Senin, 14 Desember 2009

Meraih Fitrah Yang Murni Dengan Puasa Ramadhan

BAB I
PENDAHULUAN


Alloh  senantiasa memilihkan yang terbaik untuk setiap manusia. Sesungguhnya Alloh  adalah baik dan tidak akan pernah mencintai sesuatu kecuali terhadap setiap hal yang baik juga. Segala sesuatu yang terbaik buat hamba-hamba Alloh  adalah pilihan-Nya, dan semua hal kebaikan telah ditetapkan oleh-Nya dengan fitrah yang murni dan syar’iat-syar’iat yang dibawa oleh para rosul-Nya .
Alloh  menjadikan setiap perkataan, amalan, dan akhlaq yang baik-baik daripada semua hamba-Nya yang Dia kehendaki, sebagai materi kenikmatan, keberuntungan, kebaikan, dan kebahagiaan dalam menjalani kehidupannya yang paling sempurna (baik di dunia maupun di akhirat). Para hamba-Nya tersebut merupakan orang-orang yang senantiasa melaksanakan ajaran Islam dan menyempurnakan amal-amal ibadahnya dengan benar dan ikhlas karena-Nya semata. Mereka tetap istiqomah dan bersabar atas cobaan yang selalu diterimanya. Mereka inilah orang-orang yang senantiasa beriman dan beramal sholih, dan juga merupakan sebaik-baiknya umat yang dikeluarkan bagi manusia. Mereka adalah orang-orang yang memiliki jiwa muthmainnah (jiwa yang tenang), yang hatinya selalu disucikan dengan ber-taqwa, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Kesemuanya Alloh  ciptakan agar Dia memperlihatkan kepada semua hamba-Nya akan kesempurnaan rohmat, dan kasih sayang-Nya.
Jiwa muthmainnah (jiwa yang tenang) merupakan salah satu hasil yang dapat diraih setiap manusia apabila dia senantiasa memelihara fitrahnya yang murni sesuai dengan semua ketetapan Alloh  yang terkandung dalam syar’iat Islam. Pemeliharaan fitrahnya yang murni tersebut hanya dapat diwujudkan dengan ber-tasyakur kepada Alloh  melalui ketundukkan, zuhud, dan ketaqwaan kepada semua ketetapan-Nya. Hal-hal tersebut akan menjadikan jiwa (hati) setiap manusia menjadi suci, tenang, dan pasrah terhadap semua ketentuan Alloh .
Proses pensucian jiwa/hati (tazkiyatun nufuz) secara khusus direalisasikan dengan menjalankan semua ibadah atau amalan-amalan (perbuatan) manusia di dunia yang bersifat amar ma’ruf nahi munkar, dan berdasarkan pada keimanan, pengetahuan yang benar, dan keikhlasan dalam menjalankannya secara khusyu’, istiqomah, dan sabar, serta sesuai dengan kapasitas niat dan kemampuan yang dimilikinya.
Menunaikan ibadah puasa secara benar (sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad ), istiqomah (berkesinambungan), dan ikhlas merupakan salah satu ibadah yang utama dan telah ditetapkan Alloh  dan rosul-Nya . Tujuan utama dari menunaikan ibadah puasa adalah terbentuknya jiwa (hati) manusia yang senantiasa tunduk, patuh, dan beribadah kepada Alloh , yang kemudian dapat berpengaruh dan membentuk pada ketenangan jiwa (hati)-nya, sehingga dapat mengembalikan dan/ memelihara fitrahnya yang murni, dan pada akhirnya akan mendapatkan kebaikan dan kebahagian terhadap diri dan kehidupannya di dunia dan akhiratnya.
Sebagaimana diketahui dari banyak studi mutakhir di bidang medis menunjukkan bahwa pada intinya sebagian besar kelainan atau penyakit pada tubuh manusia terjadi karena adanya gangguan/kelainan dari mekanisme sistem jantung dan pembuluh darah yang diakibatkan oleh adanya penumpukkan zat-zat radikal bebas yang tidak dapat dinetralisir sel-sel tubuh. Penumpukkan radikal bebas di dalam tubuh ini terutama disebabkan oleh adanya gangguan/kelainan dari proses metabolisme sel-sel tubuh secara keseluruhan, yang dihasilkan terutama dari adanya gangguan/kelainan pada sistem pelaksana dan pengaturan metabolisme-nya (yang terdiri dari sistem persarafan/kejiwaan, jantung, dan pembuluh darah), dan lingkungan tempat seseorang hidup dan menjalani interaksinya sehari-hari. Berdasarkan data dari studi tersebut juga ditunjukkan bahwa usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi adanya penumpukkan radikal bebas di dalam tubuh manusia terutama adalah mengkondisikan keadaan dari sistem pelaksana dan pengaturan metabolisme sel-sel tubuh tersebut menjadi lebih stabil, dan dapat beradaptasi dengan lingkungannya secara efektif dan proporsional (sesuai dengan kapasitas kemampuan maksimal yang dimilikinya).
Menunaikan ibadah puasa secara benar, istiqomah, dan ikhlas ternyata merupakan salah satu solusi paling tepat dan utama yang telah ditetapkan Alloh  dan rosul-Nya  untuk merealisasikan usaha pengatasan adanya penumpukkan radikal bebas di dalam tubuh manusia, karena di dalamnya terkandung beberapa perbuatan jiwa (hati), lisan, dan perbuatan yang telah ditetapkan Alloh  sesuai dengan kebutuhan dan fitrah dari tubuhnya, yang dapat membuat keadaan jiwa (hati) menjadi selalu stabil, dan dapat beradaptasi dengan lingkungannya secara efektif dan proporsional. Namun demikian, apabila pelaksanaan dalam melakukan ibadah puasanya tersebut keliru dan tidak berkesinambungan (atau mungkin tidak pernah sama sekali melakukan puasa), maka sangatlah sulit atau tidak akan dapat merealisasikan usaha pengatasannya tersebut, bahkan sebaliknya akan meningkatkan kadar zat-zat radikal bebas tersebut di dalam tubuh, yang kemudian akan memperberat terjadinya gangguan/kelainan pada sistem-sistem pelaksana dan pengaturan metabolisme sel-sel tubuh, dan selanjutnya akan memperparah terjadinya kelainan dan penyakit (atau dapat juga menimbulkan beberapa kelainan/penyakit baru lainnya, yang mungkin membawa pada kematian) pada tubuh manusia.
Ironisnya, ternyata sebagian besar dari manusia di dunia ini (khususnya kaum muslim), masih belum atau tidak memahami, menghayati, dan mengamalkan bagaimana cara menunaikan ibadah puasa yang benar, bahkan ada beberapa golongan dari manusia tersebut menjalankan puasanya secara berlebih-lebihan, yang tidak berdasarkan pada ilmu pengetahuan mengenainya, tetapi senantiasa mengandalkan hawa nafsu (kemauan diri)-nya, hanya mengikuti perilaku dari para pendidiknya dan sebagian besar manusia yang mengerjakannya, dan tidak pernah berkeinginan untuk mempelajari, menghayati, dan mengamalkan sesuai dengan ilmu tuntunannya.
Kekeliruan seseorang dalam pemahaman ilmu pengetahuan dan pengamalan puasa yang benar, dan tidak dilakukan secara istiqomah (berkesinambungan) dan ikhlas tersebut, tidak akan menjadikan jiwa dan tubuhnya menjadi stabil dan sehat, dan amalan puasa yang dikerjakannya akan menjadi sia-sia. Amalan puasanya tidak akan mengurangi atau menghilangkan kelainan/penyakit pada tubuh, bahkan akan memperparah keadaannya, karena amalannya tersebut tidak mengurangi atau menghilangkan terjadinya gangguan/kelainan pada sistem pelaksana dan pengaturan metabolisme sel tubuh tetapi akan memperberat gangguan atau kelainannya, disebabkan oleh gagalnya proses pengurangan/penghilangan dan bertambahnya penumpukan dari zat-zat radikal bebas di dalam tubuh. Pada akhirnya, amalan puasa yang tidak dilakukan secara benar dan berkesinambungan akan menjadikan seseorang mendapatkan berbagai kesulitan dan gangguan/kelainan lainnya, yang dapat menyebabkan penyiksaan pada dirinya, atau mungkin dapat menimbulkan musibah/malapetaka pada lingkungan tempat dia hidup dan menjalani interaksinya sehari-hari.


























BAB II
Puasa Romadhon


A. Batasan puasa (fardhu’) Romadhon.
A.1. Definisi puasa.
Kata puasa yang dalam bahasa ‘Arab dikenal dengan kata “Ash-Shiyam  Ash-Shooum” secara kaidah bahasa (etimologis) berasal dari kata “Shooma” yang berarti menahan, mengekang, menjaga, memelihara, mencegah, atau meninggalkan.
Hal ini dinyatakan dalam beberapa firman Alloh , di antaranya adalah,
“... berpuasa (tidak/menahan berbicara) untuk “Robb” yang Maha pemurah”, ..." ;
“... yang berpuasa, … yang memelihara kehormatannya, …” ;
“…(yaitu) orang-orang yang khusyu' … , … yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna … dan … yang menjaga kemaluannya … dan … yang memelihara sholatnya” ; dan
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; … ". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, … . Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, …. “ .

serta sabda Rosululloh ,
“ … Janganlah kamu mengikuti pandangan pertama dengan pandangan selanjutnya, ... ” ;
“… maka berpuasalah, karena hal itu dapat menjadi penghalang” ; dan
“Barang siapa yang tidak juga meninggalkan berkata-kata dusta ... , maka Alloh sedikitpun tidak rela menerima ibadah puasanya, ... ” .

Adapun menurut syara’, puasa (shiyam/shooum) berarti menahan diri terutama dari hal-hal tertentu yang dapat membatalkan ibadah puasa (yakni makan, minum, dan bersenggama), dengan suatu niat (ketika melakukannya) pada waktu yang telah ditentukan, di antaranya adalah menahan makan/minum, berhubungan dengan istri, menahan hawa nafsu, menahan diri untuk berbuat berbagai amalan (ibadah) yang diharamkan dan/ tidak ada syar’iat-nya dalam tuntunan Alloh  dan rosul-Nya , dan sejenisnya .
Ijma’ (kesepakatan) para ulama menyatakan bahwa, “Kewajiban berpuasa ditetapkan pada bulan Sya’ban tahun 2 H.”, menyertai fakta-fakta bahwa Rosululloh  telah melakukan puasa sebanyak 9 kali pada bulan Romadhon sebelumnya .

A.2. Hakikat puasa.
Hakikat orang yang berpuasa sebenarnya adalah dia menahan setiap anggota badannya dari segala dosa, lidahnya dari berbuat dusta dan berkata yang tidak berguna, perutnya dari makan atau minum, kemaluannya dari ber-jima’ (berhubungan antara suami-istri), sehingga semua amal perbuatannya akan bermanfa’at bagi Alloh dan semua makhluk-Nya (khususnya sesama saudara se-imannya) , dan atas pertolongan dan rahmat-Nya seolah-olah setiap (godaan) setan dan perbuatan yang dihasilkannya pasti akan terbelenggu/terhalang (melalui puasanya) dengan sendirinya dan sama sekali tidak akan dapat mempengaruhi keimanan dan usaha ketaqwaan kepada-Nya .

A.3. Definisi Romadhon.
Terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai makna Romadhon. Ada yang berpendapat bahwa, “Dinamakannya Romadhon “turmadhu fiihidz dzunuub – pembakaran dosa di dalam bulan ini” dan “ar-romdhoo’ – panas membara” . Pendapat lainnya menyatakan bahwa, “Dinamakan Romadhon karena orang-orang ‘Arab ketika menamakan bulan-bulan (kalender) menggunakan bahasa kuno, yang disesuaikan dengan realita dan kondisi yang terjadi ketika zaman itu. Kebetulan bulan (Romadhon) ini jatuh tepat pada cuaca yang panas membakar (sehingga dinamakanlah bulan ini adalah bulan Romadhon)” .


B. Makna puasa (fardhu’) Romadhon.

                •                                            ••                                        
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kalian mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Romadhon, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, barangsiapa di antara kalian yang hadir (menyaksikan “hilal” di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Alloh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Alloh atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur” (QS. Al-Baqoroh [2]: 183-185).

Makna dari beberapa ayat tersebut secara keseluruhan menunjukkan bahwa (lihat lampiran 1) :
• Penunaian ibadah puasa Romadhon hanya diperintahkan untuk orang-orang yang beriman, bukan kebanyakan orang muslim atau non-muslim pada umumnya, dikarenakan Alloh  telah menetapkan pilihan-Nya kepada orang-orang yang beriman dan bahwa ketaqwaan hanya bisa diraih oleh orang-orang yang beriman , disebabkan mereka senantiasa bersyukur , sabar dalam menghadapi cobaan/ketentuan-Nya , mencintai-Nya dengan teramat sangat , lebih dahulu (bersegera) berbuat kebajikan , khusyu’-istiqomah-ikhlas dalam beribadah , dan menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak berguna , sebagaimana orang-orang terdahulu juga menunaikannya .
• Penunaikan ibadah puasa Romadhon (sesuai dengan tuntunan Rosululloh , pada berbagai hal syarat, rukun, dan sunnah, serta ikhlas) merupakan salah satu perwujudan utama, agung, dan nyata dari membaca, memahami, merenungi, mengikuti, berpegang teguh, dan mengamalkan semua isi Al-Qur’an dengan sebenar-benarnya (yang pada awalnya juga diturunkan pada bulan Romadhon, dan merupakan kumpulan semua wahyu dan ketetapan dari Alloh  yang diturunkan kepada Nabi Muhammad  dan para Nabi  sebelumnya, melalui Malaikat Jibril ) .
• Dalam penunaian ibadah puasa Romadhon terdapat isyarat perintah Alloh  dan rosul-Nya  untuk berlomba-lomba dalam hal-hal menunaikan sholat, ber-dzikir (mengingat), penghambaan, dan penyembahan (peribadahan) kepada Alloh , menurut waktu yang telah ditentukan, dan diakhiri dengan mengagungkan-Nya (dengan ber-dzikir melafazhkan takbir ketika Romadhon telah berakhir), yang semuanya itu senantiasa dapat dijadikan suatu media yang paling utama, agung, dan nyata oleh setiap (diri) manusia tersebut (khususnya umat Islam yang beriman), untuk mewujudkan pembersihan diri (tubuh), hati, dan jiwanya (ber-taubat/ber-tazkiyatun nufuz) , ketaqwaan , rasa bersyukur , dan kecintaannya kepada Alloh , sehingga dapat mengembalikan dan mempertahankan fitrahnya yang murni dan suci (yang telah diciptakan dan ditetapkan Alloh  sebelumnya), untuk mendapatkan ketenangan hati (jiwa), rohmat, petunjuk, pertolongan, keselamatan, dan kebahagiaannya dalam menjalani semua aspek kehidupannya di dunia dan di akhirat.
• Dalam penunaian ibadah puasa dan perintah berlomba-lomba dalam beribadah di bulan Romadhon tersebut, Alloh  juga memberikan beberapa rukhshoh (keringanan) dan konsekuensi-Nya sebagai sebuah rahmat dan karunia-Nya dalam penyempurnaan salah satu syar’iat ibadah-Nya di bulan Romadhon, agar para umat-Nya senantiasa bersyukur kepada-Nya.


C. Tujuan puasa (fardhu’) Romadhon.
Tujuan dari menunaikan ibadah puasa Romadhon ditunjukkan pada akhir beberapa ayat tersebut, yakni ditunjukkan dengan kata-kata “agar menjadi orang ber-taqwa , lebih baik , dan bersyukur ”.
Tujuan penunaian ibadah puasa ini secara eksplisit menunjukkan bahwa , Alloh  memberikan petunjuk, taufik, hidayah, dan kesempatan-Nya kepada para umat-Nya yang beriman untuk membuktikan rasa syukurnya kepada Alloh , karena dengan ketetapan-Nya mereka akan telah menjadi orang-orang yang beruntung (yang selamat dan/ lebih baik di kehidupan dunia dan akhirat, serta memperoleh balasan surga-Nya yang kekal abadi selama-lamanya) melalui ketaqwaannya, yang berdasarkan kepada tuntunan Al-Qur’an (yang pada awalnya juga diturunkan pada bulan Romadhon) dan secara khusus diwujudkan dengan penunaian ibadah puasa di bulan Romadhon.


D. Hikmah dan berkah puasa (fardhu’) Romadhon.
D.1. Hikmah dan berkah menurut syar’iat Islam.
• Puasa menjadikan hati selalu mensucikan dirinya, khusyu’ , diam (konsisten) , dan tenang (tidak bergerak atau berbolak-balik) .
• Puasa menjadikan sebagai perisai diri terhadap kemaksiatan, dosa, dan siksa neraka .
• Puasa memudahkan untuk mendapat pertolongan, pahala, dan ampunan Alloh .
• Puasa menjadikan sarana untuk masuk surga .
• Puasa menjadikan sarana untuk masuk salah satu pintu surga, yakni pintu Rayan. .
• Puasa membebaskan dari siksa api neraka .
• Puasa dapat memelihara kesehatan tubuh .

D.2. Hikmah dan berkah menurut kaidah medis (kesehatan).
Syar’iat Islam telah menunjukkan bahwa inti dari sehatnya tubuh adalah sehatnya hati yang merupakan wujud dari hidupnya hati dan bersinarnya hati . Jika keinginan buruk muncul, maka ia akan berusaha menolaknya karena keburukan itu merusak hati . Semua itu juga tidak akan tercapai kecuali dengan pertolongan dan kehendak Alloh  semata .
Amalan hati yang sehat merupakan pilar dan inti dari keimanan dan bangunan dan bangunan dasar dari syar’iat Islam, yang meliputi kecintaan kepada Alloh  dan rosul-Nya , tawakkal pada Alloh , mengikhlaskan ad-Dien (agama) hanya pada Alloh , senantiasa bersyukur kepada-Nya, sabar dalam menjalani ketetapan dan hukum-hukum-Nya, selalu takut, malu, dan berharap pada-Nya . Seperti yang dinyatakan dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh , dia berkata, “Rosululloh  bersabda, “Sesungguhnya Alloh tidak melihat pada bentuk tubuh-tubuh kalian, dan tidak juga kepada bentuk rupa-rupa kalian, serta tidak juga kepada harta-harta kalian, tetapi Dia melihat setiap hati dari kalian”.” .
Syar’iat Islam telah menyatakan bahwa, “Tubuh manusia akan kembali dan terpelihara sehat, insya Alloh bila dia mengkondisikannya kembali, mempertahankannya, setidaknya mendekatkannya kepada fitrahnya yang luhur, seperti pertama kali dia dilahirkan ke kehidupan di dunia”. Alloh  dan rosul-Nya  telah menunjukkan caranya yang sederhana, yakni wujudkan pensucian diri (ber-tazkiyatun nufuz dan/ ber-zakat) melalui penunaian semua hak-hak tubuh untuk kepentingan peribadahan kepada-Nya (hablumminalloh) dan sesama manusia dan lingkungannya (hablumminannas), hanya menurut ketentuan Rosululloh  yang membawa risalah-Nya.
Puasa Romadhon merupakan salah satu perintah Alloh  untuk mewujudkan hal pensucian diri tersebut, yakni melalui penunaian hak-hak tubuh untuk diistirahatkan dan dibersihkan dari rutinitas aktivitas (metabolisme) dan berbagai kotoran kesehariannya selama 11 bulan sebelumnya secara keseluruhan (baik jiwa maupun raganya). Puasa Romadhon akan mengkondisikan tubuh semaksimal mungkin untuk berusaha mengurangi dan/ mengistirahatkan semaksimal mungkin aktivitas (metabolisme)-nya, menstabilkan dan/ mengembalikan kinerja dari fungsi-fungsi (sel) ke keadaan normalnya, serta menghambat dan menstabilkan perangsangan beberapa terminal dari pusat-pusat reseptor persyarafan pusat yang bersifat agresif (yang senantiasa terpacu oleh perasaan, psikis [kejiwaan], atau emosi di hipotalamus [otak]) sehingga akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja dari berbagai terminal pusat-pusat reseptor persyarafan pusat lainnya yang lebih bersifat defensif di hipotalamus (otak) dan bagian otak lainnya. Kesemuanya ini pada umumnya secara langsung akan membuat keadaan seluruh tubuh menjadi tenang (relaksasi), stabil, dan bersih kembali, terpelihara dari berbagai gangguan, kelainan, dan/ penyakit yang dapat berjangkit di tubuh, dan meningkatkan aktivitas dan penampilan (performance) tubuh dalam berinteraksi pada lingkungan sekitarnya.
Data medis mutakhir secara umum telah menunjukkan bahwa menunaikan ibadah puasa Romadhon dan/ puasa-puasa sunnah lainnya dapat memberikan beberapa manfa’at bagi tubuh, di antaranya adalah : (1) Mengobati dan mencegah terjadinya penyakit dislipidemia (gangguan aliran darah akibat penumpukkan lemak di tubuh), obesitas (penumpukkan lemak tubuh), diabetes mellitus (kencing manis), stroke (gangguan perdarahan di otak), penyakit jantung koroner, hipertensi, kanker (penyakit keganasan tubuh) dan penyakit-penyakit degeneratif lainnya;
(2) Membuang racun-racun dan kotoran-kotoran yang menumpuk di dalam tubuh dan jiwa; dan
(3) Mengobati dan memelihara tubuh dari penyakit-penyakit psikis (kejiwaan) dan komplikasi yang diakibatkannya, di antaranya adalah penyakit-penyakit kecemasan, depresi, dan stress, yang dapat menimbulkan sakit maagh (sindrom dispepsia), jantung berdebar (takikardia), nafas cepat (takipneu), tidak nafsu makan (anoreksia), lesu tak bergairah (malaise), dan lain-lain.
Sebagaimana telah diketahui dari banyak studi mutakhir di bidang medis menunjukkan bahwa pada intinya sebagian besar kelainan atau penyakit pada tubuh manusia terjadi karena adanya gangguan/kelainan dari mekanisme sistem jantung (Al-Qolbu) dan pembuluh darah, yang diakibatkan oleh adanya penumpukkan zat-zat radikal bebas (reactive oxydant species [ROS]) yang tidak dapat dinetralisir sel-sel tubuh. Penumpukkan radikal bebas di dalam tubuh ini terutama disebabkan oleh adanya gangguan/kelainan dari proses metabolisme sel-sel tubuh secara keseluruhan, yang dihasilkan terutama dari adanya gangguan/kelainan pada sistem pelaksana dan pengaturan metabolisme-nya (yang terdiri dari sistem persarafan/kejiwaan, jantung, dan pembuluh darah), dan lingkungan tempat seseorang hidup dan menjalani interaksinya sehari-hari .
Berdasarkan data dari studi tersebut juga ditunjukkan bahwa usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi adanya penumpukkan radikal bebas di dalam tubuh manusia terutama adalah mengkondisikan keadaan dari sistem pelaksana dan pengaturan metabolisme sel-sel tubuh tersebut menjadi lebih stabil, menenangkan kondisi hati/jiwa, dan dapat beradaptasi dengan lingkungannya secara efektif dan proporsional (sesuai dengan kapasitas kemampuan maksimal yang dimilikinya) .
Hal-hal tersebut dapat dilakukan di antaranya adalah dengan pengaktivan kesadaran murni tubuh secara umum dan sederhana, yakni dengan cara-cara sebagai berikut :
Pertama, Memperbanyak perenungan kembali (dengan menenangkan diri) terhadap esensi penciptaan dirinya sendiri dan alam semesta oleh Alloh .
Kedua, Pengenalan jati diri dan lingkungannya, sebagai tempat tinggal dan berinteraksi baginya.
Ketiga, Meningkatkan konsentrasi/pemusatan pikiran, jiwa, dan hati (kekhusyu’an) semaksimal dan sebaik mungkin dalam menjalankan semua peribadahannya kepada Alloh  dan penunaian hak-hak tubuhnya,
yang disertai dengan pengosongan (penglepasan) semua beban pikiran dan mental yang pernah ada (melalui pengalihan pikiran kepada perenungan/tadabur akan banyaknya nikmat dan kehendak-Nya yang telah diterima, serta adanya kematian) dan mengembalikan semuanya kepada takdir dari-Nya dengan sabar, memperbanyak ber-dzikir/do’a/sholat, bersedekah, ber-silaturrahim, istiqomah (konsisten), dan ikhlas hanya karena-Nya, untuk mendapatkan ketenangan diri (hati, jiwa, dan tubuh) dan keberuntungan dari-Nya.

Dalam hubungannya dengan hal-hal yang dapat meracuni hati manusia ternyata terdapat data dari banyak studi medis mutakhir menunjukkan bahwa peningkatan stimulus (rangsangan) nafsu seksual (syahwat) pada tubuh manusia secara umum dihasilkan dari 2 hal, yaitu :
1) Rangsangan kejiwaan (psikis) yang dihasilkan dari sistem RAS di otak.
Rangsangan ini dapat terjadi karena adanya ingatan (memory) terhadap hal-hal yang sudah pernah dialami oleh tubuh sebelumnya, dan imajinasi (pembayangan/fantasi) terhadap hal-hal yang bersifat erotis. Pusat (sentral) dari rangsangan ini terletak di daerah hipotalamus dan sistem limbik otak. Impuls (aliran dan gelombang lisrik) syaraf dari rangsangan ini melibatkan sistem persyarafan simpatis yang memanjang pada tubuh, sehingga bila terjadi suatu ketidakstabilan atau kelainan dalam proses terjadinya aktivasi rangsangan ini, maka dampaknya juga dapat mempengaruhi metabolisme sel atau aktivitas dari organ-organ tubuh lainnya secara simpatis.

2) Rangsangan tubuh (berupa reflexogenic) yang dihasilkan dari panca indera tubuh manusia.
Rangsangan ini dapat terjadi karena:
• Adanya penerimaan rangsang yang berasal dari aktivitas pandangan pada persyarafan di organ mata (visual effect).
• Adanya penerimaan rangsang yang berasal dari aktivitas pendengaran pada persyarafan di organ telinga (auditory effect).
• Adanya penerimaan rangsang yang berasal dari aktivitas penciuman pada persyarafan di organ hidung (olfactory effect).
• Adanya penerimaan rangsang yang berasal dari aktivitas perabaan atau pengrasaan pada persyarafan di kulit tubuh, yaitu pada daerah-daerah aerogenic zone (tactile effect), yang meliputi: daerah-daerah belakang telinga, bibir, leher, dada, puting susu, pusar, penis, dan sebagainya.

Impuls syaraf dari rangsangan ini melibatkan persyarafan parasimpatis yang juga memanjang pada tubuh, sehingga bila terjadi suatu ketidakstabilan atau kelainan dalam proses terjadinya aktivasi rangsangan ini, maka dampaknya juga dapat mempengaruhi metabolisme sel atau aktivitas dari organ-organ tubuh lainnya secara simpatis, sehingga timbullah penyakit yang dinamakan penyakit syubhat dan syahwat yang sangat berbahaya bagi hati manusia.

Seperti yang telah dijelaskan dari beberapa studi medis mutakhir bahwa berpuasa adalah merupakan salah satu usaha awal untuk melakukan pengalihan penerimaan rangsangan inderawi agar dapat melakukan pengaturan nafas seefektif mungkin, yang dapat digunakan sebagai media untuk menenangkan kondisi jiwa dan pikirannya. Dalam beberapa studi tersebut menunjukkan bahwa terdapat beberapa manfa’at puasa bagi seseorang yang sudah terbiasa melakukannya, di antaranya adalah :
(1) Meringankan beban kerja (metabolisme) dari alat-alat (organ) dalam
tubuh.
(2) Meningkatkan kenyamanan pada persendian dan saluran pencernaan
dan kemih.
(3) Terhindar dari masalah (penyakit) kegemukan dan beberapa penyakit
jiwa atau tubuh lainnya.
(4) Dapat menghilangkan perangai (sifat-sifat buruk) dan gejolak syahwat
(nafsu birahi).
(5) Dapat menjernihkan pikiran.
(6) Meningkatkan motivasi atau semangat dalam diri untuk beraktivitas
dan melatih jiwa untuk bersabar.
(7) Membangkitkan rasa kebersamaan di antara sesama manusia.

Data dari studi medis mutakhir terpublikasi menunjukkan bahwa dengan berpuasa, tubuh akan berusaha mengurangi atau mengistirahatkan sebagian besar dari rutinitas aktivitas (metabolisme)-nya, menstabilkan atau mengembalikan kinerja dari fungsi-fungsi sel, jaringan, maupun organ tubuh ke keadaan normalnya, menghambat dan menstabilkan perangsangan (stimulasi) beberapa terminal dari pusat-pusat reseptor persyarafan pusat yang bersifat agresif dan senantiasa terpacu oleh perasaan, psikis (kejiwaan), atau emosi di hipotalamus (otak) , sehingga akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja dari berbagai terminal pusat-pusat reseptor persyarafan pusat lainnya yang lebih bersifat defensif di hipotalamus dan bagian otak lainnya. Kesemuanya ini , pada umumnya secara langsung akan membuat keadaan seluruh tubuh menjadi tenang (relaksasi dan rekreasi), terpelihara dari berbagai gangguan/kelainan dari seluruh fungsi tubuh atau penyakit yang dapat berjangkit di dalam atau menempel pada permukaan tubuh, dan meningkatkan aktivitas dan penampilan (performance) tubuh dalam berinteraksi pada lingkungan sekitarnya .
Di sisi lain, memperbanyak shodaqoh ketika sedang berpuasa pada hakikatnya adalah mengusahakan peningkatan kekhusyu’an dalam melakukan ibadah puasa untuk menunjang pemulihan dan pemeliharaan stamina atau kebugaran tubuh kembali secara menyeluruh (total body fitness) pada setiap manusia. Beberapa perwujudan dari shodaqoh tersebut, di antaranya juga dapat dilakukan dengan memperbanyak melakukan beberapa gerakan sholat ketika sedang berpuasa, penunaian hak-hak tubuh (seperti pengistirahatan tubuh bila lelah, pensucian tubuh bila kotor, pengkontrolan makan/minum tubuh bila berlebihan/tidak terkontrol, dan lain-lain), membangkitkan rasa kebersamaan, silaturahim, dan saling menolong di antara sesamanya.

























Panduan Praktis

1. Kata puasa yang dalam bahasa ‘Arab dikenal dengan kata “Ash-Shiyam/Ash-Shooum” secara kaidah bahasa (etimologis) berasal dari kata “Shooma” yang berarti menahan, mengekang, menjaga, memelihara, mencegah, atau meninggalkan.
2. Adapun menurut syara’, puasa (shiyam/shooum) berarti menahan diri terutama dari hal-hal tertentu yang dapat membatalkan ibadah puasa (yakni makan, minum, dan bersenggama), dengan suatu niat pada waktu yang telah ditentukan.
3. Ijma’ (kesepakatan) para ulama menyatakan bahwa, “Kewajiban berpuasa ditetapkan pada bulan sya’ban tahun 2 H.”, menyertai fakta-fakta bahwa Rosululloh  telah melakukan puasa sebanyak 9 kali pada bulan Romadhon sebelumnya.
4. Hakikat orang yang berpuasa sebenarnya adalah dia menahan setiap anggota badannya dari segala dosa, lidahnya dari berbuat dusta dan berkata yang tidak berguna, perutnya dari makan atau minum, kemaluannya dari ber-jima’, sehingga semua amal perbuatannya akan bermanfa’at bagi Alloh dan semua makhluk-Nya.
5. Makna dari beberapa ayat perintah untuk berpuasa di bulan Romadhon, di antaranya adalah penunaian ibadah puasa Romadhon hanya diperintahkan untuk orang-orang yang beriman, bukan kebanyakan orang muslim atau non-muslim pada umumnya, penunaikan ibadah puasa Romadhon sesuai dengan tuntunan Rosululloh , pada berbagai hal syarat, rukun, dan sunnah, serta ikhlas merupakan salah satu perwujudan utama, agung, dan nyata dari membaca, memahami, merenungi, mengikuti, berpegang teguh, dan mengamalkan semua isi Al-Qur’an dengan sebenar-benarnya, dalam penunaian ibadah puasa Romadhon terdapat isyarat perintah Alloh  dan rosul-Nya  untuk berlomba-lomba dalam beribadah kepada Alloh , menurut waktu yang telah ditentukan, dan diakhiri dengan mengagungkan-Nya, serta dalam penunaian ibadah puasa dan perintah berlomba-lomba dalam beribadah di bulan Romadhon tersebut, Alloh  juga memberikan beberapa rukhshoh (keringanan) dan konsekuensi-Nya sebagai sebuah rahmat dan karunia-Nya dalam penyempurnaan salah satu syar’iat ibadah-Nya di bulan Romadhon, agar para umat-Nya senantiasa bersyukur kepada-Nya.
6. Tujuan dari beberapa ayat perintah untuk berpuasa di bulan Romadhon, di antaranya adalah: Tujuan penunaian ibadah puasa ini secara eksplisit menunjukkan bahwa, Alloh  memberikan petunjuk, taufik, hidayah, dan kesempatan-Nya kepada para umat-Nya yang beriman untuk membuktikan rasa syukurnya kepada Alloh .
7. Puasa Romadhon merupakan salah satu perintah Alloh  untuk mewujudkan hal pensucian diri, yakni melalui penunaian hak-hak tubuh untuk diistirahatkan dan dibersihkan dari rutinitas aktivitas (metabolisme) dan berbagai kotoran kesehariannya selama 11 bulan sebelumnya secara keseluruhan (baik jiwa maupun raganya).





BAB III
Sunnah Rosululloh  Dalam Puasa Ramadhon
Berikut Beberapa Kesalahan dan Bid’ah-nya


Berbagai Sunnah (Tuntunan) Rosululloh  dalam Puasa Romadhon.
A. Sunnah (tuntunan) Rosululloh  ketika berada di akhir Sya’ban (hendak memasuki bulan Romadhon).
• Hal-hal yang difardhu’kan.
1. Menentukan masuknya waktu berpuasa Romadhon dengan hilal dan mathla’-nya .
Sunnah (tuntunan) Rosululloh  dalam menentukan permulaan (awal) bulan Romadhon, adalah dengan melihat hilal (bulan sabit di ufuk barat menjelang matahari terbenam di akhir bulan Sya’ban. – pen.) atau dengan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (bila tidak tampak atau terhalang hilal-nya dari pandangan manusia). Hal tersebut sesuai dengan beberapa pernyataan Alloh  dalam firman-Nya,
        ••             •       •    
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal). Katakanlah: "Bulan sabit (hilal) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji. … ” (QS. Al-Baqoroh [2]: 189).

  …       …        … 
Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Romadhon. … Barangsiapa di antara kamu menyaksikan (hilal di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. … dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan (hari)-nya … “ (QS. Al-Baqoroh [2]: 185).

dan dalam beberapa sabda Rosululloh , di antaranya yang diriwayatkan oleh:
1. Ibnu Umar , dia berkata, “Rosululloh  bersabda, “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Dan jika melihatnya kembali, maka berbukalah (berlebaranlah). Lalu, jika kalian terhalangi (tidak dapat melihatnya), maka “aqduruulah (ukurlah)”.” (Dalam redaksi lain yang lebih menjelaskan: “... Jika kalian terhalang melihatnya, maka “aqduruulah (ukurlah)” untuknya (menjadi) tiga puluh (hari)” ).” .
2. Ibnu Umar , dia berkata, “Manusia sedang mencari hilal, lalu aku kabarkan Nabi  bahwa aku melihatnya, maka beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa” .
3. Hudzaifah , dia berkata, “Rosululloh  bersabda, “Janganlah kalian memulai bulan baru sampai melihat hilal atau “tukmilul-‘iddah (menyempurnakan bilangan [harinya])”, kemudian berpuasalah sampai melihat hilal atau menyempurnakan bilangan harinya”.” .
4. Ibnu Abbas , dia berkata, “Rosululloh  bersabda, “Janganlah kalian mendahului Romadhon dengan 1 hari atau 2 hari berpuasa (sebelumnya), kecuali puasa yang biasa salah seorang dari kalian lakukan, dan janganlah berpuasa sampai kalian melihatnya (yakni melihat hilal), kemudian berpuasalah sampai kalian melihatnya (melihat hilalnya kembali). Jika terhalang mendung, maka “atimmul-‘idadah (sempurnakanlah bilangan harinya)” (menjadi) 30, kemudian beridul fitrilah, dan bulan (hijriyah) itu (rata-rata berjumlah) 29 hari”.” .
5. A’isyah , dia berkata, “Dahulu, Rosululloh memperhatikan (akhir) bulan Sya’ban, melebihi perhatiannya terhadap bulan-bulan yang lainnya, kemudian beliau berpuasa karena (sebelumnya) melihat hilal Romadhon. Jika terhalang mendung, maka beliau “’adda (menggenapkan)” (menjadi) 30 hari, kemudian berpuasa”.” .
6. A’isyah , dia berkata, “Rosululloh  bersabda, “Kami adalah ummat yang “Ummiy”, tidak menulis dan meng-hisab (terhadap penentuan) bulan itu (dengan cara) demikian, demikian, dan demikian (beliau sampai menyebutnya) 3 kali, sampai menyebut (banyak harinya dalam sebulan) 29 (hari)”.” .
7.‘Adi bin Hatim , dia berkata, “Rosululloh  bersabda, “Jika datang Romadhon maka berpuasalah 30 hari, kecuali kalian telah melihat hilal sebelumnya”.” .
8. Abu Huroiroh , dia berkata, “Rosululloh  bersabda, “Berpuasalah kalian karena melihatnya (yakni melihat hilal), dan berbukalah kalian (untuk berlebaran) karena melihatnya. Jika ia (hilalnya) tertutup oleh mendung maka “akmiluu (sempurnakanlah)” [dalam redaksi lain: “akmiluul-‘adada”; “asy-yahru fa’udduu”; dan “shuumuu tsalaatsiina yauma”] (bulan) Sya’ban (menjadi) 30 hari”.” .

Kemudian, sunnah (tuntunan) Rosululloh  juga dalam melihat hilal harus disaksikan oleh minimal 1 orang ketika akan memasuki bulan Romadhon (untuk memulai berpuasa) dan/ 2 orang ketika akan memasuki bulan Syawal (untuk memulai berlebaran/berbuka), seperti yang ditunjukkan pada sabda Rosululloh  yang diriwayatkan, di antaranya oleh:
(1) Ibnu Umar , dia berkata, “Manusia sedang mencari hilal, lalu aku kabarkan Nabi  bahwa aku melihatnya, maka beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa” ;
(2) Abdurrahman bin Zaid bin Khoththob , dia berkata, “Rosululloh  bersabda, “Berpuasalah kamu bila sudah melihat hilal (bulan Romadhon), dan berbukalah kamu bila sudah melihat hilal (bulan Syawal), serta beribadalah (berhaji atau berqurbanlah) padanya. Jika mendung menyelimuti kamu, maka sempurnakanlah (bulan Sya’ban) menjadi 30 hari. Dan jika ada 2 orang muslim yang menyaksikan (hilal), maka hendaklah kamu berpuasa dan berbukalah”.” ; dan
Gubernur Mekkah, Al-Harits bin Hathib , dia berkata, “Rosululloh  mengamanatkan kepada kami agar kami melaksanakan ibadah puasa ini bila sudah melihat hilal (bulan Romadhon). Jika kami tidak melihatnya, namun ada 2 orang lelaki yang adil dan menyaksikannya, maka kami harus melaksanakan ibadah puasa ini dengan kesaksian mereka berdua”. .
Namun demikian, ketentuan persaksian dalam melihat hilal tersebut masih harus ditambah dan disesuaikan dengan ketentuan sunnah Rosululloh  lainnya, seperti yang ditunjukkan pada beberapa sabda Rosululloh , di antaranya yang diriwayatkan oleh:
(1) Abu Huroiroh , dia berkata, “Rosululloh  bersabda, “(Hari) berpuasa ialah hari ketika kalian semua berpuasa sedangkan hari berbuka puasa (berlebaran) ialah hari ketika kalian semua berbuka puasa (berlebaran), dan (hari) ber’idul adha ialah hari ketika kalian semua berhari raya (‘ied) adha (melakukan penyembelihan qurban)”.” ; (2) “ (Kuroib bertanya kepada Ibnu Abbas) “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (penglihatan) dan puasanya (dengan mengikuti mathla’ dari) Mu’awiyah ?”. Dia menjawab, “Tidak (bagi tiap-tiap penduduk ada ru’yah/mathla’-nya sendiri-sendiri – tambahan redaksi dari At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan ibnu Khuzaimah), begitulah Rosululloh  telah memerintahkan kami”.”.” ;
(3) Ibnu Abbas  berkata, “… tetapi kami (penduduk Madinah) melihatnya pada malam Sabtu (sehari sesudah penduduk Syam melihatnya pada malam Jum’at) … Maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan 30 hari, atau sampai kami melihat “hilal” (bulan Syawal), tetapi jika terhalang/tertutup dengan awan sehingga tidak memungkinkan kami melihat hilal Syawal, maka kami sempurnakan bilangan Romadhon-nya sampai dengan 30 hari, sebagaimana telah diperintahkan oleh Nabi , “Apabila kalian melihat “hilal” (Romadhon) maka puasalah, dan apabila kalian melihat “hilal” (Syawwal) maka berbukalah (berlebaranlah), tetapi jika awan menutupi kalian, maka berpuasalah 30 hari”.” ; dan
(4) Abu Dzar , dia berkata, “Rosululloh  bersabda, “Bagaimana kalian [dalam redaksi lain: “Bagaimana jika engkau tinggal di tengah kaum – atau di tengah para penguasa”] yang mengakhirkan sholat dari waktunya ?”. (Lalu) Aku bertanya (kepada beliau), “Dengan apa engkau perintahkan aku ?”. Beliau  bersabda, “Sholatlah kamu pada waktunya. Kemudian, jika sholat ditegakkan, maka sholatlah bersama mereka. Sesungguhnya hal itu menambah kebaikan”.”. .

Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan masuknya waktu untuk beribadah puasa di bulan Romadhon atau berbuka puasa (berlebaran) di bulan Syawal menurut pendapat yang paling rojih (kuat) dan shohih (benar) menurut ketentuan syar’iat Islam secara ilmiyyah adalah bahwa, “Setiap masyarakat dalam suatu negara hendaklah berpuasa bersama-sama dengan negaranya, janganlah dia berpuasa sendiri-sendiri atau bersama salah satu golongan yang dianutnya dalam negara tersebut, kecuali masyarakat tersebut tidak sampai padanya kabar dari pemerintah negara tersebut yang mengumumkan kapan dimulainya waktu berpuasa Romadhon dan berbuka puasa (berlebaran) di bulan Syawal, maka cukuplah baginya minimal 1 orang saksi untuk menentukan dimulainya berpuasa Romadhon dan minimal 2 orang saksi untuk menentukan dimulainya berbuka puasa (berlebaran) di bulan Syawal” .

2. Mengevaluasi kembali kesalahan diri dan berma’afan dengan sesama.
Sesungguhnya Alloh  adalah baik dan tidak akan pernah mencintai sesuatu kecuali terhadap setiap hal yang baik juga. Alloh  tidak bersedia menerima amalan, perbuatan, dan sedekah, kecuali kesemuanya bersifat baik juga. Hal ini seperti yang ditunjukkan pada sabda Rosululloh , “Alloh menerima sedekah seorang hamba yang berasal dari usahanya yang baik. Alloh tidak menerima kecuali yang baik, dan tidak pula naik kepada-Nya kecuali yang baik (pula), ...” .
Di sisi lain, bulan Romadhon merupakan bulan suci yang disediakan-Nya sebagai media para umat-Nya yang beriman untuk menjadi orang-orang ber-taqwa . Hal ini hanya dapat dilakukan dengan syarat, seorang hamba harus bertaubat (mengembalikan kemurnian dari segala kesalahan/dosa) dan ber-tazkiyatun nufus (mensucikan diri dari segala kesalahan dan dosa yang pernah diperbuat) kepada fitrahnya yang murni (yakni dengan bertaubat), serta diwajibkan untuk bersilaturahim dan berbuat baik antara sesamanya .
Bertaubat dapat dimulai dengan bertaubat kepada Alloh  melalui beberapa hal yang paling utama , di antaranya adalah mendirikan sholat, mengakui dan menyesali semua kesalahan dan dosa yang pernah dilakukan, berusaha semaksimal mungkin untuk tidak mengulanginya kembali semua kesalahan dan dosa tersebut, dan mengimbanginya dengan berbuat kebaikan semaksimal mungkin .
Bertaubat juga dilakukan terhadap sesama manusia, yakni dimulai dengan mengakui semua kesalahan dan dosa yang pernah diperbuat terhadap orang tua, saudara, kerabat/teman, dan lain-lain, serta memohon maaf atasnya dan kembali meningkatkan hubungan silaturahim .

• Hal-hal yang disunnahkan.
1. Bergembira dan mempersiapkan diri untuk penunaian ibadah puasa dengan bertaubat, berma’af-ma’afan, mempelajari keutamaan dan ilmu syar’iat yang shohih mengenai tuntunan penunaian ibadah puasa, bersiap untuk berpuasa, mendirikan sholat 5 waktu, dan memperbanyak ibadah lainnya (esok harinya) dengan niat yang benar dan ikhlas, serta kemauan yang kuat .

• Hal-hal yang dimakhruhkan.
1. Berpuasa menjelang bulan Romadhon (pada hari-hari terakhir di bulan Sya’ban) untuk kepentingan membayar (qodho’) puasa Romadon sebelumnya .

• Hal-hal yang diharamkan (termasuk yang dibid’ahkan) .
1. Menentukan masuknya waktu berpuasa Romadhon dengan hisab  Bid’ah (lihat lampiran 2).
2. Tidak mengikuti mathla’ sesuai syar’iat Islam dan pemerintah (negara) tempat berdomisilinya .
3. Berpuasa sunnah menjelang bulan Romadhon (pada hari-hari terakhir di bulan Sya’ban), kecuali memang sudah terbiasa (rutin) menunaikan ibadah puasa sunnah atau membayar (qodho’) puasa Romadon sebelumnya .
4. Melakukan nyadran (berziarah ke kuburan-kuburan orang tua, keluarga, kerabat, dan sebagainya – baik sebelum berpuasa maupun lebaran) dan/ punggahan (membuat acara makan-makan atau kenduri di rumah-rumah atau di masjid pada 1 atau 2 hari menjelang bulan Romadhon)  Bid’ah .
5. Melakukan padusan (melakukan acara mandi bersama pada suatu tempat tertentu 1 atau 2 hari menjelang bulan Romadhon)  Bid’ah .
6. Memperbanyak ziarah-ziarah, terutama ziarah ke kuburan-kuburan yang dianggap keramat, baik hanya sebagai tempat rekreasi ataupun ber-tawasul (memohon pertolongan) / ber-tabaruk (memohon berkah), beberapa hari menjelang bulan Romadhon .
7. Melakukan pesta ru’yah (berkeliling kota atau desa menyambut malam pertama bulan Romadhon, sebagaimana sering dilakukan sebelumnya olah para pengikut aliran tarikat/tasawuf [sufi] dan orang-orang awam)  Bid’ah .
8. Mempersiapkan “qori” (pembaca Al-Qur’an) yang akan dijadikan sebagai imam dan pemimpin pembacaan tadarusan ketika malam-malam Romadhon  Bid’ah .


B. Sunnah (tuntunan) Rosululloh  ketika berada di siang hari Romadhon .
• Hal-hal yang difardhu’kan.
1. Memastikan niat berpuasa Romadhon .
Niat itu letaknya ada di dalam hati dan melafazhkannya adalah bid’ah sesat, sekalipun orang-orang melihatnya baik. Dan pernyataan niat itu hanya khusus pada puasa yang fardhu’ (wajib), karena ada hadits ketika Rosululloh  pernah mendatangi A’isyah di luar bulan Romadhon seraya berkata, “Apakah kamu punya persedian makanan ?, jika tidak ada, berarti aku berpuasa” .
2. Memastikan waktu berpuasa Romadhon .
3. Memastikan untuk senantiasa mendirikan sholat 5 waktu tepat waktu .
4. Mengusahakan semaksimal mungkin berpuasa dengan keimanan dan kesabaran .
5. Mendirikan sholat Jum’at .
6. Memperbanyak membaca dan menuntut ilmu .
7. Memperbanyak ber-silaturrahim .

• Hal-hal yang disunnahkan .
1. Mengakhirkan bersahur .
Pengertian “sahur” menurut kaidah bahasa (etimologis) berasal dari kata “as-sahuur” yang bila didhommahkan pada huruf “ha`”-nya berarti “makan”, baik berfungsi sebagai “masdar” (kata dasar) maupun kata kerja yang berhubungan dengan (arti)-nya tersebut, dengan memfathahkan pada huruf “sin”-nya berarti makanan dan/ minuman, keberkahan, ganjaran, balasan perbuatan, serta bila dikashrahkan pada huruf “sin” berarti waktu di antara sepertiga malam terakhir sampai dengan terbitnya fajar , sehingga pengertian “sahur” adalah “makan dan/ minum pada waktu di antara sepertiga malam terakhir sampai dengan terbitnya fajar . Pengertian tersebut menurut kaidah syar’iat Islam diperkuat dengan firman Alloh , “... dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar …” (QS. Al-Baqoroh [2]: 187); dan sabda Rosululloh , “Ada 3 hal yang temasuk akhlaq kenabian, yaitu mengakhirkan sahur, menyegerakan berbuka, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam sholat” .
Rosululloh  memerintahkan dan memberikan tuntunannya dalam bersahur bahwa, “Seutama-utamanya berpuasa adalah dengan bersahur, dan seutama-utamanya bersahur adalah mengakhirkan waktunya atau bersahur mendekati waktu terbitnya fajar”.
Hal ini telah dinyatakan dalam beberapa sabdanya, di antaranya adalah,
• “Barang siapa hendak berpuasa, maka hendaklah dia makan sahur dengan sesuatu” ;
• “Bersahurlah kamu karena dalam bersahur itu terdapat keberkahan” ;
• “Berkah itu terdapat pada 3 hal: Berjama’ah, (makan) sayuran, dan (makan) sahur” ;
• “Sesungguhnya Alloh telah memberikan berkah melalui sahur dan takaran” ;
• “Pembeda antara puasa kita dengan puasanya para ahlul Kitab adalah bersahur” ;
• “Kemarilah untuk menyantap (bersama) makanan (sahur) yang diberkati” ;
• “Sesungguhnya sahur itu berkah yang diberikan Alloh kepada kalian, karenanya janganlah kalian meninggalkannya” ;
• “Bersahur adalah keberkahan, maka janganlah kamu meninggalkannya, walaupun hanya dengan seteguk air, karena Alloh dan para Malaikat-Nya bersholawat bagi orang-orang yang bersahur” ;
• “Sebaik-baiknya makan sahur (untuk) seorang mukmin adalah kurma” ; “[dan makan minumlah (bersahurlah) hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar …” (QS. Al-Baqoroh [2]: 187)]  Yang dimaksud adalah hitamnya malam dan putihnya siang” ;
• “Fajar itu ada 2. Adapun fajar yang pertama, makanan tidak diharamkan dan tidak diperbolehkan mengerjakan sholat (shubuh). Sedangkan fajar yang kedua, makanan diharamkan dan diperbolehkan menunaikan sholat (shubuh)” ;
• “Janganlah kalian tertipu dengan adzannya Bilal (yang didalamnya diucapkan “asholaatu khoirum minan nauum” ), dan waktu (benang) putih ini (adalah) untuk waktu shubuh sehingga naik” ;
• “Makan dan minumlah (bersahurlah) serta janganlah kalian tertipu oleh pancaran putih yang naik. Makan dan minumlah (bersahurlah) sehingga tampak oleh kalian warna merah [redaksi lain: “... di atas warna putih di ufuk (timur) yang memanjang (hingga membentuk garis) seperti ini (yakni membentang/melintang)” ]....” ;
• “Jika salah satu di antara kalian mendengar suara adzan (shubuh) sedang bejana masih di tangannya (sedang meneguk air minum), maka janganlah dia meletakkannya sehingga keperluannya pada bejana itu terpenuhi” ;
• “(ketika iqomah sholat shubuh dikumandangkan, sedangkan bejana masih di tangan Umar, lalu dia bertanya kepada Rosululloh , “Apakah aku boleh meminumnya wahai Rosululloh ?”) Beliau  menjawab, “Boleh”. Maka Umar pun meminumnya” ;
• “Kami makan (bersahur) bersama Rosululloh . Demi Alloh, sungguh keadaannya telah terang hanya saja matahari belum terbit” ;
• “Sesungguhnya Bilal biasa adzan (shubuh pertama) di malam hari, maka Rosululloh  bersabda, “Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan, karena sesungguhnya dia tidak adzan (shubuh kedua) melainkan hingga fajar terbit. Tidak ada jarak (waktu) antara keduanya kecuali yang satu (Ibnu Ummi Maktum) naik dan yang satu turun (Bilal) [redaksi lain: “... kira-kira selama pembacaan 50 ayat Al-Qur’an (+ 10 menit)” ]”.” .

Sebagai catatan !!!:
Beberapa hadits di atas menunjukkan bahwa, “Batal (tidak sah)-nya atau bid’ah-nya menetapkan waktu imsak (batas untuk bersahur) sejak kira-kira seperempat jam sebelum fajar dikarenakan takut atau kehati-hatian didahului oleh adzan sholat shubuh ketika sedang melakukan sahur. Kesimpulannya dibolehkan bersahur hingga fajar tampak jelas dan warna putih (terang) telah menyebar ke seluruh penjuru langit dan matahari belum muncul/tampak, dengan tambahan bahwa bila masih ada sisa makanan/minuman sahurnya, hendaknya jangan disia-siakan, tetapi harus dihabiskan”. – Diterangkan dalam: Atsqolany, (Fathul Baari – Syarh Shohiih Bukhori, IV/109-110); Al-Albani, (Tamamul Minnah – Ed. Terj., hal. 457-458).

2. Memperbanyak dzikir .
3. Memperbanyak sholat sunnah .
4. Memperbanyak membaca Al-Qur’an .
5. Memperbanyak bertaubat (ber-istighfar) .
6. Memperbanyak ber-shodaqoh .
7. Tidur siang .
8. Mengawalkan berbuka.
Pengertian berbuka artinya menyelesaikan dan/ menghentikan ibadah puasa dengan makan dan/ minum kembali, yang kemudian ditegaskan menurut kaidah syar’iat Islam dengan firman Alloh , “... kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam …” (QS. Al-Baqoroh [2]: 187);
dan beberapa sabda Rosululloh  dan atsar para sahabatnya , di antaranya adalah:
• “Ada 3 hal yang temasuk akhlaq kenabian, yaitu mengakhirkan sahur, menyegerakan berbuka, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam sholat” ;
• “Seutama-utamanya berpuasa adalah dengan berbuka, dan seutama-utamanya berbuka adalah mengawalkan waktunya atau berbuka mendekati waktu terbenamnya matahari (maghrib)”;
• “Umat manusia ini akan tetap baik selama mereka menyegerakan berbuka puasa” ;
• “Umatku masih tetap berada di atas Sunnahku selama mereka tidak menunda-nunda puasa sampai munculnya bintang” ;
• “Agama ini masih akan tetap jaya selama umat manusia menyegerakan berbuka puasa, karena orang-orang Yahudi dan Nashrani biasa mengakhirkannya” ;
• “Jika malam telah datang dari arah sini (timur) dan siang telah berlalu dari arah sini (timur), dan matahari pun telah terbenam, maka orang yang berpuasa sudah boleh berbuka” ;
• “... Wahai fulan (Bilal), berdiri dan siapkanlah makanan dan minuman untuk kami sebanyak 3x (pada saat ini keadaannya adalah matahari telah hilang dari pandangan mata tetapi sinarnya masih tampak, – dikuatkan dengan perkataan fulan/Bilal 3x, “Wahai Rosululloh, seandainya kalau kamu menunggu sedikit lagi sampai sore tiba, sesungguhnya ini masih siang”) !!. ... Maka Rosululloh  pun akhirnya berbuka bersama para sahabatnya seraya berkata, “Seandainya ada salah seorang yang berusaha melihat matahari dari atas untanya pasti dia masih akan melihatnya, (kemudian sambil memberi isyarat yang menunjukkan ke arah timur dengan tangannya) jika kamu melihat malam telah tiba dari sini berarti orang yang berpuasa sudah boleh berbuka”.” ;
• “Di masa Rosululloh  pada suatu hari kami pernah berbuka [redaksi lain: ... ketika ba’da Ashar, kami duduk-duduk di masjid Nabawwi di bulan Romadhon], di mana ketika itu keadaannya gelap gulita karena langit diliputi awan. [tambahan dari redaksi lain: “Ketika itu hari telah demikian sore. Susu dari rumah Hafshah pun telah dihidangkan. Umar meneguk air susu itu dan kami pun mengikutinya”]. Setelah beberapa saat matahari bersinar kembali, ternyata kami berbuka sebelum tiba saatnya. [tambahan dari redaksi lain: “Hingga sebagian dari kami bertanya-tanya, “Apakah kita harus meng-qodho’ puasanya untuk hari ini ?”.”]. Kemudian Hisyam ditanya mengenai hal tersebut, “Apakah mereka diperintahkan agar meng-qodho’ puasanya (kembali) ?”. Hisyam bin Urwah menjawab, “Harus meng-qodho’ ??!! [redaksi lain, “Tentunya harus meng-qodho’ ??!!”]”. Selanjutnya Ma’mar berkata, “Aku mendengar Hisyam berkata (selanjutnya), “Aku tidak tahu (sebenarnya) ??!!, apakah mereka diperintahkan meng-qodho’ puasanya atau tidak. Tetapi menurut ayahku (Urwah) mereka tidak diperintahkan untuk meng-qodho’”.”. Kemudian Umar bin Khoththob menegaskannya bahwa, “Demi Alloh, kita tidak (diperintahkan untuk) meng-qodho’nya”.” ;
• “Rosululloh  biasa berbuka puasa sebelum mengerjakan sholat (maghrib)” ;
• “Rosululloh  berbuka dengan kurma matang sebelum sholat (maghrib), bila (kurma) ini pun tidak ada, beliau cukup (berbuka dengan) beberapa teguk air” ;
• “Ada 3 do’a yang mustajab (dikabulkan), yaitu do’a orang yang sedang berpuasa, do’a orang yang dizholimi, dan do’a orang yang sedang dalam perjalanan” ;
• “Sesungguhnya orang yang berpuasa itu mempunyai satu kesempatan do’a yang tidak akan ditolak” ;
• “Ada 3 orang yang tidak akan ditolak do’anya, yaitu orang yang sedang berpuasa, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang dizholimi” ; dan
• “Rosululloh  ketika hendak berbuka membaca do’a, “Dzahabazh Zhomaa`u, wab-Tallatil-‘Uruuqu, wa Tsabatal-Ajru, insya Alloh – (artinya: “Telah hilang rasa haus, dan telah basah urat-urat, dan telah ditetapkan pahala, bila Alloh menghendakinya”)”.” .

9. Memberikan berbuka puasa kepada orang lain yang juga berpuasa .
10. Bersiwak (menggosok gigi) .
11. Sesekali berziarah ke kuburan hanya berniat untuk memperbanyak mengingat kematian .
12. Berusaha senantiasa untuk tawadhu’ (low-profile), khusyu’, tuma’ninah (tenang), istiqomah, tawakkal, bersabar, dan ikhlas dalam beribadah di siang hari bulan Romadhon .
13. Menunaikan ibadah umroh .



• Hal-hal yang diperbolehkan.
1. Makan dan/ minum tanpa disengaja ketika waktu berpuasa .
2. Memasukkan obat lewat jarum suntik atau infus, kecuali suntikan dan/ infusnya mengandung zat-zat sari makanan .
3. Ber-istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung ketika ber-wudhu’) dan berkumur-kumur .
4. Memberi obat tetes hidung atau tetes mata atau tetes telinga .
5. Membasahi kepala dan mandi .
6. Mencicipi makanan .
7. Ber-junub ketika terbangun setelah waktu sholat shubuh tiba .
8. Bercumbu dan berciuman dengan istri (bukan senggama/berhubungan badan) untuk orang yang telah berusia lanjut .
9. Ber-bekam , atau transfusi darah dan/atau suntik untuk obat .
10. Ber-celak, meneteskan obat mata, menyemprotkan obat asma, dan memberikan oksigen .
• Hal-hal yang dimakhruhkan.
1. Mengawali waktu bersahur jauh sebelum waktu fajar  Bid’ah .
2. Bermain-main dengan atau tanpa menguras tenaga sejak pagi hari Romadhon .
3. Memperbanyak ghibah dan/ hal-hal yang dapat merusak pahala puasa .
• Kebiasaan banyak berbicara .
• Kebiasaan banyak tertawa .
• Kebiasaan banyak menonton televisi .
• Kebiasaan banyak bernyanyi dan mendengar lagu .
• Kebiasaan pelit, rakus, dan hasad .
• Kebiasaan marah .
4. Memperbanyak tidur dan bermalas-malasan .
5. Bercumbu dan berciuman dengan istri (bukan senggama/berhubungan badan) untuk orang yang masih berusia remaja/dewasa muda .
6. Makan berbuka dengan mengumbar nafsu, apalagi dilakukan sebelum sholat Maghrib .
7. Berenang .
8. Mengakhiri waktu berbuka dan/ menunda adzan maghrib dengan alasan untuk kehati-hatian  Bid’ah .

• Hal-hal yang diharamkan .
1. Tidak bersahur dengan sengaja .
2. Melakukan “tashir” (berteriak-teriak atau dengan mengeraskan suara untuk membangunkan orang bersahur, seperti yang sering dilakukan oleh para mu’adzdzin [orang yang ber-adzan] di Mesir, atau dengan mengetuk-ngetuk pintu seperti yang dilakukan oleh orang-orang di Yaman, Maroko, dan negeri Iskandaria/Turki, atau dengan membunyikan alat-alat musik seperti yang sering dilakukan di negeri Syam, dan/ mengumumkan lewat mikrofon seperti yang sering dilakukan di Indonesia)  Bid’ah .
3. Tidak mendirikan sholat 5 waktu.
4. Berbuka dengan sengaja.
5. Tidak mendirikan sholat Jum’at, padahal tidak ada udzur yang mengenainya.
6. Tidak pernah berkeinginan untuk membaca dan menuntut ilmu .
7. Beribadah tanpa ada tuntunannya dari Alloh  dan rosul-Nya  yang shohih/hasan dan berlebih-lebihan (ghuluw).
8. Onani (mengeluarkan sperma dengan sengaja) dan/ masturbasi,  Haram, tetapi tidak membatalkan dan dapat merusak pahala puasanya, dan tidak wajib membayar kaffarat (denda)  (lihat lampiran 3).
9. Berdusta.
10. Makan, minum, dan ber-senggama dengan sengaja .
11. Muntah yang disengaja.
12. Suntik vitamin atau infus berisi makanan .
13. Merokok .
14. Bermain catur atau dadu.
15. Tidak berbuka puasa dengan sengaja.
16. Kebiasaan membuat tersinggung orang lain.


C. Sunnah (tuntunan) Rosululloh  ketika berada di malam hari Romadhon .
• Hal-hal yang disunnahkan.
1. Sholat tarawih berjama’ah, di rumah, dan diutamakan pada sepertiga malam terakhir.
2. Sholat tarawih maksimal 11 roka’at (atau 13 roka’at, yakni didahului dengan 2 roka’at ringan sholat sunnah [ba’da Isya’]) .

• Hal-hal yang dimakhruhkan.
1. Mencari masjid yang jauh untuk menunaikan sholat tarawih  Bid’ah .
2. Meminta-minta sedekah.
3. Bergadang semalaman untuk hal-hal yang tidak bermanfa’at, apalagi sampai tertinggal sholat shubuh berjama’ah dan bersahur.

• Hal-hal yang diharamkan.
1. Menunaikan sholat tarawih dengan riya’ dan/ sum’ah.
2. Memilih-milih masjid yang untuk menunaikan ibadah sholat tarawih  Bid’ah .
3. Mendirikan sholat tarawih setelah sholat Maghrib  Bid’ah .
4. Mendirikan sholat tarawih lebih dari 11 roka’at  Bid’ah (lihat lampiran 4).
5. Mendirikan sholat tarawih yang 4 roka’at – 4 roka’at, dengan 1 kali tahiyat dan 1 kali salam (tidak seperti sholat-sholat fardhu’ yang 4 roka’at), dan mendirikan sholat witir yang 3 roka’at dengan 2 kali tahiyat dan 1 kali salam (seperti sholat maghrib)  Bid’ah.
6. Menuniakan sholat tarawih dengan cepat, seperti ayam mematuk makanan  Bid’ah dan batil sholatnya .
7. Mengada-ada ucapan, do’a, dzikir, dan gerakan-gerakan sholat yang tidak ada tuntunannya yang shohih/hasan dari Rosululloh  ketika sedang menunaikan sholat tarawih, seperti mengucapkan, “Sholaatat-tarawih fi syahri romadhona rohimakumulloh/sholaatat-tarawih aajarokumulloh”; “Shollu ya hadhdhor ‘alan Nabi”; “Shollu sunnatal-witri rohimakumullohu aajarokumulloh”; dan “Ash-Sholaatul-qiyam atsabakumulloh”; dan dengan suara yang keras  Bid’ah .
8. Membaca QS. Al-An’am [6] dalam 1 roka’at dari sholat tarawih  Bid’ah.
9. Melazimkan pembacaan surat-surat Al-Ikhlas dan “mu’awidzata’in (yakni An-Naas dan Al-Falaq)” dalam setiap roka’at terakhir dari sholat witir  Bid’ah .
10. Mengumpulkan ayat-ayat berisi do’a, (di antaranya ayat-ayat sajadah dan perlindungan [hirs]) dan membacakannya di roka’at terakhir sholat tarawih setelah membaca QS. An-Naas [114]  Bid’ah .
11. Mengkhususkan membaca do’a qunut pada sholat tarawih (dengan kata lain hanya di bulan Romadhon)  Bid’ah .
12. Menunaikan sholat tarawih dengan bercampur baur antara lelaki dan perempuan (tabarruj dan ikhtilath)  Bid’ah .
13. Membuat perayaan malam khatam Al-Qur’an, yakni dengan ber-dzikir/berdoa bersama (berjama’ah) atau sendiri-sendiri, dengan suara yang keras setelah mengkhatamkan Al-Qur’an ketika tadarusan di malam bulan Romadhon, kemudian mengiringinya dengan irama-irama dan sajak/syair/puisi, serta membacakan dzikir/do’a yang tidak ada tuntunannya dari Rosululloh  yang shohih/hasan  Bid’ah .
14. Melakukan sholat khataman qur’an pada malam bulan Romadhon, dan dengan melakukan seluruh sujud tilawah dalam satu roka’at  Bid’ah .
15. Menghentikan penunaian sholat tarawih setelah melakukan perayaan khataman qur’an  Bid’ah .
16. Membuat perayaan nuzulul-qur’an pada setiap tanggal 17 Romadhon  Bid’ah .
17. Bertadarusan bersama-sama, tanpa ada ketentuan untuk menyimak dan mendengarkan bacaan salah seorang yang sedang bertadarusan  Bid’ah.
18. Membuat perayaan mengenang peperangan Badar  Bid’ah .
19. Bermain-main petasan.




Beberapa Ketentuan Khusus dalam Puasa Romadhon.
1. Ketentuan dan hukum berpuasa dan ber-i’tikaf di bulan Romadhon untuk seorang musafir .
 Seorang musafir dimakruhkan menunaikan ibadah puasa wajib pada bulan Romadhon, bahkan diwajibkan untuk berbuka bila benar-benar dalam keadaan kepayahan.
 Seorang musafir yang berniat safar, disunnahkan untuk tidak makan sahur seperti keadaannya ketika hendak berpuasa.
 Seorang musafir ber-safar karena menjadikannya sebagai suatu pekerjaan atau profesinya, maka dia meng-qoshor sholatnya dan boleh berbuka di bulan Romadhon secara terus-menerus.
 Seorang musafir diwajibkan meng-qodho’ (mengganti) ibadah puasanya ketika kembali dari safar-nya .
 Seorang musafir yang belum menunaikan hutang qodho’ ibadah puasa wajibnya kemudian dia meninggal, maka walinya wajib membayarkannya (dengan meng-qodho’ puasanya) .
 Seorang musafir dilarang menunaikan ibadah i’tikaf, baik ketika safar maupun ketika sedang bersinggah dalam safar-nya.
 Seorang musafir dilarang menunaikan puasa sunnah, karena tidak ada satupun riwayat yang shohih/hasan dari Rosululloh  untuk menunaikan ibadah puasa sunnah ketika dalam safar-nya.

Kaidah medis dimakruhkan (dibenci)-nya berpuasa bagi musafir.
Keadaan seseorang ketika ber-safar (musafir) adalah sedang berada dalam suatu bagian dari adzab (siksaan) Alloh, (yang dapat) menghambat seseorang dari makan, minum, dan tidurnya (yang nyenyak) . Dia juga berada dalam keadaan kesukaran, kelelahan, kepayahan, hembusan angin, cuaca yang dingin dan panas, beresiko terkena penyakit, rasa takut, bahaya yang mengancam, sedikit makan dan minum, tercegah dari tidurnya yang nyenyak, dan berpisah dari orang-orang yang tercinta, meskipun orang yang melakukannya adalah orang yang paling senang hidupnya .
Keadaan ini yang menjadikan Alloh  mengkhususkan kelonggaran bagi musafir (orang yang bepergian) dalam safar-nya, dia diperbolehkan berbuka (puasa), meng-qoshor sholatnya, dan lain-lain. Hal ini termasuk hikmah (karunia) dari (Alloh , Sang) Pembuat syar’iat. Alloh  tidak menghilangkan untuknya kemaslahatan ibadah dengan menggugurkannya secara penuh ketika safar, sebaliknya Dia juga tidak mengharuskannya secara penuh saat safar sebagaimana ketika ber-muqim. Sehingga hal-hal tersebut menjadikannya sebagai salah satu rahmat dari Alloh  dan kebaikan-Nya kepada para hamba-Nya yang senantiasa ber-safar .
Ketika seseorang sedang melakukan perjalanan (ber-safar) akan sering mengalami beberapa perubahan dan/ kelainan pada fungsi-fungsi tubuhnya, di antaranya adalah tegang dan kelelahan (terutama bila mengalami loncatan waktu [jet lag]) yang dapat menimbulkan keluhan-keluhan mual, muntah, gangguan pencernaan, cemas (ansietas) / depresi, gangguan/kesulitan tidur (insomnia), nyeri/pegal-pegal pada otot-otot tubuh (pada umumnya di bagian pinggang dan punggung bawah), dan penurunan daya tahan tubuh secara bermakna.
Perubahan dan/ kelainan pada fungsi tubuh lainnya juga dapat disebabkan oleh adanya pencemaran air (baik pada sungai, saluran irigasi, dan laut), lumpur, dan adanya hewan-hewan berbisa yang kemungkinan besar sering ditemukan selama masa perjalanan.
Keadaan ketinggian, kelembaban, dan sengatan sinar matahari pun tidak terlepas sebagai faktor pencetus terjadinya perubahan dan/ kelainan pada fungsi tubuh. Biasanya hal ini berhubungan dengan beberapa kelainan tubuh, di antaranya adalah kelainan jantung, paru-paru, kulit, dan otak, dan juga sering sekali berhubungan dengan faktor penyebab terjadinya kerusakan tubuh melalui adanya suatu kecelakaan dalam perjalanan.
Walaupun demikian, beberapa keadaan seorang musafir tersebut secara tidak disadari melalui kehendak dan pertolongan Alloh  telah menjadikan pemeliharaan kesehatan tubuhnya senantiasa terjamin. Beberapa keadaan seorang musafir yang telah tersebut sebelumnya, ternyata dapat menormalkan dan menstabilkan kembali fungsi (jantung) dan meningkatkan kembali daya tahan tubuhnya.
Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya beberapa keadaan tersebut setidaknya dapat menjadikan setiap sel yang berada di dalam tubuh menunaikan haknya (bersedekah atau ber-dzikir kepada Alloh ), yakni dengan senantiasa ber-metabolisme (beraktivitas) dan diiringi dengan keadaan sedikit makan dan minum, serta tercegahnya dari tidur yang lama. Beberapa keadaan ini secara langsung dapat mencegah beberapa racun hati (seperti: banyak makan, tidur, bernyanyi, mendengarkan musik, dan sejenisnya) dan mengobati penyakit hati (seperti: penyakit syahwat/hawa nafsu dan syubhat/kerancuan/kebodohan) yang akan sangat mempengaruhi dari usaha penormalan fungsi jantung tubuh.
Banyaknya aktivitas yang terjadi pada tubuh, setidaknya akan mengkondisikan fungsi hati (jantung) menjadi tenang dan stabil, disebabkan terjadinya pemaksaan penghambatan dari seluruh inderawi tubuh terhadap hal-hal yang tidak berguna (yakni dengan menghambat masuknya beberapa racun dan penyakit hati ke dalam tubuh), dan pengalihan serta peningkatan konsentrasi untuk beribadah kepada Alloh , yakni dengan senantiasa menunaikan hak-hak tubuhnya, mengosongkan (menglepaskan) semua beban pikiran dan mental yang pernah ada, dan mengembalikan semuanya kepada takdir dari-Nya dengan sabar, istiqomah (konsisten), dan ikhlas hanya karena-Nya, untuk mendapatkan ketenangan diri (hati, jiwa, dan tubuh) ketika ber-safar, demi terwujudnya tujuan safar-nya secara maksimal.
Di sisi lain, banyaknya aktivitas yang terjadi pada tubuh juga secara langsung akan memperlancar aliran darah di seluruh tubuh, melalui pencegahan terjadinya sumbatan-sumbatan di dalam pembuluh-pembuluh darah tubuh yang disebabkan keadaannya yang sedikit makan dan sedikit tidur. Hal ini kemudian dapat meringankan dan menormalkan kerja (fungsi) jantung untuk memompakan aliran darah ke seluruh tubuh. Walaupun makan memang diperlukan tubuh, namun untuk memelihara kesehatan tubuh dan menjaga tampilan (performance) dari setiap aktivitas (terlebih lagi ketika sedang ber-safar), makan tidak perlu berlebihan, begitu juga halnya dengan tidur.
Selanjutnya, penormalan fungsi jantung tubuh yang terjadi tersebut juga secara langsung akan meningkatkan kualitas dan kuantitas kinerja sistem jantung dan pembuluh darah seluruh tubuh dan mencegah terjadinya banyak penyakit-penyakit tubuh, terutama mencegah penyakit-penyakit degeneratif (seperti kencing manis [DM], kolesterol [dislipidemia], stroke, hipertensi, asam urat, keganasan, dan lain-lain), serta akan meningkatkan kualitas dan kuantitas ketahanan, kekuatan, kelenturan, keseimbangan, dan kecepatan tubuh dalam merespons setiap perubahan kondisi lingkungan, baik yang akan mempengaruhi maupun yang akan menimbulkan suatu gangguan/kelainan dan penyakit pada tubuh.
Beberapa hal tersebut menunjukkan pemberian hikmah (karunia) dari (Alloh , Sang) Pembuat syar’iat. Alloh  tidak menghilangkan untuknya kemaslahatan ibadah dengan menggugurkannya secara penuh ketika safar, sebaliknya Dia juga tidak mengharuskannya secara penuh saat safar sebagaimana ketika ber-muqim. Namun demikian, banyaknya aktivitas yang kemungkinan besar dialami oleh seseorang (baik oleh tubuh dan jiwanya) yang sedang bepergian (ber-safar) seperti telah dijelaskan sebelumnya, setidaknya akan mengurangi tenaga dan konsentrasi (kekhusyu’an)-nya dalam menunaikan ibadah puasa Romadhon-nya, dan dapat beresiko terhadap kondisi tubuhnya secara keseluruhan. Fakta inilah yang kemudian dijadikan Alloh  dan rosul-Nya  untuk memberikan rukhshoh (keringanan) untuk orang-orang yang bepergian (musafir) agar tidak menunaikan ibadah puasa Romadhon ketika dalam keadaan bepergian (safar), namun diiringi dengan konsekuensi untuk meng-qodho’ (mengganti puasa Romadhon yang ditinggalkan)-nya ketika sudah dalam keadaan bermukim. Kesemuanya itu menjadikannya sebagai salah satu rahmat dari Alloh  dan kebaikan-Nya kepada para hamba-Nya yang senantiasa ber-safar.




2. Ketentuan untuk seorang yang sedang sakit .
Alloh  memperbolehkan bagi orang yang sakit untuk berbuka sebagai rahmat sekaligus kemudahan baginya, dengan beberapa ketentuan bahwa, (1) Sakit yang membolehkan seseorang berbuka adalah sakit yang dengan menjalankan puasa tersebut akan berbahaya bagi jiwanya, memperparah sakit yang dideritanya, atau dikhawatirkan dapat memperlambat kesembuhannya, dan (2) Harus meng-qodho’ puasanya di waktu-waktu mendatang bila telah sembuh.

3. Ketentuan untuk seorang lelaki dan/ wanita yang sudah lanjut usia, atau seorang yang berpenyakit, yang penyakitnya memberatkannya untuk beribadah dan tidak dapat diharapkan kesembuhannya (penyakit kronis atau menahun), maka mereka disunnahkan (sangat dianjurkan) untuk berbuka puasa dengan ketentuan wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan orang-orang miskin sejumlah 1 Mud (atau ¼ sho’ gandum = 510 - 625 gram [1 sho’ = 2040 g.; dalam riwayat lain: 2040 - 2157 gram (2 – 2,2 kg) gandum, atau 3,4 – 3,5 liter beras]) dari makanan pokok kesehariannya selama hari-hari puasa yang ditinggalkannya.

4. Ketentuan untuk seorang wanita yang sedang haid, nifas, istiadhoh.
Ketentuan hukum .
Seorang wanita yang sedang mengalami haidh dan nifas tidak boleh (diharamkan) berpuasa, baik puasa wajib maupun puasa sunnah, tetapi tetap dibolehkan untuk seorang wanita yang sedang mengalami istiadhoh. Namun demikian, seorang wanita yang sedang haidh atau nifas wajib meng-qodho’ puasa wajib yang ditinggalkannya itu setelah suci (bersih) dari haidh-nya.
Hal tersebut merupakan rahmat dari Alloh  karena apabila sholat harus di-qodho’ tentu akan memberatkan (karena terlalu banyak sholat yang telah ditinggalkan selama masa haidh). Adapun mengenai meng-qodho’ puasa, masalahnya tidak seberat seperti meng-qodho’ sholat. Qodho’ puasa terhitung ringan, karena puasa dilakukan sekali dalam setahun, yaitu pada bulan Romadhon. Qodho’ puasa sebanyak hari-hari pada masa haidh (sekitar 6 atau 7 hari), insya Alloh, tidak akan memberatkan dan menyusahkan untuk menjalankannya bagi seorang wanita.

Kaidah medis pelarangan berpuasa bagi yang sedang haidh, nifas, dan/ istiadhah.
Seorang wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas atau istiadhoh dianjurkan untuk tidak melakukan aktivitas sedang atau berat, yang dapat menguras energi atau tenaga yang banyak, seperti berthowaf, berpuasa, mengangkat beban berat, olah raga, bersetubuh, dan lain-lain, untuk sementara waktu sampai kondisi atau stamina tubuh dan kejiwaannya dianggap stabil menurut indikator-indikator medis secara subyektif dan obyektif. Namun demikian, masih diperbolehkan untuk melakukan aktivitas-aktivitas ringan, yang tidak memerlukan energi atau tenaga yang banyak, seperti membaca, melakukan sholat (dengan cara-cara tertentu, terutama yang disesuaikan dengan keadaan stamina tubuh dan syar’iat yang berlaku), makan, minum, dan lain-lain.
Hal ini perlu diperhatikan mengingat pada saat itu kondisi atau stamina tubuh dan psikis (kejiwaan) seorang wanita tersebut dalam keadaan sangat menurun dan tidak stabil, terutama karena adanya fakta yang menunjukkan bahwa telah terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh pada saat terjadinya proses haidh atau nifas atau istiadhoh cukup banyak (+ 50 ml untuk perdarahan haidh, dan + 200-400 ml untuk perdarahan nifas) dan terjadinya banyak sekali perlukaan pada beberapa sel atau jaringan atau organ peranakan dan daerah kemaluan tubuh, sehingga dapat menyebabkan terjadinya:
(1) Penurunan kandungan zat-zat nutrisi yang terkandung dalam darah secara bermakna, yang akan digunakan tubuh untuk beraktivitas atau melakukan perbaikan atau penyembuhan diri terhadap sel-sel atau bagian tubuh yang rusak, terutama terhadap luka-luka yang terjadi selama proses perdarahannya tersebut berlangsung.
(2) Ketidakstabilan dari kinerja atau aktivitas dari beberapa sel, jaringan maupun organ tubuh secara menyeluruh untuk menjalankan aktivitas metabolismenya secara optimal, yang manifestasi pada umumnya adalah adanya efek samping yang menyertai terjadinya proses haidh, nifas, atau istiadhoh tersebut, baik efek samping yang disebabkan oleh terjadinya perdarahan secara langsung (seperti: terjadinya penurunan tekanan darah, lemas, infeksi, nyeri, dan lain-lain) maupun yang tidak langsung (seperti adanya ketidakstabilan emosi, penurunan gairah untuk beraktivitas atau menjalani kehidupan, dan lain-lain).
(3) Peningkatan keparahan dan komplikasi, yang dapat beresiko tinggi terhadap adanya perburukkan kondisi atau stamina tubuh, atau kemungkinan dapat menimbulkan kematian.

Oleh karena itu, beberapa hal yang sangat dianjurkan untuk dilakukan pada kondisi seperti ini adalah mengistirahatkan seluruh organ tubuhnya seoptimal atau semaksimal mungkin dari melakukan beberapa aktivitas sedang maupun berat dan mengkonsumsikan makanan dan minuman yang kaya akan kandungan energi, protein, dan vitamin untuk kebutuhan tubuhnya, agar dapat memberikan waktu dan energi yang cukup untuk menghentikan terjadinya proses perdarahan (pada waktunya), dan memperbaiki serta membangun kembali beberapa sel atau jaringan atau organ tubuh yang telah mengalami kerusakan selama terjadinya proses haidh, nifas atau istiadhoh tersebut, sehingga diharapkan dapat mempercepat terjadinya proses pemulihan (recovery) kondisi atau stamina tubuh dan kejiwaannya secara umum. Pada kasus-kasus haidh, nifas atau istiadhoh tertentu yang beresiko tinggi, pemberian perawatan khusus, seperti penanganan kegawatdaruratan, pemberian obat-obatan dan makanan, dan lain-lain, harus segera dilakukan dan biasanya dilakukan di pusat-pusat pelayanan kesehatan atau rumah sakit yang menyediakan sarana atau fasilitas kesehatan yang baik, untuk menghindari terjadinya perburukkan kondisi tubuh dan komplikasi yang tidak diinginkan lebih lanjut.

Pemakaian penunda haidh ketika berpuasa Romadhon.
Anjuran para jumhur (sebagian besar) ulama adalah, hendaknya para wanita sabar dan ridho’ terhadap hal-hal yang telah ditetapkan Alloh  bagi dirinya. Pintu-pintu kebaikan “alhamdulillah dan insya Alloh” akan sangat banyak yang terbuka. Apabila dia tidak dapat menunaikan sholat dan berpuasa karena haidh, maka dihadapannya ada pintu-pintu keta’atan lainnya, seperti: berdo’a, ber-tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, ber-shodaqoh, birrul walidain, ber-sholawat (kepada Nabi ), membaca Al-Qur’an, dan lain-lain. Namun demikian, jika ada suatu udzur pada diri wanita tersebut sehingga memaksa dia menggunakan pil penunda haidh, maka telah datang beberapa fatwa ahlu ‘ilmi yang membolehkan hal tersebut, di antaranya adalah dari:
1. Ma’mar , dia berkata, “Aku mendengar dari Ibnu Nujaih ketika ditanya tentang hal itu (wanita yang meminum obat penunda haidh), maka dia berpendapat, “Tidak apa-apa”.”
2. Ibnu Qudamah , dia berkata, “diriwayatkan dari Ahmad , bahwa beliau berkata, “Tidak apa-apa seorang wanita meminum obat yang akan menghentikan haidhnya, jika obat itu adalah obat yang dikenal (tidak berbahaya)”.” .
3. Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin , dia berkata, “Seorang wanita boleh menggunakan obat yang akan mencegah haidhnya, dengan 2 syarat:
(1) Obat tersebut tidak membahayakan dirinya. Apabila obat tersebut membahayakan dirinya, maka tidak boleh (haram hukumnya), berdasarkan beberapa firman Alloh ,:
“Janganlah kalian melempar diri kalian pada kebinasaan” (QS. Al-Baqoroh; 195), dan
“Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Alloh Maha Penyayang terhadap kalian” (QS. An-Nisaa`; 29),
(2) Penggunaan obat tersebut dengan ijin suami, apabila suaminya mempunyai kaitan dengannya, misalnya: wanita yang sedang menunggu masa ‘iddahnya dari sisi yang wajib bagi suami menafkahkannya. Kemudian wanita tersebut menggunakan obat yang akan mencegah haidhnya untuk memperpanjang masa ‘iddahnya dan (diharapkan) akan menambahkan nafkah pada dirinya dari suaminya. Maka ketika itu, dia dilarang (diharamkan) menggunakan obat yang akan mencegah haidhnya, kecuali dengan ijin suaminya. Demikian pula apabila telah pasti bahwa obat pencegah haidh itu dapat mencegah kehamilan, maka (menggunakannya) haruslah dengan izin suami. Apabila telah tetap kebolehannya (menggunakan obat tersebut), maka yang lebih utama adalah tidak menggunakannya, kecuali ada satu kebutuhan. Karena meninggalkan tabi’at (kebiasaan perilaku tubuh) sebagaimana adanya adalah lebih dekat pada rusaknya kesehatan dan keselamatan” .
4. Sholih bin Fauzan Al-Fauzan , dia berkata, “Di sini ada permasalahan yang harus diperhatikan, yaitu bahwa sebagian wanita kadang-kadang meminum obat untuk mencegah datangnya haidh, sehingga memungkinkan dia untuk berpuasa pada bulan Romadhon atau menunaikan ibadah haji. Jika pil-pil ini (digunakan) untuk mencegah datangnya haidh (hanya) pada satu waktu dan tidak menghentikan haidhnya (selamanya), maka tidak apa-apa meminumnya. Namun jika pil-pil itu menghentikan haidh (dalam jangka lama atau selamanya), maka hal itu dilarang (diharamkan), kecuali dengan izin suaminya. Karena hal itu akan menyebabkan terhentinya keturunan” .

Mengenai penggunaan obat penunda haidh, dalam dunia medis sudah sangat banyak dianjurkan pemakaiannya pada seorang wanita yang mempunyai keperluan . Biasanya yang digunakan adalah obat-obatan hormonal yang mengandung hormon estrogen atau progesteron . Hormon estrogen yang terkandung dalam obat tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya haidh melalui beberapa cara, yaitu:
1. Menghambat terjadinya proses ovulasi .
2. Menghambat perjalanan sel ovum .

Sedangkan hormon progesteron yang terkandung dalam obat tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya haidh melalui beberapa cara, yaitu:
1. Membuat getah atau lendir serviks uteri menjadi lebih kental, sehingga dapat menghambat perjalanan sel ovum di dalam tuba Fallopii.
2. Menghambat terjadinya proses ovulasi .

Namun demikian, efek samping dari pemberian obat-obatan penunda haidh ini juga sering terjadi, di mana efek sampingnya sesuai dengan kadar hormon yang dikandungnya. Kelebihan kadar hormon estrogen dari pemberian obat tersebut dapat menimbulkan gejala-gejala seperti: mual, pembengkakkan pada tubuh, keputihan, peningkatan kadar lemak tubuh secara berlebihan, nyeri kepala, peningkatan tekanan darah, dan payudara terasa tegang. Sedangkan kelebihan kadar progesteron dari pemberian obat tersebut dapat menimbulkan gejala-gejala seperti: perdarahan haidh yang tidak teratur , peningkatan nafsu makan, mudah lelah, depresi, penurunan libido , tumbuhnya jerawat, alopesia , hipomenore, dan keputihan. Menurut hemat penulis, penggunaan obat-obatan penunda haidh sebaiknya ditinggalkan atau jangan pernah untuk mencoba-coba untuk digunakan sekalipun, kecuali memang keadaannya darurat dan memang memerlukan obat-obatan tersebut untuk penyembuhan dari suatu penyakit, karena di samping obat-obatan tersebut dapat menimbulkan gangguan keteraturan dari aktivitas hormonal yang sangat berperan dalam proses terjadinya haidh , dia juga merupakan bahan-bahan kimia sintetik yang secara langsung atau tidak, dalam waktu cepat atau lambat, dapat menimbulkan efek toksik terhadap organ-organ tubuh secara keseluruhan.

I’tikaf di dalam masjid bagi wanita yang sedang haidh.
Banyak hadits yang shohih/hasan yang membolehkan wanita haidh untuk masuk masjid, bahkan Masjidil Harom, di antaranya adalah, Nabi  membolehkan ‘Aisyah melakukan apa saja yang dilakukan orang yang sedang menunaikan ibadah haji. Masuk ke masjid, sholat di dalamnya, atau melakukan thowaf mengelilingi Ka’bah adalah ibadah-ibadah yang biasanya dilakukan oleh seseorang yang sedang menunaikan ibadah haji. Di antara ibadah-ibadah tersebut yang dilarang (diharamkan) oleh Nabi  terhadap ‘Aisyah yang sedang mengalami haidh adalah hanya sholat dan thowaf. Jadi dengan sendirinya memasuki masjid tidak dilarang. Maka barang siapa yang melarang seorang wanita yang sedang haidh untuk memasuki masjid dan berdiam diri di dalamnya, wajib mendatangkan penjelasan (dalil) yang mengharamkannya secara akurat, dan dalil pengharamannya tersebut harus datang setelah dalil penghalalan (dengan kata lain dalil pengharamannya tidak di-mansukh oleh dalil lain yang datang sesudahnya). Kesimpulannya adalah banyak hadits shohih/hasan ini dapat dijadikan hujjah pembolehan seorang wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas secara umum untuk memasuki masjid atau berdiam diri di dalamnya .
Beberapa hadits yang dapat dijadikan pedoman tersebut, di antaranya adalah:
1. Hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah dia berkata:
Artinya:
“Rosululloh  bersabda kepadaku, “Ambilkan untukku al-khumroh (sajadah kecil yang hanya cukup untuk sujud) di masjid”. Lalu aku menjawab, “Sesungguhnya aku sedang haidh”. Lalu Rosululloh  bersabda, “Sesungguhnya haidhmu itu tidak berada di tanganmu”.”.” .

Hadits ini adalah dalil yang menegaskan keadaan seorang wanita yang sedang mengalami haidh diperbolehkan memasuki masjid, berdasarkan dari perintah Rosululloh  kepada istrinya, ‘Aisyah , untuk mengambilkan sajadah kecilnya yang tertinggal dan berada di dalam masjid, dan perkataan beliau  yang menunjukkan bahwa terjadinya haidh tidak dapat dijadikan sebagai halangan untuk memasuki masjid. Redaksi hadits tersebut juga tidak menunjukkan adanya larangan bagi seorang wanita yang sedang haidh untuk memasuki masjid dalam waktu yang lama atau berdiam diri di masjid. Kalau memang benar ada pelarangan terhadap seorang wanita yang sedang mengalami haidh untuk berdiam diri di dalam masjid, kemungkinan besar Rosululloh  telah memberikan peringatan atau pengecualiannya terhadap perintah yang diberikan kepada ‘Aisyah dalam bentuk tambahan perkataan bahwa dia hanya boleh masuk ke masjid dalam waktu yang singkat atau hanya diperkenankan melewati masjid sekedar mengambil sajadah kecil beliau  saja dan tidak boleh tinggal terlalu lama atau berdiam diri di dalam masjid. Kenyataannya adalah beliau  memerintahkannya secara umum, untuk masuk ke masjid, tanpa ada satupun redaksi tambahan dari perintahnya tersebut yang menunjukkan adanya pengecualian atau pelarangan bagi ‘Aisyah untuk berdiam diri di dalam masjid. Hal ini juga diperkuat dengan adanya penegasan perintah dari Rosululloh  terhadap adanya keengganan dari ‘Aisyah (yang sebelumnya mengganggap dirinya tidak pantas masuk ke dalam masjid karena sedang mengalami haidh), bahwa haidh yang sedang dialaminya tersebut tidak dapat menjadi penghalang baginya untuk memasuki masjid dan mengambil sejadah yang telah diperintahkan beliau  kepadanya. Jadi hadits ini dapat juga dijadikan hujjah pembolehan seorang wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas secara umum untuk memasuki masjid atau berdiam diri di dalamnya.

2. Hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah , dia berkata:
Artinya:
“Sesungguhnya ada seorang budak wanita berkulit hitam kepunyaan dari salah satu suku bangsa Arab. Lalu mereka memerdekakannya, kemudian dia pun tinggal bersama mereka... Lalu wanita tersebut datang kepada Rosululloh  dan masuk Islam. Lalu wanita tersebut membuat kemah kecil di masjid (untuk tempat tinggalnya sampai dia meninggal – lihat hadits no.3, sesudah hadits ini) ...” .

3. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Huroiroh , dia berkata:
Artinya:
“Bahwasannya ada seorang wanita berkulit hitam yang biasa membersihkan kotoran di masjid meninggal dunia. Lalu Nabi  bertanya tentangnya. Kemudian mereka (para sahabat) menjawab, “Dia sudah meninggal”. Beliau  bersabda, “Mengapa kalian tidak memberitahukannya kepadaku tentang (kematian)nya. Tunjukkan kepadaku kuburannya”. Lalu beliau mendatangi kuburan perempuan tersebut, kemudian beliau mensholatinya” .

Imam Bukhori meriwayatkan kedua hadits tersebut dalam kitab shohihnya dan telah memberikan bab dengan judul “Tidurnya perempuan di masjid”, dan dijelaskan oleh Ibnu Hajar Atsqolani dengan mengatakannya, “Yang dimaksud (judul bab tersebut) adalah tinggal atau berdiamnya wanita di dalam masjid” . Kedua hadits ini adalah dalil yang menunjukkan secara tersirat bahwa diperbolehkannya seorang wanita yang sedang haidh memasuki dan tinggal di dalam masjid, berdasarkan makna yang didapatkan secara analogis bahwa dari kedua hadits tersebut tidak menunjukkan adanya pelarangan atau pengecualian dari Rosululloh  terhadap wanita tersebut untuk membuat kemah dan tinggal di dalam masjid sampai dia meninggal dunia, mengingat tidak dapat dihindari lagi bahwa pada kehidupan harian dari seorang wanita yang normal setidaknya akan mengalami haidh sebulan sekali atau waktu-waktu tertentu yang dikhawatirkan dapat menimbulkan pencemaran dari kesucian masjid, dan mengenai hal tersebut jelas dan sangat mungkin telah diketahui oleh Rosululloh . Hal ini menunjukkan bahwa Rosululloh . telah mengijinkan dan menetapkan wanita tersebut untuk tinggal di dalam masjid secara umum dan mutlak, bahkan mempunyai kemah sendiri yang telah dibuatnya untuk tempat tinggalnya di dalam masjid dalam waktu lama. Kedua hadits tersebut juga merupakan hujjah yang paling tegas tentang diperbolehkannya seorang wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas untuk masuk dan tinggal di dalam masjid dalam waktu lama.

Memegang dan membaca mushaf Al-Qur’an bagi wanita yang sedang haidh.
Pendapat jumhur ulama yang paling mendekati kebenaran dan rojih (kuat) mengenai memegang dan membaca mushaf Al-Qur’an bagi seorang wanita yang sedang mengalami (dalam keadaan) haidh, nifas atau junub hukumnya adalah diperbolehkan atau mubah, tidak dilarang atau diharamkan, namun sedikit makruh (untuk berhati-hati dalam beribadah) dan disunnahkan untuk bersuci dahulu ketika melakukan ibadah-ibadah yang agung, termasuk di antaranya memegang dan membaca mushaf Al-Qur’an . Kesimpulan ini didasarkan pada tidak adanya kejelasan dan ketegasan beberapa dalil yang dapat dijadikan pegangan secara kuat dan mutlak untuk melarang seorang wanita yang sedang mengalami (dalam keadaan) haidh, nifas atau junub untuk memegang dan membaca mushaf Al-Qur’an (di mana di dalam ilmu atau kaidah ushuliyyah hadits dikatakan bahwa “Melarang sesuatu hal [terutama dalam masalah ibadah] harus berdasarkan pada dalil khusus yang shohih, jelas dan terperinci, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang shohih, atau disebut juga dengan istilah “Al-Baro’ah Al-Ashliyyah ”), dan adanya keumuman makna dari beberapa hadits yang dapat memperkuat hukum dari masalah tersebut, (di mana di dalam ilmu atau kaidah ushuliyyah hadits dikatakan bahwa “Setiap ibadah yang dilakukan harus berdasarkan pada adanya dalil yang shohih dan jelas, baik dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah yang shohih”), yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik , “(Menjelaskan QS. Al-Baqoroh; 222)...Rosululloh  bersabda, “Lakukanlah segala sesuatunya, kecuali nikah (bersetubuh)”.” , dan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah  ketika dia mengalami haidh pada saat sedang menjalani ibadah hajinya, “... Rosululloh  bersabda, “Sesungguhnya (haidh) ini adalah perkara yang telah Alloh tetapkan bagi para putri Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang berhaji selain thowaf di Ka’bah sampai kamu suci (dari haidhnya)”.” , serta pendapat-pendapat sebagian para ulama lainnya, yang memperbolehkan seorang wanita yang sedang mengalami haidh, nifas, atau junub untuk memegang dan membaca mushaf Al-Qur’an, di antaranya adalah Syaikh Ibnu Hazm dia berkata, “Adapun menyentuh mushaf Al-Qur’an, membacanya, dan berdzikir kepada Alloh  adalah perbuatan-perbuatan baik yang disunnahkan, dan orang yang melakukannya mendapat pahala. Maka barang siapa yang melarang perbuatan-perbuatan tersebut dalam sebagian kondisi tertentu wajib mendatangkan penjelasan (dalil) yang mengharamkannya secara akurat, dan dalil pengharamannya tersebut harus datang setelah dalil penghalalan (dengan kata lain dalil pengharamannya tidak dimansukh oleh dalil lain yang datang sesudahnya]). Adapun tentang menyentuh mushaf Al-Qur’an, maka sesungguhnya atsar-atsar yang dijadikan hujjah tersebut tidak satupun yang shohih, karena atsar-atsar tersebut sifatnya mursal , ataupun tidak memiliki sandaran, ataupun diriwayatkan dari perawi yang majhul dan dho’if” .

Mengikuti Sholat Id di lapangan bagi wanita yang haidh.
Seorang wanita yang sedang haidh atau nifas, disunnahkan ikut serta pergi ke tanah lapang untuk melakukan sholat pada kedua hari raya (‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha). Mereka hanya ikut meramaikan syi’ar Islam dan mendengarkan khutbah, tidak ikut melaksanakan sholat. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ummu Athiyyah , “dia berkata:
Artinya:
“Rosululloh  memerintahkan kami untuk keluar pada kedua hari raya (‘idul fitri dan ‘idul adha), baik yang gadis sedang menginjak dewasa, wanita-wanita yang sedang haidh, maupun wanita-wanita yang dipingit. Adapun wanita-wanita yang sedang haidh, mereka tidak ikut mengerjakan sholat (“..., mereka tidak ikut mengerjakan sholat, namun mereka tetap mendapatkan kebaikan dan syi’ar kaum muslimin”)”.” .




























5. Ketentuan untuk para wanita yang sedang hamil atau menyusui, maka mereka disunnahkan (sangat dianjurkan) untuk berbuka puasa dengan ketentuan wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan orang-orang miskin sejumlah 1 Mud (atau ¼ sho’ gandum = 510 - 625 gram [1 sho’ = 2040 g.; dalam riwayat lain: 2040 - 2157 gram (2 – 2,2 kg) gandum, atau 3,4 – 3,5 liter beras]) dari makanan pokok kesehariannya selama hari-hari puasa yang ditinggalkannya.

Kaidah medis pemakruhan berpuasa bagi wanita hamil atau menyusui.
Seorang wanita yang sedang mengalami hamil atau menyusui dianjurkan untuk tidak melakukan aktivitas sedang atau berat, yang dapat menguras energi atau tenaga yang banyak, seperti berpuasa, berthowaf, mengangkat beban berat, olah raga, bersetubuh, dan lain-lain, untuk sementara waktu sampai kondisi atau stamina tubuh dan kejiwaannya dianggap stabil menurut indikator-indikator medis secara subyektif dan obyektif. Namun demikian, masih diperbolehkan untuk melakukan aktivitas-aktivitas ringan, yang tidak memerlukan energi atau tenaga yang banyak, seperti membaca, melakukan sholat (dengan cara-cara tertentu, terutama yang disesuaikan dengan keadaan stamina tubuh dan syar’iat yang berlaku), makan, minum, dan lain-lain. Hal ini perlu diperhatikan mengingat pada saat itu kondisi atau stamina tubuh dan psikis (kejiwaan) seorang wanita tersebut dalam keadaan sangat menurun dan tidak stabil, terutama karena adanya peningkatan kebutuhan hidup dari dirinya dan anak yang dikandungnya (khususnya dalam masa pembentukan organ-organ janin yang sedang dikandungnya) secara bermakna ketika sedang hamil, terjadinya banyak sekali perlukaan pada beberapa sel atau jaringan atau organ peranakan dan daerah kemaluan tubuh yang belum sempurna kesembuhannya ketika habis melahirkan, dan peningkatan kebutuhan yang bernakna untuk peningkatan pengeluaran air susu ibu dan gizi yang dikandungnya, sehingga dapat menyebabkan terjadinya:
(1) Penurunan kandungan zat-zat nutrisi yang terkandung dalam darah secara bermakna, yang akan digunakan tubuh untuk beraktivitas atau melakukan perbaikan atau penyembuhan diri terhadap sel-sel atau bagian tubuh yang rusak, terutama terhadap penyembuhan adanya kemungkinan luka-luka yang terjadi selama proses perdarahan pada masa pra dan/ pasca persalinan.
(2) Ketidakstabilan dari kinerja atau aktivitas dari beberapa sel, jaringan maupun organ tubuh secara menyeluruh untuk menjalankan aktivitas metabolisme-nya secara optimal, yang manifestasi pada umumnya adalah adanya efek samping yang menyertai terjadinya proses hamil atau menyusui tersebut, baik efek samping yang kemungkinan disebabkan oleh terjadinya perdarahan pra dan/ pasca persalinan secara langsung (seperti: terjadinya penurunan tekanan darah, lemas, infeksi, nyeri, dan lain-lain) maupun yang tidak langsung (seperti adanya ketidakstabilan emosi, penurunan gairah untuk beraktivitas atau menjalani kehidupan, dan lain-lain).
(3) Peningkatan keparahan dan komplikasi lainnya, yang dapat beresiko tinggi terhadap adanya perburukkan kondisi atau stamina tubuh, atau kemungkinan dapat menimbulkan kematian.

Oleh karena itu, beberapa hal yang sangat dianjurkan untuk dilakukan pada kondisi seperti ini adalah mengistirahatkan seluruh organ tubuhnya seoptimal atau semaksimal mungkin dari melakukan beberapa aktivitas sedang maupun berat dan mengkonsumsikan makanan dan minuman yang kaya akan kandungan energi, protein, dan vitamin untuk kebutuhan tubuhnya, agar dapat memberikan waktu dan energi yang cukup untuk menghentikan terjadinya proses perdarahan (pada waktunya), dan memperbaiki serta membangun kembali beberapa sel atau jaringan atau organ tubuh yang telah mengalami kerusakan selama terjadinya proses hamil atau menyusui tersebut, sehingga diharapkan dapat mempercepat terjadinya proses pemulihan (recovery) kondisi atau stamina tubuh dan kejiwaannya secara umum.


6. Ketentuan berpuasa Romadhon untuk anak-anak adalah sunnah, namun demikian “Hendaknya anak-anak dilatih sedini mungkin untuk berpuasa sempurna (sampai waktu terbenamnya matahari)”, atau dengan ketentuan lainnya yakni, “Bila pada pagi hari telah berbuka puasa (hanya kuat berpuasa tidak sampai waktu tengah hari), hendaknya menyempurnakannya kembali sisa waktu harinya tanpa berpuasa” .
D. Sunnah (tuntunan) Rosululloh  ketika berada di akhir Romadhon .
• Hal-hal yang difardhu’kan.
1. Menunaikan zakat fitroh.
Zakat Fitroh di Bulan Romadhon :
I. Ketentuan-ketentuan zakat fitroh.
I.a. Pelaku wajib penunaian dan penerima zakat fitroh.
Pelaku wajib untuk menunaikan zakat fitroh adalah seorang muslim yang merdeka yang sudah memiliki makanan pokok melebihi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya untuk sehari-semalam. Di samping itu, dia juga wajib menunaikan zakat fitroh untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya, seperti isteri, anak-anaknya, pembantunya, hamba sahaya (budak), bila mereka semuanya muslim atau muslimah.
Zakat fitroh hanya diberikan kepada orang-orang miskin.

I.b. Harta dan kadar (besar)-nya yang wajib ditunaikan dalam zakat fitroh.
Setiap individu wajib mengeluarkan zakat fitroh-nya sebesar 1 sho’ (dalam riwayat lain ½ sho’) gandum (corn), atau 1 sho’ kurma kering (tamr) atau kismis atau gandum (jenis lain , di antaranya adalah sya’ir) atau susu kering atau yang semisal dengan itu (yang termasuk makanan pokok), dan tidak boleh (diharamkan) menggantikan jenis-jenis harta zakat fitroh tersebut dengan uang .

I.c. Waktu penunaian zakat fitroh.
Penunaian zakat fitroh kira-kira dapat dimulai sejak 1 atau 2 hari sebelum dilakukannya sholat ‘Idul Fitri, sampai dengan sebelum orang-orang berangkat ke tempat sholat ‘Idul Fitri.
Pembagian (zakat fitroh)-nya dilakukan hanya oleh panitia/bendahara (badan amil) zakat (fitroh) yang telah ditetapkan (disyahkan) oleh pemimpin umat Islam (pemerintah). Panitia/bendahara (badan amil) zakat (fitroh) tersebut tidak berhak mendapatkan bagian dari zakat fitroh-nya dengan sebab mengurus (penyaluran zakat)-nya, kecuali apabila keadaan dari panitia (badan amil zakat) tersebut memang seorang yang miskin/faqir.

Ketentuan zakat untuk para musafir.
Ketentuan dan hukum safar terhadap zakat (fardhu’ dan sunnah) .
 Seorang musafir dapat menunaikan shodaqoh, infaq, dan zakat, serta berhak menerima zakat (kecuali zakat fitrah – Penerimaan zakat ini hanya khusus bila keadaan musafir-nya fakir atau miskin).
 Seorang musafir diperbolehkan menunaikan zakat fitrah bila dia berpuasa Romadhon sebelumnya.
 Diberikan hak mendapatkan pembagian zakat, dan dijadikannya salah satu pilihan tempat penerimaan pemberian infaq (sedekah wajib) dan sedekah.
 Dijadikannya salah satu pilihan tempat penerimaan pemberian infaq (sedekah wajib), sedekah, dan makanan berbuka puasa di bulan Romadhon.


2. Mensyar’iatkan sholat Id ketika hari raya.
3. Mempertahankan dan/ meningkatkan kualitas dan kuantitas amalan-amalan selama bulan Romadhon (istiqomah) dan mengikhlaskannya.


• Hal-hal yang disunnahkan.
1. Melakukan i’tikaf di 3 masjid yang telah ditentukan oleh Rosululloh .
Syarat-Syarat i’tikaf:
• Harus di 3 masjid, yakni Harom, Nabawwiy, Aqsho.
• Harus dibarengi dengan berpuasa sebelumnya.
• Dilakukan minimal awal malam è waktu shubuh (+ 12 jam).
• Dilarang untuk seorang yang sedang ber-safar (musafir) .
• Hal-hal yang diperbolehkan ketika ber-i’tikaf:
1. Keluar masjid untuk kepentingan mendesak dan terpaksa, seperti buang hajat atau hanya mengeluarkan kepalanya untuk disisirkan rambutnya .
2. Ber-wudhu’ di dalam masjid .
3. Mendirikan kemah kecil di dalam dan/ bagian lingkungan belakang masjid, menggelar karpet, atau tempat tidur di dalam kemahnya .
4. Istri mengunjungi suaminya yang sedang ber-i’tikaf. .

• Hal yang diperbolehkan mengenai i’tikaf buat wanita:
1. Suami mengantarkan ke masjid .
2. Istri ber’itikaf bersama dengan suami .


2. Memperbanyak ibadah yang ada tuntunannya dari Rosululloh  yang shohih/hasan di malam Lailatul Qodar.
Kapan harus berjaga-jaga malam lailatul-qodar untuknya è
• 10 malam terakhir.
• 10 malam terakhir yang ganjil.
• (Bila merasa lemah) 7 malam terakhir yang ganjil.
• (Bila sangat lemah) malam ke-9, 7, dan 5 terakhir.
• (Menurut hadits yang mutawatir) malam ke-27 .

Tanda-tandanya lailatul qodar è
• Bentuk bulan seperti separuh mangkuk (syiqqih jahnah).
• Sinar matahari melemah, tidak panas, tampak kemerahan, bagai bejana, meninggi pada pagi hari.

3. Mensyar’iatkan takbiran ketika bulan Romadhon telah selesai sempurna (yakni pada malam lebaran 1 Syawwal).
4. Menunaikan zakat fitrah sebelum sholat ‘Idul Fitri.
5. Melafazhkan takbir hanya dengan kalimat-kalimat: “Alloohu Akbar-Alloohu Akbar [redaksi lain: Alloohu Akbar 3x], Laa ilaaha illalloohu walloohu Akbar, Alloohu Akbar wa lillaahilhamdu”, artinya: “Alloh Maha Besar-Alloh Maha Besar, Tidak ada “Ilah” kecuali Alloh, dan Alloh Maha Besar, Alloh Maha Besar dan segala puji bagi Alloh” ; “Alloohu Akbar Kabiiro, Alloohu Akbar wa aJalla, Alloohu Akbar walillaahilhamdu” ; dan/ “Alloohu Akbar, Alloohu Akbar, Alloohu Akbar Kabiiro” , dengan mengeraskan suara, tanpa dikomandoi atau dipimpin.
6. Mengusahakan untuk berpuasa sunnah 6 hari ketika bulan Syawwal dan/ puasa-puasa sunnah lainnya .
7. Istiqomah dalam beribadah setelah bulan Romadhon, tanda diterimanya amalan puasa Romadhon dan mendapat lailatul qodar.

• Hal-hal yang dimakhruhkan.
1. Melakukan i’tikaf selain di 3 masjid yang telah ditentukan oleh Rosululloh  .

• Hal-hal yang diharamkan.
1. Membaca 2 juz atau lebih (terkadang ada yang memulainya dari QS. Adh-Dhuhaa [93]) dari Al-Qur’an pada malam terakhir (dalam) sholat tarawih di bulan Romadhon  Bid’ah .
2. Menunaikan sholat Al-Qodar (yakni sholat 2 roka’at berjama’ah) setelah sholat tarawih, kemudian di penghujung malamnya menunaikan sholat 100 roka’at, pada malam-malam yang diyakini sebagai lailatul qodar  Bid’ah .
3. Menyalahkan lilin di depan rumah dan/ berpesta kembang api ketika malam ke-27 bulan Romadhon dan/ malam lebaran  Bid’ah .
4. Membaca QS. Al-An’am [6] pada roka’at terakhir sholat tarawih, pada malam ke-27 bulan Romadhon  Bid’ah .
5. Melakukan “megengan” (yakni melakukan kenduri di rumah-rumah) yang dilakukan pada 10 malam terakhir di bulan Romadhon  Bid’ah .
6. Melakukan ritual wada’ (perpisahan) di malam ke-5 atau ke-3 terakhir dari bulan Romadhon (di mana para muadzdzin dan wakil-wakilnya berkumpul, kemudian mereka melantunkan syair-syair secara bergantian dengan suara keras berisi kesedihan mereka dengan kepergiaannya bulan Romadhon, setelah imam mengucapkan salam pada sholat witir, yang bertujuan untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa malam tersebut merupakan malam perpisahan dengan bulan Romadhon)  Bid’ah .
7. Melakukan takbir keliling dengan atau tanpa memukul bedug pada saat malam lebaran  Bid’ah .






E. Ketentuan-ketentuan lain yang harus diperhatikan setelah Romadhon.
Qodho’, Fidyah, dan Kafarat (Tebusan) Berpuasa :
Qodho’ è
• Jangan menunda meng-qodho’ puasa Romadhon, dan mengutamakannya sebelum mengerjakan puasa sunnah lainnya.
• Penunaian qodho’ puasa Romadhon tidak boleh didahului dengan penunaian puasa sunnah 6 hari Syawwal, kecuali puasa-puasa sunnah lainnya, terutama puasa sunnah senin-kamis.

Fidyah è
Memberi makan 1 orang miskin setiap hari sebesar kira-kira 1 mud atau ½ sho’ (sesuai dengan banyaknya hari yang ditinggalkannya), dan diutamakan ditunaikan sesegera mungkin (Ket.: 1 sho’ è 2040 g [2,157 kg / 3 kg]).

Kafarat è
Merdekakan seorang budak atau puasa 2 bulan berturut-turut atau memberi makan 60 fakir miskin atau gugurlah kewajibannya, dan diutamakan ditunaikan sesegera mungkin





















F. Sunnah (tuntunan) Rosululloh  ketika berada di awal Syawal .
• Hal-hal yang difardhu’kan.
1. Menyatukan berlebaran berdasarkan hilal dan mathla’ tempat berdomisilinya (menyesuaikan dengan pemerintah setempat) .
2. Sholat shubuh dan sholat-sholat fardhu’ lainnya .
3. Sholat Id di tanah lapang .

• Hal-hal yang disunnahkan.
1. Mandi sebelum berangkat sholat Id.
2. Memakai pakaian yang terbaik (dianjurkan memakai warna putih atau merah – jangan merah polos/tanpa corak), wewangian, dan berhias, sebelum berangkat sholat Id.
3. Makan sebelum berangkat sholat Id.
4. Melafazhkan takbir hanya dengan kalimat-kalimat: “Alloohu Akbar-Alloohu Akbar [redaksi lain: Alloohu Akbar 3x], Laa ilaaha illalloohu walloohu Akbar, Alloohu Akbar wa lillaahilhamdu”, artinya: “Alloh Maha Besar-Alloh Maha Besar, Tidak ada “Ilah” kecuali Alloh, dan Alloh Maha Besar, Alloh Maha Besar dan segala puji bagi Alloh” ; “Alloohu Akbar Kabiiro, Alloohu Akbar wa aJalla, Alloohu Akbar walillaahilhamdu” ; dan/ “Alloohu Akbar, Alloohu Akbar, Alloohu Akbar Kabiiro” , dengan mengeraskan suara, tanpa dikomandoi atau dipimpin, sambil berjalan kaki menuju tanah lapang tempat sholat Id hendak dilaksanakan.
5. Mengambil jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang dari sholat Id.





• Hal-hal yang diperbolehkan.
1. Mengambil jalan yang sama ketika berangkat dan pulang dari sholat Id.
2. Tidak mengikuti khutbah sholat Id.
3. Mengucapkan selamat berlebaran, dengan lafazh, “Taqobballalloohu minna wa minkum (Mudah-mudahan Alloh menerima semua amalan [Romadhon] dari kami dan kalian semua)” dan/ menjawabnya dengan lafazh, “Taqobbal yaa Kariim (Mudah-mudahan wahai Al-Kariim)” atau dengan lafazh, “Ahaalallohu ‘alaika (Semoga Alloh memperbanyak pahalamu)” .
4. Mengucapkan selamat berlebaran, dengan lafazh, “Minal ‘Aidin wal-Faidzin – Mohon maaf lahir dan batin”.
5. Mengganti sholat Jum’at dengan sholat Zhuhur, bila sholat Id-nya bertepatan dengan hari Jum’at.
6. Bepergian untuk bersilaturahim, bermain, dan bersenang-senang setelah sholat Id dilaksanakan.

• Hal-hal yang dimakhruhkan.
1. Tidak mandi sebelum berangkat sholat Id.
2. Tidak memakai pakaian yang terbaik, wewangian, dan berhias sebelum berangkat sholat Id.
3. Tidak bertakbiran selama perjalanan menuju tempat sholat Id dilaksanakan.

• Hal-hal yang diharamkan.
1. Tidak menentukan lebaran dengan hilal, tetapi hanya menggunakan hisab, dan/ tanpa menyesuaikannya dengan mathla’ tempat domisilinya (tidak menyesuaikan dengan ketetapan pemerintah).
2. Tidak menunaikan sholat fardhu’.
3. Berhias diri dengan mencukur jenggot untuk kaum lelaki.
4. Memakai pakaian sutera, berwarna merah dan/ kuning polos, dan merah bergaris-garis vertikal hitam .
5. Wanita tidak menutup aurat-nya (tabarruj) dan/ bercampur baur (ikhtilath) dengan saudaranya yang bukan mahrom-nya ketika berangkat atau pulang dari sholat Id.
6. Beradzan untuk sholat ‘Id  Bid’ah.
7. Tidak menunaikan sholat Id.
8. Menunaikan sholat ‘Id di masjid.
9. Mengerjakan sholat sunnah sebelum dan setelah sholat Id dan/ khutbah sholat Id  Bid’ah.
10. Saling berjabat tangan dengan saudara yang berbeda jenis, yang bukan mahrom-nya .
11. Berlebih-lebihan dan/ berbuat keborosan ketika merayakan lebaran.
12. Merayakan lebaran menyerupai orang-orang kafir (non muslim).
13. Mengkhususkan ziarah kubur (nyadran) setelah melakukan sholat Id  Bid’ah dan syirik.
14. Mengkhususkan diri (berkewajiban) untuk pulang kampung (mudik) untuk bersilaturahim dan berma’afan hanya ketika lebaran  Bid’ah, kecuali dengan niat “Mudik lebaran sebagai bentuk kegiatan untuk memanfa’atkan momentum dan kesempatan untuk menjernihkan suasana yang telah keruh dan hubungan silaturahim yang telah retak sebelumnya, sementara tidak ada kesempatan yang baik kecuali hanya pada waktu lebaran”, maka hal ini diperbolehkan.

Artinya:
“Maha suci Engkau-wahai Alloh, dan segala puji buat-Engkau, aku bersaksi bahwa tidak ada “Illah” kecuali Engkau, aku memohon ampunan-Mu, dan aku bertaubat kepada-Mu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar