dan Jaifar dan ‘Abd/Raja Oman . Pada akhirnya adalah adanya bukti lain perjalanan (bersafarnya) dari para khalifah Islam pasca Rosululloh  dan para sahabatnya  untuk berdakwah, ber-jihad, dan memperluas wilayah kekhalifahan dalam bentuk perjalanan pengiriman pasukan pengintervensi beberapa daerah dan negara/bangsa.
Di antaranya adalah bersafarnya para pasukan Islam yang dikirim ke Syam, Mekkah, Dzul Qashshah (daerah di sekitar Madinah), Yaman, Yamamah, Bahrain, Oman, Negeri Mahrah, Irak, Mesir, Palestina, Jazirah Eufrat, Habasyah-Eithiopia, Ciprus, Kurasan (Afganistan), Azerbaijan, Armenia, dan daerah/negara bagian timur di sekitarnya, yang dimulai pada saat terjadinya perpindahan tampuk pimpinan kekhalifahan dari Rosululloh  (yang telah wafat) kepada para khulafaur Rosyidin  [yakni: (1) Abu Bakar Ash-Shiddiq  (tahun 632-634 M.); (2) Umar bin Khoththob  (tahun 634-644 M.); (3) Utsman bin Affan  (tahun 644-656 M.); (4) Ali bin Abi Tholib  (tahun 656-661 M.); (5) Umayyah  (tahun 661-750 M., - [perluasan kekhalifahan sudah mencapai beberapa daerah di Afrika Utara sampai Maroko pada tahun 712 M., lembah sungai Shindu di India pada tahun 712 M., dan Konstantinopel/kekaisaran Romawi Timur di Turki pada tahun 1453 M.]); (6) Abbasiyah (tahun 750-1258 M., - Dipimpin oleh Khalifah Al-Abbas  paman Rosululloh  [termasuk ketika dipimpin oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid, tahun 786-809 M., yang mengalami puncak kejayaan kekhalifahan Islam di dunia, yang berpusat di Baghdad-Irak]); (7) Cordoba (tahun 929 M., - Dipimpin oleh Khalifah Abdur Rahman yang juga merupakan keturunan dari Khalifah Umayyah dan Fathimiyah sebelumnya di Cordoba-Spanyol)] sampai dengan akhir abad ke-15 M..

Namun demikian, dengan berlalunya masa kejayaan dari kekhalifahan Islam (yakni sejak kekhalifahan Nabi Muhammad  (610-632 M.) dan para sahabatnya/Khulafaur Rosyidin  (632-661 M.) sampai dengan kekhalifahan Umayyah-Fathimiyah (Cordoba) pada akhir abad ke-15 masehi), maka dimulailah kembali perkembangan dunia safar (perjalanan) dalam bentuk kolonial yang sebelumnya juga pernah berlangsung pada zaman pra-sejarah (sebelum masehi), yang dimulai kembali pada abad pertengahan (terutama ditunjukkan dengan adanya perkembangan beberapa faham baru di benua Eropa [seperti faham-faham kolonialisme, imperialisme, merkantilisme, dan kapitalisme], dan revolusi industri) sampai saat ini (terutama ditunjukkan dengan adanya sistem perdagangan bebas dan globalisasi perdagangan internasional) .

 Zaman abad pertengahan sampai kini.
Perkembangan kembali dunia safar (perjalanan) dalam bentuk kolonial pada abad pertengahan (pasca kekhalifahan Islam) dimulai dengan adanya perang salib (tahun 1096-1291 M.) dan perkembangan beberapa faham baru di benua Eropa dalam dunia perdagangan dan sistem monopolinya, seperti faham-faham kolonialisme, imperialisme, merkantilisme, dan kapitalisme, serta adanya revolusi industri.
Meletusnya perang salib tersebut menghidupkan kembali kontak perjalanan (safar) antara Eropa dengan dunia Timur (Timur Tengah dan Asia lainnya), khususnya dalam bidang perdagangan dan sistem “kolonial”-nya. Keadaan ini semakin bertambah ramai dengan munculnya kota-kota pusat dunia perdagangan yang baru, di antaranya adalah Genoa, Venesia, dan lain-lain, yang diikuti dengan muncul dan berkembangnya secara pesat usaha-usaha industri secara kecil-kecilan (dalam bentuk home industry) di Eropa (khususnya di Inggris) sekitar tahun 1200 M., serta perserikatan kota-kota dagang Eropa (disebut juga hansa) sekitar tahun 1350. Pesatnya perkembangan beberapa keadaan tersebut yang diiringi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa tersebut kemudian mendorong terjadinya revolusi industri di Inggris, yang terutama mengakibatkan terjadinya peningkatan frekuensi perjalanan (safar) dari para penduduk untuk mengais rizki di daerah perkotaan industri (urbanisasi), munculnya industri secara besar-besaran, timbulnya faham-faham kapitalisme modern, sosialisme, dan komunisme di negaranya tersebut.
Di sisi lain, terjadinya revolusi industri di Inggris sangat berpengaruh terhadap perkembangan beberapa faham baru di benua Eropa dan dunia internasional dalam bidang perdagangan dan sistem monopolinya, terutama faham-faham kolonialisme, imperialisme, merkantilisme, dan kapitalisme modern pada masa tersebut. Data menunjukkan bahwa dengan adanya faham-faham merkantilisme dan kapitalisme modern tersebut menjadikan banyak negara di benua Eropa menemukan bentuk, identitas, dan wujud persekutuannya menjadi negara-negara nasional yang selalu berusaha untuk memperkuat kedudukan dan menumpuk kekayaan di samping mengatasi berbagai permasalahan yang membutuhkan biaya yang sangat besar di dalam negaranya, dengan melakukan perjalanan (safar) perniagaan pada abad ke-16 dan ke-17.
Melalui kegiatan perjalanan (safar) perniagaan tersebut, beberapa negara/bangsa di Eropa, di antaranya Spanyol, Belanda, Portugis, Inggris, dan Perancis, berhasil mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari pusat-pusat perdagangan yang sangat strategis pada daerah-daerah kekuasaan (jajahan)-nya. Dengan keadaan seperti ini, maka beberapa negara/bangsa Eropa tersebut dapat memperkuat keinginannya untuk mewujudkan kolonialisme, imperialisme, merkantilisme, dan kapitalisme di daerah kekuasaan (jajahan)-nya, bahkan untuk menguasai dan memerintah sebagian besar wilayah di dunia ini, sampai dengan awal-pertengahan abad ke-20. Beberapa keuntungan itu ternyata semakin bertambah dirasakan oleh beberapa negara/bangsa Eropa tersebut dengan dibukanya terusan Suez di negara Mesir pada tahun 1869, terutama bagi negara Inggris yang berhasil menguasai terusan tersebut pada tahun 1875. Di sisi lain, kegiatan perjalanan (safar) perniagaan tersebut juga telah membuka penemuan-penemuan benua-benua baru, di antaranya adalah benua Amerika dan Australia.
Ibnu Taimiyah berkata bahwa, “Yang menarik adalah bahwa faktanya bentuk utama penanaman modal dan transaksi ekonomi perdagangan yang dilakukan di Eropa sejak masa pertengahan sampai sekarang pada umumnya juga dilakukan dengan menggunakan sistem kerja sama (mudhorobah - partnership) dengan ukuran melakukan suatu perjalanan (safar - ekspedisi) niaga tersebut. Data menunjukkan bahwa, sejak abad pertengahan di benua Eropa, para pemilik modal dagang tinggal di rumahnya masing-masing dan menyerahkan sepenuhnya dagangannya kepada orang kepercayaannya (sebagai agen perdagangannya). Agen tersebut memperoleh bagian keuntungan dari sistem kerja sama tersebut, yang teknik pelaksanaannya ditentukan dengan suatu undang-undang (produk hukum) yang telah disepakati oleh kedua pihak. Sistem kerja sama ini ternyata tidak hanya dapat memberikan keuntungan sesaat tetapi juga dapat menjadikan berkembangnya harta dari pihak pemilik modal dan rekanannya, bahkan lebih luas lagi, faktanya telah menjadikan negara-negara di benua Eropa sejak abad pertengahan sampai sekarang mengalami perkembangan yang pesat dari taraf ekonominya .
Pada tahun 1800-an masehi, perdagangan antar negara-negara imperialis di Eropa dan dunia melalui sarana safar semakin berkembang dan komplek sehingga memunculkan teori ekonomi baru yang disebut dengan perdagangan internasional.
Pada pertengahan abad ke-20 masehi, mulailah muncul suatu kepercayaan dan pandangan akan adanya kegiatan perdagangan bebas yang pada umumnya juga dijalankan melalui sarana safar dan diperkirakan dapat menjadikan suatu hal yang sangat penting, di mana hal tersebut ternyata sangat mendominasi pemikiran di antara negara-negara imperialis barat (Eropa) untuk beberapa waktu sejak saat itu dan membawa mereka kepada terjadinya kemunduran besar di Britania (Inggris) .
Data sejarah menunjukkan bahwa sejak berakhirnya perang dunia kedua hingga sekarang, pangsa dari pengeluaran dalam negeri suatu negara terhadap barang dan jasa yang diimpor dari negara lainnya, dan bagian dari produksi barang dan jasa di dalam negeri suatu negara yang diekspor ke luar negerinya terus mengalami peningkatan, sehingga hal-hal tersebut dengan sendirinya akan meningkatkan nilai (volume) dan perjalanan (safar) untuk perdagangan dunia. Fakta sejarah lainnya menunjukkan bahwa integrasi perjalanan (safar) perdagangan antar negara sejak saat itu mulai meningkat pesat, terutama pada tahun 1970-an, di mana pada saat itu banyak negara di dunia mulai menerapkan sistem perekonomian terbuka (yang disebut sebagai era keterbukaan ekonomi global), walaupun setelah masa itu fakta sejarah juga menunjukkan bahwa terkadang terjadi penurunannya, terutama pada pertengahan dekade 80-an, namun demikian mengalami akselerasi (peningkatan yang cepat) kembali pada tahun 90-an .
Selanjutnya data sejarah juga menunjukkan bahwa setelah adanya peningkatan laju perjalanan (safar) dalam dunia perdagangan yang sangat pesat sejak tahun 1970-an sampai dengan tahun 1990-an, beberapa negara yang sudah maju di dunia (terutama Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Cina, dan Uni Eropa) membuat beberapa perjanjian multilateral kontroversial antara beberapa negara maju di dunia dalam bidang perdagangan, seperti GATT dan WTO, yang mencoba mengusahakan untuk membuat regulasi global dalam kegiatan perdagangan bebas tersebut, yang terkadang berujung pada protes dan ketidakpuasan dengan wujud klaim perdagangan yang tidak adil dan tidak menguntungkan secara mutual .
Di sisi lain, dengan semakin luasnya perkembangan kegiatan perjalanan (safar) dalam kegiatan perdagangan bebas internasional ternyata berdampak luar biasa terhadap perkembangan di bidang transportasi dan komunikasi pada akhir abad ke-19 sampai dengan saat ini sehingga memunculkan apa yang dinamakan dengan istilah era globalisasi dan perdagangan (bebas) internasional, yang kemudian ternyata membawa pengaruh luar biasa bagi suatu perekonomian dan peradaban manusia dan negara .
Data dari fakta-fakta sejarah tersebut di atas menunjukkan bahwa perjalanan (safar) sejak masa jahiliyyah, Islam berkembang, abad pertengahan, dan sampai dengan sekarang pada umumnya telah dijadikan sebagai suatu ukuran dalam mencari, mendapatkan rizki, dan mengembangkan rizkinya yang telah diperoleh, yakni dengan senantiasa ber-safar, berusaha mencari/mendapatkan peluang (khususnya dengan berniaga), atau mengantarkan barang-barang dagangan ke tempat atau negeri yang jauh .
Data dari perkembangan perekonomian di Indonesia juga tidak terlepas dari adanya safar (perjalanan) untuk mengais rizki, berdagang, menimba ilmu, beribadah, dan lain-lain. Telah dikemukakan sebelumnya bahwa perjalanan (safar) dalam usaha mengais rizki (terutama dalam bidang perdagangan) telah ada sejak zaman dahulu kala (zaman para nenek moyang dan kerajaan-kerajaan di Indonesia), baik pada zaman sebelum dan sesudah masehi. Hal ini makin diperkuat dan sangat erat hubungannya dengan adanya fakta-fakta sejarah penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang pelayaran, pembuatan perahu, astronomi, Jalur Sutera, dibukanya terusan Suez di Mesir , dan penjajahan (dari bangsa-bangsa Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang di Indonesia) pada akhir zaman sebelum dan awal zaman sesudah masehi, abad pertengahan, sampai dengan pertengahan abad ke-20.
Beberapa hal sederhana yang harus diperhatikan sebenarnya sudah tercakup dalam pengertian dari kata safar itu sendiri, yakni:
1. Nampak atau menampakkan, yang berarti bahwa akhlaq, karakter, dan sifat pribadi harus senantiasa ditampakkan dan diarahkan pada kejujuran, amanah (dapat dipercaya), dan pengetahuan yang benar.
2. Bergerak, berjalan, bekerja, berusaha, mencari peluang, dan berjuang terus semaksimal mungkin sesuai dengan motivasi dan kemampuan yang ada dengan penuh kesabaran.
3. Perbanyak tadabur (merenung), ber-dzikir/berdo’a (mengingat Alloh), dan berbekal ketaqwaan kepada Alloh  dengan penuh keikhlasan hanya kepada-Nya.
Panduan Praktis

1. Beberapa keadaan seorang musafir menjadikan dia insya Alloh akan mendapat berbagai macam kemudahan, karunia (hikmah), dan manfa’at dari Alloh  dalam ibadah, mu’amalah, pengetahuan, kesehatan, dan lain-lain, baik dalam bentuk nyata (riil) maupun abstrak, ketika berada dalam safar-nya.
2. Karunia ber-safar dalam bentuk ri’il menurut tinjauan syar’iat Islam di antaranya adalah diberikan beberapa rukshoh (kemudahan) dan pertolongan, baik dalam beribadah maupun ber-mu’amalah.
3. Beberapa gangguan kesehatan yang kemungkinan besar terjadi selama atau ketika ber-safar pada umumnya dapat disebabkan oleh:
a. Aktivitas dan perubahan lingkungan fisis.
b. Pengkonsumsian minuman dan makanan yang tidak baik, higienis, dan sembarangan.
c. Adanya infeksi serangga dan hewan-hewan lainnya.
d. Perilaku seksual yang tidak dapat terkontrol dengan baik.
e. Berbagai situasi khusus lainnya.
4. Faktanya ketika ber-safar adalah, kelompok anak-anak akan sangat beresiko tinggi untuk mudah mengalami infeksi flu, terjangkit malaria, demam berdarah, penyakit tifus, dan lain-lain, mengingat bahwa pada usia-usia tersebut keadaan stamina dan daya tahan tubuhnya masih belum/kurang terlatih dan/ beradaptasi untuk melakukan perjalanan jauh, dan juga belum mampu secara benar dalam mengontrol dirinya untuk menghadapi kondisi fisik lingkungan, kebutuhan akan asupan makanan/minuman yang higienis, dan kestabilan jiwanya.
5. Faktanya juga ketika ber-safar adalah, kelompok wanita yang sedang hamil akan sangat beresiko terjadinya kelainan/gangguan pada janin yang ada dalam kandungannya. Gangguan dan kelainan pada janin yang dikandungannya tersebut sangat rentan terhadap beberapa perubahan-perubahan lingkungan fisik, adanya infeksi dari beberapa serangga dan hewan, asupan makanan/minuman yang tidak higienis, dan adanya ketidakstabilan perasaan dari ibu yang mengandungnya, yang sangat mungkin terjadi selama masa bepergian.
6. Karunia ber-safar dalam bentuk ri’il menurut tinjauan medis di antaranya adalah, penormalan fungsi jantung, penunaian hak tubuh, penstabilan kondisi tubuh (melalui beberapa ketentuan rukhsoh-Nya dalam safar), dan peningkatan daya tahan tubuh (melalui peningkatan resiko terpaparnya suatu penyakit pada tubuh).
7. Karunia ber-safar dalam bentuk abstrak menurut tinjauan medis di antaranya adalah, peningkatan ilmu pengetahuan melalui tadabur dalam safar, mendapatkan pengalaman baru, peningkatan silaturahim dan ukhuwah (persatuan) antara sesama manusia (terutama saudara se-iman), khususnya yang membawa kepada ketenangan jiwa, kemaslahatan (kebahagian) umat, perbaikan akhlaq (budi pekerti), dan persatuan dan kekuatan suatu negeri, dan penenangan keadaan hati/jiwa.
8. Karunia ber-safar menurut tinjauan ekonomi adalah memudahkan untuk mencari dan mendapatkan (mengais) rizki, serta mengembangkannya, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk meningkatkan keadaan perekonomian suatu masyarakat atau negara.
9. Beberapa fakta dalam melakukan transaksi di bidang ekonomi (khususnya perdagangan) menunjukkan bahwa perjalanan (safar) sejak masa jahiliyyah, Islam berkembang, abad pertengahan, dan sampai dengan sekarang pada umumnya telah dijadikan sebagai suatu ukuran dalam mencari, mendapatkan rizki, dan mengembangkan rizki (harta)-nya yang telah diperoleh, yakni dengan senantiasa melakukan suatu perjalanan (ber-safar), berusaha mencari/mendapatkan peluang (khususnya dengan berniaga), mengantarkan barang-barang dagangan ke tempat atau negeri yang jauh, bahkan sampai melakukan penumpukkan kekayaan, perluasan dan penjajahan pada beberapa/banyak daerah atau bangsa yang baru di muka bumi.
10. Pengertian dari kata safar yang harus diperhatikan dan sangat berhubungan dengan usaha untuk mengais rizki adalah, nampak atau menampakkan, bergerak, berjalan, bekerja, berusaha, mencari peluang, dan berjuang terus semaksimal mungkin sesuai dengan motivasi dan kemampuan yang ada dengan penuh kesabaran, serta perbanyak tadabur (merenung), ber-dzikir/berdo’a (mengingat Alloh), dan berbekal ketaqwaan kepada Alloh  dengan penuh keikhlasan hanya kepada-Nya.



BAB V
PENUTUP

Begitu banyak karunia yang telah ditentukan Alloh  dan sunnah rosul-Nya  dalam atau ketika melakukan safar , semuanya itu tidak lain hanyalah salah satu nikmat yang diberikan-Nya untuk semua umat-Nya (khususnya manusia) agar mereka senantiasa mensyukurinya dengan keikhlasannya.
Alloh  dan rosul-Nya  menghendaki kemudahan bagi umatnya, dan tidak menghendaki kesukaran bagi umatnya. Berat terasa bagi Rosululloh  penderitaan umatnya, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagi umatnya, dan sangat berbelas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin, supaya umatnya senantiasa bersyukur kepada-Nya.


Artinya:
“Maha suci Engkau-wahai Alloh, dan segala puji buat-Engkau, aku bersaksi bahwa tidak ada “Illah” kecuali Engkau, aku memohon ampunan-Mu, dan aku bertaubat kepada-Mu”.












































Daftar Pustaka
(Maroji’)

1. Abdul Lathif Abu Yusuf, AS., “Nisa`”: Haji Wanita Tanpa “Mahrom”, Majalah Al-Furqon, Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Ed. 03/Th.VI, Gresik – Jawa Timur; 57-61.
2. Abdul Lathif Abu Yusuf, AS., Kaidah “Fiqih”: Kesulitan Membawa Kemudahan, Majalah Al-Furqon, Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Ed. 09/Th.V, Gresik – Jawa Timur; 34-36.
3. Abdurrahman Al-Jibrin, A., “Al-Fatawa asy-Syar’iyyah fil-Masaa`ilil Thibbiyyah” (Ed. Terjemahan: Fatwa-Fatwa Seputar Pengobatan dan Kesehatan), Pustaka At-Tibyan, Cet. I, Surakarta, Maret 2002.
4. Abidin, SAN., Susanto, L., Astuty, H., Diagnosis Malaria Dengan Metode Lama dan Baru, Maj. Kedokt. Indonesia, MKI-IDI Pusat, Vol: 47, No.2, Jakarta, Februari 1997; 75-8.
5. Acang, N., Kasus Malaria Resisten Klorokuin di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS. Dr. M. Djamil, Padang, Maj. Kedokt. Indonesia, MKI-IDI Pusat, Vol: 52, No.11, Jakarta, November 2002; 383-9.
6. Adz-Dzahabi., “Nuzhah al-Fudhala’ Tahdzib Siyar A’lam an-Nubala’” (Ed. Terjemahan: Ringkasan “Siyar A’lam an-Nubala”, - Jilid 1), Pustaka Azzam, Cet. I, Jakarta, Maret 2008.
7. Ahmad Al-Haritsi, J., “Al-Fiqh al-Iqtishodi Li Amiril Mu`minin Umar Ibn al-Khoththob” (Ed. Terjemahan: Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khaththab), Khalifah (Pustaka Al-Kautsar Group), Cet. I, Jakarta, Oktober 2006.
8. Ahmad, H., Pengaruh Pemberian Ekstrak “Psidium guajava” Terhadap Jumlah Trombosit pada Penderita Demam Berdarah Dengue di Bangsal Rawat Inap Penyakit Dalam RSUD. Dr. Saiful Anwar, Malang, Maj. Kedokteran dan Farmasi – Dexa Media, Dexa Medica, No. 1, Vol: 15, Jakarta, Januari – Maret 2002; 9-10.
9. Ahmad, M., Etika Bisnis Dalam Islam, Pustaka Al-Kautsar, Cet. I, Jakarta, Januari 2001.
10. Al-Albani, MN., “Mukhtashor Shohih Bukhori” (Ed. Terjemahan: Ringkasan Shohih Bukhori, - Jilid 1 dan 2), Pustaka Azzam, Jakarta, 2001.
11. Al-Albani, MN., Shohih Adabul Mufrod Al-Bukhori (Ed. Terjemahan, Jilid 1), Pustaka Azzam, Jakarta, 2004.
12. Al-Albani, MN., “Mukhtashor Shohih Muslim” (Ed. Terjemahan: Ringkasan Shohih Muslim, - Jilid 1 dan 2), Pustaka Azzam, Jakarta, 2002.
13. Al-Albani, MN., “Shohih Sunan Abu Dawud” (Ed. Terjemahan, Jilid 1), Pustaka Azzam, Jakarta, 2001.
14. Al-Albani, MN., “Shohih Sunan At-Tirmidzi” (Al-Jami’), (Ed. Terjemahan, Jilid 1), Pustaka Azzam, Jakarta, 2003.
11. Al-Albani, MN., “Shohih Sunan An-Nasaa-i” (Ed. Terjemahan, Jilid 1), Pustaka Azzam, Jakarta, 2004.
12. Al-Albani, MN., “Shohih Sunan Ibnu Majah” (Ed. Terjemahan, Jilid 1), Pustaka Azzam, Jakarta, 2004.
13. Al-Albani, MN., “As-Silsilatu al-Ahadits ash-Shohiihah [Ash-Shohiihah]” (Ed. Terjemahan, Jilid 1, 2, dan 3), Qisti Press, Jakarta, 2005, 2006.
14. Al-Albani, MN., “As-Silsilatu al-Ahadits adh-Dho’iifah [Adh-Dho’iifah]” (Ed. Terjemahan, Jilid 1, 2, 3, dan 4), Gema Insani Press, Cet. II, Jakarta, 2000.
15. Al-Albani, MN., “Adab az-Zifaf” (Ed. Terjemahan: Cincin Kawin Pernikahan), Najla Press, Jakarta, 2002.
16. Al-Albani, MN., “Ashlu Shifatu Sholat Nabi ” (Ed. Terjemahan, Kitab 1, 2, 3), Griya Ilmu, Jakarta, Shafar 1428 H. – Maret 2007 M.
17. Al-Albani, MN., “Ghooyatul Maroom – Takhrij Ahadits al-Halaal wal-Haroom” (Ed. Terjemahan: Ghayatul Maram – Takhrij Hadits Kitab Al-Halal dan Haram Yusuf Qardhawi), Robbani Press, Cet. II, Jakarta, September, 2001 M.; hal. 423-481.
18. Al-Albani, MN., “Hajjatun Nabi . kamaa Rowahaa ‘Anhu Jabir ” (Ed. Terjemahan: Haji dan Umrah seperti Rosululloh, .), Gema Insani Press, Jakarta, 1994.
19. Al-Albani, MN., “Irwa’ al-Gholil” (Ed. Terjemahan: “Irwa’ Al-Ghalil”, Telaah Kritis terhadap “Matan Hadits Kitab Manar As-Sabil” [Pembahasan Hadits tentang Bersuci]) – Kitab 1, Najla Press, Cet.I, Ed. Indonesia, Jakarta, September 2003 M..
20. Al-Albani, MN., “Kitaabus Sunnah Zhilaalul Jannah fii Takhrij as-Sunnah lii Hafizh Ibnu Abi ‘Ashim” (Ed. Terjemahan: “Takhrij Kitab Sunnah”), Najla Press, Cet. I, Jakarta, Desember 2003.
21. Al-Albani, MN., Bab. Musafir, “Majmu’ah Fatawa Al-Madinah Al-Munawarroh” (Ed. Terjemahan: Fatwa-Fatwa Al-Albani), Pustaka At-Tauhid, Cet.I, Ed. Indonesia, Jakarta, Jumadil Awwal 1423 H. – Agustus 2002 M.; 74-91.
22. Al-Albani, MN., “Mukhtashor asy-Syamaa`il al-Muhammaddiyah” (Ed. Terjemahan: Karakter dan Kepribadian Rasulullah , Kitab 1), Pustaka At-Tibyan, Solo, Nopember 2005.
23. Al-Albani, MN., “Riyadush Sholihin”, - tahqiq: Syaikh M. Nashiruddin Al-Albani, (Jilid 1 - 2) (Ed. Terjemahan: “Shohih Riyadush-Shalihin”), Pustaka Azzam, Cet. I – Ed. Revisi, Jakarta, April 2003.
24. Al-Albani, MN., “Shohih at-Targhib wat-Tarhib”, - tahqiq: Syaikh M. Nashiruddin Al-Albani, (Jilid 1 - 5), Maktabah Nazaaru Musthofal-Baaz, 2004 M..
25. Al-Albani, MN., “Tamamul Minnah fii Ta’liq ‘Alaa Fiqhus Sunnah” (Ed. Terjemahan: Terjemahan “Tamamul Minnah”, Komentar dan Koreksi Secara Ilmiah terhadap Kitab Fiqhus Sunnah karya Sayyid Sabiq), Pustaka Sumayyah, Cet.I, Ed. Indonesia - Lengkap, Banjarsari-Pekalongan, Jumadil Awwal 1427 H. – Juni 2006 M.; 349-382.
26. Al-Atsari, AA., Adab Mendulang Pahala di Saat “Safar”, Majalah Al-Furqon, Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Ed. 06/Th.III, Gresik – Jawa Timur; 39-42.
27. Al-Jauziyah, IQ., “I’lamul Muwaqqi’in”, (Ed. Terjemahan - Revisi: Panduan Hukum-Hukum Islam, – Jilid 1-4), Pustaka Azzam, Cet.II., Jakarta, Juli 2007 M..
28. Al-Jauziyah, IQ., “Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibaadi”, - tahqiq: Syaikh M. Nashiruddin Al-Albani, Maktabah Al-Mauridi – Maktab Ash-Shofaa, 2002; 183-191.
29. Al-Juroisiy, K., “Al-Fatawa asy-Syar’iyyah fii al-Masaa`il al-‘Ashriyyah min Fatawa ‘Ulamaa` al-Balaad al-Haroom” (Ed. Terjemahan: Fatwa-Fatwa Terkini, Jilid 1,2, dan 3), Darul Haq, Cet. I, Jakarta, Sya’ban 1424 H. / Oktober 2003 M..
30. Al-Mubarokfury, S., “Ar-Rohiq al-Makhtum; Bakhtun fis-Siirotin-Nabawiyyah ‘ala Shohibha Afdhosh-Sholati wassalami” (Ed. Terjemahan: Perjalanan Hidup Rasul Yang Agung Muhammad : Dari Kelahiran Hingga Detik-Detik Terakhir), Darul Haq, Cet. III, Jakarta, Ramadhan 1426 H. – Oktober 2005 M.
31. Al-Qur’an Al-Karim, Wakaf dari Pelayan Dua Tanah Suci Raja Fahd bin Abdul Aziz Al-Su’ud.
32. Al-Jaiziri, “Minhaj al-Muslimin” (Ed. Terjemahan: Ensiklopedi Muslim), Darul Falah, Cet.V., Jakarta, November 2003 M. / Romadhon 1424 H; 342-348.
33. Al-Umuri, AD., “As-Sirah an-Nabawiyah ash-Shohiihah: Muhawalah li Tahtbiq Qawa`id al-Muhadditsin fi Naqdi Riwayah as-Sirah an-Nabawiyah” (Ed. Terjemahan: Seleksi Sirah Nabawiyah: Studi Kritis Muhadditsin Terhadap Riwayat Dha’if), Darul Falah, Cet. III, Jakarta, Jumadil Tsani 1425 H. – Agustus 2004 M.
34. Ali, AIM., Ketentuan Gadai Dalam Safar – Hukum Gadai Dalam Islam, Majalah Al-Furqon, Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Ed. 07/Th.V, Gresik – Jawa Timur; 38.
35. ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani, S., “Sholah al-Musafir Mafhum wa Anwa’ wa Adab wa Darojah wa Ahkam fi Dhou`il Kitab was-Sunnah” (Ed. Terjemahan: Adab Safar – Perjalanan Penuh Berkah), Media Hidayah, Cet. I, Karang Asem-Jogjakarta, Jumadil Tsani 1425 H. – Juli 2004 M.; 13-127.
36. Amir Abdat, AH., Dalil “Shohih” Tentang Shalat “Jama` - Qashar”, Al Masaa-il (Masalah-Masalah Agama) – Jilid 6, Darus Sunnah, Cet.Kesatu, Jakarta, April 2006; 86-103.
37. Anonima, Soal-Jawab: Apakah Saya Seorang “Musafir” ?, Majalah Al-Furqon, Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Ed. 07/Th.V, Gresik – Jawa Timur; 5-8.
38. Anonima, “Arkanul Islam”: Shalat “Jama`” dan “Qashar”, Majalah Fatawa, Vol. IV/No. 4, Rabi-ul Akhir 1429 H. – April 2000, ; 30-32.
39. Anonima, “Fatwa-Fatwa”: Lajnah Ad-Daimah – “Fatwa-Fatwa” Romadhon, “Safar” Dengan Pesawat, Kapan Berbuka ?, Majalah Al-Furqon, Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Ed. 02/Th.II, Gresik – Jawa Timur; 26.
40. Anonima, “Fatwa-Fatwa”: Muhammad Sholih Al-‘Utsaimin – “Risalah Mawaqit Ash-Sholaah”, Waktu-Waktu Sholat, Majalah Al-Furqon, Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Ed. 12/Th.V, Gresik – Jawa Timur; 39.
41. Anonima, “Aqidah”: Ziarah Kubur, Wisata Spiritual, Majalah Al-Furqon, Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Ed. 03/Th.II, Gresik – Jawa Timur; 5-10.
42. Anonima, Soal-Jawab: Berapa Lama “Musafir” Boleh Men-“jama`” Sholat?, Majalah As-Sunnah, Yayasan Lajnah Istiqomah, Ed. 12/Th.X, Surakarta – Jawa Tengah; 7.
43. Anonima, Soal-Jawab: “Musafir” atau Bukan?, Majalah As-Sunnah, Yayasan Lajnah Istiqomah, Ed. 8/Th.XI, Surakarta – Jawa Tengah; 8.
44. Anonima, Soal-Jawab: Sholat Jum’at “Musafir”, Majalah As-Sunnah, Yayasan Lajnah Istiqomah, Ed. 9/Th.XI, Surakarta – Jawa Tengah; 9.
45. An-Nawawi, “Shohiih Muslim bi Syarh an-Nawawi”, - tahqiq: ‘Isham Ash-Shababithi, Hazim Muhammad, ‘Imad ‘Amir, (Ed. Terjemahan: Terjemahan Syarah Shahih Muslim, – Jilid 3), Mustaqim, Cet.I., Jakarta, April 2006 M. / Robi’ul Awwal 1427 H.; 440-862.
46. Anas, M. (Imam Malik), “Al-Muwaththo’ lil-Imam Malik”, - takhrij: Muhammad Ridhwan, Syarif Abdullah, (Ed. Terjemahan: Al-Muwaththai – Imam Malik, – Jilid 1), Pustaka Azzam, Cet.I., Jakarta, September 2006 M.; 199-211.
47. As-Sa’di, “Taisir al-Lathif al-Manan fii Khulashoh Tafsiri al-Qur’an”, (Ed. Terjemahan: Ringkasan Tafsir As-Sa’di), Pustaka An-Nusroh, Cet.I., Tegal-Jawa Tengah, Juli 2004 M. / Jumadil Akhir 1425 H.; 173-194.
48. As-Sayyid Salim, AMK., “Shohih Fiqh as-Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhih Madzahib al-A’immal” - tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Bin Baz, ‘Utsaimin, dan Ulama-Ulama Hadits lainnya (Ed. Terjemahan: Shohih Fikih Sunnah, – Jilid 2), Pustaka At-Tazqiyah, Jakarta, Rajab 1427 H. / Agustus 2006 M.; 154-187.
49. Ash-Shon’ani, M., “Subulus Salam (Syarh Bulughul Marom - Ibnu Hajar Atsqolani)”, - tahqiq: Syaikh M. Nashiruddin Al-Albani, (Ed. Terjemahan: Terjemahan Subulus Salam, – Kitab 1,2), Darus Sunnah, Cet. I, Jakarta, Oktober 2007; 668-726.
50. Asy-Syaukani, M., “Nail Al-Author” (Ed. Terjemahan: Nailul Authar) – Kitab 3, CV. Asy-Syifa’, Cet.I, Semarang, 1994; 465-574.
51. Atsari, AIM., “Mabhats”: Sholat Jum’at Dalam Pandangan “Fiqih”, Majalah As-Sunnah, Yayasan Lajnah Istiqomah, Ed. 2/Th.VIII, Surakarta – Jawa Tengah.
52. Atsqolani, IH., “Fathul Baari (Syarh Shohih Al-Bukhori)” (Ed. Terjemahan: “Fathul Baari”, Penjelasan Kitab Shohih Bukhari – tahqiq: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, – Kitab 6), Pustaka Azzam, Cet.II, Jakarta, April 2003; 113-199.
53. Atsqolani, IH., “Bulughul Marom”, - tahqiq: Syaikh M. Nashiruddin Al-Albani, (Ed. Terjemahan: Bulughul Marom), Pustaka Imam Adz-Dzahabi, Cet.I, Bekasi, Mei 2007; 201-222.
54. Badawi Al-Khalafi, ‘A’A., “Al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz” (Ed. Terjemahan: “Al-Wajiz”, – Ensiklopedi Fiqih Islam Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shohihah), Pustaka As-Sunnah, Cet. II, Jakarta, Oktober 2006; 288-311.
55. Baz, AA., “Al-Ahkaamu asy-Syar’iyyah fii al-Fataawa an-Nisaa’iyyah” (Ed. Terjemahan: Fatwa-Fatwa Islamiyah untuk Ukhti Muslimah – tahqiq: Usamah bin Abdul Fattah Al-Baththah), At-Tibyan – Solo, Ed. Indonesia, Surakarta.
56. Baz, AA., “Fatawwa Muhimmah Tata’allaqu bi ash-Shalaah” (Ed. Terjemahan: Risalah Shalat – Tanya Jawab Seputar Shalat dan Kaifiyah Shalat Secara Singkat), Mujahid Press, Cet. III, Banjaran-Bandung, Dzulhijjah 1424 H. – Pebruari 2004 M.; 87-94.
57. Baz, AA., “Fatawwa fii Ahkamu Qashar wa Jamaa`Shalaah” (Ed. Terjemahan: Hukum Men-qashar dan Men-jamaa` Dalam Shalat), Pustaka Arofah, Cet. I, Surakarta-Jawa Tengah, Robi’ul Awwal 1425 H. – Mei 2004 M.; 15-82.
58. Baz, AA., Sholih Al-‘Utsaimin, M., “Rosaa`il fii al-Thohaaroh wash-Sholaah” (Ed. Terjemahan: Tuntunan Thaharah dan Shalat), Islamic Propagation Office in Rabwah-rabwah@www.com/www.islamhouse.com, Cet. I, Al-Maktaba at-Ta’aawanii lid-Da’wah wa Taw’iyah al-Jaaliyah bir-Robwah, PO. Box 29465 Riyadh 11457 – Saudi Arabia; 1424 H. – 2004 M.; 1-39.
59. Baz, AA., “Tukhfatul Ikhwan bi Ajwibatin Muhimmah Tata’allaqu bi Arkaanil Islam” (Ed. Terjemahan: Menguak Fatwa Syaikh Bin Baz Seputar Aqidah dan Ibadah), Pustaka Barokah, Cet.I, Ed. Indonesia, Surakarta, Oktober 2003.
60. Badrika, IW., Sejarah: Untuk SMA - Jilid 1, Pen. Erlangga, Cet. I, Jakarta, September 2006.
61. Badrika, IW., Sejarah: Untuk SMA - Jilid 2, Pen. Erlangga, Cet. I, Jakarta, September 2006.
62. Broto, R., Pengaruh Penyakit Infeksi Terhadap Status Nutrisi Sistem Kekebalan Tubuh Manusia, Maj. Kedokteran dan Farmasi – Dexa Media, Dexa Medica, No. 1, Vol: 14, Jakarta, Januari – Maret 2001; 17-21.
63. Chen, K., Diagnosis dan Penatalaksanaan Toksoplasmosis pada Pasien HIV/AIDs, Naskah Lengkap Penyakit Dalam: Simposium PIT Penyakit Dalam - 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPNCM, Ed. I – Cet. I, Jakarta, Agustus 2006; 210-6.
64. Djaja, S., Irianto, J., Mulyono, L., Pola Penyakit Penyebab Kematian di Indonesia – Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001, Maj. Kedokt. Indonesia, MKI-IDI Pusat, Vol: 53, No.8, Jakarta, Agustus 2003; 295-302.
65. Djauzi, S., Yunihastuti, E., Kewaspadaan Universal dan Pencegahan Pasca Paparan HIV/AIDs, Naskah Lengkap Penyakit Dalam: Simposium PIT Penyakit Dalam - 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPNCM, Ed. I – Cet. I, Jakarta, Agustus 2006; 340-1.
66. Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, S., “Al-Mulakhkhos Al-Fiqih” (Ed. Terjemahan: Ringkasan Fiqih Lengkap, – Jilid I), Darul Falah, Cet. I, Ed. Indonesia, Jakarta, Jamadil Tsani 1426 H – Agustus 2005 M.; 232-263.
67. Febia, E., Widjaja, L., Efar, P., Sungkar, S., “Malaria Vaccines: Is It Effective Against Falciparum Malaria ?”, Maj. Kedokt. Indonesia, MKI-IDI Pusat, Vol: 54, No.1, Jakarta, Januari 2004; 18-24.
68. Ghonim As-Sadlaan, S., Sholaah al-Jamaa’ah Hukmuha wa-Ahkaamuha wat-Tanbih ‘alaa maa Yaqo`u fiiha min bidaa` wa-Akhtaa`.
69. Ghufran, AR., “Tafsir”: Singkirkan Keluh Kesah, Majalah Al-Furqon, Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Ed. 01/Th.III, Gresik – Jawa Timur, Sya’ban 1424 H.; 11-5.
70. Hadi, M., “Ash-Shohiihul Musnad min Asbabin Nuzuul” (Ed. Terjemahan: “Shohih Asbabun Nuzul”), Meccah, Depok, Muharrom 1427 H. – Pebruari 2006 M.
71. Harahap, KA., Rahasia Sukses Bisnis (Siti) Khadijah ; Sang Istri Nabi , Qultummedia, Cet. I, Tangerang – Jawa Barat, 2008.
72. Hawari, D., Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi, Balai Penerbit FKUI, Cet. IV, Jakarta, 2004.
73. Hendrik, Habbatus Sauda`, Thibbun Nabawiy  dalam Menangani Berbagai Penyakit dan Kesehatan Tubuh, Pustaka Al-Ummat, Cet. II, Surakarta, 2007.
74. Hendrik, Problema Haid – Tinjauan Syar’iat Islam dan Medis, Tiga Serangkai, Cet. I, Surakarta, 2006.
75. Hendrik, Sehat Dengan Shalat, Tiga Serangkai, Cet. I, Surakarta, Juni 2008.
76. Hendrik, Wijayanti, A., Mukjizat Zakat – Tinjauan Syar’iat, Medis, dan Ekonomi, Pustaka Iltizam, Cet. I, Surakarta, Juli, 2008.
77. Hupudio, H., Vaksin Untuk Wisatawan, Maj. Kedokt. Indonesia, MKI-IDI Pusat, Vol: 52, No.11, Jakarta, November 2002; 390-7.
78. Ibnu Hisyam Al-Muafiri, AMAM., “As-Sirah an-Nabawiyah li Ibn Hisyam” (Ed. Terjemahan: Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyamf – Jilid I dan II), Darul Falah, Cet. III, Jakarta, Rajab 1422 H. – Oktober 2001 M.
79. Ibnu Katsir, Ad-Dimasyqi, AFI., “Al-Mishbaahul Muniir fii Tahdziibi Tafsiiri Ibni Katsir”, - tahqiq: Syaikh M. Nashiruddin Al-Albani, Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, dan Ulama-Ulama Hadits lainnya (Ed. Terjemahan: Shahih Tafsir Ibnu Katsir, – Jilid 1-5), Pustaka Ibnu Katsir, Cet.I, Bogor, 2008 M..
80. Ibnu Katsir, Ad-Dimasyqi, AFI., “Mukhtashar al-Bidayah wan-Nihayah” (Ed. Terjemahan: Ringkasan “Bidayah wan-Nihayah”), Pustaka Azzam, Cet. I, Jakarta, Maret 2008.
81. Ibnu Katsir, Ad-Dimasyqi, AFI., “Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzhiim”, - tahqiq: Syaikh M. Nashiruddin Al-Albani, (Ed. Terjemahan: Derajat Hadits-Hadits Dalam Tafsir Ibnu Katsir, – Jilid 1-3), Pustaka Azzam, Cet.I, Jakarta, 2008.
82. Ibnu Katsir, Ad-Dimasyqi, AFI., “Tartib wat-Tahdzib: Kitab al-Bidayah wan-Nihayah” (Ed. Terjemahan: “Al-Bidayah wan-Nihayah”: Masa Khulafa’ur Rasyidin – Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali ), Darul Haq, Cet. I, Jakarta, Dzulhijjah 1424 H. – Pebruari 2004 M..
83. Ibnu Qudamah., “Al-Mughni”, - tahqiq: DR. M. Syarafuddin Khathab, DR. Sayyid Muhammad Sayyid, Prof. Sayyid Ibrahim Shadiq, (Ed. Terjemahan: Al-Mughni [Pembahasan Tentang: Shalat Jum’at, dan Shalat Musafir], – Jilid 2), Pustaka Azzam, Cet.I., Jakarta, Oktober 2007 M.; 691-749.
84. Ibnu Rojab., “Jami’ul Ahkam wal-Hikam fii Syarhi Haditsi Sayyidil Arab wal Ajm”, (Ed. Terjemahan: Panduan Ilmu & Hikmah – Syarah Lengkap Al-Arba’in An-Nawawi), Darul Falah, Cet.I., Bogor, Maret 2004 M. / Muharram 1425 H.
85. Ibnu Rusyd., “Bidayah al-Mujtahid wan-Nihayah al-Muqtasid”, - takrij: Ahmad Abu Al-Majd, (Ed. Terjemahan: Bidayatul Mujtahid, – Jilid 1), Pustaka Azzam, Cet.I., Jakarta, September 2006 M.; 331-349; 350-365.
86. Ibrahim, IA., “A Brief Illustrated Guide to Understanding Islam”, Darussalam Houston, 2nd Edition – 3rd Printing, Texas-USA, 1997.
87. Idris, M. (Imam Syafi’i), “Mukhtashor Kitab al-‘Umm fiil-Fiqhi” (Ed. Terjemahan: Ringkasan Kitab Al-‘Umm, Jilid 1), Pustaka Azzam, Cet. I, Jakarta, Maret, 2004 M.; hal. 252-265.
88. ‘Ied Al-Hilali, Salim., “Al-Manaahiyyiys Syar’iyyah fii Shohiihis Sunnah An-Nabawiyyah, .” (Ed. Terjemahan: Ensiklopedi Larangan, Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, – Jilid 1 dan 2), Pustaka Imam Syafi’i, Cet.I, Ed. Indonesia, Bogor, Sya’ban 1424 H. – Oktober 2003 M.; 490-494 (1); 179-180 (2).
89. ‘Ied Al-Hilali, Salim., “Bahjatun Naazhiriin – Syarh Riyaadhish Sholihiin” (Ed. Terjemahan: Syarh Riyadush Shalihin, – Jilid I-V), Pustaka Imam Syafi’i, Cet.I, Ed. Indonesia, Bogor, Jumadil Akhir 1428 H. – Juni 2008 M..
90. ‘Ied Al-Hilali, Salim., “Shohiih Kitaab al-Adzkaar wa Dho’iifuhu” (Ed. Terjemahan: Shahih dan Dha’if Kitab al-Adzkar, – Jilid I), Pustaka Imam Syafi’i, Cet.I, Ed. Indonesia, Bogor, Jumadil Ula 1425 H. – Juni 2004 M..
91. Islahi, AA., Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, PT. Bina Ilmu, Cet. I, Surabaya – Jawa Timur, Oktober 1997; 190-3; 320-1.
92. Izzan, A., Tanjung, S., Referensi Ekonomi Syariah: Ayat-Ayat Al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi, PT. Remaja Rosdakarya, Cet. I, Bandung, Januari 2006.
93. Judarwanto, W., Penatalaksanaan Flu Burung pada Manusia, Maj. Kedokteran dan Farmasi – Dexa Media, Dexa Medica, No. 4, Vol: 18, Jakarta, Oktober – Desember 2005; 171-3.
94. Kandun, IN., Kebijakan Pemerintah Tentang Penanggulangan Flu Burung, Naskah Lengkap Penyakit Dalam: Simposium PIT Penyakit Dalam - 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPNCM, Ed. I – Cet. I, Jakarta, Agustus 2006; 291-304.
95. Kasjmir, YI., Mekanisme Nyeri Nociceptif dan Neuropatik (Mixed Pain Syndrome), Naskah Lengkap Penyakit Dalam: Simposium PIT Penyakit Dalam - 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPNCM, Ed. I – Cet. I, Jakarta, Agustus 2006; 18-25.
96. Lumbantobing, SM., Gangguan Tidur, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2004; 8-16.
97. Luqman Al-Atsari, AA.. Mukhtar As-Sidawi, AA., Bekal Safar Menurut Sunnah Nabi , Media Tarbiyah, Cet. I, Bogor – Jawa Barat, Syawwal 1428 H. – November 2007 M..
98. Markam, SS., Markam, S., Pengantar Neuro-Psikologi, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2003; 1-9, 19-61, 66-72, 86-106.
99. Menaldi, SL., Eliminasi Kusta, Maj. Kedokt. Indonesia, MKI-IDI Pusat, Vol: 51, No.1, Jakarta, Januari 2001; 1-2.
100. Moegni, EM., Penyaki Menular Seksual: Dampaknya Terhadap Kesehatan Alat Reproduksi Wanita dan Kehamilan, Maj. Kedokteran dan Farmasi – Dexa Media, Dexa Medica, No. 2, Vol: 14, Jakarta, April – Juni 2001; 82-5.
101. Moeloek, D., Dasar Fisiologi Kesegaran Jasmani dan Latihan Fisik, Naskah Lengkap: Simposium Kesehatan dan Olah Raga, Balai Penerbit FKUI, Cet. I, Jakarta, 1984; hal. 1-16.
102. Mudjadid, E., Depresi pada Lanjut Usia: Identifikasi Gejala dan Tatalaksana yang Efektif, Naskah Lengkap Penyakit Dalam: Simposium PIT Penyakit Dalam - 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPNCM, Ed. I – Cet. I, Jakarta, Agustus 2006; 115-24.
103. Mudjadid, E., Pemahaman Gangguan Tidur dan Tatalaksananya, Naskah Lengkap Penyakit Dalam: Simposium PIT Penyakit Dalam - 2007, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPNCM, Ed. I – Cet. I, Jakarta, Agustus 2007; 15-27.
104. Mudjadid, E., Tatalaksana Depresi Dengan Keluhan Somatis, Naskah Lengkap “Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine - 2002” – “Practical Guidelines in Daily Practice”, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPNCM, Ed. I – Cet. I, Jakarta, Oktober 2002; 145-50.
105. Mudjadid, E., Tatalaksana Fibromialgia dari Sudut Pandang Psikosomatik, Naskah Lengkap “Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine - 2005” – “Practical Guidelines in Daily Practice”, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPNCM, Ed. I – Cet. I, Jakarta, November 2005; 76-9.
106. Nainggolan, L., Pohan, HT., Manifestasi Klinis dan Deteksi Dini Avian Influenza, Naskah Lengkap Penyakit Dalam: Simposium PIT Penyakit Dalam - 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPNCM, Ed. I – Cet. I, Jakarta, Agustus 2006; 282-90.
107. Nelwan, RHH., Upaya Pencegahan Penyakit Selama Perjalanan Wisata, Naskah Lengkap Penyakit Dalam: Simposium PIT Penyakit Dalam - 1999, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPNCM, Ed. I – Cet. I, Jakarta, Agustus 1999; 199-208.
108. Nopirin., Ekonomi Internasional, Penerbit BPFE-Yogyakarta, Ed. III, Cet. III, Yogyakarta, Oktober 1997.
109. Purwanto., H., Pengantar Perilaku Manusia, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Cet. I, Jakarta, 1999.
110. Putera, HD., Mekanisme Respons Imun Terhadap Parasit Malaria, Maj. Kedokteran dan Farmasi – Dexa Media, Dexa Medica, No. 1, Vol: 15, Jakarta, Januari – Maret 2002; 11-3.
111. Qoshim Zhohir, Al-Qoulul-Wafir fii Sholaatul-Musaafir – Ed. Terjemhan Indonesia, Media Zikir – Solo, 2007 M..
112. Rasyid, MA., Bab. “Musafir”, “Taujihu As-Saari Likhtiyaroot Al-Fiqhiyyah Li As-Syaikh Al-Albani” (Ed. Terjemahan: Ensiklopedi Fatwa Syaikh Al-Albani), Pustaka As-Sunnah, Cet.I, Jakarta, Juni 2005; 151-155.
113. Rumende, CM., Diagnosis dan Penatalaksanaan Avian Influenza Serta Pencegahannya, Naskah Lengkap “Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine - 2005” – “Practical Guidelines in Daily Practice”, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPNCM, Ed. I – Cet. I, Jakarta, November 2005; 117-26.
114. Sayyid, ABM., “At-Tagziyah An-Nabawiyah fi Tsamaniyah Asabi’” (Ed. Terjemahan: Rahasia Kesehatan Nabi), Tiga Serangkai, Cet.I., Solo, 2004 M.
115. Setiawan, B., Diagnosis dan Penatalaksanaan Malaria Berat, Naskah Lengkap Penyakit Dalam: Simposium PIT Penyakit Dalam - 2005, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPNCM, Ed. I – Cet. I, Jakarta, Agustus 2005; 92-100.
116. Setiawan, B., Zulkarnain, I., Diagnosis dan Penatalaksanaan Malaria, Naskah Lengkap Penyakit Dalam: Simposium PIT Penyakit Dalam - 2001, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPNCM, Ed. I – Cet. I, Jakarta, Agustus 2001; 31-42.
117. Setiawan, B., Tatalaksana Infeksi pada Pasien “Imunokompromais”, Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine 2005 – Practical Guidelines in Daily Practice, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPNCM, Jakarta, Nopember, 2005; 96-100.
118. Setiyohadi, B., Etiopatogenesis Nyeri Pinggang, Naskah Lengkap Penyakit Dalam: Simposium PIT Penyakit Dalam - 2007, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPNCM, Ed. I – Cet. I, Jakarta, Agustus 2007; 162-71.
119. Setyonegoro, RK., Perubahan Kejiwaan pada Manula, Naskah Lengkap Simposium Geriatri, Program Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan dan Kelompok Kerja Gerontologi FKUI - Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1998; 51-9.
120. Shaleh, Q., “Ayaatul-Ahkam” - Ayat-Ayat Larangan dan Perintah Dalam Al-Qur’an (Pedoman Menuju Akhlak Muslim), CV. Penerbit Diponegoro, Cet. 1., Bandung, 2002.
121. Shatri, H., Gangguan Makan pada Wanita, Naskah Lengkap Penyakit Dalam: Simposium PIT Penyakit Dalam - 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPNCM, Ed. I – Cet. I, Jakarta, Agustus 2006; 180-7.
122. Shatri, H., Nutrisi dan Gangguan Psikosomatik, Naskah Lengkap Penyakit Dalam: Simposium PIT Penyakit Dalam - 2004, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPNCM, Ed. I – Cet. I, Jakarta, Juli 2004; 155-64.
123. Sholih Al-‘Utsaimin, M., “Syarh al-Arba’iin” (Ed. Terjemahan: Penjelasan Hadits al-Arba’in – Imam Nawawi), Pustaka Al-Inabah, Cet. I, Jakarta.
124. Sholih Al-‘Utsaimin, M., “Majmu’ Fatawa Arkanil Islam” (Ed. Terjemahan: Majmu’ fatawa, Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah), Pustaka Arofah, Surakarta-Jawa Tengah, Rabi’ul Awwal 1423 H. – Agustus 2002 M; 259-446, 490-495, 531-609.
125. Simon, H., Misteri Syaikh Siti Jenar; Peran Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa, Pustaka Pelajar, Cet. IV, Yogyakarta, Januari 2007.
126. Slamet Rihadi, MS., Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Berbasis Lingkungan Melalui JPS-BK, Jurnal Kedokteran dan Farmasi – Medika, PT. Grafis Medika Pers, No. 3, Tahun XXVII, Jakarta, Maret 2001; 182-4.
127. Sulistyawan, A., Penyakit Tangan, Kaki, dan Mulut, Maj. Kedokteran dan Farmasi – Dexa Media, Dexa Medica, No. 1, Vol: 18, Jakarta, Januari – Maret 2005; 12-18.
128. Sutardhio, H., Sehat & Bugar Melalui Meditasi Dalam Gerak, Salemba Medika, Jakarta, 2002.
129. Sutjahjono, RW., Sutanto, I., Astuty, H., Malaria Import di Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Maj. Kedokt. Indonesia, MKI-IDI Pusat, Vol: 53, No.4, Jakarta, April 2003; 132-5.
130. Tambunan, TTH., Globalisasi dan Perdagangan Internasional, Penerbit Ghalia Indonesia, Cet. I, Bogor-Jawa Barat, September 2004.
131. Taimiyah, I., Al-Jauziyah, IQ., “Al-Qiyas fii Syar’i al-Islami’” (Ed. Terjemahan: Hukum Islam dalam Timbangan Akal dan Hikmah), Pustaka Azzam, Cet. I, Jakarta, April 2001 M.; 153, 247-8.
132. Ulum, AF., “Fiqih”: “Thoharoh” dan Sholat Bagi Orang Sakit dan Bepergian, Majalah Al-Furqon, Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Ed. 08/Th.VI, Gresik – Jawa Timur; 39-41.
133. Widodo, D., Sibuea, TP., Diare pada Pelancong (“Travelers’ Diarrhea”), Naskah Lengkap “Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine - 2001” – “Practical Guidelines in Daily Practice”, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPNCM, Ed. I – Cet. I, Jakarta, Oktober 2001; 133-42.
134. Widodo, D., Isu Terkini di Bidang Penyakit Tropik dan Infeksi, Naskah Lengkap Penyakit Dalam: Simposium PIT Penyakit Dalam - 2004, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPNCM, Ed. I – Cet. I, Jakarta, Agustus 2004; 99-108.
135. Widodo, D., Pribadi, MJ., Zulkarnain, I., Malaria Serebral, Maj. Kedokt. Indonesia, MKI-IDI Pusat, Vol: 50, No.5, Jakarta, Mei 2000; 231-8.
136. Wulandari, D., Loho, T., Enterovirus, Maj. Kedokt. Indonesia, MKI-IDI Pusat, Vol: 52, No.12, Jakarta, Desember 2002; 426-35.
137. Yasin, A., “Al-Hijamah Sunnatun Nabawiyyah wa Mu`jizatun Thibbiyyah” (Ed. Terjemahan: Bekam Sunnah Nabi  dan Mukjizat Medis), Cet. I., Solo, Mei 2005 M.
138. Zainu, MJ., (Ed. Terjemahan: Bimbingan Islam Untuk Pribadi dan Masyarakat), Islamic Propagation Office in Rabwah-rabwah@www.com/www.islamhouse.com, Cet. I, Al-Maktaba at-Ta’aawanii lid-Da’wah wa Taw’iyah al-Jaaliyah bir-Robwah, PO. Box 29465 Riyadh 11457 – Saudi Arabia; 1424 H. – 2004 M..








Glosarium























Indeks Kata























Lampiran-Lampiran
Lampiran 1.
Batasan Jarak dan Lama Safar Menurut Syar’iat


Hadits-hadits utama dan syarh (penjelasan)-nya mengenai pedoman (hujjah) dasar ketentuan jarak seseorang dikatakan musafir (atau sedang ber-safar).

1. Yahya bin Yazid Al-Hana`i  bercerita , ”Aku bertanya kepada Anas (bin Malik ) tentang meng-qoshor sholat dan pada saat itu (sebelumnya) aku (pernah) bepergian (ber-safar) ke Kufah (dari Bashroh), ”... Apakah aku sholat 2 roka’at – 2 roka’at sampai aku kembali (ke Bashroh)?”. Lalu Anas menjawab, ”Keadaan Rosululloh  jika (dia) keluar (untuk ber-safar) dalam suatu perjalanan (sejauh) 3 mil [dalam riwayat lain: ”(3) farsakh – Syubah ragu-ragu”], (maka) dia sholat 2 roka’at [dalam riwayat lain: ”... (dia) meng-qoshor sholatnya”] ; [tambahan dalam redaksi dari riwayat lainnya: ”Aku (pernah) sholat bersama Rosululloh  (sholat) zhuhur di Madinah 4 roka’at dan di Khulaifah (Dzulkhulaifah – pen.) 2 roka’at” ; atau ”Kami (pernah) keluar (ber-”safar”) bersama Rosululloh  dari Madinah menuju Mekah, maka keadaannya (kami) sholat 2 roka’at – 2 roka’at sampai kami kembali ke Madinah” ]”. [atau dalam riwayat lain yang dho’if, ”Keadaan Rosululloh  bila ber-”safar” 1 farsakh (dia) meng-”qoshor” sholatnya”. ]”.”.
Syarh (penjelasan) hadits-hadits tersebut adalah:
Ibnu Hajar Atsqolany berkata, ”Nampak jelas bahwa Yahya bin Yazid  bertanya tentang diperbolehkannya meng”qoshor” sholat dalam bepergian/”safar” (secara ”mutlaq”/umum), bukan mengenai tempat di mana dimulainya izin (”rukhshoh”/keringanan) sholat qoshor (yang berhubungan atau tidak dengan suatu tempat persinggahan dari tempat tujuan ber”safar”nya yang masih sangat jauh; lihat ”hadits-hadits” berikutnya [”hadits” no.2-4, dan 7] yang juga menjelaskan ketentuan jarak dari ”hadits” Anas tersebut – pen.). Pendapat yang paling ”shohih” dan ”rojih” dalam masalah ini adalah bahwa sholat ”qoshor” itu tidak dikaitkan dengan jarak (suatu) perjalanan, tetapi (berkaitan) dengan (ketentuan apakah sudah) melewati batas kota/daerah di mana seseorang musafir telah keluar daripadanya; (lihat ”hadits-hadits” berikutnya [no.5-9] – pen.)”.

2. Haritsah bin Wahb Al-Huzaa`i , dia berkata, ”Aku pernah sholat bersama-sama Rosululloh  di Mina, (yang dalam) keadaan apapun (saat itu) aman (buat para) manusia, mereka berkumpul (saat haji wada’), (lalu sholat) 2 roka’at (meng-”qoshor”).”.
3. Haritsah bin Wahb Al-Huzaa`i , dia berkata, ”Aku pernah sholat berjama’ah (dengan) Rosululloh  di Mina, dan (para) manusia berkumpul (dalam segala keadaannya), lalu (mereka) sholat 2 roka’at (meng-”qoshor”nya) ketika haji wada’.”.
4. Ibnu Umar , dia berkata, ”Sesungguhnya dia (orang Mekah), keadaannya bermukim di Mekah maka bila (dia) keluar (ber-”safar”) ke Mina (maka dia) meng-”qoshor” (sholatnya)”.
5. Waqo’ bin Iyas , dia berkata, ”Kami (pernah) keluar (ber-”safar”) bersama-sama Ali (bin Abi Tholib ) menuju ke arah ini (sambil menunjukkan ke arah Syam), lalu (kami) sholat 2 roka’at – 2 roka’at sampai apabila kami (telah) tiba dan kami (telah) memastikan (hampir) sampai (di kota) Kufah. (Kemudian) waktu sholat (telah) masuk (lalu) kami berkata (kepada Ali), ”Wahai ”Amirul-Mu`minin” ini (hampir sampai di) Kufah (jadi) sempurnakanlah sholatnya”. (Lalu Ali) berkata, ”Tidak, sampai kita memasuki (kota)-nya”. [dalam riwayat lain: ”Ketika ber-”safar” Ali bin Abi Tholib  maka (dia) meng-”qoshor”-nya dan (dia saat itu masih) melihat rumah-rumah penduduk (Kufah), maka (ketika) pulang dikatakan kepadanya, ”Ini Kufah (sempurnakanlah sholatnya)”. (Lalu Ali) berkata, ”Tidak, sampai kita memasuki (kota)-nya”.” ; atau ”Kami (pernah) ber-”safar” bersama-sama Ali bin Abi Tholib , maka kami meng-”qoshor” sholatnya dan kami (masih) melihat rumah-rumah penduduk (Kufah), kemudian (ketika) kami pulang maka kami masih meng-”qoshor” sholatnya dan kami (saat itu sudah) melihat rumah-rumah penduduk (walaupun kami belum memasuki kota/daerah Kufah-nya)”. ]”.
6. Nafi , dia berkata, ”Ibnu Umar  mulai meng-”qoshor” sholatnya sejak (dia meninggalkan) rumah-rumah penduduk di Madinah dan tetap meng-”qoshor”nya ketika (dia) pulang sampai sampai masuk dan berada di antara rumah-rumah (penduduk kotanya) tersebut”.
7. Ibnu Umar , dia berkata, ”Sesungguhnya tidaklah aku ber-”safar” sesaat pada waktu siang hari kecuali aku meng-”qoshor” (sholat)-nya [dalam riwayat lain: ”Kalau aku ber-”safar” sejauh 1 mil aku meng-”qoshor” sholatnya”. ]”.
8. Juba`ir bin Nufa`ir , dia berkata, ”Aku (pernah) keluar (ber-”safar”) bersama-sama Syurohbil bin Simth ... Aku (pernah) melihat Umar  sholat di Khulaifah (Dzulkhulaifah – pen.) 2 roka’at”.
9. Abdullah bin Harmilah  (ketika bertanya kepada Saidah Musayyab ), ”Bolehkah aku meng-”qoshor” sholat di Burid-Madinah?”. Saidah Musayyab  berkata, ”Boleh”.”.



























Beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits shohih / hasan, serta syarh (penjelasan)-nya mengenai pedoman (hujjah) dasar ketentuan lama seseorang dikatakan musafir (atau sedang ber-safar).

1. “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qoshor sholatmu” (QS. An-Nisaa` [4]; 101).
2. Hadits Rosululloh  ketika menunaikan haji wada’ – Lihat 2 hadits shohih yang diriwayatkan oleh Haritsah bin Wahb Al-Huzaa`i  sebelumnya di atas (no.2 dan 3) .
3. Hadits Rosululloh  ketika melakukan penaklukan kota Mekkah.
Yakni hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas , dia berkata, “Nabi  menetap sementara selama 19 hari dengan meng-qoshor (sholat), maka kami pun apabila ber-safar selama 19 hari kami sholat qoshor, dan jika lebih dari itu (yakni berubah niat untuk bermukim selamanya) kami sholat sempurna” .
Penjelasan hadits ini adalah:
“Waktu yang tertulis dalam “hadits” Ibnu Abbas tersebut, yakni selama 19 hari membolehkan ber-“istidhol” (menjadikan sebagai suatu dalil atau “hujjah”-pedoman) bagi seorang musafir yang telah meniatkan untuk singgah (tinggal) selama “safar”-nya tetapi kemudian dia mengalami kebimbangan (tidak berkeinginan untuk ber-“safar” atau singgah terus), maka kewajiban/hak-hak “safar”-nya hanya sebatas paling lama 19 hari atau dia harus meninggalkan tempat persinggahan dalam “safar”-nya kapan pun dia ada kesempatan setelah menyelesaikan keperluannya sebelum 19 hari (untuk mendapatkan kewajiban/hak-hak “safar”-nya), mengingat hal ini ditunjukkan dalam “matan (redaksi)” “hadits” tersebut, “… dan jika melebihkannya …” menjelaskan kata “… Nabi  menetap (bermukim) …” pada awal “matan hadits” tersebut sebelumnya, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ahmad Syakir , ”Kata ” ... wa in zidna atmamna” (”... dan jika kami [”safar”] melebihkannya [maka] kami menyempurnakannya”) pada redaksi ”hadits” Ibnu Abbas  tersebut merupakan ”dhomir” (kata ganti) dari/atau merujuk pada kata di awal ”hadits” tersebut yakni ”aqooma an-nabii ” (Nabi [pernah]  bermukim), sehingga maksudnya adalah jika kami menetap/bermukim maka kami menyempurnakan (sholat)-nya” (bukan berarti merujuk pada penekanan kalimat ” ... fa nahnu idza farnaa tis’ata ’asyaro ... ” [ ... maka bila kami ber-”safar” [selama] 19 hari] – pen.).” .
Penguatan dari penjelasan hadits tersebut juga dapat dilihat pada foot note beberapa hadits dan atsar berikutnya (hadits-hadits dari no. 4 - 17) dan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan para sahabat lainnya . Sementara penjelasan dari fatwa-fatwa para ulama ahlus-sunnah terdahulu, di antaranya adalah:
Ibnu Qoyyim menegaskan bahwa,
“Dalam hadits ini menunjukkan bahwa Rosululloh  tidak pernah berkata kepada umatnya, “Tidak boleh seseorang meng-qoshor sholatnya, bila menetap sementara lebih dari 19 hari”, namun secara kebetulan Rosululloh  bermukim hanya sebatas hari tersebut. Sehingga kelanjutan hadits ini dikembalikan kepada hadits yang diriwayatkan oleh A’isyah , “Awalnya sholat fardhu’ itu diwajibkan 2 roka’at (kecuali sholat Maghrib), lalu 2 roka’at tersebut ditetapkan untuk sholat safar dan mukim, dan (selanjutnya) disempurnakan (menjadi 4 roka’at) di dalam sholat hadhor (sholat ketika tidak sedang ber-safar atau ketika sedang bermukim)”.”.
Ibnu Mundzir mengatakan bahwa,
“Para ahli ilmu bersepakat bahwa bagi seorang musafir boleh meng-“qoshor” (sholat) selama tidak men-“jama`” di tempat dia berada, walaupun sampai bertahun-tahun (dia singgah dalam “safar”-nya)”.
Asy-Syaukani juga menegaskan bahwa,
“Jika seorang musafir tinggal di suatu negeri secara bimbang (yakni tidak berniat untuk tinggal/bermukim dalam batas waktu tertentu), maka dia diperkenankan meng-qoshor hingga 19 hari … lalu (bila dia berubah niat menjadi ingin bermukim untuk selamanya) dia menyempurnakan (sholatnya) sesudah itu”.
dan
Shiddiq Hasan Khon berkata,
“Adapun bila terjadi ketidakpastian (kebimbangan) untuk singgah (menetap) atau tidak (dalam “safar”-nya) dalam kurun waktu tertentu, maka seorang “musafir” diperkenankan untuk meng-“qoshor” (sholatnya) sampai batas waktu menetapnya Rosululloh  saat di Mekkah ketika penaklukan kota Mekkah. Jika dikatakan (ada seseorang yang menyatakan bahwa) “Melakukan “qoshor” sesuai dengan masa tinggalnya Rosululloh  dan tidak dibolehkan meng-“qoshor” (sholat) lebih dari waktu tersebut (secara mutlak)”, hal ini tidak sesuai bagi orang-orang yang berpegang dengan (“sunnah”)-nya (tersebut). Dari mana kita (dapat memastikan) bahwasannya andai dihadapkan kepadanya apa yang mengharuskannya untuk tinggal di atas (lebih lama dari) masa tersebut (yakni lebih lama dari 19 hari - bagi Rosululloh ) tidak meng-qoshor sholatnya ??. Kita juga harus katakan kepada orang-orang yang mengatakan pernyataan (“Boleh meng-“qoshor” sholat lebih lama dari 19 hari secara mutlak”), “Barang siapa yang menganggap bolehnya meng-“qoshor” sholat lebih lama dari batas itu dalam keadaan kebimbangan/ketidakpastian (akan bermukim atau ber-“safar” kembali), maka wajib baginya untuk mendatangkan dalil” ... Alangkah fahamnya Ibnu Abbas  terhadap maksud syar’iat tersebut. … Dan hal ini bukanlah didasarkan pada asumsi bahwa seandainya Nabi  tinggal melebihi 4 hari (ketika haji wada’) atau melebihi 19 hari (ketika penaklukan kota Mekkah) atau 20 hari (ketika perang Tabuk), tentu beliau akan menyempurnakan sholatnya, karena kita tidak mengetahui hal tersebut. Namun dasarnya adalah karena seseorang yang ber-muqim sementara lagi berniat untuk tinggal selama waktu tertentu maka tidak boleh menyempurnakan (sholat)-nya kecuali dengan adanya suatu dalil yang shohih, dan ternyata tidak ada dalil yang shohih satupun yang menjelaskan dan/ memperbolehkan untuk menambah (menyempurnakan) sholat (ketika masih niat ber-“safar” secara mutlak) lebih lama dari jumlah hari-hari tersebut (yakni 4 atau 19 atau 20 hari)”.

4. Hadits Rosululloh  ketika melakukan perang Tabuk,
Yakni hadits yang diriwayatkan dari Jabir , dia berkata, “Nabi  tinggal di Tabuk selama 20 hari dan beliau meng-qoshor sholatnya” .
Pada ketiga hadits tersebut di atas menerangkan bahwa fakta kondisi Rosululloh  ber-safar dan bermukim sementara selama berhari-hari, minimal bermukim sementara di Mekkah selama 4 hari berturut-turut dan maksimal bermukim sementara di Mekkah juga (ketika penaklukan kota) selama 19 hari berturut-turut atau di Tabuk selama 20 hari berturut-turut).

5. Hadits marfu`  Ibnu Umar  berkata, “Wahai sekalian manusia, aku pernah berada di Azerbaijan selama 4 bulan (dalam riwayat lain: ”Aku pernah tertahan salju di Azerbaijan selama 6 bulan bersama pasukan perang”), aku lihat semua pasukan (dalam riwayat lain: ”Kami”) mengerjakan sholat 2 roka’at – 2 roka’at. Aku pun pernah melihat Nabi  mengerjakan (sholat)-nya 2 roka’at dengan mata kepalaku sendiri” .
6. Atsar Abdurrohman bin Samuroh , “Aku bersama Ibnu Umar dan para sahabat lainnya, berada di musim dingin di Kabul (Afganistan) dalam sekali atau 2 kali musim dingin, (dan aku) melakukan sholat 2 roka’at (sholat qoshor)” .
7. Atsar Ibnu Abbas , “Aku tinggal di suatu negeri selama 5 bulan dan meng-qoshor sholat” .
8. Atsar Abdurrohman bin Miswar , “Kami tinggal bersama Sa’d bin Malik selama 2 bulan, dia meng-qoshor sholatnya sementara kami menyempurnakannya. Lalu kami bertanya kepadanya (mengenai kenapa dia meng-qoshor sholatnya ?). Lalu Sa’d berkata, “Kami (para sahabatnya) yang lebih tahu (mengenai ilmu safar dan adab meng-qoshor sholatnya)”.” .
9. Atsar Abdurrohman bin Miswar , “Aku bepergian dengan ayahku dan Sa’d bin Abi Waqqosh selama 50 malam (dalam riwayat lain: “… selama 40 hari”) dan tiba di bulan Romadhon, dia (Sa’d) meng-qoshor sholatnya dan berbuka, sementara kami menyempurnakannya dan berpuasa. Lalu kami bertanya kepadanya. Lalu Sa’d berkata, “Kami (para sahabatnya) yang lebih faqih”.” .
10. Atsar Abu Minhal  (salah seorang sahabat penduduk Mekkah, ketika dia bertanya kepada Ibnu Abbas  mengenai meng-qoshor sholat dalam safar-nya), “Sesungguhnya aku tinggal di Madinah selama setahun, sedangkan aku tidak melanjutkan perjalananku ?”. Lalu Ibnu Abbas menjawab, “Sholatlah 2 roka’at (dalam beberapa redaksi dari hadits shohih lainnya: “… Sholatlah 2 roka’at walaupun kamu tinggal [di Madinah] 10 tahun”)”.” .
11. Anas bin Malik  berkata, “Aku tinggal di Naisabur selama setahun atau 2 tahun melakukan sholat 2 roka’at (sholat qoshor). Aku juga pernah mengatakan kepada Jabir bin Zaid (ketika dia tinggal di Tastur selama setahun dan 2 tahun, dan sepertinya dia telah menganggap dirinya penduduk Tastur, “Sholatlah 2 roka’at (sholat qoshor)”.” .
12. Atsar Anas bin Malik , dan para sahabat  ke Ramhurmuz selama 9 bulan” .
13. Atsar Al-Qomah  berkata, “Bahwasannya aku sholat di Khowarizm (Marwa) selama 2 tahun dengan qoshor” .
14. Atsar Hasan dan Abdurrohman bin Samuroh,  , ke Kabul (Afganistan) selama 2 tahun” .
15. Atsar Abu Hamzah Nashr bin Imron , ke Khurosan (Afganistan) selama 10 tahun” .
16. Atsar Abu Wa`il , ke Sicilia selama 2 tahun” .
17. Atsar Al-Qomah dan Ibnu Abi Syaibah, , ke Khowarizm (Marwa) selama 2 tahun” .

Penjelasan dan fatwa Syaikh Al-Albani dalam mengomentari hadits-hadits tersebut di atas adalah, “Yang saya yakini bahwa yang benar adalah seorang musafir yang datang pada suatu negeri untuk berdagang dan lain-lain, dan telah memperkirakan bahwa kebutuhannya memakan waktu tertentu, maka dia tidak bisa dikatakan seorang yang bermukim secara mutlak, tergantung daripada niatnya sebelumnya. Kalau memang dia tidak berniat bermukim maka dia wajib meng-qoshor sholatnya. Keterangan lamanya seseorang ber-safar sebanyak 4, 19, atau 20 hari, dan sebagainya tidak ada hubungannya dengan niat safar atau bermukimnya dia di suatu tempat, tetapi keadaan (status) bermukim (menetapnya) seorang musafir pada suatu tempat hanya tergantung pada niatnya seorang mukallaf (orang yang telah dikenai beban syar’iat, yakni seorang musafir) dan keadaan (diri)-nya selanjutnya . … dan yang saya yakini bahwa yang benar adalah pendapat yang menyatakan seorang musafir wajib meng-qoshor sholat dalam safar-nya dalam waktu tertentu, selagi niatnya tidak benar-benar ingin bermukim (menetap) di tempat tujuan (safar)-nya dan telah berada di luar daerah batas kota tempat tinggal asalnya, berdasarkan beberapa hadits shohih/hasan yang tidak saling bertentangan … . Penjelasan dan fatwa Syaikh Al-Albani tersebut secara tersirat juga didukung beberapa fatwa dari para ulama salaf mutakhirin lainnya, di antaranya Syaikh Bin Baz , , dan lain-lain (walaupun terkesan agak tersamar atau kurang tegas – pen.) .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar